Oleh: Any Rufaidah
Meski telah meminta maaf, Paus Benediktus XVI masih menuai kecaman. Apa kekeliruan pimpinan tertinggi Katolik ini?
Hampir saja dunia digemparkan oleh permusuhan antara dua pemeluk agama yang sama besarnya. Seandainya permusuhan itu benar-benar terjadi, tidak terbayangkan betapa hidup ini tidak akan tenang. Untunglah ketegangan bisa cepat dicairkan dengan permintaan maaf dan himbauan tenang dari para kepala negara dan pemuka agama.
Paus Benediktus XVI telah meminta maaf kepada seluruh Muslim dunia atas salah satu ucapan yang sempat dilontarkan pada kuliah umum di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman pada Selasa (12/9) lalu. KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU menganggap masalah ini sudah berakhir dengan permintaan maaf Paus. Sebagai upaya menghindari permusuhan antar umat beragama, penulis mendukung kebijaksanaan Paus. Namun, sebagai seorang yang tertunjuk atas pidato Paus, penulis merasa perlu untuk menyampaikan beberapa kejanggalan yang juga harus diselesaikan.Pertama, dari sekian banyak pernyataan tokoh, pemimpin, ilmuwan yang bisa dikutip, Paus memilih mengutip pernyataan Kaisar Bizantium, Manuel II Palaeologus. Untuk memahami latar belakang pernyataan tersebut, sebaiknya terlebih dahulu melihat konteksnya. Pada saat Manuel II Palaeologus berkuasa (1391-1425 M), Bizantium sudah berada di ambang kehancuran sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad.Dalam kondisi perang, tentu saja keberadaan pedang (senjata) sangat wajar, bahkan menjadi keharusan untuk merebut atau pun mempertahankan kekuasaan. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan sentimentil dari Islam maupun Kristen ortodoks yang berperang. Dalam perang, pernyataan yang ditujukan pada Islam tersebut kemungkinan besar adalah pernyataan sentimentil dengan tujuan menjatuhkan.Tampaknya Benediktus XVI tidak meng-cross check pada kondisi apa pernyataan itu dikeluarkan. Kutipan yang dipilihnya jelas tidak menyeluruh sesuai konteks waktu itu. Dengan begitu Paus telah mengambil pernyataan sepihak tanpa mempertimbangkan pihak lain.Kedua, Paus mencoba memaknai jihad bukan dari perspektif muslim sendiri. Di kalangan muslim, makna Jihad sangat beraneka ragam sesuai dengan corak berpikir masing-masing kelompok. Dengan mencoba memaknai Jihad dengan mengutip pernyataan Kaisar Manuel II Palaelogus, Paus jelas membuat kekeliruan. Makna Jihad yang diambil dari ‘musuh’ Islam abad ke-14 itu sangatlah tidak representatif mengingat sifat dan tujuannya menjatuhkan.Ketiga, Paus telah menunjukkan superioritasnya (kehebatannya) dengan menginferiorkan (menjatuhkan) pihak lain. Dengan memandang kembali konteks Kaisar Manuel II Palaeologus, berarti Paus mengulangi kembali superioritas yang pernah ditunjukkan kaisar itu.Namun, di atas segalanya, sekali lagi penulis mendukung kebijakan Paus dengan meminta maaf kepada umat Islam.
Any Rufaidah, Mahasiswa Psikologi, aktif di unit pers mahasiswa Inovasi UIN Malang.
Syir’ah 58/V/Oktober 2006. Beredar Senin, 9 Oktober 2006
Meski telah meminta maaf, Paus Benediktus XVI masih menuai kecaman. Apa kekeliruan pimpinan tertinggi Katolik ini?
Hampir saja dunia digemparkan oleh permusuhan antara dua pemeluk agama yang sama besarnya. Seandainya permusuhan itu benar-benar terjadi, tidak terbayangkan betapa hidup ini tidak akan tenang. Untunglah ketegangan bisa cepat dicairkan dengan permintaan maaf dan himbauan tenang dari para kepala negara dan pemuka agama.
Paus Benediktus XVI telah meminta maaf kepada seluruh Muslim dunia atas salah satu ucapan yang sempat dilontarkan pada kuliah umum di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman pada Selasa (12/9) lalu. KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU menganggap masalah ini sudah berakhir dengan permintaan maaf Paus. Sebagai upaya menghindari permusuhan antar umat beragama, penulis mendukung kebijaksanaan Paus. Namun, sebagai seorang yang tertunjuk atas pidato Paus, penulis merasa perlu untuk menyampaikan beberapa kejanggalan yang juga harus diselesaikan.Pertama, dari sekian banyak pernyataan tokoh, pemimpin, ilmuwan yang bisa dikutip, Paus memilih mengutip pernyataan Kaisar Bizantium, Manuel II Palaeologus. Untuk memahami latar belakang pernyataan tersebut, sebaiknya terlebih dahulu melihat konteksnya. Pada saat Manuel II Palaeologus berkuasa (1391-1425 M), Bizantium sudah berada di ambang kehancuran sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad.Dalam kondisi perang, tentu saja keberadaan pedang (senjata) sangat wajar, bahkan menjadi keharusan untuk merebut atau pun mempertahankan kekuasaan. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan sentimentil dari Islam maupun Kristen ortodoks yang berperang. Dalam perang, pernyataan yang ditujukan pada Islam tersebut kemungkinan besar adalah pernyataan sentimentil dengan tujuan menjatuhkan.Tampaknya Benediktus XVI tidak meng-cross check pada kondisi apa pernyataan itu dikeluarkan. Kutipan yang dipilihnya jelas tidak menyeluruh sesuai konteks waktu itu. Dengan begitu Paus telah mengambil pernyataan sepihak tanpa mempertimbangkan pihak lain.Kedua, Paus mencoba memaknai jihad bukan dari perspektif muslim sendiri. Di kalangan muslim, makna Jihad sangat beraneka ragam sesuai dengan corak berpikir masing-masing kelompok. Dengan mencoba memaknai Jihad dengan mengutip pernyataan Kaisar Manuel II Palaelogus, Paus jelas membuat kekeliruan. Makna Jihad yang diambil dari ‘musuh’ Islam abad ke-14 itu sangatlah tidak representatif mengingat sifat dan tujuannya menjatuhkan.Ketiga, Paus telah menunjukkan superioritasnya (kehebatannya) dengan menginferiorkan (menjatuhkan) pihak lain. Dengan memandang kembali konteks Kaisar Manuel II Palaeologus, berarti Paus mengulangi kembali superioritas yang pernah ditunjukkan kaisar itu.Namun, di atas segalanya, sekali lagi penulis mendukung kebijakan Paus dengan meminta maaf kepada umat Islam.
Any Rufaidah, Mahasiswa Psikologi, aktif di unit pers mahasiswa Inovasi UIN Malang.
Syir’ah 58/V/Oktober 2006. Beredar Senin, 9 Oktober 2006
No comments:
Post a Comment