4.19.2008

Kotak Telpon

Cerpen: Any Rufaidah

“Bagaimana kabarmu?
“Baik. Kamu sendiri?”
“Aku juga baik. Ga, aku mau ngomong sesuatu.”
Hatiku berdetak semakin kencang. Sejak tangan menari-nari di atas angka-angka telpon, sebenarnya hatiku sudah berdetak kencang. Tapi kali ini lebih kencang.
Kupersiapkan diri, menata emosi, menghela napas panjang dan mengeluarkannya dari mulut yang kukerucutkan.
“Sepertinya hatiku memilihmu.”
“Memilih bagaimana?”
Aku yakin sebenarnya kau sudah tahu maksudku Dirga. Kau hanya pura-pura.
“Aku suka sama kamu.”
“O…gitu. Ya nggak apa-apa.”
Kenapa kau masih pura-pura Dirga. Kuyakin kau tahu bukan itu jawaban yang kuinginkan. Kau tahu pasti kata-kata yang kuharap.
“Aku hargai perasaanmu.”
Singkat sekali kalimat itu. Hanya tiga kata. Ya…aku tahu kau laki-laki yang menghargai orang lain. Tapi kali ini kau pula harus mengerti. Tidak cukup hanya menghargai.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
Aaaah…. Baru empat menit aku bicara denganmu Ga. Tapi kau sudah membuatku tak punya kata-kata. Tak kutemukan lagi sisa kata-kata. Kau membuatku buntu Ga. Tak tahu lah aku. Bukan aku gampang menyerah, tapi kata “lalu” adalah kata terakhirku. "Kurasa kau memang tak mau tahu walau kau bukan tak tahu."

Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Emosiku tak terkendali. Kuletakkan gagang telpon dengan setengah membanting. Lalu aku berjalan cepat meninggalkan fasilitas komunikasi itu. Di dadaku seperti ada gumpalan yang siap meledak. Gumpalan itu semakin lama semakin membesar. Bagai bola salju yang menggelinding. Hatiku ingin segera memuntahkan umpatan-umpatan dan kulemparkan muntah itu ke muka Dirga. “Aku benci atas kepura-puraanmu Dirga. Kau bilang kau menghargai, tapi kau tak mau mengerti. Kali ini otakmu benar-benar lucu. Tak seperti wajahmu yang selalu kau tampakkan bijaksana.” Aku tertawa kecut mencibirnya.

Kendali kebencian tak membuat kakiku lelah. Langkahku makin cepat. Menembus jalan gelap yang biasanya tak berani kulewati sendiri. Kali ini tak kurasakan secuil takut pun. Rasa takut tertutupi kebencian.

Tak terasa lebih cepat kulalui jalan kostan. Aku tiba di depan rumah tingkat berdinding kuning muda itu. Kupelankan kaki. Kulihat gerbang masih terbuka. Berarti jam malam belum saatnya tiba. Berat rasanya langkah kakiku menuju gerbang itu. Aku masih ingin meluapkan kebencian yang tek segera mereda. Mungkin siraman cahaya bulan mampu mencairkan gumpalan bola salju di dadaku. Mungkin tiupan angin malam mampu menyapu sisa-sisa kotoran yang melekat di hatiku. Aku masih ingin menghabiskan jatah jam malam.

***
Kuambil jalur lurus berlalu dari kost. Aku berharap pada sabit bercahaya, pada hembusan yang tak bosan berkelana mau membantu mengatasi kegalauan jiwa ini. Kuharap sinarnya mampu memadamkan bara panas dalam hati. Kuharap sentuhannya menghadirkan kedamaian. Sesekali kutarik leherku. Berharap sabit bercahaya menyalurkan terang. Kunikmati belaian hembusan yang tak bosan berkelana dalam-dalam.

Rasanya cukup jauh aku berjalan. Langkahku mulai pelan. Badanku mulai menggigil. Dan perlahan hatiku mulai stabil. Mungkin sabit bercahaya dan hembusan yang tak bosan berkelana telah menyelesaikan tugasnya menundukkan emosiku. “Mungkin jatah jam malamku sebentar lagi tiba.” Segera saja kuputuskan memutar badan. Kuambil jalur yang kulalui tadi dengan sedikit memaksa kaki yang sudah kelelahan.

Kawan-kawan kostku sudah masuk ruang peraduan mereka masing-masing. Sebagian lampu mereka sudah padam. Aku pun langsung menuju peraduan. Membaringkan tubuh. Merelaksasi otot-otot organ badan. Belum sempat kutanggalkan baju tebal yang menghalau ngilu di kulit, mataku sudah tak tahan menolak kedatangan dewi penimang. Mataku terpejam tak lama kemudian. Semua menjadi padam. Semua beban terlupakan. Ringan sekali rasanya. Andai saja hidup ini seringan pertama kali mata terpejam di tengah belaian dewi penimang.

***
“Dirga, kau kah itu?” Kuterkejut melihat sosok yang terlanjur lekat di hatiku itu. Ia berdiri di bibir pintu kostanku. Penampilannya rapi. Lebih rapi dari biasanya. Tetapi tetap ia tak meninggalkan ciri khasnya. Jaket coklat kopi susu itu memang yang paling sering ia kenakan. Wajahnya kali ini lebih cemerlang, walaupun rambutnya tak berubah. Tetap cepak, tetap sedikit bergelombang. Tapi bukan itu yang membuatnya memukau. Aku tetap menyukai perilakunya yang bijaksana. Gaya bicaranya yang bersahaja. Usahanya yang selalu tekun. Setiap kali ia beraktualisasi dalam lembar-lembar digital, tak satu hal pun ia gubris. Otaknya begitu kaya. Tak pernah habis stok ide yang tertimbun di dalamnya. Tuhan…ia begitu sempurna.
“Sama siapa kamu ke sini?”
“Sendiri. Kamu ada acara?”
“Nggak. Ada apa?”
“Mau keluar?”
“Ke mana?”
“Jalan-jalan.”
“Ke mana dulu?”
aku mencoba terus menyelidik, walau kemana pun tak penting bagiku. Jangankan jalan-jalan, bertemu saja sudah senang minta ampun.
“Jalan-jalan?”
“Aku ganti baju dulu.”

***
Jalanan kota ini memang selalu padat. Tapi Dirga memilih jalur yang lebih sepi. Kontrol gas motornya cukup pelan. Seperti biasanya ia tak berbasa-basi. Kalimat-kalimatnya singkat dan padat. Mungkin karena ia terbiasa menelan sebagian besar waktu untuk menata kata-kata.
“Yu’, aku suka sama kamu.”
“Kamu serius? Ga?”
“Ya…kapan kau pernah lihat aku tak serius?”
Kepalaku tertunduk seraya menebar senyum.

“Sialan!!!”
belum puas aku menikmati rasa senangku, HP ku berbunyi. Aku terbangun. Badanku langsung bangkit. “Kenapa tak kumatikan HP itu agar tak menggangguku.” Kurebahkan lagi badanku sambil membaca satu pesan yang muncul di layar itu. Dari teman lama. Seperti biasa, ia hanya mengucapkan selamat malam dan tanya kabar. Aku kesal. pesan itu benar-benar tak penting. Kumelemparnya di atas tempat tidur setelah kutulis pesan singkat seadanya.

Pikiranku segera teralih ke mimpi yang baru saja kulalui. Pikiranku berkelana mencari jawaban kebenaran. Aaaahh…aku tak tahu apa maknanya. Tapi bukankah Freud menyatakan bahwa mimpi adalah kedok harapan-harapan. Kupejamkan mata. Mungkin Freud benar. Mimpi itu kedok harapanku pada Dirga. Aku sangat mengharapkannya. Aku ingin mempelajari kebijaksanaannya. Perilakunya yang bersahaja. Ketekunan usahanya. Aku ingin menyerap ilmu dari kecemerlangan otaknya. Dirga…Dirga. Sepanjang sisa malam itu pikiranku memujinya. Benar-benar tak bisa aku mengabaikannya begitu saja. Aku harus berusaha terus mendekatinya.

Tak terasa mataku terpejam lagi hingga suara bedug keluar dari rahim fajar. Aliran air kamar mandi mulai terdengar. Kawan-kawanku mulai berjajar menunggu giliran. Aku memang selalu terakhir. Lebih baik aku tak terburu-buru mengejar sujud, daripada harus berjajar di depan kamar mandi. Toh Tuhan tak akan lari kukejar. Bunyi air mulai sepi. Sambil menahan hembusan angis pagi, kubuka pintu kamar dan kupaksa kaki keluar. Kukucurkan air ke tubuh yang sebenarnya tak mampu menahan tusukan dingin. Kubasuh muka hingga kaki untuk mendapatkan kesucian sebelum menghadap Ilahi. Lalu kumulai hariku seperti biasanya. Kusabet bacaan-bacaan ringan yang belum kutuntaskan kemarin. Hampir tiap hari kubuka hariku dengan kumpulan-kumpulan kertas agar otakku terangsang. “Tapi…, sial.” Kali ini otakku tak terarah. Bukannya ia memproduksi ide-ide kreatif, tetapi memilih berlari ke sosok Dirga. Otakku seakan memerintah tangan memungut HP untuk menyapanya di pagi hari. Memang…hatiku ragu, tapi kulakukan juga perintah itu.
“Selamat pagi. Semoga pagi ini menjadi awal memperbaiki diri.”
Aaaahh…begitulah gayaku. Aku tak tahu apa makna kalimat itu. Kadang aku berlagak bijaksana, tapi tak tahu makna. Tapi biarlah. Yang penting maksudku baik.

Suara HP tak terdengar lagi. Ia masih bungkam. Seharusnya aku menyudahi, tapi selalu tak berhasil. Hatiku masih ingin menyapanya. Kukirim lagi pesan singkat dengan bahasa-bahasa yang kurasa tertata. 2x, 3x. tak ada balasan sama sekali. Sepanjang hari itu memang membosankan. Aku hanya terkurung dalam ruang sewaan sempit itu, memperhatikan layar HP murahan milikku. Berharap ada balasan. Aku benci suasana seperti itu.

Aaahh…mungkin tidur dapat meringankan. Kugunakan waktu yang tak tepat itu untuk melupakan ingatan-ingatan pada Dirga. Tapi dewi penimang tak kunjung datang. Berkali-kali kumemanggilnya. Ia masih menolak. Badanku pun terus berontak setiap kuposisikan. Seakan tak ada satu pun tempat yang nyaman. Kucoba semua posisi hingga benar-benar tak kudapati.

Hatiku memaksa bangkit. Memaksa kaki melangkah. Memaksa mulut bicara.
“Tidak! Aku tak boleh menelponnya lagi.”
“Lalu bagaimana kau dapat jawaban?” Suara itu muncul dari dalam diri. Seperti menjadi lawan atas bagian lain di hati.
“Telpon lah sekarang!”
“Tidak!!! Pesan-pesan yang kulayangkan sudah cukup. Aku tak boleh menelponnya. Jika mau, ia pasti membalas pesanku.”
“Tapi sampai kapan kau mau menunggu. Mungkin pulsanya habis. Mungkin ia masih tidur. Telponlah sekarang juga.”
“Betul juga. Mungkin pulsanya habis. Jadi nggak bisa membalas pesanku. Aku mau telpon aja.”

Dengan cepat kusambar dompet yang tergeletak di rak buku. Kumelangkah setengah berlari ke kotak telpon yang semalam kugunakan. Seperti tadi malam, hatiku berdetak kencang saat jari-jariku menari di atas angka telpon. Dan semakin kencang saat plastik yang kupegang menempel di telinga. 4x deringan, suaranya menyapa…
“Hallo”
“Ga, ini Ayu.”
“Ya…ada apa?”
“Bagaimana komentarmu Ga?”
“Komentar atas apa?”
“Atas apa yang kusampaikan tadi malam.”
Kuharap Dirga tak bertanya “apa” kali ini. Semua sudah cukup jelas. “Kau tak boleh bertanya apa-apa Ga. Jawab saja pertanyaan itu.”
“Yu’, kamu terlalu terburu-buru. Biarlah waktu yang menjawabnya. Saat ini aku sedang banyak pikiran.” Tiba-tiba seperti ada silet tajam yang menyayat-nyayat hatiku. Dia bilang aku terburu-buru.
“Baik Ga. Terima kasih.”
Kuletakkan gagang telpon dengan pelan. Bukan karena aku tak marah, tapi karena seluruh otot badanku tiba-tiba lemas. Kutempelkan kening di kotak besi itu. Dan berkali-kali kulemparkan telapak tanganku ke kotak plastik berwarna biru itu.

“Kenapa kau berkata seperti itu Dirga. Kau sebut aku terburu-buru. Oooh…benar kaukah yang bicara itu?” Hatiku berontak. “Lalu apa arti ajakan untuk menemanimu sepanjang hari itu? Kau minta aku duduk di sofa tepat di kananmu. Berbincang-bincang tentang apa saja yang membuatmu senang. Lalu apa makna gerak halus jari-jari yang kau gunakan menarik tali tasku? Aku tahu betul apa maknanya. Sesungguhnya kau ingin mengajak tanganku mengikuti ayunanmu. Aku tahu betul Dirga. Jika kau tuduh aku terburu-buru, kenapa kau biarkan waktu yang biasa kau habiskan bersama lembar-lembar digital hilang untukku? Kenapa kau izinkan matamu sering mengungkapkan sebuah bahasa yang nyata-nyata menyimpan makna? Kenapa kau biarkan kata-kata yang kutahu tak biasa keluar dari mulutmu mengalun begitu saja? Dirga…aku tak percaya itu dirimu. Kau orang yang kukenal konsisten. Kenapa kau balikkan semua dengan mudahnya. Jujur aku tak terima Dirga.”

Keningku masih menempel di kotak besi yang terlihat lapuk itu. Sayatan-sayatan di hati juga masih jelas terasa. Hatiku hancur lebur. Lalu kusandarkan kepalaku ke dinding kotak. Kutengadahkan kepala melihat langit-langitnya. “Dirga…aku tak terima.”

“Ayu!!!” Suara itu menyadarkanku. “Ngapain kamu di sini?”
“Ya telpon lah. Masak beli baju di sini?”
“Kenapa mukamu sedih begitu?”
Rupanya Soleh menangkap bahasa wajahku. Ia memang cowok super perhatian. Aku satu organisasi dengannya, jadi tahu betul karakternya.
“Cerita Yu’. Mungkin aku bisa membantu.” Aku diam.
“Mungkin kamu benar Leh. Sebaiknya ada yang mendengarku. Lalu kugiring Soleh membungkukkan badannya. Duduk di lantai persegi kotak telpon itu. Ia duduk mengikutiku. Menatap lekat menunggu bibirku terbuka. Ia laki-laki sabar. Tak satu kata pun ia keluarkan sampai aku menyuruhnya bicara.

“Yu’…bukankah kamu hanya ingin mempelajari kebijaksanaannya? Perilakunya yang bersahaja? Ketekunan usahanya? Dan menyerap ilmunya?”
Aku mengangguk pelan.
“Lalu kenapa kau memaksa memilikinya?”
Hatiku terperanjat. Spontan mataku tersorot ke arahnya.
“Bukankah tanpa harus memiliki, kau bisa dapatkan semuanya?”
“Leh…dari mana kau dapatkan kata-kata bijak itu?”
“Aku baru saja memungutnya di jalanan.”
Aku dan Soleh tersenyum bersama.
“Tapi aku tetap tak terima Leh. Masak dia bilang aku terburu-buru?”
“Yu’…mungkin dia benar. Kamu memang terburu-buru.”
“Leh…aku bisa menangkap bahasa tubuhnya. Bagaimana dia menatapku. Bagaimana rangkaian kata-katanya. Bagaimana tarian jari-jarinya. Aku bisa menangkapnya dengan jelas.”
Soleh tampak kesulitan menanggapinya. Ia menghela napas. “Yu’…kau boleh nggak terima. Tapi bukankah itu bukan intinya? Mungkin kemarin dia memang suka. Tapi sekarang berubah. Dia punya penilaian Yu’.”
“Lalu…aku harus bagaimana Leh?”
“Bukankah kalimatku tadi sudah jelas Yu’”
“Kamu tetap bisa menyerap apa yang dimilikinya tanpa harus merebut tubuhnya.”
Helaan napasku mengakhiri kalimat itu. Kusungkurkan kepalaku di atas lipatan lutut.
“Iya…Leh. Terima kasih.” Kuucapkan kalimat itu pada posisi yang sama. Kotak telpon yang sama.

Kediri, 26 Juni 2007. 18.44

Represi Kata

Any Rufaidah

Di awal tulisan ini, saya mengatakan bahwa tulisan ini adalah tulisan asumsi. Ide yang tertuang di dalamya masih sangat perlu diragukan atau bahkan diabaikan begitu saja. Dikatakan demikian, karena penelusuran bukti-bukti sejarah maupun literer yang mendukung ide ini tidak mungkin dilakukan dengan cepat. Sementara keinginan untuk segera menuangkan ide ke dalam tulisan cukup besar. Maka hadirlah tulisan asumtif ini.

***
Kata jangkrik, jamput, jancik, adalah kata-kata “kotor” yang sering terdengar dalam pergaulan sehari-hari. Meskipun tidak pernah mengucapkannya sendiri, kata ini sering berkeliweran di telinga, terlebih dalam masyarakat Jawa Timur. Dari mana asal kata ini? Itulah yang menyebabkan saya mengatakan bahwa tulisan ini hanya asumsi. Saya berasumsi bahwa ketiga kata di atas berasal dari kata aslinya, yaitu jancuk. Asumsi ini dibangun berdasarkan kesamaan bunyi, bahkan awalan yang sama. Jika asumsi ini benar, pertanyaan dasarnya adalah, mengapa orang memelesetkan kata jancuk menjadi jangkrik, jamput, atau jancik?

Di sini kita akan mencoba menjawabnya dengan analisis teori psikoanalisis yang dibawa Sigmund Freud. Dalam pandangan Freud, manusia memiliki tiga struktur; id, ego, dan superego. Id adalah keinginan-keinginan tak sadar manusia. Id berisi keinginan yang secara moral-sosial bertentangan dan hal-hal yang menyakitkan. Superego adalah keinginan-keinginan yang bersifat moralitas, seperti norma, ajaran agama, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan ego adalah “negosiator” antara id dan superego. Jika kondisi riil tidak memungkinkan penyaluran id, maka ego mencari jalan keluar kapan dan bagaimana id boleh keluar. Misalnya; dalam bentuk mimpi, kesalahan-kesalahan tak disengaja, atau kelainan psikotik.

Plesetan jancuk menjadi jangkrik, jamput, atau jancik adalah hal yang bisa dijelaskan dengan teori di atas. Masyarakat kita tidak menghendaki kata-kata kotor disampaikan di muka umum. Sementara banyak orang ingin mengucapkannya, sebagai ekspresi kemarahan atau sekedar sebagai gurauan. Di sini terjadi konflik antara id dan superego. Keinginan id sebenarnya menghendaki untuk mengucapkan kata jancuk, namun maknanya yang kotor dan kasar tidak memungkinkan pengucapan tersebut. Ego kemudian mencari jalan keluar bagaimana Id tetap bisa keluar dan superego tidak terganggu secara penuh. Maka, terbentuklah kata jangkrik, jamput, atau jancik. Dengan mengucapkan kata-kata ini, kita tidak terlalu merasa bersalah kepada nilai-nilai masyarakat, sementara keinginan kita untuk meluapkannya tetap tersalurkan.

***
Sekali lagi, tulisan ini adalah tulisan asumsi. Jika ingin mengetahui “kecocokannya”, untuk sementara kita bisa bertanya pada diri kita.

Salam Freudian