10.31.2012

Aturan Sosial dalam Pandangan Freud

Oleh Any Rufaedah

Proses terbentuknya aturan sosial adalah topik kajian yang mempesona bagi pengkaji ilmu-ilmu humaniora dan budaya. Sigmund Freud adalah salah seorang pemikir dari disiplin psikologi yang ikut ambil bagian menjawab bagaimana aturan sosial terbentuk. Dalam tulisan ini penulis memaparkan bagaimana pandangan Freud terkait topik aturan sosial. Namun agar tidak terjadi lompatan yang sangat jauh, sepatutnya dipahami terlebih dahulu prinsip-prinsip mendasar pemikiran Freud yang sifatnya sangat individual, tidak langsung pada ranah sosial.

Secara garis besar, Freud menyampaikan beberapa prinsip mendasar. Pertama, individu adalah entitas yang terus-menerus berdinamika –atau bisa disebut pula berkonflik. Kedua, perilaku individu merupakan representasi dorongan-dorongan ketidaksadaran. Dorongan ketidaksadaran yang dimaksud Freud misalnya dorongan seksual, dorongan menyakiti orang lain, dorongan makan, dan sebagainya yang sifatnya tidak disadari. Ketiga, keluarga adalah sistem pertama yang membentuk perilaku individu. Keempat, keberhasilan perkembangan seksual masa kanak-kanak berpengaruh signifikan pada perilaku seksual individu di kemudian hari.

Prinsip-prinsip tersebut rupanya menjadi dasar bagi Freud untuk menjelaskan pembentukan dan fungsi aturan sosial. Menurutnya, aturan-aturan dalam kelompok atau masyarakat dibentuk untuk meresistensi (menekan) dorongan-dorongan ketidaksadaran atau merupakan cara menyamarkan (defence mechanism) dorongan-dorongan ketidaksadaran. Dalam buku Totem dan Taboo (2002a), Freud menguraikan panjang lebar aturan-aturan pada suku-suku primitif yang menurutnya merupakan alat resistensi. Di antaranya adalah larangan hubungan/pernikahan sedarah (inses).

Pada Suku Aborigin misalnya, laki-laki pelaku inses dikenai hukuman mati dan yang perempuan dikenai cambuk atau tombak. Di Pulau Leper, Kepulauan New Hebrides, seorang anak laki-laki diharuskan meninggalkan rumah pada usia tertentu. Mereka boleh mengunjungi rumah untuk makan hanya jika saudara perempuannya tidak ada. Perempuan harus menjauh atau berpaling menyembunyikan diri jika bertemu saudara laki-lakinya. Mereka berdua dilarang saling mengikuti. Bahkan tidak boleh menyebut nama satu sama lain atau menyebut kata yang memiliki unsur nama masing-masing. Larangan inses berlaku pula pada ibu, antara lain mereka dilarang memberikan makanan kepada anak laki-lakinya secara langsung dan hanya boleh memanggil mereka dengan nama yang ditentukan oleh hukum adat.

Larangan tersebut menurut Freud adalah alat resistensi dorongan seksual pada masa kanak-kanak. Suku-suku primitif telah berpengalaman akan adanya hasrat berhubungan seksual dengan orang-orang terdekat, antara lain ibu dan saudara perempuan, pada anak laki-laki. Hasrat tersebut sebetulnya sudah direpresi dengan aturan keluarga. Namun demikian, ia masih dianggap berbahaya, oleh karena itu harus diresistensi dengan aturan yang lebih kuat. Inilah yang melandasi larangan inses (Freud, 2002a).

Dalam masyarakat primitif dikenal pula taboo, yaitu kewajiban melaksanakan ritual untuk objek-objek tertentu serta larangan mengadakan kontak dengannya. Antara lain, ritual menyucikan benda pusaka, larangan bertemu orang yang sedang menstruasi, larangan mengenakan baju orang yang sudah meninggal, larangan duduk di bawah pohon beringin, dan sebagainya. Freud menilai dasar aturan-aturan tersebut adalah kepercayaan akan adanya kekuatan berbahaya (setan) yang tersembunyi dalam objek-objek tertentu. Suku-suku primitif sangat takut pada kekuatan-kekuatan tersebut. Itu sebabnya mereka membuat ritual khusus dan membuat larangan mengadakan kontak dengan objek-objek yang dianggap berbahaya (Freud, 2002a).

Freud melihat taboo sama dengan gejala neurosis kompulsif, di mana penderita mempunyai ketakutan luar biasa pada objek-objek tertentu, padahal tidak ada kekuatan apa pun. Mereka mempercayai bahwa benda-benda bisa mencelakakan jika disentuh atau diperlakukan tidak baik. Neurosis kompulsif atau fobia menyentuh dalam temuan psikoanalisis adalah bentuk kembalinya dorongan menyentuh, biasanya terhadap bagian-bagian khusus, pada masa kanak-kanak. Dorongan itu dianggap tidak baik, oleh karenanya harus dihambat. Kerja dalam sistem taboo pun demikian menurut Freud (Freud, 2002a).

Freud menyebut taboo sebagai bentuk defence mechanism pula (Freud, 2002a), misalnya terlihat pada taboo yang diberlakukan pada raja. Di Jepang misalnya, seorang raja harus ditandu, karena jika kaki menyentuh tanah, martabat dan kesucian mereka akan tercemar. Rambut, jenggot, kuku, dan apa yang melekat di seluruh bagian tubuh raja dipercaya memiliki kesucian. Orang biasa tidak boleh memotongnya kecuali raja dalam keadaan kotor dan itu harus dilakukan saat raja tidur malam. Alasannya, mengambil di malam hari berarti mencuri, dan pencuri tidak bisa mencemari kesucian raja. Raja Jepang jaman dahulu diwajibkan duduk berjam-jam setiap pagi tanpa menggerakkan tangan atau kaki, karena jika mereka melakukan tindakan itu, berarti tidak mampu menjaga kedamaian dan ketenangan kerajaan.

Aturan-aturan serupa terjadi pula pada pendeta. Di Roma misalnya, Pendeta Agung Jupiter tidak diperbolehkan menunggang atau melihat kuda dan orang bersenjata, dilarang memakai cincin tanpa sambungan, mengenakan simpul di pakaian, menyentuh tepung gandum atau ragi, menyebut nama kambing dan anjing, dan dilarang memakan daging mentah, buncis, dan tumbuhan ivy. Pendeta agung hanya boleh dicukur oleh orang bebas. Itu pun harus menggunakan gunting perunggu. Rambut yang lepas dan kuku mereka yang terpotong harus dikubur di bawah pohon tertentu, tidak boleh menyentuh orang mati, dan dilarang keluar tanpa penutup kepala.

Suku-suku primitif menyebut taboo adalah bentuk perlindungan, penghormatan, dan hak istimewa. Tetapi tidak demikian dalam pandangan Freud. Freud melihat taboo adalah manifestasi kebencian tak sadar kepada orang yang dilekati (bisa raja, pendeta, atau kepala suku). Kebencian itu diawali oleh rasa cemas akan datangnya kondisi buruk dan rasa tidak percaya bahwa raja, pendeta, atau kepala suku akan melindungi rakyatnya. Kecemasan dan ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan kebencian dan kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pelekatan taboo yang super ketat (Freud, 2002a). Dengan kata lain, taboo adalah sarana untuk menghukum sekaligus menjaga agar orang-orang yang memegang fungsi melindungi tidak membelot. Di sini Freud memberikan satu lagi jawaban dibentuknya aturan sosial, yaitu menyamarkan keinginan ketidaksadaran.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka bisa diambil kesimpulan sebagai berikut: pertama, Freud memandang aturan sosial dibentuk sebagai alat resistensi terhadap dorongan-dorongan ketidaksadaran individu. Dengan kata lain, masyarakat dan individu selalu terlibat dalam konflik; kedua, selain untuk kepentingan resistensi, aturan sosial dibentuk untuk menyamarkan dorongan ketidaksadaran individu; ketiga, keluarga merupakan sistem pertama yang membentuk ketaatan sosial; keempat, masyarakat merupakan kepanjangan tangan keluarga dalam menjalankan fungsi represi dorongan-dorongan ketidaksadaran; kelima, keberhasilan perkembangan psikoseksual sangat menentukan perilaku sosial individu.

Kesimpulan ini sedikit banyak didukung dan diperjelas oleh hasil pembacaan Shaw & Costanzo (dalam Sarwono, 2005, hlm. 136-137). Mereka mengungkapkan pandangan-pandangan Freud mengenai masyarakat dalam delapan poin berikut ini:
1.Fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan me-repress insting-insting naluriah perorangan. Ketertiban masyarakat ditentukan oleh kemampuan ego-ego anggota masyarakat yang bersangkutan untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat. Kalau orang-perorangan diizinkan untuk sepenuhnya menyalurkan insting masing-masing, maka tata tertib masyarakat akan hancur atau setidaknya kacau.
2.Keluarga adalah aparat dasar dari masyarakat. Perkembangan anak, proses sosialisasi, introyeksi nilai-nilai masyarakat, dan pembentukan moral dilakukan dalam keluarga.
3.Ego bertugas sebagai perantara antara batas-batas sosial dan insting-insting. Untuk itu digunakan berbagai teknik pertahanan ego dan kontrol agar kedua pihak terpuaskan. Sistem ego yang berfungsi baik merupakan prasyarat agar seseorang dapat bertahan dalam suatu lingkungan sosial.
4.Manusia dan lingkungan sosialnya selalu berada dalam konflik yang tiada henti. Masyarakat berada dalam posisi di atas dalam konflik ini karena individu takut pada ancaman destruktif masyarakat.
5.Kelompok-kelompok dan masyarakat terbentuk sebagai kelanjutan keterikatan libido (hasrat seksual) anak terhadap orangtuanya. Keluarga menjadi prototipe hubungan masyarakat. Orangtua melindungi, memberi makan, dan menghukum. Mereka akan menjadi contoh pemimpin-pemimpin dalam masyarakat. Perlindungan dan perawatan mereka mendasari ketergantungan individu terhadap pemimpinnya, sedangkan hambatan dan hukuman terhadap insting-insting menimbulkan rasa bermusuhan dan takut.
6.Keadilan sosial timbul dari perasaan saling membutuhkan dan saling memenuhi antaranggota masyarakat. Dasarnya adalah persaingan untuk merebut perhatian pemimpin. Bentuk asalnya dalam keluarga adalah persaingan antarsaudara (sibbling rivalry). Menurut Freud, keadilan sosial adalah bentuk reaksi dari hasrat ingin memiliki.
7.Pranata-pranata sosial seperti hukum dan agama dibentuk untuk melindungi manusia dan masyarakat dari insting-insting agresif, bermusuhan, dan seksual. Pranata ini merupakan pengganti larangan orangtua.
8.Freud beranggapan bahwa pembentukan masyarakat tidak disebabkan oleh adanya satu atau dua objek (orang) yang mempunyai kekuatan luar biasa, tetapi disebabkan oleh sublimasi (peralihan) dan seksualisasi libido ke dorongan persahabatan.

Di akhir tulisan ini penulis menyampaikan bahwa pandangan Freud hanya salah satu dari sekian banyak pandangan lain mengenai topik yang sama. Lebih dari lima paradigma yang mengajukan tesis mengenai terbentuknya aturan sosial. Masing-masing memiliki sisi relevansi dengan yang terjadi sehari-hari dan ada pula yang tidak. Freud sendiri mendapat banyak kritik dari berbagai sisi, di antaranya dari sisi keilmiahan, agama, dan budaya.

Referensi
Freud, S. (2002a). Totem dan tabu. terj. Kurniawan Adi Saputro. Yogyakarta: Jendela.
Sarwono, S. W. (2005). Teori-teori psikologi sosial. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.



10.23.2012

Sejahat Itukah Manusia?

Saya sedang lelah dari aktivitas-aktivitas otak yang cukup panjang. Berhenti! Itu yang harus dilakukan. Mengikuti perfeksionis dan tidak membiarkan orang lain untuk menyempurnakan, lama-lama akan melelahkan diri sendiri. Saya ambil sebuah buku yang baru saya beli: Agama, Seks, dan Kekuasaan karangan Julia Suryakusuma. Buku ini menunjukkan kedalaman. Meskipun ia kumpulan artikel, tidak mengurangi kedalaman isinya.

Di dalam prakata, Merle C. Ricklefs, Profesor Emeritus Australia National University (ANU) mengungkap sedikit tentang kekuasaan. Disebutkan, ideologi sering dimanfaatkan mereka yang sedang berkuasa dan ingin tetap berkuasa….. Ngeri sekali apa yang digambarkan. Kemudian otak ini tiba-tiba bertanya, “sejahat itukah manusia?” Saya bertanya karena saya tidak pernah mengalami sendiri. Kedua, saya menganggap semua orang baik. Itulah sebabnya terkadang saya gunakan bahasa yang terlalu jujur. Saya menganggap semua orang baik sehingga mereka tidak akan tersinggung jika saya mengatakan hal yang jujur. Namun berkali-kali hal ini gagal saya buktikan. Banyak orang tersinggung meskipun tidak diniati menyakiti. Saya tidak sadar, begitu kalau kata Freud.

Oh…oh…saya memang benar-benar ingin tahu sendiri apakah yang dikatakan kawan-kawan LSM tentang buruknya pemerintah itu betul. Dan sebaliknya, apakah yang dikatakan pemerintah bahwa LSM hanya bisa gembar-gembor dan jualan proyek itu betul juga. Dan apakah yang dikatakan sebagian orang terpelajar tentang bejatnya korporasi media atau bahkan korporasi beneran itu benar. Otakku masih menolak kalau dikatakan orang-orang itu jahat dan apa yang dilakukan hanya untuk dirinya sendiri.

Sekitar 2 minggu lalu, saya berpikir, “bukankah jiwa Gus Dur itu adalah perpaduan aktivis, jurnalis, dan pemerintah. Dan itu sangat bisa diterima oleh jutaan orang.” Mengapa sih harus dikotak-kotakkan? Yang LSM bersikukuh melawan pemerintah, dan pemerintah menganggap LSM hanya bisa koar-koar. Jurnalis menjadi gongnya. Korporasi mendekati pemerintah berhadapan dengan LSM. Mengapa ya tidak saling duduk bersama tanpa ada stereotipe ini itu. Mengapa ya tidak memilih berpikir saja untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Saya tidak punya jawaban, karena saya tidak pernah berpikir menyikut orang dan tidak pernah berpikir bahwa orang akan menyikut saya, meskipun itu mungkin sangat dekat dengan saya. Akhir kata, semoga Allah akan membantu menemukan jawaban. Aamiin.

Salemba Tengah, 23 Okt. 2012. 2.52.