8.20.2009

Mengisi Kemerdekaan dengan Keinginan Luhur


Malam 16 Agustus 2009, renungan dan tasyakuran kemerdekaan yang dimeriahkan dengan hiburan kreasi anak-anak digelar. Merah putih dan warna-warni umbul-umbul berkibar, disorot dengan lampu-lampu ratusan watt. Jalan dan gang ditutup. Warga serentak berkumpul di tempat yang telah dimufakati. Sudah menjadi adat, setiap malam 16 Agustus warga negara Indonesia berkumpul untuk merenung dan bersyukur atas kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali di tempat saya tinggal, RW 16 Perumahan Griyashanta, Lowokwaru, Malang.

Pukul tujuh tiga puluh menit malam 16 Agustus 2009, tak kurang dari 30 orang berkumpul di Balai RW 16 Perumahan Griyashanta, Lowokwaru, Malang. Sebagian dari mereka berpakaian batik, sebagian berpakaian biasa, dan sebagian mengenakan kostum merah putih. Beberapa pemuda berpakaian gaya kompeni Belanda.

Di bagian depan Balai RW terpampang banner bertulis “HUT Republik Indonesia ke-64” dengan background foto Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, dan naskah proklamasi. Tirai dengan warna putih, ungu muda, coklat muda, merah muda, dan abu-abu menutup sisi kiri balai. Tak ketinggalan, di sebuah dinding dekat pintu masuk, terpasang tempayan yang dicat warna merah putih dan ditulis angka “64”. Tampaknya tempayan bercat merah putih dan angka kemerdekaan menjadi aksesoris wajib peringatan hari kemerdekaan Indonesia, tak peduli di kota dan di desa, di kampung atau kawasan perumahan.

15 menit kurang dari pukul delapan, acara dimulai. Pekikan “merdeka” mulai ramai diperdengarkan. Bisik-bisik ibu-ibu kontan lenyap ketika lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan. Lagu “Indonesia Raya” tak ubahnya sebuah doa, ketika ia diperdengarkan ketika itu pula semua orang diam. Tampak dalam pandangan saya seorang laki-laki tua. Usianya pasti tak kurang dari usia kemerdekaan Indonesia. Ia menyanyikan “Indonesia Raya” dengan sikap sempurna; badan tegap, kedua tangan terkepal lurus dengan paha, dan telapak kaki membentuk huruf V. Saya teringat sikap sempurna yang diajarkan pada saat latihan upacara di sekolah dulu.

Sambutan Ketua Panitia dan Ketua RW disampaikan setelah “Indonesia Raya”. Tak lebih dari 15 menit kedua sambutan itu berlalu. Kemudian pembawa acara menyerahkan microphone kepada dua orang yang telah ditunjuk; masing-masing mewakili generasi tua dan generasi muda. Firdaus nama pendeknya, orang yang mewakili generasi tua. Firdaus memulai sambutan dengan mengulas kata “merdeka”. “Apa arti merdeka?,” tanyanya memancing perhatian para hadirin. “Merdeka adalah bebas, lepas. Bebas dari apa? Dari penjajahan,” lanjutnya. Tak berhenti di situ, Firdaus bertanya dan menjawab lagi, “Mengapa kita harus bebas dari penjajahan? Seperti dalam UUD ’45, karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kalimat terakhir Firdaus menghentakkan saya. Jika saat ini masih banyak perilaku yang tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, maka haruslah perilaku itu ditumpas. Perilaku memiskinkan, membodohkan, melacurkan, menjerumuskan, dan lain sebagainya. Bukankah di Indonesia masih banyak perilaku demikian? Kalau begitu Indonesia belum merdeka.

Firdaus kemudian menyampaikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan, bukan hadiah. Jika dilihat dari peralatan perangnya, kemenangan Indonesia sepertinya tak mungkin. Tetapi, jelas Firdaus, seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45, Indonesia merdeka dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan luhur. Saat menjelaskan ini, Firdaus melontarkan canda. Ia mengatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang sudah menjadi keuangan yang maha esa. Gemuruh tawa hadirin sontak terdengar menyusul canda Firdaus. Dalam pikiran saya, ada benarnya canda itu. Bagaimana tidak, generasi jaman ini dikepung-kepung oleh uang. Hampir segala sesuatu bernilai uang. Keinginan luhur untuk berjuang menjadi luntur.

Sutiman Bambang Sumitro, orang kedua yang memberi sambutan, seolah menguatkan pendapat Firdaus. Menurut dosen salah satu universitas di Malang itu, tampaknya bangsa Indonesia belum begitu bersungguh-sungguh mengisi kemerdekaan. Petinggi negara lebih suka memegang hak pengelolaan SDA negara, karena dengan hak itu mereka mendapatkan uang dengan mudah, tetapi pengelolaan SDA dilakukan orang asing -Freeport, Newmon, dan perusahaan-perusahaan asing lain contohnya. Tak ada kesungguhan mengisi kemerdekaan. Sutiman bercerita tentang kawannya di Jepang yang seorang dokter. Ia memilih negara-negara miskin dan daerah konflik, seperti Etiopia, sebagai tempat kerjanya. Di Jepang, ribuan dokter mengambil pilihan yang sama. Mereka tidak digoyahkan oleh penculikan dan terbunuhnya dokter terdahulu, sebab bagi mereka yang terpenting adalah kebermaknaan hidup. Saya hanya bisa menghela nafas, sambil berharap semoga apa yang saya dapat malam ini selalu menjadi semangat dalam menempuh masa depan, yang juga saya tularkan untuk orang-orang yang saya kasihi.

Pukul sembilan lima belas menit acara usai, diakhiri dengan pemberian hadiah untuk anak-anak peserta lomba 17-an dan pemotongan tumpeng. Berikutnya, para hadirin menikmati hidangan yang telah disediakan oleh ibu-ibu PKK. Saya pun di dalamnya, menyantap dua potong martabak dan capcay sambil menikmati gerak tingkah laku anak-anak. Beberapa anak memamerkan sepeda hias motif merah putih yang digunakan pada lomba hari Minggu pagi.

Any Rufaidah
Malang, 16 Agustus 2009.01.29
Jika kemerdekaan didorong oleh keinginan luhur, mengapa saat mengisi kemerdekaan keinginan luhur justru luntur?
Ingatlah pada mimpi tangisan untuk anak-anak kecil dan orang-orang miskin yang tak berdaya
.