8.24.2009

Shof


Di antara tarawih dan witir, imam memberi ceramah. Sebuah tema ringan, tentang shof shalat –tetapi masalah shof bukan berarti masalah ringan. Suara imam terdengar perih –memang seperti orang yang menahan perih- karena keprihatinan yang mendalam. Dan suara yang ditekankan, seperti karena sesuatu yang teramat penting kerap diabaikan. Imam berkata bahwa sebagai imam ia memikul tanggung jawab yang teramat berat, bertanggung jawab atas kesempurnaan shalat jamaah, semua makmum. Masalah barisan jamaah pun menjadi tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, sebelum shalat, imam selalu menyerukan agar jamaah merapatkan barisan –imam menyampaikan perintah merapatkan barisan dengan bahasa Arab-nya yang fasih dan tenang.
Imam bertanya, “Mengapa shof harus rapat?” Karena shof mempengaruhi sempurnanya shalat. Jika shof rapat dan lurus, shalat akan lebih sempurna. Ketika shof tidak rapat, fadillah shalat akan berkurang. Derajat shalat berjamaah akan berkurang jika barisan shalat tidak rapat dan lurus. Dan itu menjadi tanggung jawab imam. Bukan itu saja kata imam. Yang lebih mengkhawatirkan, inti kata imam, “Allah akan mencerai-beraikan hati jamaah yang shof shalatnya tidak rapat.” Imam kemudian menyentuhkan perkataannya dengan banyaknya perpecahan antar-Muslim saat ini. Suara imam sekali lagi menahan perih.

Yang ketiga, imam mengatakan, “Jika shof tidak rapat, setan dan jin akan keluar masuk di antara barisan shalat.” Imam bercerita: Rasulullah pernah memegang tangan jin yang keluar masuk di antara barisan shalat hingga tangan beliau berkeringat. Seusai shalat Rasul berkata pada jamaah: Jika saja tidak sungkan pada Nabi Sulaiman, yang membangun kerajaan yang tidak tertandingi hingga hari kiamat dengan bantuan jin, Rasul akan mengikat jin dan memperlihatkannya pada jamaah. Cerita imam pula: Pada masa salah satu khalifah ada petugas shof. Khalifah tidak memulai shalat sebelum mendapat laporan kesempurnaan shof dari petugas.

Tidak sempurnanya shof adalah tanggung jawab imam. Malam pertama bulan Ramadlan, empat orang kawan tak mau jadi imam. Ada ucapan: “Itu bukan maqom saya” dan ada ekspresi yang menyiratkan: “Aku tak mampu jadi imam, karena tanggung jawab imam begitu beratnya.” Shalat tarawih berjamaah pun gagal. Lebih baik meneruskan billiard atau main facebook daripada menjadi imam. Itu bukan pilihan buruk.

Shof harus disempunakan, hingga kaki dan bahu saling menempel. Allah akan mencerai-beraikan hati orang yang shalat tanpa menyempurnakan shofnya. Apa makna pertemuan kaki dan bahu antarorang, sehingga tanpa itu Allah akan memberi peringatan dengan keras? Bagaimana jika ada masjid yang dikhususkan untuk golongan tertentu? Itu tentu bukan hanya masalah ketidaksempurnaan shof. Lalu Allah akan memberi peringatan apa pada yang demikian?

Any Rufaidah
Malang, 24 Agustus 2009

CSR


Meja rapat Averroes Community tak sedang kosong Rabu sore (19/8). Tepatnya sepuluh menit sebelum jam lima sore, tujuh orang pemuda sedang duduk melingkari meja biru muda itu. Mereka tak sedang nggosip atau guyon, sebuah kerja pengetahuan yang sedang mereka selenggarakan: diskusi rutin Reboan. Tema diskusi kala itu adalah “CSR dalam Kungkungan Soft Capitalism” –sebuah tema yang telah dijadikan bahan tertawaan oleh para pencetusnya sendiri. Seperti rapat dan forum-forum lain, cemilan dan teh hangat mendampingi. Hingga 20 menit berikutnya hadir beberapa orang lagi.

Salah seorang yang mendapat tugas memberi pengantar diskusi sedang mempresentasikan hasil bacaannya atas CSR. Sesekali pemberi pengantar diskusi itu menyimak tulisan tentang CSR dalam notebook-nya. Sementara yang lain tampak pula sedang baca-baca notebook masing-masing. Yang lain lagi menyimak, dengan berbagai mimik.

Tak kurang dari 20 menit pemberi pengantar diskusi presentasi, mulai latar belakang munculnya gagasan CSR hingga perkembangan definisi dan pelaksanaannya. Tak semua penjelasan bisa saya tangkap dengan sempurna, bahkan mungkin hanya secuil. Di antaranya: bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) lahir sebagai respon dari kerusakan lingkungan (ekologi) yang disebabkan oleh limbah industri-industri pertambangan. Para aktivis lingkungan yang memotori adanya CSR, antara tahun 1950-an. Pada mulanya, CSR berlaku secara sempit, berlaku untuk industri pertambangan saja. Masyarakat yang menerima dana CSR pun terbatas, hanya masyarakat di sekitar industri, sebab merekalah yang merasakan kerugian langsung.
Dalam perkembangannya, CSR berlaku untuk industri-industri lain, termasuk Unilever, Nestle, dan perusahaan multinasional lainnya. Wilayah penyaluran CSR pun semakin luas, tak sebatas untuk masyarakat sekitar industri. Pemberian beasiswa termasuk bentuk dari CSR.

Diskusi semakin menarik setelah moderator mempersilakan peserta diskusi menanggapi presentasi pengantar diskusi. Sangat bervariasi tanggapan-tanggapan yang muncul, jauh lebih kaya dari apa yang saya ketahui dan asumsikan. Diskusi pun berwarna, diselingi tawa. Misalnya, saat salah seorang peserta mengatakan tak tahu substansi apa yang tengah disampaikannya, peserta yang lain sontak tertawa. Atau saat seorang yang lain –yang menggantikan peran moderator sebelumnya- yang mengambil kesimpulan berbeda dengan yang telah diketengahkan peserta diskusi. Atau saat suara dengkur salah seorang peserta yang tertidur dalam posisi duduk mulai mengusik diskusi. Beragam dan menyenangkan.

Ulasan-ulasan beberapa peserta diskusi memang bervariasi, tetapi tampaknya semua ulasan itu akhirnya bertanya: “Apakah CSR representasi niat baik? Atau sebaliknya, ia tak lebih hanya bentuk kapitalisme yang dikerjakan dengan lebih lembut (soft)”. Diskusi bertambah seru. Adalah seseorang yang baru saja menyelesaikan studi magister di Texas, Amerika, yang kemudian “ditodong” untuk membagikan pengetahuannya tentang CSR.

Satu pernyataan penting darinya: “CSR justru menutupi peran negara”. Pernyataan itu lalu dipedaskan oleh seorang yang lain: “CSR untuk menghumaniskan kapitalisme”. Dua pernyataan yang memberi nilai berbeda pada CSR. Kemudian yang lain mengeluarkan pendapat-pendapat senada. Sebuah pertanyaan tentang hubungan CSR dan soft capitalism digelindingkan lagi. Meski tak persis kalimatnya, dikatakan: “Jangan-jangan CSR adalah kapitalisme yang dimainkan dengan strategi yang lebih soft, halus”. Di tengah-tengah itu, ada suara yang diperdengarkan pada saya: tentang mengapa Erani Yustika tak sepakat pada CSR. Akhir 2008 lalu, sebuah Musyawarah Kerja (Musker) mengundang Erani Yustika untuk mengupas neoliberalisme. Rupanya pemilik suara itu masih ingat asalan ketidaksepakatan Erani Yustika terhadap CSR. Kurang lebih: CSR berhubungan erat dengan neoliberalisme, karena CSR mengurangi peran negara dalam pembangunan dan upaya-upaya penyejahteraan sosial.

Corporate Social Responsibility (CSR) yang dalam pengertian katanya baik ternyata patut dipertanyakan pula kebaikannya. Bahkan ia perlu dicurigai atau ditolak. Mungkin itu adalah impact dari banyaknya program atau kebijakan yang tampak baik tetapi sebenarnya busuk. Atau gambaran betapa kita sudah tak mungkin lepas dari kuasa modal. Darah rakyat terhisap lagi dan lagi. Rakyat memang menuai manfaat dari dana CSR, tetapi perusahaan menuai untung jauh lebih besar. Menyitir contoh yang diberikan salah seorang peserta diskusi: Banyak perusahaan memberi CSR dalam bentuk beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa berkualitas. Secara tertulis memang tak ada ikatan, tetapi perusahaan kerap mengadakan pertemuan dengan penerima beasiswa. Ikatan emosional dibangun melalui pertemuan-pertemuan itu. Penerima beasiswa kemudian direkrut. Dengan cara itu perusahaan mendapat orang-orang berkualitas untuk perusahaan mereka. Akhirnya, memang banyak jalan menuju Roma.

Any Rufaidah
Malang, 24 Agustus 2009