3.02.2013

Suatu Sore Bersama Risa Permanadeli

Setelah proses nyasar selama 40 menit, akhirnya saya sampai di kantor Bu Risa Permanadeli, di Jalan Ahmad Dahlan, Radio Dalam. Kantor itu adalah tempat Bu Risa mengembangkan Social Representation Theory (SRT). Berdasarkan pengamatan saya, teori ini kurang begitu terdengar di Indonesia. Yang pernah dengar mungkin hanya mahasiswa dan mantan mahasiswa Sains Psikologi Sosial. Saya hanya mendengar dua nama yang dikait-kaitkan dengan teori ini, Bu Risa dan satu orang lagi yang saya tidak hafal namanya. Yang jelas dia laki-laki, pernah kuliah di luar negeri, tinggal di Jakarta dan bekerja di sebuah NGO besar di Jakarta.
 
Bu Risa sedang keluar sebentar. Dia sudah menyampaikan pesan melalui SMS. Sesuai petunjuknya di SMS, saya disuruh menemui pemilik kios minuman di samping kantornya. Namanya Endar. Dia yang akan membukakan pintu rumah Bu Risa. Saya ikuti, dan saya segera masuk. Kagum adalah ekspresi yang saya keluarkan begitu saya masuk. Ukuran kantor itu mungil. Tidak lebar, tapi panjang, sehingga masih terasa lega. Tatanannya rapi. Suasanya nyaman untuk belajar. Cahaya matahari cukup, jadi tidak perlu menyalakan lampu kalau membaca di siang hari. Yang lebih membuat saya kagum adalah tumpukan-tumpukan buku. Ada rak dan lemari untuk tempat buku. Namun tampaknya dua tempat itu tidak muat menampung semua buku, sehingga sebagian ada yang diletakkan di meja diskusi, meja belajar, bawah jendela, dan kusen. Di samping buku di kusen, terpajang foto Che Guevara. Saya agak heran melihatnya. Memori pendek yang terlintas adalah: Che Guevara hanya dikagumi oleh anak-anak muda nasionalis. Orang-orang yang sudah berumur tidak ada yang mengagumi Che. Saya tahu usia Bu Risa di atas 50 tahun, jadi saya pikir pasti tidak mengagumi kaum revolusionis seperti Che (temukan jawabannya nanti).

Saya ‘meninjau’ buku-buku yang tertata di berbagai tempat itu. Ada yang khusus buku-buku SRT, ada yang buku-buku sosial umum, ada yang tentang perempuan, dan ada juga tentang kebudayaan. Sebagian berbahasa Prancis, sebagian Inggris, dan sebagian kecil sekali berbahasa Indonesia. Ya, mau bagaimana lagi ya? Tampaknya buku-buku induk tentang teori-teori sosial hanya tersedia dalam bahasa Inggris dan Eropa. Dan parahnya, kadang baru sampai di Indonesia puluhan tahun setelah penerbitannya di luar negeri. Eiittss…saya katakan ini bukan tanpa bukti. Buku The End of History and the Last Man karya terkenal Francis Fukuyama yang terbit pada tahun 1992, baru dikenal secara luas oleh mahasiswa Indonesia sekitar tahun 2004. Saya katakan ‘dikenal secara luas’ lho ya, bukan tidak dikenal sama sekali. Mungkin kalangan terbatas sudah mengenalnya tak lama setelah buku itu terbit. Dan, bukti itu pun bisa dibantah, agar tidak terkesan terlalu mengagung-agungkan negara lain dan menginferiorkan negeri sendiri.

Saya mengambil buku Social Theory Today milik Anthony Giddens & Jonathan Turner. Membaca-baca sejenak di sofa yang dilapisi kain tenun khas daerah. Tak lama kemudian Bu Risa datang, bersama temannya yang bernama Kristina. Biasa, kami ngobrol-ngobrol dulu dengan tema-tema yang santai. Soal buku, soal kantor, tempat tinggal, dan bla bla bla. Maksud kedatangan saya ke Bu Risa adalah untuk wawancara mengenai sebuah topik yang akan saya dan teman-teman tulis dalam sebuah buku. Hampir dua jam kami menghabiskan waktu untuk wawancara. Bagi saya wawancara itu cukup, tapi bagi Bu Risa belum. Ya, bisa dimaklumi. Bu Risa adalah peneliti, yang terbiasa melakukan analisis secara mendalam. Tidak mungkin jawaban bisa ditemukan dalam sekali wawancara. Mau tidak mau saya menjawab: “Nanti saya kontak lagi ya, Bu, untuk wawancara kedua.”

Wawancara selesai, tapi obrolan santai masih berlangsung. Di situlah saya mendapat kesempatan untuk menanyakan hal-hal ringan namun sangat fundamental. Yang pertama, kami bicara soal hal buruk pada masyarakat Indonesia. Bu Risa tentu bisa membandingkan, karena dia mengambil studi di Prancis. Satu hal mendasar yang membedakan orang Indonesia dengan Eropa adalah cara berpikirnya. Orang Indonesia tidak biasa berpikir runtut, tapi ujug-ujug. Ujug-ujug menyuarakan demokrasi, ujug-ujug menyuarakan kuota perempuan, ujug-ujug menyuarakan liberal, ujug-ujug menyuarakan modern, dan ujug-ujug yang lain. Tapi dasarnya apa, orang Indonesia tidak tahu. Karena di negara lain berkembang sebuah ideologi atau gerakan, kemudian ikut. Asal ikut saja. Apa pun yang dari Barat kita konsumsi. Soal Islam merujuk pada Geertz, soal Jawa dan NU merujuk pada Hefner. Indonesia tidak punya tradisi melakukan penelitian dasar. Akibatnya itu tadi, jadi merujuk pada pemikiran Barat. Ini yang mendasari Bu Risa untuk melakukan penelitian dasar. Dengan kerangka social representation theory, dia mempelajari masyarakat dari masyarakat sendiri, bukan dari yang katanya-katanya.

 Kedua adalah soal perempuan. Topik ini menjadi salah satu concern saya. Pada intinya Bu Risa meragukan pandangan para aktivis perempuan yang mengatakan bahwa kebudayaan Jawa menomorduakan perempuan. Bu Risa mengangkat tesis mengenai representasi sosial terhadap perempuan pada budaya Jawa. Penelitian Bu Risa menghasilkan temuan bahwa budaya Jawa sesungguhnya tidak pernah menginferiorkan perempuan. Justru sebaliknya, perempuan mendapat tempat sangat terpuji. Contohnya, seorang ibu adalah pengambil keputusan dalam urusan-urusan penting dalam rumah tangga, misalnya pendidikan anak dan pembelian property rumah tangga. Kalau anak mau sekolah, pasti ibu yang banyak menentukan pilihan sekolahnya. Contoh lain, kalau mau beli sesuatu, seorang suami selalu meminta pertimbangan istri. Ibu sangat dihormati. Restunya sangat berharga. Bagi anak Jawa, restu ibu sangat tinggi kedudukannya. Penghormatan anak terhadap ibu bahkan lebih tinggi dari penghormatannya terhadap ayah. Dalam urusan pendidikan, mengapa orang Jawa lebih mendahulukan anak laki-laki, sebenarnya bukan persoalan menomorduakan, tetapi masalah ekonomi. Seandainya orangtua punya kemampuan ekonomi yang baik, pasti anak perempuan juga akan disekolahkan. Maka dari itu, pandangan bahwa budaya Jawa menomorduakan perempuan perlu dikaji kembali dengan sungguh-sungguh.

Hal ketiga yang menurut saya menarik adalah soal Che Guevara yang saya sebutkan di atas. Alasan Bu Risa memajang foto Che memang karena pengaruh pendidikan Prancis. Di negeri Menara Eifel itu, universitas dibangun dalam semangat pemikiran kiri. Jadi sikap universitas adalah kritisisme. Mempelajari pemikiran-pemikiran revolusioner adalah hal yang sangat biasa. Jadi wajar saja jika mahasiswa lulusan Prancis sangat gandrung pada Che, Fidel Castro, Mahatma Ghandi, dan tokoh-tokoh revolusioner lainnya. Sore itu, saya mendapat pengetahuan-pengetahuan menarik dari seorang pemikir perempuan. Ada pandangan-pandangan berbeda dari apa yang saya peroleh dan yakini saat ini, terutama mengenai kebenaran bahwa budaya Jawa menomorduakan perempuan. Sebenarnya saya masih sangat ingin mendapat pengetahuan lainnya, tapi tidak mungkin diskusi terus dilanjutkan. Bu Risa harus melanjutkan aktivitas. Saya pun segera pamit dan meluncur kembali ke Salemba Tengah dengan ‘pacar’ saya, motor Mio.

Bandung, 3 Maret 2013. 00.22.