12.26.2009

Irshad Manji

Irshad Manji (41) adalah Muslimah kelahiran Uganda yang hidup di tengah “tradisi” kekerasan dan perbudakan. Di usia empat tahun, ia dibawa berimigrasi ke Kanada. Imigrasi adalah satu-satunya pilihan ribuan warga Uganda sebagai konsekuensi kediktatoran Idi Amin Dada untuk membersihkan warga selain kulit hitam. Tidak ada pilihan bagi kulit berwarna untuk tinggal kecuali dengan mengorbankan nyawa. Kediktatoran Amin Dada beberapa generasi berikutnya benar telah usai, tetapi kekerasan dan perbudakan tidak beringsut sedikit pun. Hanya perbedaan objek saja. Kali ini adalah terhadap orang-orang berkulit hitam.

Irshad adalah sosok kritis. Sejak kecil ia sudah mempertanyakan hal-hal besar yang dilihatnya. Mengapa ada perbudakan pada keluarga-keluarga Muslim?, ada apa dengan Islam?, hingga remaja dan dewasa pertanyaan tersebut semakin penting baginya. Suasana lebih demokratis di Kanada adalah iklim yang cocok bagi Irshad untuk berpikir tentang hal-hal “nakal” tersebut. Suasana itu yang pada akhirnya mendukung sosok Irshad tumbuh sebagai pemberani, atau dalam penamaannya adalah Muslim Refusenik.

Irshad kecil diasuh oleh suster-suster Gereja Baptis Rose of Sharon. Irshad dan kakaknya sering dititipkan di sana sampai orangtua mereka usai bekerja. Hari-hari di gereja memberikan banyak pelajaran bagi Irshad. Ia mempelajari injil, dan seperti biasa mempertanyakan apapun yang dilihat dan didengar mengenai agama. Kekritisan membawa Irshad yang kala itu masih delapan tahun mendapat penghargaan tahunan sebagai Orang Kristen Paling Menjanjikan.

Namun sayang bagi Irshad, penghargaan justru memotivasi sang ayah untuk mengambilnya dari gereja. Madrasah adalah tempat yang harus dimasuki berikutnya. Madrasah yang terletak di Richmond itu beriklim tidak nyaman bagi Irshad. Pola pendidikannya dipenuhi dengan otokrasi dan pembedaan. Pengkotak-kotakan laki-laki dan perempuan dalam batas-batas yang tidak semestinya dilakukan secara “normal”. Doktrinasi yang mensaratkan pembungkaman terjadi dengan wajar di sana. Irshad, sebagai anak kritis sering mendapat perlakuan tidak nyaman dari pengajar akibat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Ia pernah diusir pula akibat kekritisan yang tak umum itu.

Pendidikan tingkat pertama Irshad diselesaikan di J.N. Burnett. Jiwa kepemimpinan Irshad teraktualisasi di sana, yaitu dengan menjadi ketua Osis. J.N. Burnett memberi pelajaran sekaligus perbandingan antara otokrasi dan demokrasi. Antara budaya Muslim Afrika Timur dengan Kristiani di tempatnya sekarang. Perbandingan otokrasi dalam masyarakat Muslim dan demokrasi dalam masyarakat Barat adalah hal besar yang membawanya menjadi pemburu kebenaran. Seperti musafir di padang pasir, Irshad kehausan jawaban atas pertanyaan mengenai agama dan realitas kehidupan Islam. Menyelinap ke perpustakan yang tak boleh ia masuki sebagai perempuan hingga menjadi apa yang ia sebut “tikus mall” untuk mendapatkan Al Qur’an berbahasa Inggris dilakukan untuk mencari jawaban atas makna Islam.

Irshad dewasa bekerja sebagai pemandu acara bernuansa dialog agama di Queer Television. Proses belajar yang telah ditempa dengan cara yang tak biasa membuatnya lihai berbicara tentang agama. Memproduksi acara TV dan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tayangan adalah rutinitas padat yang harus ia lalui. Di samping itu, melayani dan menjawab berbagai “serangan” yang ditujukan padanya sebagai Muslimah liberal adalah kesibukan yang tak kalah menyita waktu. Pertanyaan tentang ketuhanan sampai pilihan seksual sebagai lesbian menjadi tema yang harus ia jawab. Tetapi itu yang membuat Irshad terus berintrospeksi dan mempelajari agama secara lebih mendalam.

Selain sebagai seorang Muslim liberal, Irshad tanpa ragu menyebut dirinya feminis. Penobatan diri sebagai feminis bukan hanya keputusan ikut-ikutan bagi Irshad. Ia mengambilnya sebagai sebuah kesadaran. Kesadaran atas penindasan terhadap perempuan, khususnya pada budaya Arab yang mengaku paling Islam. Hingga hidupnya kini, Irshad tetap teguh memegang keyakinannya sebagai Muslimah yang disebutnya refusenik, orang yang memperjuangkan kebebasan beragama dan kebebasan pribadi, dan sebagai feminis.

Irshad menulis karya The Trouble with Islam Today: A Wake-up Call for Honesty and ChangeKarya tersebut mengundang kontroversi di kalangan Muslim. Beberapa negara Islam melarang bestseller internasional tersebut masuk ke wilayahnya. Irshad juga harus ekstra menjaga diri karena teror setelah terbitnya karya tersebut. Hal itu menjadi alasan untuk tidak berumah tangga atau memiliki anak pula.

Meski demikian, The Trouble with Islam Today kini telah tersebar di 30 negara. Dalam edisi Indonesia, Irshad memberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Terbitan pertama edisi Indonesia baru pada bulan April 2008 atau tiga tahun setelah edisi bahasa Inggris. Pemikiran Irshad memang belum dikenal luas, tetapi pada kalangan pemikir Islam generasi muda dan gerakan perempuan nasional, misalnya pada Wahid Institute dan Koalisi Perempuan Indonesia, ia diterima dengan terbuka (Vintage, Canada: 2005).

Atas pemikiran dan keberaniannya, beberapa lembaga memberi Irshad penghargaan. Oprah Winfrey memberi Chutzpah Award atas keberanian, tekad, ketegasan, dan keyakinannya. Majalah Ms. Menjuluki Irshad sebagai Feminis Abad 21. Maclean’s memberi penghargaan Honor Roll 2004 sebagai ”Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh” dan The Jakarta Post mengakuinya sebagai satu dari tiga Muslimah yang mampu membawa perubahan positif dalam Islam.

Irshad kini menekuni aktivitas di beberapa bidang. Sebagai mentor mahasiswa muda dengan spesifikasi hak asasi manusia dan kebijakan publik pada The Pierre Trudesu Foundation Montereal, Kanada, sebagai dewan editorial antariman di majalah Seventeen New York, dan menangani Project Ijtihad, lembaga yang dirintis untuk pergerakan reformasi liberal bagi para Muslim muda, dijalankan secara bersamaan.
Penyiksaan terhadap pelayan dan pekerja kulit hitam berlangsung “normal” pada keluarga-keluarga Muslim Afrika Timur kala itu. Tidak terkecuali di dalam keluarga Irshad. Pemukulan terhadap Tomasi, pelayan keluarga sudah biasa dilakukan oleh sang ayah.

Bahan Bacaan
Manji, Irshad. 2008. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umam Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher dan Koalisi Perempuan Indonesia.

Any Rufaidah, Depok, 27 Desember 2009
Tulisan ini dipublikasikan pula pada www.averroespress.net


12.01.2009

Neopsikoanalisis


Prinsipnya, kelompok neopsikoanalisis mengakui bahwa ketidaksadaran (unconsciousness) berpengaruh sangat luas pada perilaku dan kepribadian manusia. Kedua, ada dinamika psikis yang terjadi pada manusia. Ketiga, pengalaman masa kanak-kanak berpengaruh dalam pembentukan kepribadian. Ketiga prinsip ini yang menjadi dasar penyebutan neopsikoanalisis. Tetapi, sebagai catatan, semua tokoh neopsikoanalisis tidak bersepakat penuh pada teori Freud, terutama tentang dorongan seksual dan agresif dan penis envy. Berikutnya akan dihampiri pemikiran tokoh-tokoh neopsikoanalisis.

Carl Gustav Jung (1875 – 1961)
Sekilas tentang Jung
Jung lahir di sebuah desa kecil di Swiss bernama Kesswil pada 26 Juli 1875. Ayah Jung adalah pendeta desa. Keluarga Jung tergolong cukup berpendidikan. Pada usia enam tahun Jung mendapat pelajaran bahasa Latin dari sang ayah. Jung tamat studi kedokteran dari Universitas of Basel, Swiss dengan spesialisasi psikiatri. Pada 1905 ia mengajar psikiatri di Universitas Zürich, Swiss, dan mulai praktik psikiatri di bawah bimbingan Eugene Bleuler, orang pertama yang mencetuskan nama skizofrenia. Mulai melakukan korespondensi dengan Freud setahun berikutnya. 1907 Jung bertemu dengan Freud di Wina. Jung pernah berbincang-bincang selama 13 jam bersama Freud. Kehadiran Jung sangat berarti bagi Freud.

Pada tahun-tahun berikutnya, Jung terlibat semakin jauh dalam perkumpulan psikoanalisis. Bahkan ia sempat menjadi ketua himpunan psikoanalisis pada 1910. Antara 1913-1914 Jung mulai tidak bersepakat pada teori-teori Freud. Atas dasar itu ia memutuskan hengkang dari Freud. Jung meninggal di Zürich pada 6 Juni 1961 (K. Bertens (pengantar) dalam Freud, 1991) dan Boeree, 2005).

Teori-Teori Jung

Setelah keluar dari himpunan psikoanalisis, Jung mengembangkan apa yang disebutnya psikologi analitis. Dari usaha tersebut Jung menghasilkan konsep-konsep mengenai manusia. Menurutnya, manusia/self mempunyai tiga elemen: ego, ketidaksadaran personal (personal unconscious), ketidaksadaran kolektif (collective unconscious). Ego adalah element of self yang disadari yang memberi petunjuk bagaimana individu berperilaku. Ego berisi persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan sadar.

Ketidaksadaran personal adalah bagian self yang berisi pengalaman-pengalaman individual yang telah direpresi. Meski disebut ketidaksadaran, elemen ini masih bisa dibuat sadar. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah elemen yang bersifat universal, dari berbagai generasi, bukan individual. Elemen ini sangat sulit disadari. Contoh ketidaksadaran kolektif adalah pengalaman kreatif para seniman atau musisi di seluruh dunia dari sepanjang masa, pengalaman mistikus dalam seluruh agama, kemiripan dalam mimpi, fantasi, mitologi, dongeng, sastra, atau pengalaman mati suri. Orang mati suri memiliki pengalaman yang sama, yaitu: meninggalkan raga dan dapat melihatnya, seperti masuk terowongan, bertemu dengan keluarga atau tokoh-tokoh religius, dan lain sebagainya.

Ketidaksadaran kolektif berisi apa yang disebut archetype. Konsep archetype sama dengan insting dalam konsep Freud. Tiga archetype yang paling penting menurut Jung adalah anima, animus, shadow. Anima adalah archetype kewanitaan pada diri laki-laki, animus adalah archetype laki-laki pada wanita, dan shadow adalah archetype kebinatangan atau disebut pula sisi jahat manusia. Archetype-archetype yang lain antara lain archetype ayah, ibu, anak, pahlawan, gadis, orangtua yang bijak, Tuhan, dan sebagainya. Jung memperkenalkan pula persona, yaitu karakter yang kita tampilkan pada saat berada di lingkungan. Archetype-archetype yang telah disebutkan muncul dalam persona, meski kemunculannya bersifat tidak disadari.

Bagian lain yang penting dari pemikiran Jung adalah proses pengembangan diri yang disebut proses individuasi. Menurut Jung, diri akan berkembang menuju satu titik yang stabil. Untuk mencapai titik tersebut, orang harus mampu menyelaraskan perasaan atau dorongan yang saling beroposisi dalam diri. Untuk mencapai keselarasan tersebut orang harus mampu membuat sadar perasaan atau dorongan yang tidak disadari (Glassman & Hadad, 2009 dan Boeree, 2005).

Intisari Pemikiran Jung

Prinsip Jung tidak jauh berbeda dengan Freud, bahwa manusia adalah entitas yang berkonflik. Manusia adalah entitas yang terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran dan memiliki archetype-archetype yang saling beroposisi. Atas dasar itu Jung menyimpulkan kepribadian introvers dan ekstrovers: kepribadian yang berfokus pada diri sendiri dan kepribadian yang berfokus pada dunia luar.

Bersambung….

Bahan Bacaan
Boeree, C. George. (2005). Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern. terj. Abdul Qodir Shaleh. Jogjakarta: Prismashopie.

Freud, Sigmund. (1991). Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah, terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Glassman, William E. & Hadad, Marilyn. (2009). Approaches to Psychology (5th edition). Berkshire: Open University Press/McGraw-Hill Education.

Any Rufaidah, Depok, 28 November 2009



11.13.2009

Aliran-Aliran Psikologi


Tulisan ini adalah kajian mengenai aliran-aliran dalam psikologi. Ada 11 aliran yang akan dibahas: psikoanalisis, neopsikoanalisis, behaviorisme, neobehaviorisme, kognitif, gestalt, humanistik, psikologi biologi, psikologi evolusioner, psikologi fenomenologi eksistensialis, dan psikologi kritis. Sebelum beranjak pada kajian, sebaiknya dipahami terlebih dahulu bahwa pertanyaan besar dalam psikologi adalah: “Apa manusia itu?” Dalam hemat saya, pertanyaan ini perlu ditancapkan dalam otak agar tidak lupa bahwa psikologi mempelajari manusia.

Objek materi psikologi adalah manusia dan objek formanya perilaku. Pertanyaan tersebut boleh jadi terlalu terkesan filosofis, tetapi menurut saya pertanyaan itu yang bisa mengantarkan para pengkaji psikologi pada pokok-pokok yang lebih mendasar, pemahaman yang tak mudah dilupakan. Apalagi beberapa aliran yang muncul benar-benar berangkat dari pertanyaan filosofis. Psikologi fenomenologi eksistensialis misalnya, ia berangkat dari filsafat fenomenologi eksistensialis Friedrich Nietzsche, Søren Kierkegaard, Martin Heidegger hingga Jean-Paul Sartre.

Psikoanalisis
Satu-satunya tokoh psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939). Nama asli Freud adalah Sigismund Scholomo. Namun sejak menjadi mahasiswa Freud tidak mau menggunakan nama itu karena kata Sigismund adalah bentukan kata Sigmund. Freud lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia. Saat itu Moravia merupakan bagian dari kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang Cekoslowakia). Pada usia empat tahun Freud dibawa hijrah ke Wina, Austria (Berry, 2001:3). Kedatangan Freud berbarengan dengan ramainya teori The Origin of Species karya Charles Darwin (Hall, 2000:1).

Psikoanalisis bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.

Id adalah kumpulan dorongan-dorongan kesenangan, seperti dorongan seksual (libido), dorongan makan, dorongan menyakiti, dan sebagainya. Prinsip id adalah kesenangan (pleasure principle). Id bertempat di alam tak sadar. Lawan id adalah superego. Superego merupakan kumpulan dorongan-dorongan taat terhadap aturan masyarakat, agama, dan lain sebagainya. Prinsip superego adalah moralitas (morality principle). Sebagian superego disadari dan sebagian tidak disadari.

Di tengah-tengah id dan superego adalah ego. Ego sebagian disadari dan sebagian tidak disadari. Prinsip ego adalah realitas (reality principle). Ego berperan sebagai jembatan, yang mengontrol realitas dan mengatur kapan id boleh menyalurkan dorongannya ke kesadaran dan kapan tidak, sesuai dengan realitas yang ada. Jika keadaan tidak memungkinkan penyaluran id, ego akan merepresi id. Tetapi meski telah direpresi, id tidak pernah berhenti berusaha menyalurkan hasratnya dalam kesadaran. Secara terus-menerus id mencoba mendobrak benteng ego. Ego sendiri mendapat tuntutan dari superego untuk menekan id. Di sinilah konsep Freud tentang manusia: manusia adalah entitas yang selalu berdinamika (atau berkonflik).

Freud menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego lemah.

Demikian pula Freud menjelaskan keseleo lidah dan kesalalah-kesalahan kecil sehari-hari. Keseleo lidah menurut Freud disebabkan oleh letupan-letupan dorongan bawah sadar. Misalnya: seseorang bermaksud menyebut Agus, namun yang terucap adalah Lutfi. Menurut analisis Freud, nama Lutfi muncul karena dalam ketidaksadaran ada sesuatu yang berhubungan dengan Lutfi. Mungkin saja seseorang yang salah menyebut itu sangat kecewa pada Lutfi. Ia ingin marah pada Lutfi. Keinginan marah direpresi karena tidak baik menurut norma masyarakat (ketentuan superego). Namun keinginan marah tidak lenyap begitu saja. Ia terus-menerus ingin menerobos pertahanan ego. Letupan-letupan keinginan itulah yang menyebabkan kesalahan menyebut nama (disarikan dari berbagai buku. Antara lain: Tafsir Mimpi, Psikopatologi dalam Kehidupan Sehari-hari, Pengantar Umum Psikoanalisis).

Karya-karya Freud

Studies on Hysteria (1895), The Interpretation of Dreams (1900), Psychopathology of Everyday Life (1901), Three Essays on the Theory of Sexuality (1905), Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905), Dora Case (1905), Obsessive Actions and Religious Practices (1907), Creative Writers and Daydreaming (1908), Civilized Sexual Morality and Modern Nervous Illness (1908), Delirium dan Mimpi-Mimpi dalam Gradiva Karangan W. Jensen, Little Hans (1909), yang merupakan gambaran kasus Oedipus Complex, Orang dan Tikus (1909), Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah (1910), Sebuah Ingatan dari Masa Anak Leonardo da Vinci (1910), Totem and Taboo (1913), Pengantar pada Narsisme (1914), Pengantar pada Psikoanalisa (1916-1917), Orang dengan Serigala (1918), antara tahun 1918 – 1920: Naluri-Naluri dan Liku-likunya, Represi, Ketidaksadaran, Tambahan Metapsikologis tentang Teori Mimpi, Perkabungan dan Melankoli, Beyond the Pleasure Principle (1920), Ego and Id (1923), Inhibitions, Symptoms, and Anxiety (1926), The Future of an Illussion (1927), Civilization and Its Discontens (1930), Moses and Monotheism (1939).

Intisari Pemikiran Freud

Manusia adalah entitas yang berdinamika (atau berkonflik).

Manusia dikuasai oleh dorongan-dorongan yang tidak disadari. Perilakunya dipengaruhi oleh dorongan-dorongan yang tidak disadari.

Kepribadian manusia terbentuk dari pengalaman masa lalunya.

Gangguan psikologis adalah letupan-letupan dorongan yang tidak disadari. Gangguan psikologis terjadi jika dorongan yang tidak disadari sangat kuat sementara ego tidak mampu merepresi atau membuat defence mechanism.

Cara menyembuhkan gangguan psikologis adalah asosiasi bebas dan katarsis: meluapkan apa pun yang dirasakan.

Dalam kaitan dengan tatanan masyarakat, menurut Freud tatanan masyarakat dibentuk untuk merepresi dorongan-dorongan primitif yang tidak disadari.

Bahan Bacaan
Berry, Ruth. 2001. Freud: Seri Siapa Dia?. terj. Frans Kowa. Jakarta: Erlangga.

Freud, Sigmund. 1991. Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah. terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

------------------ 2001. Tafsir Mimpi. terj. Apri Danarto, Ekandari Sulistyaningsih, Ervita. Yogyakarta: Jendela.

------------------ 2002. Totem dan Tabu. terj. Kurniawan Adi Saputro. Jogjakarta: Jendela.

----------------- 2005. Psikopatologi dalam Kehidupan Sehari-hari. terj. M. Sururi. Pasuruan: Pedati.

----------------2006. Pengantar Umum Psikoanalisis. terj. Haris Setiowati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hall, Calvin S. 2000. Libido Kekuasaan Sigmund Freud. terj. S. Tasrif. Yogyakarta: Tarawang.

Any Rufaidah, Depok, 13 November 2009

10.31.2009

Sejarah Psikologi


Bicara sejarah psikolog berarti harus kembali pada filsafat. Di berbagai buku yang membicarakan sejarah psikologi, filsafat selalu menjadi kajian awalnya. Hal ini sungguh sangat wajar karena psikologi mempelajari proses kognitif, dan proses kognitif (dalam hal manusia memperoleh pengetahuan) adalah tema besar yang didialogkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Maka dari itu, untuk berbicara sejarah psikologi mau tidak mau harus kembali pada filsafat Yunani kuno –tentu dalam tema yang kajiannya menjadi objek psikologi. Banyak buku yang mengkaji sejarah psikologi, namun bagi saya buku Sejarah Psikologi: Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern milik C. George Boeree adalah yang cukup bisa memberi pemahaman secara sederhana namun padat.

Hasil penelusuran Boeree menemukan Aristoteles lah yang secara langsung bisa disebut sebagai perangsang bagi munculnya kajian psikologi. Aristoteles mempunyai teori yang disebut asosianisme. Ide ini awalnya dari Plato, namun Aristoteles yang dipercaya menyusunnya menjadi teori yang lebih rigid. Asosianisme mengungkapkan bahwa dalam proses mengingat ada asosiasi-asosiasi. Asosianisme memiliki empat hukum.
1.Hukum hubungan (The law of contiguity). Hukum ini mengatakan, dalam ingatan, hal atau peristiwa memiliki asosiasi dengan hal atau peristiwa yang berhubungan. Misalnya, jika kita mengingat cangkir, bisa jadi kita juga mengingat piring. Jika kita mengingat microsoft word, bisa jadi juga mengingat komputer.
2.Hukum frekuensi (The law of frequency). Hukum ini mengatakan jika hal atau peristiwa dihubungkan terus-menerus dalam waktu yang cukup lama, maka dua hal atau peristiwa itu akan selalu berhubungan dalam ingatan. Misalnya, jika setiap sesudah makan selalu merokok, maka makan dan merokok selalu berhubungan. Setiap setelah makan yang kita ingat adalah rokok.
3.Hukum kesamaan (The law of similarity). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat salah satu hal atau peristiwa yang memiliki kesamaan dengan hal atau peristiwa yang lain, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa yang menjadi kembarannya. Misalnya, jika kita mengingat salah satu dari anak kembar, bisa jadi kita akan mengingat pula kembarannya. Jika kita mengingat sebuah pesta ulang tahun, bisa jadi kita mengingat pula pesta ulang tahun yang lain.
4.Hukum kebalikan (The law of contrast). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat hal atau peristiwa, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa lawannya. Misalnya, jika kita mengingat orang yang paling tinggi, bisa jadi kita akan mengingat orang yang paling pendek.

Asosiasi menurut Aristoteles bisa didahului oleh aktivitas memandang, merasa, membau. Misalnya, pada saat memandang apel muncul ide tentang apel. Begitu pula saat merasa atau membau apel.

Selama 2000 tahun teori asosiasi Aristoteles ini dianggap benar –dan cenderung dilupakan. Baru setelah masa pencerahan (Renaisans) asosianisme dikaji kembali. Mereka yang mengkajinya kembali adalah Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, David Hartley, dan James Mill. Semuanya berbicara seputar bagaimana manusia memperoleh pengetahuan: apakah pengetahuan bisa diperoleh dari pancaindera, apakah ada ide bawaan, bagaimana asosiasi antara satu benda dengan benda yang lain dalam pikiran, dan lain sebagainya.

Saat itu, para filsof masih tidak percaya psikologi bisa menjadi ilmu, karena berbagai aktivitas dan isi pikiran tidak bisa diukur. Adalah Ernst Weber (1795 – 1878) yang membantah ketidakpercayaan tersebut. Weber mengeluarkan hukum yang kemudian dikenal Weber’s Law. Hukum tersebut menyatakan adanya hubungan antara stimulus fisik dengan pengalaman mental. Contohnya: jika kita pernah mengangkat beban seberat 40 kg, setelah itu mengangkat berat 41 kg, kita tidak bisa membedakannya. Berbeda jika beban kedua yang kita angkat seberat 20 kg. Artinya, ada saat di mana kita tidak bisa membedakan dan bisa membedakan. Hal itu sangat terkait dengan proses mental.

Kerja-kerja Weber ini dilakukan bersama Gustav Fechner. Hukum Weber dan Fechner disebut oleh Boeree didasari oleh prinsip panteisme Baruch Spinoza. Spinoza mengatakan bahwa di alam semesta hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Manusia dan yang ada dalam alam semesta adalah modifikasi-modifikasi dari yang Esa itu (Solomon & Higgins, terj., 2002). Weber dan Fechner menggunakan prinsip ini sebagai penjelasan bahwa jiwa termodifikasi dalam fisik. Oleh karena itu jiwa bisa dipelajari dan diukur melalui apa yang tampak secara fisik. Tahap ini disebut tahap psikofisik. Mulai ada titik terang bagi psikologi untuk menjadi ilmu.

Pada tahun-tahun berikutnya, para doktor ilmu kedokteran dan fisiologi mulai melakukan penelitian tentang asosiasi. Kajian-kajian tentang asosiasi dan yang terkait dengannya pun, misalnya memori mulai diteliti secara ilmiah. Boeree menyebut Hemann Ebbinghaus sebagai orang pertama yang membuat usaha pengkajian asosiasi secara ilmiah. Ebbinghaus melakukan eksperimen memori dengan cara menyuruh beberapa orang (dan dirinya sendiri) untuk membaca dan mengingat-ingat beberapa kata yang tidak punya arti (nonsense syllables) secara berulang-ulang. Setelah itu daftar kata disingkirkan dan subjek-subjek (dan Ebbingus sendiri) harus menyebut kata-kata tadi.

Hasilnya, ada kata-kata yang dingat dan dilupakan. Dari eksperimen ini pula Ebbinghaus membuat kurve ingatan yang dikenal Kurve Retensi dari Ebbinghaus. Kurve tersebut menunjukkan bahwa apa yang sudah dipelajari akan dilupakan. Mula-mula banyak sekali yang dilupakan sehingga kurve merosot. Tetapi semakin lama kemerosotan itu semakin berkurang. Dan pada waktu tertentu ada sejumlah kata-kata yang diingat dalam waktu yang lama. Hukum Ebbinghaus menyebutkan, “Semakin banyak hal yang harus dipelajari, semakin banyak pula waktu yang diperlukan. Hukum ini disebut Hukum Ebbinghaus (Sarwono, 2002). Buku Ebbinghaus yang terkenal adalah adalah On Memory: An Investigation in Experimenatl Psychology (1885). Ebbinghaus pun pernah menulis artikel pertama tentang tes inteligensi terhadap anak-anak sekolah.

Eksperimen-eksperimen semakin giat dilakukan. Alfred Binet dan Theodore Simon meneliti intelegensi. Kedua orang ini berhasil pula membuat alat tes inteligensi yang kemudian dikenal Binet-Simon Scale of Intelligence. Namun psikologi belum menjadi ilmu. Adalah Wilhelm Wundt yang kemudian berani menegaskan bahwa psikologi bisa menjadi ilmu. Seperti halnya Weber dan Fechner, Wundt percaya pada prinsip panteisme Spinoza –dalam hal kajian psikologi disebut panpsikisme. Prinsip itu berbunyi: “Setiap peristiwa fisik mempunyai imbangan mentalnya masing-masing, dan setiap peristiwa mental mempunyai imbangan fisiknya masing-masing.”

Wundt yakin proses-proses mental bisa diukur melalui yang tampak pada fisik. Seiring dengan keyakinannya itu ia melakukan eksperimen secara mendalam, metodis, dan ketat. Wundt meneliti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi, mendirikan laboratorium di Leipzig pada 1876, dan mulai diikuti banyak orang. Wundt lah yang di kemudian hari disebut Bapak Psikologi. Ia yang menandai lahirnya psikologi sebagai ilmu sendiri yang terpisah dari filsafat. Di satu belahan bumi yang lain, Harvard, William James mendirikan laboratorium psikologi, dan ia mengajar psikologi fisiologis dengan mengacu pada Wundt. Pada 1889 James menjadi profesor psikologi dan tahun berikutnya ia menerbitkan dua volume buku The Principles of Psychology.

Secara kronologis, sejarah psikologi bisa digambarkan sebagai berikut:
Kajian yang berkaitan dengan psikologi dimulai oleh filsafat (Asosianisme Aristoteles) --> Asosianisme baru dikaji kembali pada saat Renaisans (kurang lebih abad 16) – kajian-kajian psikologi masih menjadi bagian filsafat --> kajian-kajian psikologi mulai diteliti oleh doktor ilmu kedokteran dan fisiologi – tahap ini disebut tahap psikofisik – orang-orang yang berperan adalah Ernst Weber dan Gustav Fechner – namun psikologi belum diakui sebagai ilmu, bahkan ada yang yang mengatakan psikologi tidak mungkin bisa menjadi ilmu sendiri --> Wundt menyanggah pesimisme atas psikologi. Berprinsip pada panpsikisme Spinoza ia terus meneliti proses-proses mental seperti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi secara detail dan mendalam --> Wundt disebut sebagai Bapak Psikologi – 1879 disebut tahun kelahiran psikologi.

Any Rufaidah, Depok, 31 Oktober 2009.

Bahan Bacaan:


Boeree, C. George. 2005. Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern. Terj. Abdul Qodir Shaleh. Jogjakarta: Prismashopie.

Sarwono, Sarlito W. 2002. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Solomon, Robert C. & Higgins, Kathleen M. 2003. Sejarah Filsafat. Terj. Saut Pasaribu. Jogjakarta: Bentang.

10.07.2009

Sekilas tentang Cultural Studies dan Cultural Resistance


Cultural Studies
Tulisan ini merupakan sedikit review dari pelatihan Cultural Studies (etnografi di dalamnya) yang sempat saya ikuti pada tanggal 19-23 September 2008. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes ini didesain dengan Sersan (Serius tapi Santai). Serius karena narasumber yang memandu adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di tingkat nasional, yaitu Mas Kirik Ertanto (Save Children) dan Mujtaba Hamdi (Peneliti Tankinaya Institute, Depok). Santai karena model pembelajarannya santai. Tidak ada kontrak forum, peserta bisa mengikuti materi sambil tiduran, makan, minum, dan lain sebagainya asal tidak mengganggu jalannya pelatihan.

Cultural studies bagi saya merupakan kajian yang masih asing. Meskipun sudah sering mendengarnya, pengetahuan saya masih sangat minim. Apa itu cultural studies masih menjadi pertanyaan besar. Pada pelatihan ini saya sedikit mendapat pencerahan tentang pertanyaan tersebut tanpa harus membaca berbagai buku tebal seperti milik Chris Barker. He he.

Yang saya tangkap dari penjelasan Mas Kirik tentang CS adalah:
1. Bahwa CS merupakan reaksi terhadap dominasi yang menganggap bahwa kesadaran setiap orang di muka bumi ini seragam, mengikuti satu alur, dan bisa dikendalikan. Ibaratnya seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia seperti kawanan domba: digiring ke sana ikut ke sana dan digiring ke sini juga ikut saja. CS ingin menjelaskan bahwa kelas bawah memiliki ideologi yang tidak mesti sama dengan persepsi dominasi. Mereka memiliki pemaknaan sendiri tentang apa yang mereka lakukan dan kerjakan: tentang penampilan, arti pertemanan, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Tidak seperti pandangan dominasi yang menganggap bahwa hidup adalah begini dan begitu, di luar itu adalah abnormal. Pada anak jalanan misalnya, mereka memiliki pemaknaan-pemaknaan sendiri tentang apa pun yang melekat pada diri mereka, berbeda dengan apa yang dipersepsi oleh dominasi yang menganggap mereka tidak memiliki aturan, tidak bermoral, banyak tingkah, dan lain sebagainya.

2. CS sekaligus ingin menegaskan bahwa ideologi tidak pernah bersifat total.

3. CS adalah perayaan atas keberagaman.

Any Rufaidah, Banyuwangi, 1 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009

Cultural Resistance
Tulisan ini adalah review kedua dari pelatihan PUSPeK Averroes pada bulan September 2008. Cultural resistance (CR) pada saat itu disampaikan secara eksklusif oleh kawan Mujtaba Hamdi (Taba). Bagi saya CR merupakan tema yang masih asing pula. Ya….begitulah. Terlalu banyak hal-hal asing karena problem kurang membaca.

Cultural resistance –dari istilahnya saja sudah bisa diterka– yaitu perlawanan kebudayaan. Apa yang ada dalam bayangan ketika membaca istilah tersebut? Yang disebut perlawanan adalah keluar dari ke-umum-an (hal yang umum), mayoritas, atau mainstream. Kurang lebih demikian yang saya tangkap dari pelatihan. Dilihat dari latar belakangnya, CR bertujuan untuk melawan dominasi. Secara spesifik, dominasi yang dimaksud di sini adalah hegemoni, kuasa.

Namun dominasi bukan berarti selalu pemerintah. Kata Mas Taba, dominasi, kuasa, tidak selalu berada di luar tempat kita berdiri. Dominasi tidak ada hubungannya apakah ia internal dalam lembaga yang kita naungi atau eksternal (pemerintah misalnya). Lembaga internal atau eksternal bisa menjadi sarang hegemoni bagi individu-individu yang ada di dalamnya.

CR menjelma dalam dua wadah: bentuk dan isi. Dilihat dari bentuk, misalnya musik, grafiti, interpretasi, dan aktivitas. Dari isinya, misalnya lirik musik yang nyeleneh. Di Indonesia, musik yang dicontohkan oleh Mas Taba saat itu adalah lagu-lagu Slank dan Iwan Fals. Rasanya sudah jelas mengapa lagu-lagu Slank dan Iwan Fals menjadi contoh CR. Dalam konteks dunia adalah lagu-lagu John Lennon. Yang juga sempat dicontohkan pada pelatihan adalah budaya punk.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa CR terjadi? Di atas sudah sedikit disinggung alasan CR. Tetapi yang ini lebih mendasar. CR muncul karena kebutuhan terhadap ruang bebas. Ruang bebas bisa dipilah dalam dua bentuk: individual dan material. Ruang bebas individual misalnya kebebasan berpikir, menginterpretasi, dan beraktivitas sesuai dengan kesadaran yang dimiliki. Sedangkan ruang bebas yang material misalnya lirik lagu.

CR tidak terjadi begitu saja. Ada proses dan tingkatannya. Proses CR dalam istilah Mas Taba atau referensi yang ia baca disebut Political Consciousness. Individu berangkat dari keadaan tak sadar, kemudian coba-coba, dan terakhir sadar.
Tidak sadar –> Appropiasi (coba-coba. Seperti halnya coba-coba rasa garam) –> sadar
Lingkup CR : individu –> subculture –> masyarakat
Hasil proses CR : bertahan –> perlawanan –> revolusi
Demikian sekilas tentang CS dan CR. Semoga bermanfaat.

Any Rufaidah, Malang, 24 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009



10.06.2009

Mahasiswa



Auditorium IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, pada pukul satu siang lebih (Oktober 2009) dipenuhi tak kurang dari 30 orang mahasiswa. Saya berada di antara mereka, untuk mendengar pengalaman, pemaparan, dan analisis pembicara tentang gerakan mahasiswa, seperti tema yang tercantum pada spanduk putih biru yang terpampang di depan auditorium. Sebuah tari daerah oleh siswa-siswa sebuah SMA di Jakarta, yang pasti dipersiapkan dengan latihan ketat, ditampilkan.

Tiga orang pembicara diundang ke panggung. Mereka menyampaikan pemaparannya masing-masing selama 30 menit. Menarik dan cukup berisi, tidak terbatas pada gerakan mahasiswa, tetapi juga pada sosial politik Indonesia. Narasumber pertama, yang kini berusia 66 tahun dan pernah masuk tahanan sebanyak tujuh kali selama mahasiswa, memulai pemaparannya dengan pernyataan, “Indonesia didirikan oleh mahasiswa.” Pernyataan ini tampaknya bisa dikorelasikan dengan peristiwa menjelang kemerdekaan ’45: penculikan Soekarno ke Rengasdengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Turunnya Soekarno pada ’66 juga tak lepas dari peran mahasiswa. Soeharto pun diturunkan oleh mahasiswa, lanjut narasumber.

Mahasiswa tidak pernah absen dalam sejarah. Mahasiswa memiliki andil besar dalam sejarah politik yang berimplikasi langsung pada kehidupan sosial. Pembicara ketiga, yang banyak mengamati dan mengkritik sistem dan perilaku politik Indonesia saat ini, mengatakan, “Sejak ’60 – ’64 sudah ada gerakan-gerakan anti Soekarno dari mahasiswa.” Pada ’65 HMI dibubarkan oleh Soekarno. Pembubaran tersebut menyusul hubungan yang kurang baik antara Soekarno dan Masyumi. HMI dianggap sebagai organ yang mendukung Masyumi oleh Soekarno. Posisi mahasiswa dimanfaatkan oleh Angkatan Darat yang merasa cemburu atas hubungan Soekarno dengan PKI yang terlalu dekat. Angkatan Darat mengikat mahasiswa dalam ideologi “Anti PKI”. Pemanfaatan posisi mahasiswa tak lain untuk menggulingkan Soekarno. Sebagai balas jasa, Soeharto memberi posisi penting kepada para aktivis ’66 dalam pemerintahan Orde Baru. Ini adalah contoh dari pembicara ketiga tentang andil besar mahasiswa dalam sejarah Indonesia.

Andil mahasiswa juga terbukti saat reformasi ’98. Namun, pembicara juga menyampaikan kritik pedas terhadap mahasiswa. Ia mengatakan, “Mahasiswa punya andil besar untuk mengganti demokrasi, tetapi mahasiswa tidak mampu menjawab masalah demokrasi unsubstansial hari ini.” Kebobrokan pemerintah maupun potensi pemerintah otoriter yang dijalankan dengan cara lembut (soft authority) yang mulai terlihat terbukti tak mampu disikapi secara kolektif oleh mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa saat ini tidak berdiri pada pondasi yang sama. Mereka tak punya unity dan nilai gerakan yang sama. Pembicara menyinggung pula jiwa intelektual organik yang tak begitu terasa pada mahasiswa. Pembicara mengutip Antonio Gramsci: “Semua orang bisa menjadi intelektual, tetapi tidak semua orang bisa menjadi intelektual organik.” Pembicara mengutip pendapat tersebut rupanya untuk menegaskan bahwa mahasiswa jaman modern ini tak cukup punya sensitivitas, yang bisa menghayati apa yang ada di lingkungan sekitarnya.

Any Rufaidah, Depok, 6 Oktober 2009

Link mendukung: http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakti.html

10.05.2009

Ruang Lingkup Psikologi

Tulisan ini adalah tulisan kedua yang membahas seputar psikologi dari yang paling dasar. Jika di tulisan pertama saya menulis definisi psikologi, maka di tulisan kedua ini saya menulis tentang ruang lingkup psikologi. Bacaan bahasan ini adalah Pengantar Psikologi (jilid I edisi ke-11) Rita L. Atkinson dkk. Dalam buku tersebut, Atkinson tidak langsung menyebutkan apa saja yang dipelajari psikologi, tetapi ia memberi contoh untuk ditangkap sendiri oleh pembaca. Berikut saya kutip secara lengkap contoh-contoh tersebut:

1.Hidup dengan otak yang terbelah. Otak manusia dibagi menjadi hemisfer kiri dan kanan. Dalam keadaan normal, kedua hemisfer itu berhubungan satu sama lain melalui serabut-serabut syaraf. Tetapi sebagian orang yang menderita epilepsi parah menjalani pemutusan serabut-serabut tersebut secara bedah dan hidup dengan otak yang terbelah (pemisahan ini mencegah kejang yang berasal di salah satu hemisfer ke hemisfer lain). Interaksi kasual (sepintas) dengan orang lain tidak menyatakan sesuatu yang tidak lazim. Tetapi eksperimen psikologi sekarang menunjukkan bahwa orang dengan otak terbelah bisa memiliki persepsi dan pengalaman sadar yang tidak lazim, dan eksperimen tersebut menjelaskan banyak hal tentang kesadaran normal.

2.Ketakutan terkondisi (terbiasakan). Seekor tikus diletakkan di ruang tertutup dan secara berkala dihubungkan dengan kejutan listrik ringan melalui lanta. Tepat sebelum kejutan listrik terjadi, terdengar suatu bunyi nada. Setelah nada dan kejutan diberikan beberapa kali, bunyi nada saja akan menghasilkan reaksi yang menyatakan rasa takut, termasuk meringkuk dan defekasi. Hewan itu dikatakan mengalami suatu ketakutan terkondisi terhadap apa yang sebelumnya merupakan stimulus tak berbahaya (bunyi nada).
Banyak rasa takut yang dialami oleh manusia mungkin dipelajari dengan cara ini, terutama pada masa anak-anak dini. Bayangkan seorang anak kecil yang mengalami penyiksaan fisik atau emosional oleh kerabat tertentunya. Setelah sejumlah pengalaman menyakitkan, semata-mata mendengar suara kerabatnya itu dapat menimbulkan reaksi ketakutan pada anak. Ketakutan itu, yang dipelajari dengan sedikit pikiran atau kesadaran, sulit untuk dilawan dengan penenangan verbal (misalnya: “Tidak ada yang perlu ditakuti lagi sekarang”). Tetapi rasa takut dapat dikurangi dengan suatu bentuk terapi yang didasarkan pada prinsip pengkondisian (pembiasaan).

3.Amnesia masa anak-anak. Sebagian besar orang dewasa, bahkan yang telah lanjut usia, dapat mengingat peristiwa pada masa kecilnya, tetapi hanya sampai tingkat tertentu. Hampir tidak ada orang yang dapat mengingat peristiwa yang terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupannya. Ambil contoh peristiwa penting seperti kelahiran adik. Jika kelahiran itu terjadi setelah anak berusia 3 tahun, ia mungkin memilikii suatu kenangan akan peristiwa tersebut. Jumlah yang dapat diingat semakin banyak lagi jika usia anak saat kelahiran itu lebih tua. Tetapi jika kelahiran adik terjadi sebelum usia 3 tahun, sebagian besar orang tidak dapat mengingat kejadian tentang peristiwa itu.
Fenomena ini, yang ditemukan oleh Sigmund Freud, dinamakan amnesia masa anak-anak (childhood amnesia). Hal ini sangat mengejutkan, karena tiga tahun pertama itu adalah tahun-tahun yang sangat kaya akan pengalaman. Sangat banyak hal baru yang tidak terjadi lagi: kita berkembang dari neonatus yang tidak berdaya menjadi bayi yang mulai merangkak dan berceloteh dan menjadi anak yang belajar berjalan dan bicara. Tetapi transisi yang luar biasa itu hanya meninggalkan sedikit jejak dalam kenangan kita.

4.Obesitas. Secara kasar diperkirakan 35 juta orang Amerika mengalami obesitas (kegemukan), yang secara teknik berarti mereka memiliki berat badan 30 persen atau lebih dari berat badan yang sesuai untuk struktur dan tinggi badannya. Obesitas menyebabkan meningkatnya insidensi diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Di ujung spektrum lainnya, sebagian individu (terutama wanita muda) menderita anoreksia nervosa, suatu gangguan di mana penderita membatasi makannya. Kadang-kadang sampai menimbulkan kelaparan bagi dirinya sendiri. Anoreksia dapat menyebabkan kematian.
Para ahli psikologi tertarik untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan orang makan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Salah satu faktor tampaknya adalah riwayat kelaparan. Jika tikus pertama kali tidak diberi makanan, kemudian dibiarkan makan sebanyak mungkin, mereka makan lebih banyak dibandingkan tikus lain yang tidak memiliki riwayat kelaparan. Pada kasus ini, kelaparan sebelumnya menyebabkan makan berlebih selanjutnya. Ini dapat menjelaskan mengapa banyak kasus anoreksia secara paradoksikal mencatat pesta makan juga: kelaparan yang diperlukan untuk tetap kurus akhirnya menyebabkan makan berlebihan.

5.Ekspresi agresi. Banyak orang sekarang percaya bahwa mereka dapat menurunkan perasaan agresif mereka dengan mengekspresikannya secara langsung atau seakan-akan dialami oleh orang lain. Untuk mempelajari ekspresi agresi yang seolah-olah dialami oleh orang lain, para peneliti mengamati anak-anak yang sedang menonton televisi. Di dalam suatu penelitian, salah satu kelompok anak menonton film kartun yang penuh kekerasan, sedangkan kelompok lain menonton film kartun yang tanpa kekerasan, dengan jumlah jam tayang yang sama. Anak yang menonton film kartun dengan kekerasan menjadi lebih agresif dalam interaksinya dengan teman sebayanya, sedangkan anak yang menonton film kartun tanpa kekerasan tidak menunjukkan perubahan agresi. Selain itu, efek kekerasan pada televisi tersebut dapat bertahan lama: semakin banyak tayangan kekerasan dalam televisi yang ditonton oleh anak usia 9 tahun, semakin besar kemungkinan dirinya menjadi agresif pada usia 19.
(Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi (jilid 1 edisi ke-11), terj. Widjaja Kusuma (Batam: Interaksara, tanpa tahun), hlm. 15-19)

Dari kelima contoh di atas, bisa ditangkap bahwa yang dipelajari oleh psikologi adalah perilaku manusia. Cakupan ini sangat luas. Atkinson dkk mengakui hal ini. Dalam diskusi kelas akhir-akhir ini, saya sering mendengar bahwa kini psikologi semakin bisa diterapkan di semua aspek. Ungkapan yang lain adalah, “Psikologi tidak boleh dianggap sebagai ilmu yang sempit, karena psikologi bisa masuk di mana saja.” Kurang lebih alasannya adalah: karena di mana pun manusia berperilaku. Untuk mempelajari perilaku tersebut, psikologi mempelajari pula ilmu fisiologi (terutama terlihat pada contoh 1).

Pertanyaan besar yang menjadi semangat dalam psikologi adalah: “Mengapa orang berperilaku demikian?” Bagi orang yang belajar psikologi saat ini, mereka sudah memiliki alat analisis, yaitu aliran-aliran/perspektif-perspektif dalam psikologi itu sendiri.

Any Rufaidah, Depok, 3 Oktober 2009



Psikologi


Saya sebut tulisan ini dan tulisan-tulisan berikutnya yang terkait psikologi sebagai tulisan seri psikologi. Tulisan ini sengaja saya buat untuk me-refresh pelajaran psikologi. Saya memulai dengan pengertian psikologi.Banyak orang yang menyebut psikologi sebagai ilmu jiwa. Pengertian ini muncul dari arti harfiah psikologi itu sendiri: psyche dan logos. Dalam bahasa Inggris, psyche berarti soul, mind, atau spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata itu dapat dicakup dalam satu kata: jiwa (Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 4). Sedangkan pengertian logos kiranya sudah sangat dipahami. Dari arti harfiah tersebut psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa.


Di Indonesia, pengertian ini diperdebatkan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan. Pertama, karena persoalan semantik. Jiwa sulit dipisahkan dari kata-kata lain yang mirip, misalnya, nyawa, sukma, batin, dan roh. Akan ada perdebatan terus-menerus jika psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa. Kedua, karena persoalan scientific. Dalam kajian Sarlito W. Sarwono, sejak psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan, yang terpisah dari filsafat (sejak 1879), muncul kesulitan. Pasalnya, objek ilmu pengetahuan harus nyata. Sementara untuk membuktikan adanya jiwa sebagai sesuatu yang nyata adalah tidak mungkin. Tuntutan scientific membuat para sarjana psikologi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang sama dengan karakterologi (ilmu tentang karakter) atau tipologi (ilmu tentang berbagai tipe atau jenis manusia berdasarkan karakternya) (Ibid., hlm. 5).

Pengertian lain mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan (ekspresi kejiwaan) yang tampak melalui raga atau badan. Masalah yang muncul dari definisi adalah: ekspresi yang ditampakkan seseorang tidak selalu menjadi representasi apa yang dirasakan. Dalam istilah sehari-hari kita mengenal tangis bahagia. Itulah contohnya. Artinya, menangis tidak selalu menunjukkan kesedihan. Namun, dalam kajian Sarlito, definisi di atas mendapat pembenaran: Toh kita bisa membedakan mana tangis bahagia, senyum malu, dan senyum ramah. Ekpresi-ekspresi itu akan dapat dipahami karena kita tidak melihat seseorang dari ekspresi yang tampak semata, melainkan dari seluruh tingkah laku seseorang. Berdasarkan argumentasi ini psikologi mendapat definisi yang baru: ilmu tentang tingkah laku (Ibid., hlm. 6-7).

Pengertian ini yang tampaknya dipegang oleh para sarjana dan akademisi psikologi saat ini. General Psychology menulis: More recently, most psychology textbooks have come full circle, and now psychology is most typically defined as the science of behavior and mental processes (Frederick L. Coolidge, Psychology: A Paradigmatic Approach, Second Edition, (Massachusetts: Pearson Custom Publishing, Tanpa Tahun), hlm. 1). Pengertian terakhir mencantumkan proses mental sebagai objek kajian psikologi. Artinya, psikologi juga mempelajari ilmu faal.

Any Rufaidah, Depok, 27 September 2009

9.07.2009

Syukur


Bersyukur bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat susah –atau setidaknya sering terlupakan. Buktinya, banyak orang yang menulis bahwa dirinya mesti bersyukur, banyak kiai dan ustadz yang menekankan berulang-ulang tentang pentingnya bersyukur, dan ada lagu-lagu tentang syukur. Mungkin kita termasuk dalam kebanyakan orang itu, yang susah bersyukur, atau sering melupakan syukur, yang justru mudah mengeluh. Percakapan dengan teman baru, seorang Padang yang merantau di Jakarta lima tahun ini telah memberi pelajaran bahwa syukur kerap terlupakan.

Seorang Padang itu berusia 24 tahun, lebih muda setahun dari saya. Tetapi perjuangan hidup –atau ‘kesusahannya’ sudah sangat panjang. Ia hanya berhasil menempuh pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Setelah itu ia bekerja. Dalam percakapan malam itu, ia mengaku pernah bekerja sebagai pengaspal jalan, sebagai kuli bangunan, pedagang baju kaki lima yang tidur di emper-emper toko, dan sekarang sebagai penjaga warung Padang milik pamannya di depan Kelurahan Beji, Depok.

Seperti orang yang baru saja keluar dari pengasingan yang tanpa teman, kawan Padang itu bercerita panjang lebar, termasuk jumlah uang yang akan ia bawa pulang kampung lebaran nanti. Namun bisa dimaklumi, karena ia tak punya teman untuk ngobrol, pun waktu untuk menikmati megahnya kota. Pada waktu puasa begini, ia dan seorang kawannya mesti menjaga warung hingga jam lima pagi. Jam sepuluh pagi warung harus dibuka lagi. Jika kebosanan datang, hanya play station dan televisi yang menjadi teman. Begitu setiap hari selama lima tahun ini.

Dalam perjalanan ke Jakarta tiga hari lalu, seorang pemuda Bogor, yang tiba-tiba duduk di bangku bis sebelah saya, mengaku malu untuk bergaul dengan orang-orang berpendidikan tinggi, karena ia hanya tamatan sekolah menengah pertama. Perjalanan pada bis berikutnya, seorang kenek yang usianya lebih muda dari saya sedang memasang penutup kursi bis. Dua sopir dalam bis yang sama sedang membicarakan desas-desus adanya tunjangan hari raya yang jumlahnya Rp 500 ribu dari manajemen bis tempat bekerja mereka. Itu pun masih desas-desus. Pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah ada THR dari pengelola. “Bukannya hanya kue kaleng dan sirup?,” kata seorang sopir tak percaya. Rp 500 ribu setahun, itu adalah jumlah kecil untuk pekerjaan seorang sopir. Tetapi sopir-sopir itu toh begitu menantikannya.

Kurang lebih 15 hari lalu, seorang gadis 18 tahun, yang bekerja sebagai pembantu di rumah seorang kawan, beranggapan bahwa dirinya bukan orang yang selevel dengan saya. Pendidikannya hanya sekolah dasar. Lulus sekolah ia sudah bekerja di beberapa kota: Surabaya, Bali, dan sekarang di Malang, sebagai penjaga toko, penjaga counter HP, dan sekarang sebagai pembantu rumah tangga.

Di terminal Rawamangun tiga hari lalu seorang pemuda tampan mendorong gerobak mie ayam dagangannya. Di sudut lain terminal seorang pemuda berlari-lari menghampiri penumpang yang baru turun dari bis, menyiapkan bahunya untuk mengangkut barang bawaan penumpang.

Pagi ini, seorang anak kecil yang belum genap 15 tahun menjajakan korannya di sekitaran fakultas, kemudian satpam menegurnya agar tak berjualan di kawasan dalam fakultas. Di berbagai tempat dan sudut kota, banyak sekali dijumpai pemandangan-pemandangan tak sedap. Tapi merekalah yang mengingatkan kita untuk bersyukur, atau ingat pada syukur, yang menggerakkan hati kita: sebetulnya, betapa kita adalah orang-orang yang sangat beruntung.

Any Rufaidah
Depok, 7 September 2009

9.05.2009

Suara


12 orang ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang itu setidaknya menjadi gambaran bahwa tak semua orang Indonesia mampu bersuara tanpa rasa takut. Mereka berbisik-bisik sebelum mencoba menjawab pertanyaan orang yang berdiri di depan. “Nanti salah?,” bisik salah seorang di antara mereka yang ingin mencoba menjawab. Begitu sulit bagi mereka untuk mengeluarkan suara. Padahal orang yang berdiri di depan bukan pejabat. Ia fasilitator yang sudah beberapa kali bertemu, beradaptasi, dan berbicara dengan bahasa yang tepat. Dalam forum kecil itu pun ia mengulang-ulang kata, “Tidak perlu takut. Tidak ada jawaban yang salah.” Meski begitu suara 12 ibu-ibu dan remaja putri tak dengan mudah ia dapat. Jika bukan karena niat tulus dan niat membangun, putus asa adalah jawabannya.

Desa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu adalah desa “pinggiran”. Sisi kanan adalah bukit dan sisi kiri adalah sawah dan ladang tebu. Jalannya sempit, aspalnya tak sempurna. Penduduk di sana tak akrab dengan pendidikan, meski ada remaja-remaja berseragam sekolah di beberapa tempat di pinggir jalan. Remaja-remaja berseragam itu pun nampaknya baru-baru ini saja, ketika teknologi sudah merajalela dan pemerintah harus tak enak diri membiarkan desa “pinggiran” tak punya bangunan sekolah.
Di tempat berbeda, di gedung dewan, para anggotanya berebut bicara. Lebih dari mampu. Bicara dengan otot ketika bicara dengan kata-kata tak menghasilkan kepuasan pun dilakukan. Yang terakhir bukan lagi urusan kemampuan, tapi kepuasan. Sangat jauh berbeda.

Mengapa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak mendapat latihan untuk bersuara? Sarana berlatih berbicara di negara ini praktis hanya sekolah. Hanya sekolah yang memberi ruang muridnya untuk membaca puisi, presentasi, dan bertanggung jawab atas pikiran yang dituangkan dalam kertas. Semakin tinggi pendidikan, semakin luas ruang untuk beraktualisasi, semakin tumbuh keberanian untuk berbicara. Sementara 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak biasa membaca puisi di depan teman-teman sekelasnya. Mereka terbiasa bekerja, di sawah atau di ladang, yang tak membutuhkan keterampilan untuk berbicara. Mereka juga bukan orang yang langsung berbicara kepada pedagang yang akan membeli gabah dan tebu mereka.

Seorang kawan pernah bercerita: di kampungnya, tak umum bagi anak-anak untuk bersekolah. Bukan semata-mata karena kemalasan, tetapi tak ada ruang sebagai tempat belajar. Sepanjang 60 tahun kemerdekaan Indonesia, sepanjang itu pula tak ada gedung sekolah di sana. Di pojok jalan menuju kampung sang kawan itu terlihat gedung sekolah SD, tetapi jaraknya tak sekedar jauh. Tak semua anak punya sepeda menuju ke sana. Dalam pikiran kita, itu persoalan yang semestinya sudah selesai. Kampung seorang kawan itu mestinya punya gedung sekolah sendiri. Apalagi kita tahu bahwa di kampung itu ada kepala dusun dan ada kepala desa. “Bagaimana ini?,” itu pertanyaannya. Apakah penduduk di sana tak punya harap berdirinya sebuah gedung sekolah? Apakah mereka tak punya harap menyaksikan anak-anak mereka berseragam, berbaris dan memberi hormat pada bendera, ikut serta dalam lomba-lomba kemerdekaan Indonesia, atau membaca puisi di panggung malam kelulusan?

Bagaimana jika bukan itu? Tetapi karena warga tak punya suara. Seperti lingkaran setan: tak punya suara karena tak mendapat cukup pendidikan dan akhirnya tak punya suara untuk menuntut pendidikan.

Konon, di dusun 12 ibu-ibu dan remaja putri, banyak orang yang menjadi TKI. Menjadi TKI bukan pekerjaan positif, meski pendapatan yang dihasilkan berlipat-lipat dan menyumbang devisa yang tak sedikit pada negara. Setidaknya itu tergambar dari cara seorang kawan yang memberi tahu tentang TKI di dusun tempat 12 ibu-ibu dan remaja putri itu. Ia berbicara dengan pelan, menyiratkan maksud berhati-hati. “Apa lagi ini?” Pekerjaan tak positif dipilih. Mungkin itu pula akibat tak punya suara.

Kita boleh bertanya, “Apakah menyelenggarakan pendidikan di desa di bawah bukit begitu sulitnya? Atau adalah kesengajaan, pendidikan tak diselenggarakan karena ia akan memberi suara, dan suara adalah bahaya?” 12 ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang adalah sebagian kecil saja.

Any Rufaidah
Malang, 26 Agustus 2009 (edited in Jakarta, 6 September 2009)

8.24.2009

Shof


Di antara tarawih dan witir, imam memberi ceramah. Sebuah tema ringan, tentang shof shalat –tetapi masalah shof bukan berarti masalah ringan. Suara imam terdengar perih –memang seperti orang yang menahan perih- karena keprihatinan yang mendalam. Dan suara yang ditekankan, seperti karena sesuatu yang teramat penting kerap diabaikan. Imam berkata bahwa sebagai imam ia memikul tanggung jawab yang teramat berat, bertanggung jawab atas kesempurnaan shalat jamaah, semua makmum. Masalah barisan jamaah pun menjadi tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, sebelum shalat, imam selalu menyerukan agar jamaah merapatkan barisan –imam menyampaikan perintah merapatkan barisan dengan bahasa Arab-nya yang fasih dan tenang.
Imam bertanya, “Mengapa shof harus rapat?” Karena shof mempengaruhi sempurnanya shalat. Jika shof rapat dan lurus, shalat akan lebih sempurna. Ketika shof tidak rapat, fadillah shalat akan berkurang. Derajat shalat berjamaah akan berkurang jika barisan shalat tidak rapat dan lurus. Dan itu menjadi tanggung jawab imam. Bukan itu saja kata imam. Yang lebih mengkhawatirkan, inti kata imam, “Allah akan mencerai-beraikan hati jamaah yang shof shalatnya tidak rapat.” Imam kemudian menyentuhkan perkataannya dengan banyaknya perpecahan antar-Muslim saat ini. Suara imam sekali lagi menahan perih.

Yang ketiga, imam mengatakan, “Jika shof tidak rapat, setan dan jin akan keluar masuk di antara barisan shalat.” Imam bercerita: Rasulullah pernah memegang tangan jin yang keluar masuk di antara barisan shalat hingga tangan beliau berkeringat. Seusai shalat Rasul berkata pada jamaah: Jika saja tidak sungkan pada Nabi Sulaiman, yang membangun kerajaan yang tidak tertandingi hingga hari kiamat dengan bantuan jin, Rasul akan mengikat jin dan memperlihatkannya pada jamaah. Cerita imam pula: Pada masa salah satu khalifah ada petugas shof. Khalifah tidak memulai shalat sebelum mendapat laporan kesempurnaan shof dari petugas.

Tidak sempurnanya shof adalah tanggung jawab imam. Malam pertama bulan Ramadlan, empat orang kawan tak mau jadi imam. Ada ucapan: “Itu bukan maqom saya” dan ada ekspresi yang menyiratkan: “Aku tak mampu jadi imam, karena tanggung jawab imam begitu beratnya.” Shalat tarawih berjamaah pun gagal. Lebih baik meneruskan billiard atau main facebook daripada menjadi imam. Itu bukan pilihan buruk.

Shof harus disempunakan, hingga kaki dan bahu saling menempel. Allah akan mencerai-beraikan hati orang yang shalat tanpa menyempurnakan shofnya. Apa makna pertemuan kaki dan bahu antarorang, sehingga tanpa itu Allah akan memberi peringatan dengan keras? Bagaimana jika ada masjid yang dikhususkan untuk golongan tertentu? Itu tentu bukan hanya masalah ketidaksempurnaan shof. Lalu Allah akan memberi peringatan apa pada yang demikian?

Any Rufaidah
Malang, 24 Agustus 2009

CSR


Meja rapat Averroes Community tak sedang kosong Rabu sore (19/8). Tepatnya sepuluh menit sebelum jam lima sore, tujuh orang pemuda sedang duduk melingkari meja biru muda itu. Mereka tak sedang nggosip atau guyon, sebuah kerja pengetahuan yang sedang mereka selenggarakan: diskusi rutin Reboan. Tema diskusi kala itu adalah “CSR dalam Kungkungan Soft Capitalism” –sebuah tema yang telah dijadikan bahan tertawaan oleh para pencetusnya sendiri. Seperti rapat dan forum-forum lain, cemilan dan teh hangat mendampingi. Hingga 20 menit berikutnya hadir beberapa orang lagi.

Salah seorang yang mendapat tugas memberi pengantar diskusi sedang mempresentasikan hasil bacaannya atas CSR. Sesekali pemberi pengantar diskusi itu menyimak tulisan tentang CSR dalam notebook-nya. Sementara yang lain tampak pula sedang baca-baca notebook masing-masing. Yang lain lagi menyimak, dengan berbagai mimik.

Tak kurang dari 20 menit pemberi pengantar diskusi presentasi, mulai latar belakang munculnya gagasan CSR hingga perkembangan definisi dan pelaksanaannya. Tak semua penjelasan bisa saya tangkap dengan sempurna, bahkan mungkin hanya secuil. Di antaranya: bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) lahir sebagai respon dari kerusakan lingkungan (ekologi) yang disebabkan oleh limbah industri-industri pertambangan. Para aktivis lingkungan yang memotori adanya CSR, antara tahun 1950-an. Pada mulanya, CSR berlaku secara sempit, berlaku untuk industri pertambangan saja. Masyarakat yang menerima dana CSR pun terbatas, hanya masyarakat di sekitar industri, sebab merekalah yang merasakan kerugian langsung.
Dalam perkembangannya, CSR berlaku untuk industri-industri lain, termasuk Unilever, Nestle, dan perusahaan multinasional lainnya. Wilayah penyaluran CSR pun semakin luas, tak sebatas untuk masyarakat sekitar industri. Pemberian beasiswa termasuk bentuk dari CSR.

Diskusi semakin menarik setelah moderator mempersilakan peserta diskusi menanggapi presentasi pengantar diskusi. Sangat bervariasi tanggapan-tanggapan yang muncul, jauh lebih kaya dari apa yang saya ketahui dan asumsikan. Diskusi pun berwarna, diselingi tawa. Misalnya, saat salah seorang peserta mengatakan tak tahu substansi apa yang tengah disampaikannya, peserta yang lain sontak tertawa. Atau saat seorang yang lain –yang menggantikan peran moderator sebelumnya- yang mengambil kesimpulan berbeda dengan yang telah diketengahkan peserta diskusi. Atau saat suara dengkur salah seorang peserta yang tertidur dalam posisi duduk mulai mengusik diskusi. Beragam dan menyenangkan.

Ulasan-ulasan beberapa peserta diskusi memang bervariasi, tetapi tampaknya semua ulasan itu akhirnya bertanya: “Apakah CSR representasi niat baik? Atau sebaliknya, ia tak lebih hanya bentuk kapitalisme yang dikerjakan dengan lebih lembut (soft)”. Diskusi bertambah seru. Adalah seseorang yang baru saja menyelesaikan studi magister di Texas, Amerika, yang kemudian “ditodong” untuk membagikan pengetahuannya tentang CSR.

Satu pernyataan penting darinya: “CSR justru menutupi peran negara”. Pernyataan itu lalu dipedaskan oleh seorang yang lain: “CSR untuk menghumaniskan kapitalisme”. Dua pernyataan yang memberi nilai berbeda pada CSR. Kemudian yang lain mengeluarkan pendapat-pendapat senada. Sebuah pertanyaan tentang hubungan CSR dan soft capitalism digelindingkan lagi. Meski tak persis kalimatnya, dikatakan: “Jangan-jangan CSR adalah kapitalisme yang dimainkan dengan strategi yang lebih soft, halus”. Di tengah-tengah itu, ada suara yang diperdengarkan pada saya: tentang mengapa Erani Yustika tak sepakat pada CSR. Akhir 2008 lalu, sebuah Musyawarah Kerja (Musker) mengundang Erani Yustika untuk mengupas neoliberalisme. Rupanya pemilik suara itu masih ingat asalan ketidaksepakatan Erani Yustika terhadap CSR. Kurang lebih: CSR berhubungan erat dengan neoliberalisme, karena CSR mengurangi peran negara dalam pembangunan dan upaya-upaya penyejahteraan sosial.

Corporate Social Responsibility (CSR) yang dalam pengertian katanya baik ternyata patut dipertanyakan pula kebaikannya. Bahkan ia perlu dicurigai atau ditolak. Mungkin itu adalah impact dari banyaknya program atau kebijakan yang tampak baik tetapi sebenarnya busuk. Atau gambaran betapa kita sudah tak mungkin lepas dari kuasa modal. Darah rakyat terhisap lagi dan lagi. Rakyat memang menuai manfaat dari dana CSR, tetapi perusahaan menuai untung jauh lebih besar. Menyitir contoh yang diberikan salah seorang peserta diskusi: Banyak perusahaan memberi CSR dalam bentuk beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa berkualitas. Secara tertulis memang tak ada ikatan, tetapi perusahaan kerap mengadakan pertemuan dengan penerima beasiswa. Ikatan emosional dibangun melalui pertemuan-pertemuan itu. Penerima beasiswa kemudian direkrut. Dengan cara itu perusahaan mendapat orang-orang berkualitas untuk perusahaan mereka. Akhirnya, memang banyak jalan menuju Roma.

Any Rufaidah
Malang, 24 Agustus 2009

8.20.2009

Mengisi Kemerdekaan dengan Keinginan Luhur


Malam 16 Agustus 2009, renungan dan tasyakuran kemerdekaan yang dimeriahkan dengan hiburan kreasi anak-anak digelar. Merah putih dan warna-warni umbul-umbul berkibar, disorot dengan lampu-lampu ratusan watt. Jalan dan gang ditutup. Warga serentak berkumpul di tempat yang telah dimufakati. Sudah menjadi adat, setiap malam 16 Agustus warga negara Indonesia berkumpul untuk merenung dan bersyukur atas kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali di tempat saya tinggal, RW 16 Perumahan Griyashanta, Lowokwaru, Malang.

Pukul tujuh tiga puluh menit malam 16 Agustus 2009, tak kurang dari 30 orang berkumpul di Balai RW 16 Perumahan Griyashanta, Lowokwaru, Malang. Sebagian dari mereka berpakaian batik, sebagian berpakaian biasa, dan sebagian mengenakan kostum merah putih. Beberapa pemuda berpakaian gaya kompeni Belanda.

Di bagian depan Balai RW terpampang banner bertulis “HUT Republik Indonesia ke-64” dengan background foto Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, dan naskah proklamasi. Tirai dengan warna putih, ungu muda, coklat muda, merah muda, dan abu-abu menutup sisi kiri balai. Tak ketinggalan, di sebuah dinding dekat pintu masuk, terpasang tempayan yang dicat warna merah putih dan ditulis angka “64”. Tampaknya tempayan bercat merah putih dan angka kemerdekaan menjadi aksesoris wajib peringatan hari kemerdekaan Indonesia, tak peduli di kota dan di desa, di kampung atau kawasan perumahan.

15 menit kurang dari pukul delapan, acara dimulai. Pekikan “merdeka” mulai ramai diperdengarkan. Bisik-bisik ibu-ibu kontan lenyap ketika lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan. Lagu “Indonesia Raya” tak ubahnya sebuah doa, ketika ia diperdengarkan ketika itu pula semua orang diam. Tampak dalam pandangan saya seorang laki-laki tua. Usianya pasti tak kurang dari usia kemerdekaan Indonesia. Ia menyanyikan “Indonesia Raya” dengan sikap sempurna; badan tegap, kedua tangan terkepal lurus dengan paha, dan telapak kaki membentuk huruf V. Saya teringat sikap sempurna yang diajarkan pada saat latihan upacara di sekolah dulu.

Sambutan Ketua Panitia dan Ketua RW disampaikan setelah “Indonesia Raya”. Tak lebih dari 15 menit kedua sambutan itu berlalu. Kemudian pembawa acara menyerahkan microphone kepada dua orang yang telah ditunjuk; masing-masing mewakili generasi tua dan generasi muda. Firdaus nama pendeknya, orang yang mewakili generasi tua. Firdaus memulai sambutan dengan mengulas kata “merdeka”. “Apa arti merdeka?,” tanyanya memancing perhatian para hadirin. “Merdeka adalah bebas, lepas. Bebas dari apa? Dari penjajahan,” lanjutnya. Tak berhenti di situ, Firdaus bertanya dan menjawab lagi, “Mengapa kita harus bebas dari penjajahan? Seperti dalam UUD ’45, karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kalimat terakhir Firdaus menghentakkan saya. Jika saat ini masih banyak perilaku yang tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, maka haruslah perilaku itu ditumpas. Perilaku memiskinkan, membodohkan, melacurkan, menjerumuskan, dan lain sebagainya. Bukankah di Indonesia masih banyak perilaku demikian? Kalau begitu Indonesia belum merdeka.

Firdaus kemudian menyampaikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan, bukan hadiah. Jika dilihat dari peralatan perangnya, kemenangan Indonesia sepertinya tak mungkin. Tetapi, jelas Firdaus, seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45, Indonesia merdeka dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan luhur. Saat menjelaskan ini, Firdaus melontarkan canda. Ia mengatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang sudah menjadi keuangan yang maha esa. Gemuruh tawa hadirin sontak terdengar menyusul canda Firdaus. Dalam pikiran saya, ada benarnya canda itu. Bagaimana tidak, generasi jaman ini dikepung-kepung oleh uang. Hampir segala sesuatu bernilai uang. Keinginan luhur untuk berjuang menjadi luntur.

Sutiman Bambang Sumitro, orang kedua yang memberi sambutan, seolah menguatkan pendapat Firdaus. Menurut dosen salah satu universitas di Malang itu, tampaknya bangsa Indonesia belum begitu bersungguh-sungguh mengisi kemerdekaan. Petinggi negara lebih suka memegang hak pengelolaan SDA negara, karena dengan hak itu mereka mendapatkan uang dengan mudah, tetapi pengelolaan SDA dilakukan orang asing -Freeport, Newmon, dan perusahaan-perusahaan asing lain contohnya. Tak ada kesungguhan mengisi kemerdekaan. Sutiman bercerita tentang kawannya di Jepang yang seorang dokter. Ia memilih negara-negara miskin dan daerah konflik, seperti Etiopia, sebagai tempat kerjanya. Di Jepang, ribuan dokter mengambil pilihan yang sama. Mereka tidak digoyahkan oleh penculikan dan terbunuhnya dokter terdahulu, sebab bagi mereka yang terpenting adalah kebermaknaan hidup. Saya hanya bisa menghela nafas, sambil berharap semoga apa yang saya dapat malam ini selalu menjadi semangat dalam menempuh masa depan, yang juga saya tularkan untuk orang-orang yang saya kasihi.

Pukul sembilan lima belas menit acara usai, diakhiri dengan pemberian hadiah untuk anak-anak peserta lomba 17-an dan pemotongan tumpeng. Berikutnya, para hadirin menikmati hidangan yang telah disediakan oleh ibu-ibu PKK. Saya pun di dalamnya, menyantap dua potong martabak dan capcay sambil menikmati gerak tingkah laku anak-anak. Beberapa anak memamerkan sepeda hias motif merah putih yang digunakan pada lomba hari Minggu pagi.

Any Rufaidah
Malang, 16 Agustus 2009.01.29
Jika kemerdekaan didorong oleh keinginan luhur, mengapa saat mengisi kemerdekaan keinginan luhur justru luntur?
Ingatlah pada mimpi tangisan untuk anak-anak kecil dan orang-orang miskin yang tak berdaya
.

6.11.2009

Neoliberalisme

Tepatnya seminggu yang lalu, beberapa teman akan menggelar diskusi dengan tema “Neoliberalisme dan Demokrasi”. Undangan melalui media komunikasi yang “paling” efektif tetapi diharamkan oleh beberapa ulama telah disebar. Huuuu….seperti angin segar kabar itu menyegarkan otak saya.
19.27 WIB saya lihat kelengkapan penunjang diskusi sudah dipersiapkan. Pun dengan logistik. Papan tulis sudah terlihat bersih. Spidol dan penghapus sudah tertata rapi. Teh hangat sudah siap menambah hangatnya diskusi yang akan dilangsungkan. Kursi yang biasanya tertumpuk, saat itu berjajar rapi mengelilingi meja warna biru muda.

Sambil menunggu kehadiran narasumber, saya membaca tiga tulisan neolib yang sengaja saya print out sebelumnya. Satu tulisan berbicara tentang sejarah lahirnya neolib, satu lagi bicara tentang salah kaprah memahami neolib, dan satu terakhir mengenai neoliberalisme jilbab. Menarik.

Perlahan tapi pasti, bacaan itu memacu kerja otak saya. Hmmm….”Apa sih bahaya terbesar jika negara menganut neoliberalisme? Bukankah pemerintah Indonesia terbukti belum mampu mewujudkan kesejahteraan? So, bagus dong jika negara tidak terlalu diberi ruang untuk campur tangan”. Sebagai pembaca awam, pertanyaan itu muncul di benak.

Ho….ho….ho ternyata tidak begitu, sebab kontrak relasi rakyat hanya dengan pemerintah, bukan dengan pengusaha. Rakyat membayar pajak melalui negara, bukan melalui pengusaha. Jika campur tangan negara dikurangi, rakyat tidak bisa menuntut lebih terhadap negara. Bisa-bisa rakyat jadi boneka, dilempar ke kanan dilempar ke kiri. Apa kata dunia jika demikian halnya.

Enam puluh menit, kemudian 120 menit, narasumber tak kunjung datang. Dua puluh menit berikutnya, narasumber dipastikan tidak bisa datang. Beberapa kawan yang sudah berkumpul terlihat kecewa. Hmmm......tak jadi soal.

Any Rufaidah
Malang, 11 Juni 2009. 19.43.

5.13.2009

Pecah

Kemarin, saya menulis berita dengan judul Greget Politik Caleg Perempuan Perlu Diperkuat. Sehari setelahnya, editor yang .... hmmm menelepon agar saya menambah pendapat orang lain seputar judul yang saya angkat.

Beberapa saat setelah telepon itu, saya membatin, ”Bagaimana aku ini, menulis tentang greget, tetapi pendapat tentang greget minim sekali. Hanya ada satu kalimat. Wajar saja editor mengembalikan tulisanku”. Ok. Di tulisan update, saya menonjolkan greget, dan berita langsung naik tanpa pertanyaan tambahan dari editor.

Hari ini (13/5), saya sedang mengedit berita untuk newsletter yang ditulis seorang teman. Judul tulisannya adalah Batu Night Spectacular di Tengah Kehidupan Desa yang Masih Minus. Saya bukan editor yang .... hmmm (atau belum menjadi editor yang .... hmmm), tetapi saya bisa merasakan bahwa tulisan yang sedang saya edit itu tidak sesuai judulnya. Judul dengan tulisannya pecah. Isinya berbeda dengan judul. Tidak ada keterangan tentang apa maksud desa minus. Hanya ada satu kalimat yang menyebutkan minus.

Ow.....ow.....ow..... Saya pikir ini persoalan. Penulis kadang lupa (bahkan tidak tahu) dengan apa yang ditulisnya. Apa yang ada di pikiran dengan apa yang dituliskan no connection.




1.30.2009

If I Were A Boy

Beyonce Knowles

If I were a boy even just for a day
I'd roll out of bed in the morning
And throw on what I wanted
And go drink beer with the guys

And chase after girls
I'd kick it with who I wanted
And I'd never get confronted for it
'Cause they stick up for me

If I were a boy
I think I could understand
How it feels to love a girl
I swear I'd be a better man

I'd listen to her
'Cause I know how it hurts
When you lose the one you wanted
'Cause he's taking you for granted
And everything you had got destroyed

If I were a boy
I would turn off my phone
Tell everyone it's broken
So they'd think that I was sleeping alone

I'd put myself first
And make the rules as I go
'Cause I know she'd be faithful
Waiting for me to come home, to come home

If I were a boy
I think I could understand
How it feels to love a girl
I swear I'd be a better man

I'd listen to her
'Cause I know how it hurts
When you lose the one you wanted
'Cause he's taking you for granted
And everything you had got destroyed

It's a little too late for you to come back
Say it's just a mistake
Think I'd forgive you like that
If you thought I would wait for you
You thought wrong

But you're just a boy
You don't understand
And you don't understand, oh
How it feels to love a girl
Someday you wish you were a better man

You don't listen to her
You don't care how it hurts
Untill you lose the one you wanted
'Cause you're taking her for granted
And everything you had got destroyed
But you're just a boy