2.26.2008

Bagaimana Harus Bersikap?

Oleh Any Rufaidah

Bagaimana kita harus bersikap? Ya. Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiran kita. Bahkan, sering mengganggu. Hanya saja, kita kerap tidak menyadari, sehingga ia seolah tak penting. Padahal, sebaliknya. Coba kita tengok pertanyaan-pertanyaan; bagaimana kita harus menyikapi modernisasi dan globalisasi, bagaimana kita harus menyikapi Islam “fundamental”, bagaimana harus menyikapi UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), bagaimana bersikap terhadap larangan aborsi, dan bagaimana harus menyikapi Islam aliran sesat. Itu hanya beberapa. Di luar itu, kita tak tahu berapa jumlahnya. Jika dalam sehari kita memiliki 3 pertanyaan seperti itu, berarti jumlahnya 3 x hari yang telah kita lalui dalam hidup. Luar biasa…biasa di luar.
Baik. Sekarang pertanyaannya, apa gunanya membahas pertanyaan itu? Ha…ha. Pertanyaan bagus.
Yakinlah! Pendahuluan di atas berguna. Berguna sebagai lambaran untuk membahas tema yang akan coba saya uraikan di sini. Ya. Saya menggunakan contoh-contoh di atas sebagai pintu masuk untuk mendiskusikan pertanyaan, bagaimana kita harus menyikapi idiom-idiom yang sengaja dilontarkan untuk “mendeskriditkan” perempuan. Mengapa perempuan? He..he. Karena saya bekerja untuk Komunitas Studi Gender (KSG) Averroes, yang walaupun bukan hanya membahas perempuan, tetapi untuk tahap awal ini lebih concern terhadap kajian perempuan. Bukan begitu? Begitu bukan.
Tak disangkal, semakin meluasnya gerakan gender/kajian perempuan telah merangsang timbulnya reaksi-reaksi tertentu. Serangan wacana (misalnya mengenai kasus-kasus rumah tangga yang dianggap sebagai akibat dari munculnya gerakan gender/kajian perempuan), sikap curiga terhadap perempuan (misalnya dalam politik). Dan respon yang tidak kalah santer adalah munculnya idiom-idiom yang sekali lagi, “mendeskriditkan” perempuan. Misalnya, kata perempuan diplesetkan menjadi per-empu’-an. Kata ini tentu membawa makna, seperti kata-kata lainnya. Kata empu’ dalam budaya Jawa memiliki konotasi negatif. Kurang lebih berdekatan dengan kata kasur. Kasur yang empu’. Begitulah.
Ketika muncul idiom-idiom seperti itu, sebagian perempuan yang memiliki konsentrasi pada gerakan gender/kajian perempuan menyikapinya dengan cara agresif. Bahasanya bernada tidak terima, kasar, dan seolah-olah ingin menyerang. Biasanya disertai apologi-apologi untuk mempertahankan diri. Sekarang kita bertanya lagi, apakah sikap atau respon seperti ini cukup tepat? Lho…mengapa justru muncul pertanyaan seperti itu? Apakah bukan berarti mengadili sikap orang atau kelompok tertentu? Tunggu dulu. Ini bukan mengadili, melainkan proses diskusi untuk menemukan sikap yang tepat. Karena kita tidak mungkin tidak bersikap. Kata orang, diam pun sikap.
Dalam hemat saya, sikap agresif terhadap plesetan-plesetan yang bertujuan “mendeskriditkan” perempuan sebenarnya kurang tepat. Kita cukup menyikapinya dengan santai. Mengapa demikian, bukankah kita harus membela diri dari hal-hal yang sifatnya mendeskriditkan? Dan bukankah kita harus mempertahankan identitas kita sebagai perempuan? Kita perlu menegaskan bahwa perempuan bukan manusia yang hanya berkonotasi empu’. Sekarang mari kita agak serius. Kita mulai ke-agak seriusan ini dengan mempertanyakan apa itu manusia? Banyak definisi tentang manusia. Ada yang dilihat dari biologi, psikologi, agama, habitat/populasi, dan lain sebagainya. Pada masing-masing perspektif, pengertian manusia diturunkan lagi dalam beberapa bagian. Banyak sekali. Tapi kita tidak akan mendiskusikan itu di sini. Selain karena jumlahnya yang amat banyak, juga karena tidak begitu relevan dengan tema yang ingin disampaikan. Untuk itu, saya akan langsung menuju pemikiran yang menjadi alasan mengapa sikap agresif terhadap idiom-idiom yang ditujukan untuk “mengolok-olok” perempuan dikatakan kurang tepat. Saya mendasari pernyataan ini dengan pemikiran Simone de Beauvoir yang berhasil dipresentasikan dengan renyah oleh Shirley Lie Menurut de Beauvoir, manusia adalah makhluk yang selalu “menjadi” (Shilrley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan (Grasindo: Jakarta, 2005), hlm. 9). Mereka tidak memiliki identitas pasti (certain definition). Saya sepakat dengan pemikiran ini karena ia paling dapat diterima saat ini. Arti dapat diterima bukan karena yang lain tidak dapat diterima, tetapi karena dapat dianalogikan secara jelas dengan realitas dan pengalaman yang “mungkin” pasti dialami setiap orang. Analoginya adalah, jika sekarang kita sedang berada dalam sebuah fase kehidupan tertentu, misalnya kuliah, apakah kita akan mengetahui apa yang terjadi satu atau dua tahun yang akan datang? Analogi lain adalah, sejak kecil kita bercita-cita menjadi polisi, apakah kita besok dapat memprediksi untuk menjadi polisi atau tidak? Tidak ada yang tahu. Dengan kata lain, setiap manusia selalu berproses dan terus berproses.
Jika analogi yang paling sederhana sudah tidak dapat kita ketahui dengan pasti, bagaimana dengan definisi tentang manusia? Lebih rumit dan akan lebih tidak terjawab. Satu contoh lagi. Sekarang kita adalah orang yang kasar dalam definisi kita, tetapi entah dua tahun lagi. Mungkin kita akan menjadi orang yang sangat halus. Artinya, meskipun itu karakter yang “katanya” sangat sulit diubah, pada kenyataannya bisa merubah dengan proses yang kita lalui. Begitu kira-kira menjelaskannya. Begitulah definisi manusia. Dan begitulah definisi perempuan yang saya sepakati.
Hubungannya dengan plesetan “per-empu’an”? Baik. Kita akan kembali ke situ. Seperti sempat disinggung sebelumnya, setiap kata menyimpan makna. Kata “per-empu’an” itu mau tidak mau ikut serta dalam membentuk definisi tentang perempuan. Tetapi, bukankah definisi itu tidak “pasti”? Oleh sebab itu, perempuan tidak perlu menyikapinya dengan sarkasme. Logikanya, untuk apa kita menyikapi sesuatu yang tidak jelas pada dirinya sendiri. Dan kita pun tidak memiliki definisi pasti yang dapat dipertentangkan/diperlawankan untuk meruntuhkan makna yang tersirat dalam idiom-idiom yang muncul. Anggap saja idiom-idiom itu sebagai bagian yang ikut serta membentuk definisi atas perempuan.
Begitulah kira-kira…..

Any Rufaidah, Sekretaris Komunitas
Studi Gender (KSG) Averroes

Ber (Agama) Oedipus Complex dan Ilusi

Oleh Any Rufaidah

Sebelum mulai menulis, muncul pikiran bahwa tulisan ini hanyalah sebuah review atau kliping yang memalukan dan tidak layak dibaca. Siapapun bisa membacanya sendiri tanpa harus disajikan ulang. Tetapi, bagaimanapun bentuk tulisan, di dalamnya pasti terdapat pemahaman yang siap diadu dan dipertanggungjawabkan. Atas dasar itulah tulisan ini tetap disajikan.

Tema dalam tulisan ini secara spesifik akan coba membahas pemikiran Sigmund Freud mengenai agama. Tema ini secara spesifik pula dapat kita telusuri di dalam Totem and Taboo, The Future of an Illusion, Civilization and Its Discontents, dan Mose and Monotheism. Pada karya-karya tersebut Freud menyajikan uraian-uraian yang berbeda walau inti sebenarnya sama. Dalam tulisan ini, saya membagi membahasan yang tersebar dalam karya-karya yang telah disebutkan dalam dua bagian. Marilah kita mulai.

Agama dan Pengobat Rasa Bersalah
Subjudul di atas dengan jelas telah menunjukkan bahwa agama tidak lebih dari pengobat rasa bersalah. Ya. Memang demikian menurut Freud.
Tanpa mengulang-ulang pembahasan, kita akan langsung menuju pertanyaan, bagaimana ceritanya?
Sebelum konsentrasi pada masalah agama, lebih dulu Freud melakukan penelusuran panjang tentang, “Apa yang mendasari segala tingkah laku manusia”. Proses panjang telah dilalui dengan berbagai cara. Terapi hipnosis, Preasure Technique, asosiasi bebas, analisis mimpi, dan transferensi adalah rangkaian proses yang dilalui. Freud tidak sia-sia. Ia berhasil menemukan satu kesimpulan besar dari proses panjang tersebut. Kesimpulan itu menyatakan, “Perilaku manusia dipengaruhi oleh dorongan-dorongan tak sadar.” (Dalam Sigmund Freud, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terj. K. Bertens (Gramedia: Jakarta, 1986). Kesimpulan ini tidak berhenti begitu saja. Freud terus-menurus mengerucutkan temuannya sampai pada satu temuan mendasar. Seksual. Itulah temuan besar Freud. Ia menganggap dorongan-dorongan tak sadar yang mengendalikan seluruh tingkah laku manusia tidak akan beranjak dari masalah seksual. Masalah seksual ini dijelaskan dengan apa yang disebut Oedipus Complex (pada laki-laki atau Electra Complex (pada perempuan).
Oedipus Complex adalah keinginan untuk memiliki ibu. Arti memiliki adalah secara intim. Namun, keinginan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anak karena ada sosok ayah yang menghalangi. Keadaan ini kemudian mendorong anak untuk membunuh sang ayah. Begitulah Oedipus Complex. Keinginan untuk memiliki ibu dan membunuh ayah. Pada anak perempuan, yang diberi istilah Electra Complex perbedaannya terletak pada objek.
”Namun apa daya?” Begitu kira-kira ungkapan yang tepat untuk meng-Indonesiakan kata yang hendak diucapkan Freud. Seseorang tidak mungkin mewujudkan dorongan Oedipus . Sebab, mereka dilingkupi norma, aturan, agama, dan lain sebagainya. Tak ada satu ruang pun yang membenarkan. Maka, satu-satunya tindakan yang diperbolehkan dan diharuskan adalah menekan/melupakan/merepresi.
Tetapi celakanya, dorongan itu tidak dapat dihilangkan sampai tuntas. Keinginan memiliki ibu dan membunuh ayah masih terus berlangsung meskipun frekuensinya berkurang. Di waktu yang sama, ke-tidak terhapus-an dorongan Oedipus ini menyebabkan rasa bersalah. Rasa ini terus mengepung sebanyak kepungan norma dan aturan sosial. Di sinilah agama, menurut Freud, dimunculkan. Ia dimunculkan sebagai pengobat perasaan bersalah. Kehadiran tuhan adalah sebagai pengganti ayah (father substitute) atau ayah yang ditinggikan. Oleh karena itu, Freud menggunakan istilah tuhan paternal.

Agama adalah Ilusi
Apa yang dimaksud agama adalah ilusi?
Objek pembahasan kali ini berbeda. Jika dalam sub sebelumnya dikatakan kelahiran agama sebagai pengobat rasa bersalah kepada ayah, dalam bagian ini agama adalah pengobat ketakutan terhadap alam.
Bagaimana ceritanya?
“Manusia memang makhluk yang tidak pernah lepas dari ketakutan-ketakutan. Tidak hanya pada masa bayi, pada saat dewasa pun mereka harus menerima serangan-serangan yang menakutkan”, begitu kira-kira pernyataan Freud. Pada masa dewasa, manusia mengalami ketakutan-ketakutan terhadap kekuatan yang mematikan, yaitu alam. Manusia sadar atas ketidakmampuannya menghadapi kerusakan alam yang mematikan. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan agama sebagai sandaran. Dengan agama, mereka mendapatkan kenyamanan. Dan kenyamanan ini tidak hanya dirasakan, tetapi juga diharapkan. Diharapkan terus berlangsung hingga masa setelah mati. Di dalam harapan itu terdapat gambaran-gambaran. Gambaran hidup di surga, bersama malaikat-malaikat dan bidadari. Gambaran-gambaran ini diharapkan menjadi nyata oleh manusia. Inilah yang oleh Freud disebut agama sebagai ilusi. Manusia mempercayai agama karena sangat menginginkan semuanya menjadi benar. Jadi agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, apalagi dibuktikan secara ilmiah, melainkan gambaran yang diharapkan kebenarannya.
Begitulah kira-kira….

Any Rufaidah, Komunitas Studi Gender (KSG) Averroes

Menghidupkan Subjek di Tengah Kematiannya

Oleh ANY RUFAIDAH

Judul : Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Žižek.
Penulis : Thomas Kristiatmo
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xiv + 113 halaman

Di tengah ramainya pernyataan “subjek sudah mati”, dibutuhkan orang “gila” yang berani nekad membetot lagi segala wacana, yang telah terbang tinggi dan terlanjur beranak pinak dalam kerumitan abstraksi itu, kembali ke bumi yang nyata sehari-hari. Dan orang yang melawan arus dan paling vokal berbicara ihwal “subjek” serta mendudukkannya kembali sebagai sentral itu adalah Slavoj Žižek (Thomas Kristiatmo)


Apa itu subjek? Pertanyaan ini seolah tak pernah memiliki jawaban final. Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan modern, sejak Rene Descartes hingga detik ini, subjek masih menjadi misteri. Kalaupun kita merasa telah memiliki definisi yang pasti (The fixed definition), semua itu hanya definisi seolah-olah. Seolah-olah pasti dan tak bermasalah, seperti halnya alasan beragama. Senyatanya, definisi atas subjek tidak pernah berada pada titik pasti. Ia tak pernah bermukim pada satu pemikiran. Coba lihat, cogito ergo sum Descartes yang mampu menjadi pijakan atas definisi subjek pada zamannya, kini diganyang habis oleh pemikir yang populer disebut kaum strukturalis dan postrukturalis. Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, Gilles Deleuze seolah tak menyisakan tempat bagi keberadaan subjek. Kubu ini menentang definisi Cartesian yang menjadikan subjek sebagai pemikir mandiri (subjeksentrisme). Mereka berkeyakinan akan tidak adanya subjek mandiri, karena subjek selalu dikepung oleh struktur, struktur kekuasaan, struktur bahasa, kebudayaan. Struktur telah mengikat subjek sedemikian rupa sehingga ia tak mungkin berkembang dengan caranya sendiri. Struktur amat menentukan hendak menjadi apakah subjek itu.

Perbedaan-perbedaan pendapat yang teramat pelik itulah yang menjadikan subjek selalu menarik untuk dikaji. Lebih-lebih, perkembangan budaya yang demikian pesat serta kepungan struktur yang demikian padat, menjadikan definisi subjek semakin tak menentu dan tetap hangat untuk dijadikan santapan intelektual. Hal ini merangsang banyak pemikir kontemporer untuk tumbuh dengan membawa “subjek” sebagai objek kajian. Salah satunya adalah Slavoj Žižek, yang pemikirannya disajikan dengan renyah dalam buku ini.

Slavoj Žižek, begitulah, ia hadir dengan caranya sendiri. Seperti roda yang menggelinding dari satu titik, kemudian kembali ke titik yang sama. Di tengah maraknya penghakiman atas kesalahan Descartes, Žižek justru meredefinisi pemikiran tokoh yang menjadi icon lahirnya pengetahuan modern itu. Namun, di situlah uniknya pemikir asal Ljubljana, Slovenia ini. Ia tak mau terjebak pada pernyataan “subjek telah mati” yang banyak didengungkan strukturalisme dan postrukturalisme. Justru ia hendak “membantu” manusia dari frustrasi akibat pernyataan nihil itu.

Bagaimanakah redefinisi subjek Žižek atas cogito Cartesian? Žižek memilih rute yang unik pula untuk meredefinisi subjek ala Cartesian. Ia melewati pemikiran psikoanalis, Jacques Lacan, kemudian menariknya ke ranah filsafatnya sendiri. Jacques Lacan terkenal dengan konsep fase cermin. Menurutnya, antara usia 6 – 18 bulan, setiap orang mengalami fase cermin. Pada usia ini, anak mulai mengenal dirinya ketika berhadapan dengan cermin. Sejak itu anak mendefinisikan dirinya dengan apa yang dilihat di dalam cermin. Pada fase ini, subjek dikatakan sebagai “yang imajiner”. Definisi subjek akan segera tergeser (displacement) ketika anak mampu menyampaikan pikiran secara gramatikal (mengenal bahasa). Anak mendefinisikan dirinya dengan simbol-simbol yang dapat mereka bahasakan. Di sini anak mengidentifikasi dirinya sebagai “yang simbolik”. Dalam kedua fase ini, “yang imajiner” dan “yang simbolik”, subjek seakan-akan telah terdefinisi dengan pasti. Namun sebenarnya tidak. “Yang imajiner” dan “yang simbolik” justru mengalienasi ke-diri-an subjek sendiri. Subjek selalu diimajinasi dan disimbolisasi dengan apa yang di luar diri subjek, bukan yang ada dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, subjek tak pernah hadir. Ia selalu diwakili oleh “yang imajiner” dan “yang simbolik”. Tanpa keduanya, subjek tidak akan terdefinisi dan teridentifikasi.

Lalu di mana subjek “yang nyata”? Bagi Lacan, “yang nyata” adalah yang tak terjamah oleh “yang imajiner” maupun “yang simbolik”. Ia adalah objet petit-a, yang tak dapat diimajinasikan maupun disimbolisasi (hlm. 41). Ia seperti ruang kosong yang tak terimajinasi dan tak tersimbolisasi. Tak dapat dibayangkan atau digramatikalkan. Namun ia tetap ada.

Konsep inilah yang dijadikan lambaran oleh Žižek dalam meredefinisi subjek Descartes. Menurutnya, cogito Cartesian bukanlah substansi yang penuh dalam dirinya sendiri (hlm. 90). Cogito adalah ruang kosong. Sampai di sini, kita akan bertanya seperti halnya konsep Lacan dipertanyakan, “Jika demikian, bagaimana subjek dapat terdefinisi?” Lacan bukanlah tipe orang yang mudah lari dari tanggung jawab. Meskipun telah menegaskan bahwa “yang nyata” tak dapat diimajinasi atau disimbolisasi, ia tetap berisi. Yang dimaksud tak terimajinasi dan tak tersimbolisasi oleh Lacan adalah dalam hubungan dengan realitas objektif. Isi subjek “yang nyata” dalam keyakinannya adalah hasrat. Pada konsep ini, Lacan menampakkan pengaruh yang sangat besar dari pewarisnya, Sigmund Freud. Freud dengan jelas mengumumkan pemikiran yang sangat kontroversial hingga kini, bahwa manusia terkuasai oleh ketidaksadaran. Ketidaksadaran ini yang menjadi alasan sekaligus pengarah tindakan manusia. Ia memang tak terdefinisi, tetapi tetap ada dengan cara meng-ada-nya sendiri. Begitu pula dengan Žižek, tetap konsisten pada misinya untuk “membantu” manusia lepas dari frustrasi nihilisme. Ia mengakui, ruang kosong subjek “yang nyata” tetap membutuhkan isi. Isi itu adalah produk kebudayaan yang sedang melingkupi subjek. Tetapi subjek tidak serta merta dibentuk oleh struktur kebudayaan seperti yang dikatakan strukturalisme dan postrukturalisme. Subjek tetap memiliki keistimewaan untuk menerima atau menolak arus kebudayaan. Di sinilah letak keistimewaan subjek ala Žižek yang diredefinisi dari cogito Cartesian. Subjek tak bisa hadir tanpa kehadiran yang lain, sekaligus me-niada dalam kehadiran yang lain.

Begitulah cara Žižek meredefinisi subjek Cartesian. Melalui lambaran Lacan, kemudian menariknya ke ranah filsafat yang ia yakini. Entah redefinisi ini adalah representasi konsep cogito Cartesian atau justru sebaliknya, yang terpenting Žižek telah manawarkan definisi subjek di tengah kematian subjek. Dan Thomas Kristiatmo dengan gaya penulisannya yang mudah dicerna membantu kita untuk “sedikit” menemukan versi baru atas subjektivitas manusia ala Žižek, dengan tetap membuka celah-celah dialektika yang tidak memungkinkan definisi final atas subjek.

ANY RUFAIDAH, Penggiat kajian filsafat dan psikoanalisis
(Jelajah Budaya on-line)

Peliknya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Oleh Any Rufaidah

Akutnya korupsi di Indonesia telah menjadi hantu bagi idealisme calon pemimpin muda. Prosedur-prosedur kotor yang harus dilewati generasi muda dalam upaya menciptakan Indonesia Bersih semakin menegaskan bahwa niat baik memberangus korupsi masih demikian pelik dan rumit.
Beberapa waktu lalu (21/11) saya menghadiri dinner lecture yang diberi tajuk “Peradilan dan Demokrasi”. Acara yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) pimpinan Ignas Kleden ini menghadirkan Busyro Muqoddas (ketua Komisi Yudisial) dan Mahfud MD (wakil ketua Badan Legislasi DPR-RI). Sebagai orang yang kompeten sekaligus praktisi di bidang hukum, keduanya menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di “bawah meja” pengadilan. Kreativitas mafia pengadilan dalam melakukan berbagai macam aksi diungkapkan dengan gamblang di hadapan peserta. Dalam makalahnya, Busyro menyampaikan kasus-kasus besar yang diloloskan oleh para hakim. Sedangkan Mahfud lebih detail membeberkan aneka ragam praktik korupsi di pengadilan. Ini sungguh keberanian luar biasa yang jarang ditemukan di Indonesia.
Bukan sebagai orang yang hanya mampu mengundang keprihatinan, kedua pakar ini pun memberikan solusi atas pemberantasan mafia pengadilan. Busyro menawarkan agenda reformasi peradilan (judiciary reform) yang intinya adalah mewujudkan sistem kekuasaan kehakiman melalui UU Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan kekuasaan kehakiman yang pro demokrasi. Melalui UU itu, kepentingan rakyat pencari keadilan akan terwakili dan terjamin. Tidak ada lagi kekecewaan akibat terbuainya para hakim pada uang sogok. Judiciary reform juga mengagendakan mekanisme rekruitmen hakim dan panitera secara meritokrasi dan transparan.
Lebih keras menyerang pemerintah, Mahfud MD mengajukan tiga langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh (massive reform), baik dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Kedua, secepatnya memutus hubungan dengan persoalan-persoalan KKN yang ditancapkan Orde Baru. Ketiga, menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagai sistem rekruitmen politik yang demokratis dan terbuka.
Jika diamati, solusi-solusi yang ditawarkan Busyro maupun Mahfud senantiasa mengacu pada titik yang sama, yakni pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Mereka berdua mengharapkan terjadinya cut black generation yang memungkinkan pembersihan korupsi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan melakukan misi tersebut? Jawabannya adalah generasi muda. Kita tahu bahwa ketidakberhasilan agenda reformasi disebabkan masih terkuasainya kepemimpinan nasional oleh antek-antek Orde Baru, sehingga secara mental, penyelesaian masalah, dan pembagunan masyarakat, masih mengacu pada metode lama. Akibatnya, Indonesia tidak mengalami perubahan seperti yang dicita-citakan reformasi, bahkan lebih parah. Sebagai ukuran riil, kita lihat saja angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin membengkak. Oleh karena itu, sudah saatnya angkatan muda yang disebut Fadjroel Rachman sebagai the rising generation diberi kesempatan untuk mengawal gerakan memberangus korupsi beserta kepicikan birokrasi lainnya. Upaya ini diharapkan mampu menciptakan reformasi dalam arti sesungguhnya. Menciptakan “Indonesia Bersih” untuk menuju kemakmuran yang sebenar-benarnya.
Setelah menemukan pelakunya, sekarang tinggal bagaimana cara memasukkan pelaku itu ke dalam sistem pemerintahan? Di sini lah peliknya pemberantasan korupsi. Pasalnya, jalur yang harus dilalui oleh angkatan muda adalah jalur politik yang telah tercemar oleh praktik korupsi. Mereka harus masuk dalam lingkaran sistem. Tanpa upaya ini, harapan untuk menciptakan “Indonesia Bersih” akan sia-sia belaka, karena kita tidak mungkin bisa berperan tanpa terlibat dalam pengambilan kebijakan serta mengetahui pelaksanaannya. Akses untuk mengetahui praktik-praktik korupsi hanya bisa didapat dengan kedudukan jabatan.
Mengapa hal ini disebut pelik? Tidak lain karena tingkat ketercemaran birokrasi terhadap korupsi sudah demikian akut. Bahkan banyak yang menyebut korupsi di Indonesia sebagai budaya yang hanya bisa ditumpas dalam jangka waktu sangat lama. Bayangkan saja, untuk mencapai jabatan politik tertentu, calon pemimpin diharuskan melalui prosedur-prosedur yang dikotori oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Prosedur-prosedur tersebut ibaratnya pagar betis yang telah dipenuhi ranjau-ranjau. Jika kita tak mampu menjinakkan ranjau, konsekuensinya adalah mati. Hal ini tentu saja menjadi ancaman serius bagi idealisme generasi muda sendiri. Seakan-akan hanya ada dua pilihan, kompromi atau mati. Itu saja. Tak ada pilihan lain.
Begitulah, upaya menciptakan Indonesia Bersih tampaknya masih sangat rumit dan pelik karena birokrasi kita sudah tercemar sedemikian hebatnya. Alih-alih membersihkan, mendekat saja sudah bisa tercemar. Yang menjadi tantangan besar saat ini adalah seberapa besar idealisme generasi muda setelah melalui jalur-jalur politik yang penuh resiko itu. Tercemar serta ikut menambah kotoran baru atau tetap bertahan dengan idealisme. Dan perlu diingat bahwa fakta-fakta yang telah disampaikan Busyro dan Mahfud jauh lebih pelik dari argumen ini.

ANY RUFAIDAH, Komite Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KKID) wilayah Malang
(Website SD)

Demokrasi dan Romantisme Kemakmuran Semu

Oleh Any Rufaidah

PASCA tumbangnya Orde Baru, Indonesia boleh dikatakan sebagai negara yang sudah membuka kran demokrasi. Tragedi orang hilang, tersumbatnya suara rakyat, terkekangnya partisipasi, bad governance yang berujung pada chaos 1998 akhirnya bisa berganti dengan masa reformasi yang memberikan hawa sejuk untuk menikmati kebebasan. Karya-karya kontroversi boleh beredar kembali, kebebasan pers mulai mendapat pengakuan, aspirasi masyarakat juga lebih mendapatkan tempat. Suasana demokratis adalah sebuah prestasi luar biasa setelah 32 tahun rezim otoriter berkuasa.

Dalam sebuah proses pendidikan demokrasi (Sekolah Demokrasi) di Malang sering sekali muncul pertanyaan bagaimana bentuk demokrasi, bagaimana konsep ideal demokrasi di Indonesia pada beberapa narasumber. Narasumber, salah satunya Prof. DR. Ichlasul Amal menanggapi (SD V, 27/05/06) bahwa pertanyaan tersebut sangat sulit dijawab. Tanggapan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa belum ada konsep dan bentuk demokrasi ideal. Demokrasi masih dalam proses menjadi, bahkan mungkin akan terus menjadi, apalagi di Indonesia yang baru saja terlepas dari rezim otoriter Orde Baru.
Di tengah proses menjadinya demokrasi, Indonesia diwarnai banyak masalah. Bentrokan akibat ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, pertentangan pendapat antar aliran beragama, konflik antar suku, ras dan golongan, mahasiswa, masyarakat sipil, militer adalah sebagian masalah yang muncul.
Dua keadaan menjadi ambivalen. Di satu sisi kran demokrasi mulai terbuka, di sisi lain banyak terjadi konflik. Ambivalensi ini membuat sebagian masyarakat berpikir untuk kembali mengenyam kemakmuran Orde Baru. Pikiran ini terbukti dari sebuah pernyataan yang dikutip oleh B. J. Habibie. Habibie mengaku dirinya mendapat pernyataan “Pak Habibie bagaimana kalau itu (Orde Baru) bangun kembali“ (Kompas, 07/06/06).
Seolah-olah tidak masalah bernegara tanpa demokrasi asalkan makmur. Pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut belum tentu menjadi representasi bangsa Indonesia, tetapi jika mereka adalah kelompok elit yang biasa menggulirkan issu sebagai salah satu kekuatannya, maka akan berpengaruh besar bagi pemikiran bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis pernyataan tersebut hanya mungkin dikeluarkan oleh kelompok-kelompok elit, karena masyarakat kecil sudah cukup tersiksa pada masa Orde Baru. Sayang sekali demokrasi yang baru saja beranjak dewasa terbuang karena kemakmuran semu Orde Baru. Tampaknya mereka lupa bahwa demokrasi harus dibayar mahal oleh chaos 1998. Peristiwa 1998 bukanlah peristiwa yang terjadi secara natural, berlangsung sesuai kehendak alam, melainkan bayaran untuk menempuh demokrasi.
Pertanyaannya mengapa muncul pihak yang mengidap romantisme Orde Baru yang sangat besar kemungkinan mengkontaminasi bangsa Indonesia secara luas?Masalah tersebut bersumber pada kesalahan berpikir. Terdapat kebiasaan berpikir praktis, tanpa kesulitan berarti. Selama kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia dibuai oleh kemakmuran, pembangunan, kesejahteraan, walaupun semuanya hanya berkutat pada wilayah material yang berasal dari hutang. Segala kebijakan ditentukan segelintir orang yang secara pasti tidak memberikan kesempatan kepada publik untuk berpikir. Keputusan secara tiba-tiba sudah tersedia.
Sepanjang Orde Baru, lebih dari cukup untuk menancapkan kebiasaan praktis. Mewujudkan demokrasi membutuhkan pemikiran yang panjang dan rumit. Butuh kerja keras dan kesungguhan. Dengan kebiasaan berpikir tersebut, konflik-konflik yang terjadi pada proses menjadinya demokrasi sudah dianggap sebuah kegagalan demokrasi. Serta merta muncul anggapan bangsa Indonesia sudah menikmati kemakmuran di masa Orde Baru, jadi harus dibangun kembali, tidak justru susah-susah berpikir demokrasi. Pihak yang bersangkutan belum cukup memiliki kesiapan untuk mengkonsepkan dan mewujudkan demokrasi sesuai kondisi riil Indonesia.
Kedua, terdapat pola pikir yang diterapkan secara kausalitas yang tidak bersesuaian. Konflik-konflik dianggap disebabkan oleh berubahnya sistem bernegara, dari tidak demokratis menjadi demokratis. Demokrasi menjadi tersangka atas terjadinya konflik-konflik. Oleh karena itu demokrasi tidak perlu, yang diperlukan adalah kemakmuran seperti Orde Baru
Romantisme versus Demokrasi
Kedua pola pikir di atas adalah upaya refleksi yang menghasilkan solusi keliru, sekaligus berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Bangsa Indonesia harus sadar merebut demokrasi mahal dan tetap mahal untuk menjadikannya utuh. Merebut demokrasi membutuhkan perjuangan chaos 1998, maka untuk mewujudkannya perlu lebih dari itu.
Seharusnya tidak ada romantisme Orde Baru dengan alasan demokrasi hanya menimbulkan konflik. Demokrasi adalah tempat bertemunya perbedaan-perbedaan pendapat dengan berbagai macam kepentingan, tetapi demokrasi bukan penghasil konflik.
Orde Baru bukanlah tempat yang pas sebagai romantisme kemakmuran karena hanya jalan buntu menuju kemakmuran. Yang nyata adalah demokrasi yang sedang menjadi. Kita tinggal memilih romantisme kemakmuran semu ataukah demokrasi yang sedang menjadi. Faktanya Indonesia sudah mendapat pengakuan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia selain India dan Amerika Serikat. Memilih demokrasi hanya membutuhkan kesabaran dan kebijaksanaan, sedangkan romantisme membutuhkan kerelaan hidup dalam kesemuan.

ANY RUFAIDAH, Peserta Sekolah Demokrasi PLaCID’s Averroes Angkatan I
(Newsletter SD)

Mengutip Teks, Mengabaikan Konteks

Oleh: Any Rufaidah

Meski telah meminta maaf, Paus Benediktus XVI masih menuai kecaman. Apa kekeliruan pimpinan tertinggi Katolik ini?

Hampir saja dunia digemparkan oleh permusuhan antara dua pemeluk agama yang sama besarnya. Sean­dainya permusuhan itu benar-benar terjadi, tidak terbayangkan betapa hidup ini tidak akan tenang. Untunglah ketegangan bisa cepat dicairkan dengan permintaan maaf dan him­bauan tenang dari para kepala negara dan pemuka agama.

Paus Benediktus XVI telah meminta maaf kepada seluruh Muslim dunia atas salah satu ucapan yang sempat dilontarkan pada kuliah umum di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman pada Selasa (12/9) lalu. KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU menganggap masalah ini sudah berakhir dengan permintaan maaf Paus. Sebagai upaya menghindari per­musuhan antar umat beragama, penulis men­dukung kebijaksanaan Paus. Namun, sebagai seorang yang tertunjuk atas pidato Paus, penu­lis merasa perlu untuk menyampaikan bebe­rapa kejanggalan yang juga harus diselesaikan.Pertama, dari sekian banyak pernyataan tokoh, pemimpin, ilmuwan yang bisa dikutip, Paus memilih mengutip pernyataan Kaisar Bizantium, Manuel II Palaeologus. Untuk me­mahami latar belakang pernyataan tersebut, sebaiknya terlebih dahulu melihat konteksnya. Pada saat Manuel II Palaeologus berkuasa (1391-1425 M), Bizantium sudah berada di ambang kehancuran sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad.Dalam kondisi perang, tentu saja ke­beradaan pedang (senjata) sangat wajar, bah­kan menjadi keharusan untuk merebut atau pun mempertahankan kekuasaan. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan sentimentil dari Islam maupun Kristen ortodoks yang berperang. Dalam perang, pernyataan yang ditujukan pada Islam tersebut kemungkinan besar adalah pernyataan sentimentil dengan tujuan menjatuhkan.Tampaknya Benediktus XVI tidak meng-cross check pada kondisi apa pernyataan itu dikeluarkan. Kutipan yang dipilihnya jelas tidak menyeluruh sesuai konteks waktu itu. Dengan begitu Paus telah mengambil per­nyataan sepihak tanpa mempertimbangkan pihak lain.Kedua, Paus mencoba memaknai jihad bukan dari perspektif muslim sendiri. Di kalangan muslim, makna Jihad sangat ber­aneka ragam sesuai dengan corak berpikir masing-masing kelompok. Dengan mencoba memaknai Jihad dengan mengutip per­nyataan Kaisar Manuel II Palaelogus, Paus jelas membuat kekeliruan. Makna Jihad yang diambil dari ‘musuh’ Islam abad ke-14 itu sangatlah tidak representatif mengingat sifat dan tujuannya menjatuhkan.Ketiga, Paus telah menunjukkan superi­oritasnya (kehebatannya) dengan mengin­feriorkan (menjatuhkan) pihak lain. Dengan memandang kembali konteks Kaisar Manuel II Palaeologus, berarti Paus mengulangi kembali superioritas yang pernah ditunjuk­kan kaisar itu.Namun, di atas segalanya, sekali lagi penulis mendukung kebijakan Paus dengan meminta maaf kepada umat Islam.

Any Rufaidah, Mahasiswa Psikologi, aktif di unit pers mahasiswa Inovasi UIN Malang.
Syir’ah 58/V/Oktober 2006. Beredar Senin, 9 Oktober 2006