1.29.2011

Aktivis


Pernah suatu ketika, saat berada di dalam angkutan kota bersama orang-orang yang pulang kerja, saya bertanya dalam hati, “Saya beraktivitas dengan jam yang sama dengan karyawan kantoran, tapi pekerjaan saya apa ya?” Jika orang-orang yang di angkot ditanya apa pekerjaannya, pasti dengan mudah mereka menjawabnya, tetapi tidak demikian dengan saya. Pernah dalam suatu perbincangan, seorang kawan bercerita anak temannya tidak bisa menjawab ketika ditanya apa pekerjaan ayahnya. Maklum, sang ayah kerja di Lembaga Swadaya Masyarakat.

Sebagian orang mungkin menyebut saya aktivis, meskipun kata itu masih agak berlebihan. Apa artinya aktivis? Dalam www.artikata.com, aktivis adalah 1. Orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya; 2. Seseorang yang menggerakkan (demonstrasi, dsb).

Secara bebas, aktivis adalah orang yang aktif merespon hal-hal yang tidak semestinya. Hal itu bisa merujuk pada sikap, tindakan, kebijakan, dan sejenisnya. Kedua, aktivis adalah orang yang memiliki kesadaran kritis, sadar akan adanya masalah dan mau bertindak untuk memperbaikinya.

Pikiran saya kemudian menuju pada orang-orang seangkot, “Bagaimana dengan saudara-saudara ini?”, Mereka disebut sesuai dengan profesinya. Mungkin bankir, karyawan, operator, dan sebagainya. Jika mereka tidak disebut aktivis, apakah berarti mereka pasif? Menurut saya, buktinya demikian. Ketika ada masalah di negeri ini, apakah mereka bersedia untuk ikut serta turun ke jalan pada jam istirahat atau hari libur kerja? Atau ikut bersuara dalam forum-forum masyarakat sipil? Nyatanya tidak demikian.

Pikiran saya kemudian melayang pada antrian orang-orang yang bekerja di sebuah halte busway Jakarta, seorang penumpang yang tampaknya pejabat penting sebuah perusahaan yang se-busway suatu ketika, dan orang-orang di resepsi pernikahan seorang staf departemen keuangan yang pernah saya hadiri. Mereka semua cukup secara material. Waktunya dihabiskan untuk mencari uang. Melihat rentetan pemandangan itu, saya pernah bertanya, “Jika sudah banyak uang, lalu mau apa? Banyak orang yang berduit kemudian merasa bingung di masa tuanya untuk apa uang itu. George Soros, misalnya, kemudian memilih mendanai yayasan untuk pembangunan masyarakat sipil, atau Angelina Jolie dan Brad Pitt yang menyumbangkan sebagian uangnya untuk anak-anak kurang beruntung.

Tulisan ini dibuat bukan untuk maksud mengejek yang bukan aktivis, tetapi untuk mengatakan bahwa tampaknya mencari uang saja tidak cukup. Kehidupan ini semakin semrawut. Tindakan orang-orang yang memerintah, ambil saja di Indonesia, tidak begitu baik. Tampaknya, jika kawan-kawan yang bukan aktivis ikut serta dalam kegiatan aktivisme, mungkin perubahan akan lebih cepat terjadi. Berkesadaran kritis sangat diperlukan di masa ini dan masa yang akan datang. Demikian.

Pasar Minggu, 30 Januari 2011. 11.51

Any Rufaidah


1.25.2011

Salam untuk Wardah Hafidz


Jumat sore 21 Januari 2011, dalam perpisahan Training Advokasi Damai untuk Perempuan yang diselenggarakan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, lembaga tempat saya beraktivitas sebagai volunteer, saya berkesempatan bersalaman pipi dengan Wardah Hafidz. Dalam salaman itu, saya merasakan perasaan yang mendalam terhadap perempuan kelahiran Jombang itu. Namun pasti, itu bukan gejala abnormalitas seksual. Tepatnya, sayang itu tumbuh karena kekaguman yang mendalam.

Hal itu juga saya rasakan pada direktur saya saat ini. Saya menyayanginya karena kekaguman. Bagi saya, dia adalah perempuan tangguh, yang memegang prinsip, berani mengambil pilihan. Pada sebuah perjalanan dalam taksi, saya pernah terhenyak heran karena direktur itu mengatakan memilih tidak meneruskan program Ph.D-nya di Singapura karena merasa tidak cocok dengan budaya di sana. Sepenggal kalimatnya adalah, “Lebih baik keluar daripada mengorbankan kebahagiaan saya.” Oh Tuhan, hampir pasti saya belum pernah berani mengambil keputusan seperti itu.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Mengapa kekaguman itu muncul?” Sedikit sudah saya singgung, karena keberanian mengambil pilihan radikal. Marilah kita melihat realitas. Meskipun telah lama pemikiran feminisme berkembang, tak cukup banyak perempuan yang berani mengambil keputusan radikal dalam hidupnya. Wardah Hafidz, setelah saya telusuri profilnya dalam Wikipedia, dia dibesarkan dalam lingkungan pesantren di Jombang. Namun, dia memilih ‘tidak taat’ pada pola pendidikan yang ‘diwajibkan’ oleh keluarganya. Dia pun keluar dari aktivitas mengajar di almamaternya di Malang, kemudian memilih menekuni dunia yang benar-benar berbeda. Dunia itu memerlukan keberanian luar biasa. Dunia itu mengharuskannya menghadapi intimidasi, premanisme, dan sebagainya.

Perempuan rasanya masih berjuang ekstra keras untuk memperjuangkan kemerdekaan dirinya. Bukan hanya dalam relasi warga negara dengan pemerintah, tetapi juga dalam relasi laki-laki dan perempuan sebagai pasangan, misalnya. Tengok saja, sudah mampukah perempuan menjadi subjek yang benar-benar merdeka di depan pasangannya? Jika pun mereka menyadari kemerdekaannya, sudahkah laki-laki mau berbesar hati menghargai itu?

Boleh saja pendapat ini dianggap ‘serangan’ terhadap laki-laki: tampaknya laki-laki mendapat kutukan budaya sehingga harus menanggung beban ‘gengsi’ jika harus membagi ‘hak’-nya dengan perempuan dan beban ‘malu’ untuk menerima perbedaan dalam diri perempuan sebagai pasangannya. Seberapa banyakkah laki-laki yang mau membagi tugas sebagai kepala keluarga dengan sang istri? Ah, rasanya hanya ada beberapa. Dan pertanyaan yang lebih kecil lagi, seberapa banyakkah laki-laki yang mau mendampingi perempuan sebagai pasangannya dalam dinamika kedirian perempuan? Seberapa banyak laki-laki yang mau memaklumi perempuan sebagai pasangannya ketika sang perempuan ingin membuka penutup kepala, misalnya? Ah, tampaknya tak cukup banyak. Sementara, perempuan mereduksi kemerdekaannya agar tetap dicintai.

Demikianlah, pada hal-hal fundamental terkait hak atas dirinya saja perempuan menghadapi banyak hambatan, apalagi pada hal-hal yang melampaui itu. Atas dasar itu, saya mengagumi dan menyayangi perempuan yang telah berhasil mengambil pilihan radikal dalam hidupnya. Pun saya mengagumi laki-laki yang dengan besar hati memberikan kemerdekaan pada perempuan sebagai pasangannya.

Setelah selesai berpamitan dengan peserta training, Mbak Wardah sekali lagi berpamitan. Dia menepuk bahu saya sambil berkata, “Yo’”. Saya amati langkahnya, langkah yang tak biasa untuk ukuran perempuan pada umumnya. Di tengah jalan, dia terang karena sorot lampu-lampu kendaraan yang padat kala itu. Rok batik panjang dan blues warna hijau sungguh semakin indah terkena sorot lampu.

Salam untuk Wardah Hafidz

Depok, 25 Januari 2011. 00.17

Any Rufaidah

1.20.2011

Pagi yang Biasa Saja

Pagi yang biasa saja. Dan seperti biasanya, malas bangun untuk beraktivitas. Dan juga seperti biasanya, keputusan bangun diambil in the last hour. Mengurus diri seadanya, berpenampilan seadanya, berjalan pada jalur biasanya, dan menuju kelas biasanya. Itu adalah kelas terakhir mata kuliah kapita selekta, sekaligus mata kuliah terakhir jika lulus.

Pembicaraannya tidak cukup menarik, peace psychology. Entahlah, mungkin karena sudah satu semester ini ikut kelas mediasi konflik sehingga yang disampaikan kala itu terasa hambar dan di permukaan saja. Atau mungkin karena faktor lain yang lebih personal. Namun, lupakan. Tokoh-tokoh peace psychology tingkat dunia diperkenalkan dalam ceramah pagi itu, plus literatur-literatur, plus sepak terjang para punggawa peace psychology tingkat dunia. Ada nama Daniel J. Christie, Michael Wessels, Morton Deutsch, Cristina J. Montiel, Deborah Du Nann Winter, Susan Opotow, Herbert C. Kelman, Naomi Lee, Fathali Moghadam, Joseph de Rivera, dan sebagainya.

Hampir 2 jam berlalu tetap tidak begitu seru. In last minutes, keluarlah tema keindonesiaan. Ah, tapi tidak terlintas sedikit pun soal PMII yang selalu ‘mengajarkan’ keindonesiaan dalam momen Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Disebutnya sebagai gagasan. Sesungguhnya gagasan tersebut muncul sebagai jawaban atas konflik etnik/suku yang kerap terjadi di Indonesia. Konflik jenis ini memang diakui lebih sulit diselesaikan daripada interstate conflict. Tak lain karena melibatkan identitas kesukuan.

Bagaimana mengatasi konflik etnik/suku?, itu pertanyaannya. Dan jawabannya adalah: “dengan membangun sense of citizenship”. Istilah orisinal menurut saya. Untuk menumbuhkan rasa tersebut, maka negara harus kuat. Pejabat, birokrat, penegak hukum, semua harus kuat. Atas nama publik, semua pihak yang menyalahgunakan hak publik harus ditindak tegas. Warga negara harus taat pajak dan menghormati hak-hak publik. Mereka yang melanggar harus ditindak tegas. Sekali lagi, negara harus kuat.

Namun, Indonesia adalah negara yang cukup kompleks permasalahannya. Banyak yang mengatakan berulanga-ulang masalah di negara ini seperti lingkaran setan. Dan sayangnya, pun pada kelas ini, gagasannya tidak terjawab dengan tuntas. “Siapa yang memulai menumbuhkan sense of citizenship?” itu pertanyaannya. Mungkin Jürgen Habermas menjawab ‘Intelektual Organik’. Jawaban itu baik. Jika intelektual/akademisi yang dianggap mampu menumbuhkan sense of citizenship, maka sebarkanlah gagasan itu dan berkomitmenlah pada upaya itu. Tinggalkan, atau setidaknya kurangi ‘ngobyek’. Itu perjuangan mulia, nyonya, Tuhan yang akan memberi penghargaan.

11. 25, 25 menit lewat dari jadwal kuliah, kelas berakhir dengan copy meng-copy file. Terima kasih untuk Profesor.

Depok, 11 Desember 2010

Any Rufaidah