2.26.2008

Ber (Agama) Oedipus Complex dan Ilusi

Oleh Any Rufaidah

Sebelum mulai menulis, muncul pikiran bahwa tulisan ini hanyalah sebuah review atau kliping yang memalukan dan tidak layak dibaca. Siapapun bisa membacanya sendiri tanpa harus disajikan ulang. Tetapi, bagaimanapun bentuk tulisan, di dalamnya pasti terdapat pemahaman yang siap diadu dan dipertanggungjawabkan. Atas dasar itulah tulisan ini tetap disajikan.

Tema dalam tulisan ini secara spesifik akan coba membahas pemikiran Sigmund Freud mengenai agama. Tema ini secara spesifik pula dapat kita telusuri di dalam Totem and Taboo, The Future of an Illusion, Civilization and Its Discontents, dan Mose and Monotheism. Pada karya-karya tersebut Freud menyajikan uraian-uraian yang berbeda walau inti sebenarnya sama. Dalam tulisan ini, saya membagi membahasan yang tersebar dalam karya-karya yang telah disebutkan dalam dua bagian. Marilah kita mulai.

Agama dan Pengobat Rasa Bersalah
Subjudul di atas dengan jelas telah menunjukkan bahwa agama tidak lebih dari pengobat rasa bersalah. Ya. Memang demikian menurut Freud.
Tanpa mengulang-ulang pembahasan, kita akan langsung menuju pertanyaan, bagaimana ceritanya?
Sebelum konsentrasi pada masalah agama, lebih dulu Freud melakukan penelusuran panjang tentang, “Apa yang mendasari segala tingkah laku manusia”. Proses panjang telah dilalui dengan berbagai cara. Terapi hipnosis, Preasure Technique, asosiasi bebas, analisis mimpi, dan transferensi adalah rangkaian proses yang dilalui. Freud tidak sia-sia. Ia berhasil menemukan satu kesimpulan besar dari proses panjang tersebut. Kesimpulan itu menyatakan, “Perilaku manusia dipengaruhi oleh dorongan-dorongan tak sadar.” (Dalam Sigmund Freud, Sekelumit Sejarah Psikoanalisa, terj. K. Bertens (Gramedia: Jakarta, 1986). Kesimpulan ini tidak berhenti begitu saja. Freud terus-menurus mengerucutkan temuannya sampai pada satu temuan mendasar. Seksual. Itulah temuan besar Freud. Ia menganggap dorongan-dorongan tak sadar yang mengendalikan seluruh tingkah laku manusia tidak akan beranjak dari masalah seksual. Masalah seksual ini dijelaskan dengan apa yang disebut Oedipus Complex (pada laki-laki atau Electra Complex (pada perempuan).
Oedipus Complex adalah keinginan untuk memiliki ibu. Arti memiliki adalah secara intim. Namun, keinginan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anak karena ada sosok ayah yang menghalangi. Keadaan ini kemudian mendorong anak untuk membunuh sang ayah. Begitulah Oedipus Complex. Keinginan untuk memiliki ibu dan membunuh ayah. Pada anak perempuan, yang diberi istilah Electra Complex perbedaannya terletak pada objek.
”Namun apa daya?” Begitu kira-kira ungkapan yang tepat untuk meng-Indonesiakan kata yang hendak diucapkan Freud. Seseorang tidak mungkin mewujudkan dorongan Oedipus . Sebab, mereka dilingkupi norma, aturan, agama, dan lain sebagainya. Tak ada satu ruang pun yang membenarkan. Maka, satu-satunya tindakan yang diperbolehkan dan diharuskan adalah menekan/melupakan/merepresi.
Tetapi celakanya, dorongan itu tidak dapat dihilangkan sampai tuntas. Keinginan memiliki ibu dan membunuh ayah masih terus berlangsung meskipun frekuensinya berkurang. Di waktu yang sama, ke-tidak terhapus-an dorongan Oedipus ini menyebabkan rasa bersalah. Rasa ini terus mengepung sebanyak kepungan norma dan aturan sosial. Di sinilah agama, menurut Freud, dimunculkan. Ia dimunculkan sebagai pengobat perasaan bersalah. Kehadiran tuhan adalah sebagai pengganti ayah (father substitute) atau ayah yang ditinggikan. Oleh karena itu, Freud menggunakan istilah tuhan paternal.

Agama adalah Ilusi
Apa yang dimaksud agama adalah ilusi?
Objek pembahasan kali ini berbeda. Jika dalam sub sebelumnya dikatakan kelahiran agama sebagai pengobat rasa bersalah kepada ayah, dalam bagian ini agama adalah pengobat ketakutan terhadap alam.
Bagaimana ceritanya?
“Manusia memang makhluk yang tidak pernah lepas dari ketakutan-ketakutan. Tidak hanya pada masa bayi, pada saat dewasa pun mereka harus menerima serangan-serangan yang menakutkan”, begitu kira-kira pernyataan Freud. Pada masa dewasa, manusia mengalami ketakutan-ketakutan terhadap kekuatan yang mematikan, yaitu alam. Manusia sadar atas ketidakmampuannya menghadapi kerusakan alam yang mematikan. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan agama sebagai sandaran. Dengan agama, mereka mendapatkan kenyamanan. Dan kenyamanan ini tidak hanya dirasakan, tetapi juga diharapkan. Diharapkan terus berlangsung hingga masa setelah mati. Di dalam harapan itu terdapat gambaran-gambaran. Gambaran hidup di surga, bersama malaikat-malaikat dan bidadari. Gambaran-gambaran ini diharapkan menjadi nyata oleh manusia. Inilah yang oleh Freud disebut agama sebagai ilusi. Manusia mempercayai agama karena sangat menginginkan semuanya menjadi benar. Jadi agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, apalagi dibuktikan secara ilmiah, melainkan gambaran yang diharapkan kebenarannya.
Begitulah kira-kira….

Any Rufaidah, Komunitas Studi Gender (KSG) Averroes

2 comments:

Anonymous said...

si Frued mang bisa aja ! seandainya memang benar dia yang berpendapat Agama sebagai Ilusi, tapi menurut saya agama adalah alat tuk mencapai sebuah keabadian, keabadian yang tertunda......

ItsMe said...

Saya ada buku "Civilization and Its Discontents" karya Sigmund Freud kalo berminat bisa CP. 085746303340 www.civilization-and-its-discontents.pusatsitus.com MOHON MAAF KALAU KURANG BERKENAN!