2.26.2008

Bagaimana Harus Bersikap?

Oleh Any Rufaidah

Bagaimana kita harus bersikap? Ya. Pertanyaan ini sering muncul dalam pikiran kita. Bahkan, sering mengganggu. Hanya saja, kita kerap tidak menyadari, sehingga ia seolah tak penting. Padahal, sebaliknya. Coba kita tengok pertanyaan-pertanyaan; bagaimana kita harus menyikapi modernisasi dan globalisasi, bagaimana kita harus menyikapi Islam “fundamental”, bagaimana harus menyikapi UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), bagaimana bersikap terhadap larangan aborsi, dan bagaimana harus menyikapi Islam aliran sesat. Itu hanya beberapa. Di luar itu, kita tak tahu berapa jumlahnya. Jika dalam sehari kita memiliki 3 pertanyaan seperti itu, berarti jumlahnya 3 x hari yang telah kita lalui dalam hidup. Luar biasa…biasa di luar.
Baik. Sekarang pertanyaannya, apa gunanya membahas pertanyaan itu? Ha…ha. Pertanyaan bagus.
Yakinlah! Pendahuluan di atas berguna. Berguna sebagai lambaran untuk membahas tema yang akan coba saya uraikan di sini. Ya. Saya menggunakan contoh-contoh di atas sebagai pintu masuk untuk mendiskusikan pertanyaan, bagaimana kita harus menyikapi idiom-idiom yang sengaja dilontarkan untuk “mendeskriditkan” perempuan. Mengapa perempuan? He..he. Karena saya bekerja untuk Komunitas Studi Gender (KSG) Averroes, yang walaupun bukan hanya membahas perempuan, tetapi untuk tahap awal ini lebih concern terhadap kajian perempuan. Bukan begitu? Begitu bukan.
Tak disangkal, semakin meluasnya gerakan gender/kajian perempuan telah merangsang timbulnya reaksi-reaksi tertentu. Serangan wacana (misalnya mengenai kasus-kasus rumah tangga yang dianggap sebagai akibat dari munculnya gerakan gender/kajian perempuan), sikap curiga terhadap perempuan (misalnya dalam politik). Dan respon yang tidak kalah santer adalah munculnya idiom-idiom yang sekali lagi, “mendeskriditkan” perempuan. Misalnya, kata perempuan diplesetkan menjadi per-empu’-an. Kata ini tentu membawa makna, seperti kata-kata lainnya. Kata empu’ dalam budaya Jawa memiliki konotasi negatif. Kurang lebih berdekatan dengan kata kasur. Kasur yang empu’. Begitulah.
Ketika muncul idiom-idiom seperti itu, sebagian perempuan yang memiliki konsentrasi pada gerakan gender/kajian perempuan menyikapinya dengan cara agresif. Bahasanya bernada tidak terima, kasar, dan seolah-olah ingin menyerang. Biasanya disertai apologi-apologi untuk mempertahankan diri. Sekarang kita bertanya lagi, apakah sikap atau respon seperti ini cukup tepat? Lho…mengapa justru muncul pertanyaan seperti itu? Apakah bukan berarti mengadili sikap orang atau kelompok tertentu? Tunggu dulu. Ini bukan mengadili, melainkan proses diskusi untuk menemukan sikap yang tepat. Karena kita tidak mungkin tidak bersikap. Kata orang, diam pun sikap.
Dalam hemat saya, sikap agresif terhadap plesetan-plesetan yang bertujuan “mendeskriditkan” perempuan sebenarnya kurang tepat. Kita cukup menyikapinya dengan santai. Mengapa demikian, bukankah kita harus membela diri dari hal-hal yang sifatnya mendeskriditkan? Dan bukankah kita harus mempertahankan identitas kita sebagai perempuan? Kita perlu menegaskan bahwa perempuan bukan manusia yang hanya berkonotasi empu’. Sekarang mari kita agak serius. Kita mulai ke-agak seriusan ini dengan mempertanyakan apa itu manusia? Banyak definisi tentang manusia. Ada yang dilihat dari biologi, psikologi, agama, habitat/populasi, dan lain sebagainya. Pada masing-masing perspektif, pengertian manusia diturunkan lagi dalam beberapa bagian. Banyak sekali. Tapi kita tidak akan mendiskusikan itu di sini. Selain karena jumlahnya yang amat banyak, juga karena tidak begitu relevan dengan tema yang ingin disampaikan. Untuk itu, saya akan langsung menuju pemikiran yang menjadi alasan mengapa sikap agresif terhadap idiom-idiom yang ditujukan untuk “mengolok-olok” perempuan dikatakan kurang tepat. Saya mendasari pernyataan ini dengan pemikiran Simone de Beauvoir yang berhasil dipresentasikan dengan renyah oleh Shirley Lie Menurut de Beauvoir, manusia adalah makhluk yang selalu “menjadi” (Shilrley Lie, Pembebasan Tubuh Perempuan (Grasindo: Jakarta, 2005), hlm. 9). Mereka tidak memiliki identitas pasti (certain definition). Saya sepakat dengan pemikiran ini karena ia paling dapat diterima saat ini. Arti dapat diterima bukan karena yang lain tidak dapat diterima, tetapi karena dapat dianalogikan secara jelas dengan realitas dan pengalaman yang “mungkin” pasti dialami setiap orang. Analoginya adalah, jika sekarang kita sedang berada dalam sebuah fase kehidupan tertentu, misalnya kuliah, apakah kita akan mengetahui apa yang terjadi satu atau dua tahun yang akan datang? Analogi lain adalah, sejak kecil kita bercita-cita menjadi polisi, apakah kita besok dapat memprediksi untuk menjadi polisi atau tidak? Tidak ada yang tahu. Dengan kata lain, setiap manusia selalu berproses dan terus berproses.
Jika analogi yang paling sederhana sudah tidak dapat kita ketahui dengan pasti, bagaimana dengan definisi tentang manusia? Lebih rumit dan akan lebih tidak terjawab. Satu contoh lagi. Sekarang kita adalah orang yang kasar dalam definisi kita, tetapi entah dua tahun lagi. Mungkin kita akan menjadi orang yang sangat halus. Artinya, meskipun itu karakter yang “katanya” sangat sulit diubah, pada kenyataannya bisa merubah dengan proses yang kita lalui. Begitu kira-kira menjelaskannya. Begitulah definisi manusia. Dan begitulah definisi perempuan yang saya sepakati.
Hubungannya dengan plesetan “per-empu’an”? Baik. Kita akan kembali ke situ. Seperti sempat disinggung sebelumnya, setiap kata menyimpan makna. Kata “per-empu’an” itu mau tidak mau ikut serta dalam membentuk definisi tentang perempuan. Tetapi, bukankah definisi itu tidak “pasti”? Oleh sebab itu, perempuan tidak perlu menyikapinya dengan sarkasme. Logikanya, untuk apa kita menyikapi sesuatu yang tidak jelas pada dirinya sendiri. Dan kita pun tidak memiliki definisi pasti yang dapat dipertentangkan/diperlawankan untuk meruntuhkan makna yang tersirat dalam idiom-idiom yang muncul. Anggap saja idiom-idiom itu sebagai bagian yang ikut serta membentuk definisi atas perempuan.
Begitulah kira-kira…..

Any Rufaidah, Sekretaris Komunitas
Studi Gender (KSG) Averroes

No comments: