10.05.2009

Ruang Lingkup Psikologi

Tulisan ini adalah tulisan kedua yang membahas seputar psikologi dari yang paling dasar. Jika di tulisan pertama saya menulis definisi psikologi, maka di tulisan kedua ini saya menulis tentang ruang lingkup psikologi. Bacaan bahasan ini adalah Pengantar Psikologi (jilid I edisi ke-11) Rita L. Atkinson dkk. Dalam buku tersebut, Atkinson tidak langsung menyebutkan apa saja yang dipelajari psikologi, tetapi ia memberi contoh untuk ditangkap sendiri oleh pembaca. Berikut saya kutip secara lengkap contoh-contoh tersebut:

1.Hidup dengan otak yang terbelah. Otak manusia dibagi menjadi hemisfer kiri dan kanan. Dalam keadaan normal, kedua hemisfer itu berhubungan satu sama lain melalui serabut-serabut syaraf. Tetapi sebagian orang yang menderita epilepsi parah menjalani pemutusan serabut-serabut tersebut secara bedah dan hidup dengan otak yang terbelah (pemisahan ini mencegah kejang yang berasal di salah satu hemisfer ke hemisfer lain). Interaksi kasual (sepintas) dengan orang lain tidak menyatakan sesuatu yang tidak lazim. Tetapi eksperimen psikologi sekarang menunjukkan bahwa orang dengan otak terbelah bisa memiliki persepsi dan pengalaman sadar yang tidak lazim, dan eksperimen tersebut menjelaskan banyak hal tentang kesadaran normal.

2.Ketakutan terkondisi (terbiasakan). Seekor tikus diletakkan di ruang tertutup dan secara berkala dihubungkan dengan kejutan listrik ringan melalui lanta. Tepat sebelum kejutan listrik terjadi, terdengar suatu bunyi nada. Setelah nada dan kejutan diberikan beberapa kali, bunyi nada saja akan menghasilkan reaksi yang menyatakan rasa takut, termasuk meringkuk dan defekasi. Hewan itu dikatakan mengalami suatu ketakutan terkondisi terhadap apa yang sebelumnya merupakan stimulus tak berbahaya (bunyi nada).
Banyak rasa takut yang dialami oleh manusia mungkin dipelajari dengan cara ini, terutama pada masa anak-anak dini. Bayangkan seorang anak kecil yang mengalami penyiksaan fisik atau emosional oleh kerabat tertentunya. Setelah sejumlah pengalaman menyakitkan, semata-mata mendengar suara kerabatnya itu dapat menimbulkan reaksi ketakutan pada anak. Ketakutan itu, yang dipelajari dengan sedikit pikiran atau kesadaran, sulit untuk dilawan dengan penenangan verbal (misalnya: “Tidak ada yang perlu ditakuti lagi sekarang”). Tetapi rasa takut dapat dikurangi dengan suatu bentuk terapi yang didasarkan pada prinsip pengkondisian (pembiasaan).

3.Amnesia masa anak-anak. Sebagian besar orang dewasa, bahkan yang telah lanjut usia, dapat mengingat peristiwa pada masa kecilnya, tetapi hanya sampai tingkat tertentu. Hampir tidak ada orang yang dapat mengingat peristiwa yang terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupannya. Ambil contoh peristiwa penting seperti kelahiran adik. Jika kelahiran itu terjadi setelah anak berusia 3 tahun, ia mungkin memilikii suatu kenangan akan peristiwa tersebut. Jumlah yang dapat diingat semakin banyak lagi jika usia anak saat kelahiran itu lebih tua. Tetapi jika kelahiran adik terjadi sebelum usia 3 tahun, sebagian besar orang tidak dapat mengingat kejadian tentang peristiwa itu.
Fenomena ini, yang ditemukan oleh Sigmund Freud, dinamakan amnesia masa anak-anak (childhood amnesia). Hal ini sangat mengejutkan, karena tiga tahun pertama itu adalah tahun-tahun yang sangat kaya akan pengalaman. Sangat banyak hal baru yang tidak terjadi lagi: kita berkembang dari neonatus yang tidak berdaya menjadi bayi yang mulai merangkak dan berceloteh dan menjadi anak yang belajar berjalan dan bicara. Tetapi transisi yang luar biasa itu hanya meninggalkan sedikit jejak dalam kenangan kita.

4.Obesitas. Secara kasar diperkirakan 35 juta orang Amerika mengalami obesitas (kegemukan), yang secara teknik berarti mereka memiliki berat badan 30 persen atau lebih dari berat badan yang sesuai untuk struktur dan tinggi badannya. Obesitas menyebabkan meningkatnya insidensi diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Di ujung spektrum lainnya, sebagian individu (terutama wanita muda) menderita anoreksia nervosa, suatu gangguan di mana penderita membatasi makannya. Kadang-kadang sampai menimbulkan kelaparan bagi dirinya sendiri. Anoreksia dapat menyebabkan kematian.
Para ahli psikologi tertarik untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan orang makan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Salah satu faktor tampaknya adalah riwayat kelaparan. Jika tikus pertama kali tidak diberi makanan, kemudian dibiarkan makan sebanyak mungkin, mereka makan lebih banyak dibandingkan tikus lain yang tidak memiliki riwayat kelaparan. Pada kasus ini, kelaparan sebelumnya menyebabkan makan berlebih selanjutnya. Ini dapat menjelaskan mengapa banyak kasus anoreksia secara paradoksikal mencatat pesta makan juga: kelaparan yang diperlukan untuk tetap kurus akhirnya menyebabkan makan berlebihan.

5.Ekspresi agresi. Banyak orang sekarang percaya bahwa mereka dapat menurunkan perasaan agresif mereka dengan mengekspresikannya secara langsung atau seakan-akan dialami oleh orang lain. Untuk mempelajari ekspresi agresi yang seolah-olah dialami oleh orang lain, para peneliti mengamati anak-anak yang sedang menonton televisi. Di dalam suatu penelitian, salah satu kelompok anak menonton film kartun yang penuh kekerasan, sedangkan kelompok lain menonton film kartun yang tanpa kekerasan, dengan jumlah jam tayang yang sama. Anak yang menonton film kartun dengan kekerasan menjadi lebih agresif dalam interaksinya dengan teman sebayanya, sedangkan anak yang menonton film kartun tanpa kekerasan tidak menunjukkan perubahan agresi. Selain itu, efek kekerasan pada televisi tersebut dapat bertahan lama: semakin banyak tayangan kekerasan dalam televisi yang ditonton oleh anak usia 9 tahun, semakin besar kemungkinan dirinya menjadi agresif pada usia 19.
(Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi (jilid 1 edisi ke-11), terj. Widjaja Kusuma (Batam: Interaksara, tanpa tahun), hlm. 15-19)

Dari kelima contoh di atas, bisa ditangkap bahwa yang dipelajari oleh psikologi adalah perilaku manusia. Cakupan ini sangat luas. Atkinson dkk mengakui hal ini. Dalam diskusi kelas akhir-akhir ini, saya sering mendengar bahwa kini psikologi semakin bisa diterapkan di semua aspek. Ungkapan yang lain adalah, “Psikologi tidak boleh dianggap sebagai ilmu yang sempit, karena psikologi bisa masuk di mana saja.” Kurang lebih alasannya adalah: karena di mana pun manusia berperilaku. Untuk mempelajari perilaku tersebut, psikologi mempelajari pula ilmu fisiologi (terutama terlihat pada contoh 1).

Pertanyaan besar yang menjadi semangat dalam psikologi adalah: “Mengapa orang berperilaku demikian?” Bagi orang yang belajar psikologi saat ini, mereka sudah memiliki alat analisis, yaitu aliran-aliran/perspektif-perspektif dalam psikologi itu sendiri.

Any Rufaidah, Depok, 3 Oktober 2009



Psikologi


Saya sebut tulisan ini dan tulisan-tulisan berikutnya yang terkait psikologi sebagai tulisan seri psikologi. Tulisan ini sengaja saya buat untuk me-refresh pelajaran psikologi. Saya memulai dengan pengertian psikologi.Banyak orang yang menyebut psikologi sebagai ilmu jiwa. Pengertian ini muncul dari arti harfiah psikologi itu sendiri: psyche dan logos. Dalam bahasa Inggris, psyche berarti soul, mind, atau spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata itu dapat dicakup dalam satu kata: jiwa (Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 4). Sedangkan pengertian logos kiranya sudah sangat dipahami. Dari arti harfiah tersebut psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa.


Di Indonesia, pengertian ini diperdebatkan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan. Pertama, karena persoalan semantik. Jiwa sulit dipisahkan dari kata-kata lain yang mirip, misalnya, nyawa, sukma, batin, dan roh. Akan ada perdebatan terus-menerus jika psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa. Kedua, karena persoalan scientific. Dalam kajian Sarlito W. Sarwono, sejak psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan, yang terpisah dari filsafat (sejak 1879), muncul kesulitan. Pasalnya, objek ilmu pengetahuan harus nyata. Sementara untuk membuktikan adanya jiwa sebagai sesuatu yang nyata adalah tidak mungkin. Tuntutan scientific membuat para sarjana psikologi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang sama dengan karakterologi (ilmu tentang karakter) atau tipologi (ilmu tentang berbagai tipe atau jenis manusia berdasarkan karakternya) (Ibid., hlm. 5).

Pengertian lain mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan (ekspresi kejiwaan) yang tampak melalui raga atau badan. Masalah yang muncul dari definisi adalah: ekspresi yang ditampakkan seseorang tidak selalu menjadi representasi apa yang dirasakan. Dalam istilah sehari-hari kita mengenal tangis bahagia. Itulah contohnya. Artinya, menangis tidak selalu menunjukkan kesedihan. Namun, dalam kajian Sarlito, definisi di atas mendapat pembenaran: Toh kita bisa membedakan mana tangis bahagia, senyum malu, dan senyum ramah. Ekpresi-ekspresi itu akan dapat dipahami karena kita tidak melihat seseorang dari ekspresi yang tampak semata, melainkan dari seluruh tingkah laku seseorang. Berdasarkan argumentasi ini psikologi mendapat definisi yang baru: ilmu tentang tingkah laku (Ibid., hlm. 6-7).

Pengertian ini yang tampaknya dipegang oleh para sarjana dan akademisi psikologi saat ini. General Psychology menulis: More recently, most psychology textbooks have come full circle, and now psychology is most typically defined as the science of behavior and mental processes (Frederick L. Coolidge, Psychology: A Paradigmatic Approach, Second Edition, (Massachusetts: Pearson Custom Publishing, Tanpa Tahun), hlm. 1). Pengertian terakhir mencantumkan proses mental sebagai objek kajian psikologi. Artinya, psikologi juga mempelajari ilmu faal.

Any Rufaidah, Depok, 27 September 2009