11.03.2013

Calcutta dan Segala Kebaikannya (2)

Bersyukur di pintu keluar bandara ada seorang bapak yang memegang tulisan nama Any Rufaedah. Dia adalah sopir dari panitia. Saya menyapa Pak Sopir sambil berjalan ke arah parkiran. Herannya Pak Sopir ini diam saja saat saya tanya. Saya pikir awalnya karena tidak bisa berbahasa Inggris. Ternyata dia sedang nginang (mengunyah sirih dan tembakau). Saya baru tahu setelah dia meludahkan kinangannya. India memang terkenal dengan tradisi nginang. Di Indonesia juga banyak dijumpai pada orang tua di Jawa, atau hampir seluruhnya untuk warga Papua. Nginang seperti merokok. Alasannya biasanya untuk menguatkan gigi.
 
Pak Sopir membawa saya ke guest house dekat Universitas Calcutta. Di tengah jalan Bidhisa Mukherjee menelepon untuk menyapa. Bidhisa adalah panitia yang mengurus administrasi keberangkatan saya, mulai dari mengirim undangan sampai ticketing. Dia bekerja di lembaga pengundang. Bidhisa adalah sosok yang tegas. Dia menekuni feminisme. Saat ini sedang menyelesaikan program Ph.D-nya. 

Pemandangan Calcutta satu per satu mulai saya rekam dalam camera HP, mulai dari jalanan, apartemen yang konon sekarang menjadi model pemukiman yang sedang dikembangkan pemerintah, orang-orang yang bersepeda, lalu lintas yang cukup padat dan kurang teratur, pemandangan bus dan angkutan kota, baliho-baliho politik, dan tak lupa iklan-iklan bergambar The King Shahrukh Khan. Cuaca Calcutta saat itu tergolong panas. Namun tak terlalu terasa karena asyiknya menikmati pemandangan baru.

Sekitar 1 jam perjalanan, saya sampai di guest house. Setelah sedikit proses administrasi untuk konfirmasi, salah seorang karyawan mengantarkan saya ke kamar. Suasananya nyaman, tak seperti semrawutnya lalu lintas di luar. Di lantai saya ada 2 orang karyawan yang melayani. Mereka masih muda. Usianya kira-kira 20 tahun. Tentu saja mereka sangat ramah. Kalau sedang bercakap-cakap, mereka sambil menggeleng-gelengkan kepala gaya khas India. 

Sajian makan pertama adalah nasi, roti cane, dan sayur jagungnya. Secara umum saya kurang menyukai masakan India. Baunya terlalu tajam. Tapi saya menyukai kebab yang dijual di jalan. Mungkin karena faktor kebiasaan lidah saja. Makan-makan berikutnya saya hanya memesan kentang dan telor rebus serta jus jeruk. Kalaupun makan makanan India paling hanya roti cane-nya saja.  

Sore harinya, kawan yang saya kontak melalui facebook dengan difasilitasi Mbak Iim, teman di AMAN, datang ke Guest House. Namanya Priyanka Dutta. Usianya 3 tahun lebih muda dari saya. Dia sosok yang cerdas. Pikirannya maju. Tahun 2012 saya ketahui dia mengambil development studies di Inggris, sebuah prestasi yang cukup membuktikan gambaran saya tentangnya. Dalam pertemuan sore itu, kami bercerita banyak hal. Meski belum pernah ketemu sebelumnya, keinginan gadis tomboy ini untuk membantu sangat besar. Dia menanggapi ajakan diskusi saya tentang materi presentasi yang akan saya bawakan besok harinya dengan total. Terjadilah diskusi mendalam sore itu. Sekitar 1 jam berikutnya, Bidhisa datang untuk menyapa dan memastikan saya nyaman. Bidhisa tak kalah ramah meski ketegasannya sangat tampak terlihat. Bidhisa memastikan Priyanka akan banyak menemani saya selama di Calcutta. Yang paling penting, Bidhisa memberi penginapan sampai 5 hari seperti jadwal saya di sana. Padahal penginapan mestinya hanya 3 malam. 

Singkat cerita, Bidhisa pamit, kemudian Priyanka juga. Saya pun istirahat. Malam itu kemudian datang peserta lain dari Myanmar. Dia adalah teman sekamar saya selama 2 malam ini. Besoknya kami berangkat bersama ke Calcutta University dengan dijemput Pak Sopir kampus. Priyanka tidak ketinggalan. Dia datang menemani. Calcutta University adalah universitas tua dan ternama di India. Bangunannya tidak mewah, bahkan terlalu sederhana untuk ukuran universitas besar. Ruangan konferensi kami hanya seperti ruangan kelas, bukan hall besar. Desain acaranya memanglah sebuah diskusi terfokus (FGD). Namun yang datang di situ orang-orang top. Direktur Women’s Studies Research Centre, Prof. Ishita Mukhopadhyay, hadir di tengah-tengah kami diserta seorang professor di bidang kebijakan publik Calcutta University. Pesertanya juga para aktivis perempuan hebat di negaranya, di antaranya Bangladesh, Srilanka, dan India sendiri. Seperti mendapat anugerah besar dan rejeki yang tak ternilai harganya dapat hadir di forum tersebut.
Presentasi berlangsung sekitar pukul 09.30. Secara bergiliran peserta mempresentasikan materinya. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, topik konferensi adalah “Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pengaruhnya terhadap Pengurangan Kemiskinan”. Sebuah topik kritis yang nyaris belum pernah terdengar selama ini. Saya mendapat giliran terakhir. Yang saya ingat, tidak terasa grogi yang menggejala. Saya menyampaikan saja materi presentasi dengan penuh percaya diri. Slide presentasi saya telah dikritisi dan diperbaiki di sana-sini oleh Mbak Ruby, sehingga saya PD untuk menyampaikannya. Pertanyaan-pertanyaan bisa saya lampaui dengan baik. Melontarkan pernyataan saat diskusi pun bisa saya lakukan. Acara berlangsung sekitar 5 jam. Setelah itu kita ngobrol-ngobrol dan pulang masing-masing. Malam harinya baru Prof. Ishita mengajak kami dinner di sebuah cafĂ© di sebuah mall.

Jakarta, 4 Nopember 2013. 00.19

Bersambung….

6.23.2013

Posstrukturalisme

Any Rufaedah

Keinginan menulis topik ini muncul dari sebuah buku berjudul “Posstrukturalisme & Posmodernisme: Sebuah pengantar kritis” karya Madan Sarup. Buku yang saya miliki adalah cetakan ke III tahun 2007. Di kalangan anak muda semasa kuliah S1 dulu, buku-buku seperti itu sangat populer. Sayangnya, terkadang kita selesai di diskusi, tidak sampai pada tulisan serius. Tapi itu juga sangat membantu, terutama untuk membuka pikiran. Saya ingat ada teman-teman yang sangat gandrung pada wacana-wacana kiri semacam itu yang kemudian membentuk “Liyan Community”. Saya tidak terlibat dalam lingkaran inti, hanya sangat sering bersama mereka. Kini orang-orangnya sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak lagi tinggal di satu kota. Tidak tahu pasti apakah mereka masih berminat pada wacana-wacana yang sama atau sudah beralih pada “dunia” lain. Saya sendiri, mungkin karena dulu belajarnya sepotong-sepotong saja, sering muncul keinginan untuk menuntaskan pembacaan. Pengaruh “Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar” yang saya tulis dalam iklim masih gandrung-gandrungnya pada wacana kiri, tentu ikut mempengaruhi keinginan saya untuk membaca jenis buku serupa. Lebih-lebih, buku-buku yang mendominasi koleksi saya adalah buku-buku kiri. Entahlah. Yang jelas, dengan membaca buku-buku seperti itu, terutama filsafat dan cultural studies, saya seolah hidup, bahagia, dan setelahnya merasa terarah. Bisa membuat penghubung untuk menjelaskan teori dan fenomena sosial. Baiklah, saya kembali pada topik.

Sarup membahas posstrukturalisme dalam sebuah bab berjudul “Beberapa Aliran Posstrukturalisme”. Ia memulai dengan Nietzsche. Nietzsche dikategorikan sebagai pemikir posstrukturalisme karena penolakannya pada sistem. Bagi Nietzsche, keinginan pada sistem merepresentasikan kurangnya integritas. Dengan kata lain, jika kita menginginkan adanya sistem, integritas kita berarti masih kurang sehingga masih membutuhkan keteraturan, kontrol yang ketat, dan mereduksi kebebasan. Kedua, sistem tidak dapat mengungkapkan semua seluruh kebenaran. Paling-paling sistem hanya menggunakan satu sudut pandang. Padahal manusia seharusnya melihat berbagai sudut pandang dan tidak membatasi pikiran ke dalam satu saja. Pada poin ini saya ingin menyampaikan analogi. Ibaratnya begini: dalam sebuah kantor ada satu sistem yang mengatur. Misalnya: setiap karyawan harus masuk pukul 8 dan pulang pukul 4 sore setiap hari. Bagi yang tidak mengikuti aturan itu akan menerima sanksi. Lalu ada seorang karyawan yang lebih nyaman begadang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dan akhirnya tidak bisa bangun pagi untuk ke kantor. Bagi sistem yang berlaku itu, tentu saja ia dianggap pemalas, tidak taat aturan, tidak taat pimpinan, dan sebagainya. Padahal, ia sebagai individu memiliki kenyamanan sendiri. Dan itu yang menurutnya benar. Namun bagi sistem yang berlaku, ia tidak bisa dianggap benar. Ada dua sudut pandang berbeda, dan sistem tidak bisa mencakup kedua-duanya sebagai yang sama-sama benar. Nietzsche menolak konformitas (kepatuhan) individu. Oleh karena itu ia tidak setuju pada konsep negara dan juga membenci keanggotaan partai. Baginya pelembagaan itu adalah kekuatan yang mengintimidasi orang dalam konformitas. Kebebasan individual atau aktualisasi diri untuk mencapai kesempurnaan diri justru akan tereduksi secara besar-besaran.

Kedua adalah Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Kita bisa mengenali sebagian pemikirannya dari buku “What is philosophy?: Reinterpretasi atas filsafat, sains, dan seni”. Deleuze dan Guattari secara spesifik mengkritisi pemikiran Marx dan Freud. Poin kritik mereka adalah generalisasi. Pada Marx, masyarakat dikategorikan pada kelas-kelas. Padahal ada organisasi kelompok-kelompok kecil yang lebih longgar sistemnya. Misalnya masyarakat nomaden. Mereka tidak memiliki batas wilayah atau sistem hierarkhis. Namun kepada mereka kesadaran-kesadaran revolusioner bisa merasuk dan menciptakan gerakan kolektif. Dengan kata lain, Marx keliru tidak mempertimbangkan kelompok-kelompok non struktural sebagai penggerak revolusi. Bagi Deleuze dan Guattari, tidak cukup melawan ketimpangan dengan turun ke jalanan saja, tetapi harus merasuki kesadaran-kesadaran setiap orang dan kelompok-kelompok kecil non struktural.

Kita bisa mempertimbangkan kebenaran kritik Deleuze dan Guattari. Dengan hanya mengandalkan kelompok-kelompok besar yang merepresentasikan kelas, yakni buruh, gerakan revolusioner justru mudah dipatahkan. Kelompok yang terorganisir rapi cenderung menggantungkan gerakan pada pemimpin. Ketika pemimpin bisa diajak berkompromi, anggota-anggotanya tidak bisa bergerak. Berbeda dengan gerakan kesadaran kepada individu-individu atau kelompok-kelompok kecil bawah tanah. Gerakan mereka bisa lebih solid. Yang menyatukan adalah kesadaran, bukan ikatan struktural. Kita bisa mengambil contoh gerakan Che Guevara. Mereka adalah kelompok kecil. Che sendiri berlatar belakang dokter dan sakit-sakitan. Kelompok Che tidak merepresentasikan kelas apa pun selain disebut kelompok pemberontak. Tetapi mereka mampu membuat gerakan revolusioner yang begitu berbahaya dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihatnya pada GAM di Aceh.

Deleuze dan Guattari juga mengkritik generalisasi Freud. Kalau kita membaca kembali pemikiran Freud, kita memang akan menemukan penyempitan di mana-mana. Mulai pembagian struktur psikis manusia menjadi id, ego, dan superego sampai pengalaman oedipus complex yang dianggap universal. Pada masa awal pencariannya tentang manusia, Freud memang menemukan banyak variasi temuan, tetapi kemudian menyimpulkannya ke dalam kotak sempit ketidaksadaran. Setiap penjelasan pasien ditafsirkan sebagai manifestasi ketidaksadaran. Kita bisa menemukannya dalam “Psychopathology of everyday life,” misalnya, dimana Freud menafsirkan keterangan-keterangan pasien sebagai wujud ketidaksadaran yang terpendam dalam dunia id. Geleuze dan Guattari menyebut Freud seperti ahli nujum yang bisa memprediksi gejala-gejala pasien selalu disebabkan oleh dorongan ketidaksadaran. Deleuze dan Guattari menolak generalisasi oedipus complex. Pertama, oedipus complex diandaikan universal. Kedua, kekayaan informasi dari pasien direduksi menjadi penjelasan-penjelasan yang telah jadi. Ketiga, terdapat bias patriarkhal dalam konsep oedipus complex dimana hasrat direduksi menjadi organ seksual laki-laki).

(Bersambung)
Jakarta, 23 Juni 2013






6.18.2013

Framework Pendidikan Perdamaian Lederach

Any Rufaedah 

Menyusul banyaknya kasus kekerasan di Indonesia, banyak orang bertanya mengenai sumber kekerasan dan bagaimana mengatasinya. Berbagai jawaban pun muncul. Ada yang menjawab penyerangan dilakukan karena kepentingan politik, ada yang menjawab karena kekecewaan masyarakat atas ketidakadilan sosial (misalnya kemiskinan), karena penafsiran agama yang terlalu kaku, dan sebagainya.

Psikologi adalah ilmu yang banyak mendapat bagian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Para pakar psikologi diundang dalam seminar-seminar untuk keperluan tersebut. Psikologi memang memberi banyak perhatian pada kasus-kasus kekerasan. Banyak pakar telah mengeluarkan teori-teori untuk menjawab masalah tersebut. Sebut saja Gustave Le Bon, Daniel J. Christie, dan tokoh-tokoh psikologi klasik Konrad Lorenz dan Sigmund Freud.
Secara garis besar, dalam psikologi terdapat tiga paradigma besar mengenai kekerasan. Pertama, paradigma biologis. Dalam paradigma ini, kekerasan dilihat sebagai insting bawaan. Salah satu tokoh yang meyakini pendapat ini adalah Konrad Lorenz, ilmuwan peraih Nobel Tahun 1973 di bidang fisiologi dan kedokteran. Ia mengatakan setiap orang dan spesies lainnya membawa insting berkelahi (fighting instinc). Setiap spesies memahami isyarat stimulus-stimulus yang ada dan mampu meresponnya secara otomatis. Seorang anak kecil yang menyerang saudaranya karena mainannya diambil adalah respon yang bersifat naluriah. Namun tujuan melakukan perkelahian menurut Lorenz (1966) adalah untuk mempertahankan diri (survive). Kedua, paradigma frustrasi-agresi (dikembangkan oleh John Dollard dkk sejak 1939). Paradigma ini mengatakan bahwa kekerasan/penyerangan disebabkan oleh rasa frustrasi, yaitu gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Dollard dkk, 1939, dalam Wrightsman, 1977). Ketiga, paradigma Model Umum Agresi (General Aggression Model/GAM), dipelopori oleh Craig A. Anderson dkk sejak tahun 1996. Menurut paradigma ini, perilaku menyerang disebabkan oleh berbagai macam variabel, baik yang berasal dari pelakunya, misalnya suasana hati, pikiran, karakter mudah marah, atau dari stimulus eksternal. Paradigma GAM tidak bisa disebut behaviorisme, biologis, atau kognitif saja, karena ia mengakui faktor internal dan eksternal dapat memicu perilaku kekerasan.
Itulah ulasan singkat mengenai teori-teori kekerasan dalam psikologi. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak hendak mengulas lebih dalam teori-teori tersebut (termasuk kritik-kritiknya), melainkan sedikit teori seorang profesor sosiologi dan studi konflik, John Paul Lederach. Lederach dalam salah satu bukunya, Preparing for Peace (1996), menyampaikan sebuah framework yang layaknya digunakan oleh aktor-aktor yang berkecimpung dalam pembangunan perdamaian. Framework itulah yang akan penulis sampaikan dalam tulisan ini. Secara spesifik, uraian ini adalah jawaban singkat terhadap pertanyaan “Bagaimana mengatasi konflik (yang sering berujung pada kekerasan)?”
Lederach menyebut konsepnya tersebut dengan “An Intergrated Framework for Training”. Ia terdiri dari popular education, appropriate technology, dan ethnography. Popular education adalah konsep yang diusung oleh Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan yang namanya sudah tak asing di Indonesia –sekadar untuk mereview, popular education menjelaskan macam-macam kesadaran, yakni kesadaran tertutup, kesadaran naif, kesadaran terbuka, dan kesadaran kritis. Secara singkat, popular education mengatakan syarat utama untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis sendiri dicapai hanya dengan melalui pengetahuan. Individu yang masih memiliki kesadaran tertutup tidak mungkin bisa begitu saja menyadari adanya masalah jika tidak diberi/mendapat pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Lederach, popular education harus menjadi framework bagi para aktor yang ingin mencegah terjadinya kekerasan/penyerangan.
Komponen kedua adalah appropriate technology (teknologi tepat guna). Konsep ini dimunculkan di tengah kritik terhadap model pengembangan masyarakat yang berbasis transfer (yang dinilai problematik). Menurut Lederach, pendekatan yang tepat untuk membangun perdamaian (di dalamnya menyangkut membangun cara berpikir toleran/damai) adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi di sini berarti  menggunakan pengetahuan lokal dan menghadapkan individu/masyarakat pada konteks masalah yang sebenarnya. Dalam hemat Lederach, fasilitator pembangunan perdamaian selayaknya mengajak individu/masyarakat untuk menggali nilai-nilai perdamaian dengan cara yang tersedia dalam kultur mereka sendiri (indigenous knowledge). Kedua, dalam proses pembangunan perdamaian, fasilitator selayaknya mengajak individu/masyarakat agar bersedia berbagi pengetahuan satu sama lain dengan fokus pada realitas dan masalah yang mereka hadapi.
Komponen ketiga adalah etnografi. Sebagaimana dikenal dalam antropologi atau sosiologi, etnografi adalah metode penelitian yang menekankan pada kedalaman. Lederach mengajukan metode ini dalam upaya pembangunan perdamaian. Secara singkat, Lederach mengatakan bahwa fasilitator pembangunan perdamaian layaknya menggunakan metode etnografi agar pemetaannya terhadap sumber konflik mendalam. Dengan demikian, cara yang tepat untuk mencegah dan mengatasi konflik tidak salah sasaran.
Framework Lederach hanya salah satu dari sekian banyak yang ada. Tidak ada yang tahu secara pasti model mana yang paling efektif. Namun apa pun pendekatannya, dalam hemat penulis semuanya layak digunakan, mengingat masalah kekerasan, penyerangan, konflik, intoleransi semakin lama semakin kompleks, bahkan terkadang tidak dapat diselesaikan.

Bahan Bacaan:
Lederach, J.P. 1996. Preparing for Peace. Syracuse University Press: New York.
Lorenz, K. (1966). On aggression. New York: Harcourt, Brace & World.
Wrightsman, L. S. ( 1977). Social psychology (2nd Ed.). California: Brooks/Cole Publising Company.

Sekitar 2011 - 2012



5.04.2013

Modal dan Tantangan Politik Perempuan


 Any Rufaedah, Pengurus Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) PB PMII, Pegiat studi psikologi sosial, Penulis Buku "Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar"(2012).

Daftar Caleg Sementara (DCS) telah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 lalu. Dari wacana-wacana yang berkembang, ada indikasi bahwa partai-partai politik belum siap memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Meskipun para aktivis perempuan sudah mewacanakan adanya sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota 30%, pada kenyataannya parta-partai politik masih mengeluh, bahkan memohon agar tidak ada sanksi. Artinya, ada gerak yang tidak seimbang antara tuntutan pemenuhan kuota dengan kesiapan partai. Tuntunan akan kuota berjalan cepat sementara partai masih jalan di tempat.

Alasan yang paling sering dikemukakan oleh parpol adalah sulitnya mencari perempuan yang mau terjun ke dunia politik. Menurut mereka politik itu keras dan kotor. Meskipun ada banyak perempuan yang sebetulnya memiliki kemampuan di politik, tetapi mereka enggan karena alasan itu. Tersangkutnya politisi-politisi perempuan dalam kasus korupsi menambah keengganan perempuan untuk terjun di politik. Dalam hemat saya, fenomena ini menjadi kritik bagi wajah politik Indonesia saat ini. Bagaimana bisa politik yang dalam filsafatnya adalah cara untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, hari ini justru menakutkan. Mengutip Albert Camus, politik adalah ikhtiar bersama-bersama melawan yang bathil dan bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut (Takwin, 2011).

Ketakutan yang diakui perempuan sekaligus menjadi penanda bahwa politik Indonesia semakin jauh dari landasan hakikinya. Jika tetap pada landasan hakikinya, perempuan justru akan berbondong-bondong masuk politik. Sejarah telah banyak membuktikan bahwa perempuan menjadi aktor-aktor aktif dalam berbagai gerakan kemanusiaan. Sebut saja Anis Hidayah yang memotori perlindungan terhadap buruh migran dan Wardah Hafidz yang mendampingi kasus-kasus penggusuran pada masyarakat miskin kota. Keduanya telah meraih penghargaan internasional atas kegigihannya. Dalam politik pun, perempuan berperan aktif. Pada Februari 1998, dimana negara dalam keadaan Siaga Satu, para aktivis dan akademisi perempuan bergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP) untuk mendesak  pemulihan ekonomi, sosial, dan politik yang genting saat itu. Gadis Arivia sebagai penggerak, dengan jelas menyebut demonstrasi SIP di bundarah HI tahun ‘98 adalah gerakan politik. It is about politics, tulisnya.

Secara natural, perempuan adalah pihak yang dekat dengan kehidupan, sebab mereka dikaruniai fungsi reproduksi mulai dari hamil sampai menyusui. Karunia itu mengembangkan naluri menghidupi dan menolak perampasan hidup. Seorang ibu tahu bagaimana ekspresi lapar dan haus dari seorang anak. Sementara politik Indonesia saat ini cocok disebut politik rimba. Siapa kuat itulah yang menang. Perempuan yang terbiasa memberi air susu pada anak dan dididik dalam kultur yang mengharuskannya ramah, tentu tidak sepakat pada politik rimba. Bagi mereka lebih baik bekerja seadanya daripada berurusan dengan dunia yang bertolak belakang dengan nalurinya. Penolakan perempuan pada politik semestinya menjadi cambuk bagi parpol, bahwa perilaku para politisi yang didominasi laki-laki saat ini keras dan kotor. Yang berani mendekat hanyalah orang-orang yang keras dan kotor pula.

Mahalnya Harga Politik
Faktor yang juga menjadi alasan enggannya perempuan terjun ke politik adalah mahalnya biaya untuk nyaleg. Untuk menjadi caleg DPR RI dan DPRD Provinsi membutuhkan uang miliaran rupiah. Untuk tingkat DPRD Kabupaten/Kota membutuhkan ratusan juta rupiah. Kenyataan itu tentu saja membuat caleg berpikir ulang. Perilaku masyarakat yang pragmatis akibat pembiasaan money politic sangat mempengaruhi harga politik saat ini. Adanya ‘mafia-mafia’ caleg juga menambah biaya politik. ‘Mafia-mafia’ itu sengaja hanya mengambil uang caleg sementara kerjanya untuk membantu kampanye tidak seberapa. Jika caleg tidak pandai-pandai merekrut tim kampanye, mereka bisa tercebur dalam permainan ‘mafia-mafia’ itu.

Pencalegan memang membutuhkan biaya, tetapi sebatas untuk biaya cetak alat kampanye, biaya transportasi, dan konsumsi ringan saat pertemuan dengan calon pemilih. Tidak ada dana berlebihan jika yang dikeluarkan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Yang membuat dana bengkak adalah cash money yang dibagi-bagikan kepada calon pemilih. Fenomena itu biasa disebut serangan fajar. Masyarakat yang berpendidikan rendah banyak yang menerimanya. Saya pernah membuktikannya sendiri di suatu daerah. Masyarakat yang lulusan SMP banyak yang menerima uang suap dari tim sukses caleg. Semuanya mereka terima. Yang dipilih adalah caleg yang memberi uang paling banyak.

Praktik itu telah menularkan virus yang sangat merusak politik pada masa-masa berikutnya. Partai politik punya tanggung jawab besar dalam upaya menyudahi money politic. Banyak cara yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah memberi sanksi kepada caleg yang terbukti memberi uang kepada calon pemilih. Meskipun ada pengawas pemilu, pada kenyataannya penindakan hukum tidak berjalan karena terkendala alat bukti dan ketakutan masyarakat untuk menjadi saksi. Partai politik lah yang mampu mengambil peran. Jika money politic berhasil dihentikan, harga politik tentu saja tidak akan mahal. Dengan demikian perempuan tidak perlu takut karena biaya nyaleg yang mahal.

Modal dan Tantangan Politik Perempuan
Sebenarnya perempuan adalah kelompok yang dapat memperbaiki wajah politik Indonesia. Naluri menghidupi, sikap dan perilaku yang ramah adalah modal yang sangat berarti. Selama ini politisi perempuan yang ada di parlemen memang belum mampu menjadi warna baru dalam politik. Mereka masih sebatas ngikut arus yang selama ini diciptakan mayoritas politisi laki-laki. Akibatnya, politisi perempuan seolah hanya jadi pelengkap. Yang lebih parah lagi, mereka terseret dalam kasus-kasus korupsi yang didalangi politisi laki-laki. Semestinya perempuan menggunakan naluri-naluri menghidupinya dalam berpolitik, tidak justru terjebak pada politik keras dan kotor.

Kedua, perempuan memiliki kesolidan yang tinggi. Kita bisa lihat buktinya dalam kehidupan sehari-hari. Jika diajak melakukan aktivitas, ibu-ibu lebih kompak dibandingkan bapak-bapak. Karakter itu terbangun dari kultur yang mendidik perempuan agar lebih berkomunitas. Perempuan Indonesia biasa melakukan berbagai aktivitas secara berkelompok. Dalam tradisi buwuh (membantu orang hajatan) misalnya, perempuan mengerjakan keperluan-keperluan hajatan dengan beramai-ramai. Waktu yang mereka habiskan pun lama. Di situlah terjadi interaksi yang mendalam di antara ibu-ibu. Berbeda dengan laki-laki yang ditekankan untuk mandiri. Laki-laki diberi tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Itu sebabnya laki-laki lebih sibuk dengan urusan kemandiriannya. Mereka bertindak lebih cepat dan hanya sesuai kebutuhannya, sementara perempuan punya ruang yang lebih banyak untuk interaksi dengan sesama.  

Soliditas yang kuat ini menjadi modal yang sangat penting dalam politik. Dengan soliditas kuat, perempuan bisa menggalang kekuatan sesama politisi perempuan. Kekuatan itu secara bersama-sama kemudian digunakan untuk mempengaruhi sistem dan perilaku politik. Tidak mudah memang, tetapi jika dimulai dan disuarakan terus-menerus maka perubahan wajah politik akan terjadi. Bukankah berani memulai dan konsistensi adalah syarat untuk sebuah perubahan? Selamat berjuang, politisi perempuan.

3.15.2013

Demi Tuhan, Hatiku

“Demi Tuhan, Hatiku.” Itu adalah sebuah judul dalam buku biografi Kahlil Gibran. Kata itu menggambarkan mungkin kebimbangan, mungkin kegelisahan, mungkin dilema, mungkin keputusasaan, dan sejenisnya yang sedang dialami Gibran. Mengapa saya mengutip kata itu? Ya, karena malam ini saya mengalami sebuah kekecewaan yang kemudian memuncak menjadi tangisan. Perasaan itu bermula dari pengalaman penipuan yang saya alami malam ini. Singkatnya saja, saya membeli tiket penerbangan online via FB. Pemilik FB itu sering mengirim promo-promo tiket. Sebelumnya tidak pernah saya gubris. Malam ini saya jadi berpikir pesan ke dia karena asisten orang yang akan membiayai perjalanan saya sudah pada tahap tidak bisa diandalkan. Waktu yang dibutuhkan untuk memesan tiket sudah sangat tidak rasional. Jadwal penerbangannya sampai saya yang carikan sehingga dia tinggal issued, tapi itu juga tidak dilakukan sampai dua hari. Saya telepon ke 4 agen perjalanan, kebetulan terkendala semua. Ada yang tidak jual tiket dengan maskapai itu, ada yang pas kebetulan tidak angkat telepon, dan ada yang belum melayani penerbangan internasional. 

Maka saya chattinglah dengan agen tiket palsu. Saya kasih jadwal kemudian dia kasih harga. Saya langsung minta bookingkan karena jadwalnya memang sudah saya cek. Jadi sebetulnya hanya tidak ingin ribet untuk bayar dengan bank-bank atau kartu kredit yang saya tidak punya. Ini sebuah kesalahan, terlalu berpikir pragmatis, ingin serba instan. Setelah saya tahu harga totalnya cukup untuk keuangan saya, maka saya minta di-issued-kan. Syarat agen palsu adalah transfer terlebih dahulu. Sebelum saya transfer saya menelepon untuk memastikan apakah agen itu benar ada apa tidak. Dia cukup meyakinkan, maka percayalah saya. Dalam alam bawah sadar saya, saya punya pengalaman pesan tiket via online pada agen langganan, dan hasilnya baik-baik saja, sehingga saya tidak curiga berlebihan. Saya meminjam uang teman saya, karena uang untuk tiket itu masih di sponsor dan uang dari sponsor lainnya masih ada di rekening teman. Tidak memungkinkan untuk mengurusi semua itu dalam waktu cepat malam ini, sehingga saya telepon teman saya yang sangat dermawan (sebetulnya karena dia sangat mencintai saya dengan rasa yang tulus saya kira). Proses transfer terjadi kemudian saya minta di-issued-kan. Ternyata email tiket tidak kunjung datang dan agen palsu memblok FB saya. Nomor HP-nya pun tidak aktif. Saya ‘sedikit’ lemas, karena impian tiket clear malam ini tidak terwujud. 

Itu cerita permulaan. Tapiii…yang membuat saya kecewa malam ini sehingga menuliskan “Demi Tuhan, Hatiku” bukanlah itu. Pada akhirnya saya berpikir untuk melapor polisi meski teman yang meminjamkan uangnya pada saya tidak marah atau menyalahkan saya. Dia hanya bilang, “Tenangkan pikiran sampean. Nanti kan ada rejeki lagi.” Saya BBM teman saya yang polisi untuk bertanya apakah ada teman polisi di Jakarta Pusat. Dia bilang tidak punya, tapi dia menyarankan saya untuk melapor ke Polsek terdekat. Jam menunjukkan pukul 23 lewat. Saya memutuskan menuju Polsek Paseban yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Yang mendorong saya bukan sepenuhnya “agar uang saya kembali”, tetapi “saya orang yang cukup mengenyam pendidikan dan saya sadar hukum, maka saya tidak boleh membiarkan kasus penipuan lewat begitu saja.” Kedua, saya berpikir kalau kasus penipuan seperti itu bisa diselesaikan, maka kasus-kasus serupa tidak akan terjadi atau merebak, sehingga tidak akan ada korban lagi.

Di Polsek Paseban, setelah saya bercerita pada seorang polisi agak tua yang sedang piket, ternyata saya diarahkan ke Polres karena Polsek-nya itu hanya pospol. Baiklah, saya ikuti sarannya. Saya ambil motor di kos dan melaju ke Polres yang jaraknya juga tidak jauh dari tempat saya tinggal. Lapor ke pos penjagaan saya berhadapan dengan satu polisi yang agak kasar dan satu polisi ramah. Baiklah. Saya diarahkan menuju bagian pelaporan. Polisinya agak muda. Mungkin usia antara 32-35. Oh ya, di samping itu saya juga telah berkomunikasi dengan teman yang sudah transfer untuk tiket saya agar menelepon bank dan memblokir rekening agen palsu. Di ruang pelaporan saya bercerita lagi…bla bla bla. Pak polisi yang saya hadapi sedang memutar lagu-lagu dari komputernya sambil mendengarkan saya bercerita. Karena menurut saya itu adalah tindakan tidak menghargai, saya pura-pura saja memegang telinga sambil mengernyitkan dahi agar dia mengecilkan musiknya. Pura-pura itu berhasil. Akhirnya pak polisi mengecilkan musik. Saya melanjutkan cerita. Daaaann…kesimpulannya adalah, lapor perkara mestinya di Surabaya karena transfernya dari sana. Saya terus bertanya, “Mengapa harus begitu? Rasanya tidak rasional karena saya yang menjadi korban di sini. Teman saya memang yang mengalami kerugian saat ini, tapi saya juga akan membayarnya. Tapi intinya tetap begitu, lapornya harus di Surabaya. Karena sudah malas berdebat lagi, saya segera sudahi saja lah. Pada intinya, dia tidak mau melayani laporan.

Itu pengalaman yang membuat saya sangat galau. Seharusnya Indonesia punya sistem yang cepat, tanggap, dan terpadu. Seharusnya, kalau ada laporan dari korban, polisi bisa segera menindaknya. Jika itu bukan di TKP, dia akan bisa kontak ke Polres TKP. Seharusnya polisi punya greget untuk membasmi kejahatan. Mana ada alasan tidak bisa, karena faktanya semua data WNI bisa diakses oleh Polri dan TNI. Agak mustahil kalau Polri menjawab tidak bisa menangkap pelaku penipuan. Apalagi, pada kasus saya ada nomor rekening pelaku. Dan tentu mereka punya hak untuk ikut campur ke bank dalam upaya penangkapan. Semua sangat mungkin dilakukan, bahkan pada waktu yang sangat cepat. Tetapi, pelapor seolah disuruh tidak melapor. Itu akan menambah pekerjaan saja. Ada kesan pak polisi-pak polisi itu memang tidak mau kerja. 

Demi Tuhan, Hatiku, jadi benar teriakan-teriakan teman-teman aktivis bahwa “polisi kerap melakukan pembiaran.” Saya masih menyangsikan kata teman-teman aktivis bahwa ada pembiaran, tapi faktanya sangat terlihat. Demi Tuhan, Hatiku, jadi wajar jika orang-orang yang kehilangan benda-bendanya, motor, laptop, kamera, mobil, HP dan lain sebagainya memilih tidak melapor. Melapor kadang tidak dipercayai, kadang dianggap mengada-ada, dan sejenisnya. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia tak seharusnya begini. Indonesia seharusnya bisa sangat baik. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya menangisi keadaan negeriku yang seolah tak memegang nilai dan komitmen. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya punya keinginan untuk pindah kewarganegaraan. Indonesia yang saya akui sangat saya sayangi tiba-tiba ingin saya tinggalkan. Demi Tuhan, Hatiku, semakin saya tidak ingin bekerja pada pemerintahan. Demi Tuhan, Hatiku, tiba-tiba saya ingin menjadi aktivis dan akademisi saja, dunia yang saya rasa paling memegang nilai-nilai universal. Seandainya saya sudah punya pilihan pekerjaan lain, maka saya akan mundur dari pekerjaan saya sekarang ini. Demi Tuhan, Hatiku, ternyata mencoba percaya dan menganggap semua orang baik adalah kesalahan. Demi Tuhan, Hatiku, saya lelah pada orang yang mengaku sibuk sehingga tidak sempat memesankan tiket sampai berhari-hari. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia seharusnya tidak seperti sekarang ini. 

Jakarta, 15 Maret 2013. 02.32.