2.26.2008

Mengutip Teks, Mengabaikan Konteks

Oleh: Any Rufaidah

Meski telah meminta maaf, Paus Benediktus XVI masih menuai kecaman. Apa kekeliruan pimpinan tertinggi Katolik ini?

Hampir saja dunia digemparkan oleh permusuhan antara dua pemeluk agama yang sama besarnya. Sean­dainya permusuhan itu benar-benar terjadi, tidak terbayangkan betapa hidup ini tidak akan tenang. Untunglah ketegangan bisa cepat dicairkan dengan permintaan maaf dan him­bauan tenang dari para kepala negara dan pemuka agama.

Paus Benediktus XVI telah meminta maaf kepada seluruh Muslim dunia atas salah satu ucapan yang sempat dilontarkan pada kuliah umum di Aula Magna Universitas Regensburg, Jerman pada Selasa (12/9) lalu. KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU menganggap masalah ini sudah berakhir dengan permintaan maaf Paus. Sebagai upaya menghindari per­musuhan antar umat beragama, penulis men­dukung kebijaksanaan Paus. Namun, sebagai seorang yang tertunjuk atas pidato Paus, penu­lis merasa perlu untuk menyampaikan bebe­rapa kejanggalan yang juga harus diselesaikan.Pertama, dari sekian banyak pernyataan tokoh, pemimpin, ilmuwan yang bisa dikutip, Paus memilih mengutip pernyataan Kaisar Bizantium, Manuel II Palaeologus. Untuk me­mahami latar belakang pernyataan tersebut, sebaiknya terlebih dahulu melihat konteksnya. Pada saat Manuel II Palaeologus berkuasa (1391-1425 M), Bizantium sudah berada di ambang kehancuran sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad.Dalam kondisi perang, tentu saja ke­beradaan pedang (senjata) sangat wajar, bah­kan menjadi keharusan untuk merebut atau pun mempertahankan kekuasaan. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan sentimentil dari Islam maupun Kristen ortodoks yang berperang. Dalam perang, pernyataan yang ditujukan pada Islam tersebut kemungkinan besar adalah pernyataan sentimentil dengan tujuan menjatuhkan.Tampaknya Benediktus XVI tidak meng-cross check pada kondisi apa pernyataan itu dikeluarkan. Kutipan yang dipilihnya jelas tidak menyeluruh sesuai konteks waktu itu. Dengan begitu Paus telah mengambil per­nyataan sepihak tanpa mempertimbangkan pihak lain.Kedua, Paus mencoba memaknai jihad bukan dari perspektif muslim sendiri. Di kalangan muslim, makna Jihad sangat ber­aneka ragam sesuai dengan corak berpikir masing-masing kelompok. Dengan mencoba memaknai Jihad dengan mengutip per­nyataan Kaisar Manuel II Palaelogus, Paus jelas membuat kekeliruan. Makna Jihad yang diambil dari ‘musuh’ Islam abad ke-14 itu sangatlah tidak representatif mengingat sifat dan tujuannya menjatuhkan.Ketiga, Paus telah menunjukkan superi­oritasnya (kehebatannya) dengan mengin­feriorkan (menjatuhkan) pihak lain. Dengan memandang kembali konteks Kaisar Manuel II Palaeologus, berarti Paus mengulangi kembali superioritas yang pernah ditunjuk­kan kaisar itu.Namun, di atas segalanya, sekali lagi penulis mendukung kebijakan Paus dengan meminta maaf kepada umat Islam.

Any Rufaidah, Mahasiswa Psikologi, aktif di unit pers mahasiswa Inovasi UIN Malang.
Syir’ah 58/V/Oktober 2006. Beredar Senin, 9 Oktober 2006

No comments: