10.30.2011

Tentang Prinsip-prinsip dan Perubahan

Indah sekali rasanya ketika secara tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis. Seperti ekstase saat mabuk atau keranjingan putau mungkin. Dulu, pernah ada kawan ‘mengajak berdebat’ soal rumitnya mengambil keputusan mencintai perempuan selain istrinya. Ah…itu rasionalisasi laki-laki hidung belang, pikirku. Jauh sebelumnya, seorang kawan yang pernah mengalami hal serupa lebih dalam mengungkapkan hal yang sama.

Kali ini, ada seorang kawan yang mengajak berdiskusi soal pertimbangannya untuk menikah dengan seorang janda. Wau…rumit sekali kedengarannya. Ada banyak daftar kelompok yang harus diajaknya bernegosiasi, mulai keluarga inti, keluarga besar, teman-teman, dan sebagainya. Dia mempertimbangkan “apa kata dunia” jika dirinya yang seorang perjaka ting ting menikah dengan janda, apalagi si janda punya 2 anak. Jika tak punya anak mungkin tetangga-tetangga bisa ditipu. Belum lagi image yang mungkin akan disandangnya. Mungkin saja orang mengira dia menikahi janda karena materi, karena terlanjur menghamili si janda, dan sebagainya. Huuuh…seperti benang dalam aspal saja, seolah-olah tidak bisa diudar. Jalan buntu.

Betapa aku yang polos, hanya mengatakan, “Bukankah setiap orang berhak dicintai dan dinikahi? Apa pun statusnya.” Sesederhana itu saja. Sayangnya dia ngotot tak paham ungkapanku. Maka terpaksalah kujelaskan agak panjang. Kurang lebih kukatakan demikian, “Murni yang kamu pertimbangkan adalah pendapat orang lain, image di mata orang lain, dan ketakutanmu menghadapi kenyataan. Kita semua tidak tahu bagaimana sejarahnya sehingga menjadi tidak pantas perjaka/gadis menikah dengan janda/duda. Ah…dulu Nabi kita menikah dengan janda yang usianya 15 tahun di atasnya. Apa masalahnya? Masalahnya mungkin perubahan budaya. Ya, mungkin saja. Tetapi sejauh ini menurutku pandangan masyarakat kita tidak fair, tidak sehat, dan hampir dapat dikatakan “merengggut” hak mereka yang berstatus duda/janda untuk dinikahi siapa pun. Kamu saja yang berstatus perjaka punya beban seperti itu, bagaimana beban yang mereka hadapi? Ah…janganlah begitu.”

“Tapi aku takut tidak bisa mengimbangi dia. Secara dia kan sudah pernah menikah, cara pikir kita nanti berbeda,” sangkalnya menuju masalah lain.

Maka aku terpaksa nggacor lagi, “Apakah jika kamu menikah dengan yang belum menikah berarti pikirannya akan sama? Ini persoalan lain, kawan. Itu individual, bukan karena status. Kenapa kamu tidak berpikir begini, “karena dia sudah punya pengalaman maka dia akan dapat lebih sabar menghadapi kamu yang belum punya pengalaman.” Bukankah itu akan menguntungkan kamu, bro?”

Kawanku satu ini memang butuh orang yang meyakinkannya. Dia masih terus bertanya. Tapi itu dapat dipahami memang. Dia berada pada masyarakat yang kurang toleran terhadap pernikahan beda status. Itu bisa dipahami. Sekarang ini aku sedang membaca buku-buku psikologi lintas budaya, jadi aku sedikit tahu betapa toleransi budaya terhadap sikap tertentu sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku individu. Jika dia hidup di Amerika, maka mungkin tak ada ragu padanya. Dia mengungkapkan, “Mungkin aku akan dihantui bayang-bayang kata orang seumur hidupku karena pernikahan ini. Kalau begitu aku tidak bahagia seumur hidupku dong,” ungkapnya.

Kemudian aku terbelalak kaget. Kenapa harus demikian, tuan. Kukatakanlah, “Kira-kira, apa capaian yang akan membuat kamu bahagia? Apakah kalau menikah dengan seorang gadis, kemudian bekerja di tempat elit, dan punya banyak uang, bisa menyekolahkan anak sampai tinggi, kamu akan puas dengan hidupmu? Ah…itu sangat dangkal, tuan. Setidaknya menurutku, meskipun itu subjektif. Buatlah sesuatu yang berbeda dari pada umumnya, sahabat. Ketika kamu berani menikah beda status atas nama mengakui hak mereka untuk dinikahi siapa pun, itulah capaian terhebatmu dalam hidup. Itu artinya, kamu melakukan perubahan melalui dirimu, sikapmu, dan perilakumu. Jika kamu mengakui perubahan budaya, kamu juga harus mengakui perubahan hal-hal begini. Dulu jika si cewek lebih tua kayaknya gak pantas, tapi setelah banyak yang melakukannya itu menjadi biasa saja,” ungkapku.

Lalu aku lanjutkan nggacor-ku yang kali ini diiringi dengan ‘rasa sebel.’ “Bunda Theresa melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh banyak orang. Tapi itulah yang membuat dia dielu-elukan dunia. Dia menjadi pahlawan. Mahatma Gandhi melakukan perlawanan dengan filosofi, keramahan batin, tidak dengan senjata di tengah-tengah lawan yang siap menembakkan peluru panas padanya. Dia juga pahlawan. Gus Dur, dia bergaul dengan kelompok lintas agama. Bagi sebagian orang, lebih-lebih dari golongan kiai, itu mungkin dianggap kafir. Tapi itu kan kemudian yang dikagumi dunia dari Gus Dur. Dia juga pahlawan. Karena mereka semua berani membuat perubahan. Bertindak dengan konsep. Jika kamu mencari tahu apa capaianmu, keberanianmu itulah capaian terhebatmu. Sekarang dampaknya tidak bisa dirasakan mungkin. Tapi nanti?”

Si kawanku itu kemudian menunduk saja. Mungkin merasa terolok-olok atau mungkin merasa senang karena ada yang meyakinkan. Entahlah, bagaimana pun emosinya biar dia yang urus sendiri. Melihat dia terdiam begitu, aku lanjutkan saja ocehanku. “Kamu takut anaknya tidak bisa menerima kamu?” Dia menjawab, “Itu juga iya. Repot kan?”, tanyanya. Aku jawab, “Kenapa itu tidak kamu anggap tantangan aja. Kamu bisa melatih dirimu agar bisa diterima anaknya. Bukankah itu akan sangat berharga untuk pendidikan pribadimu? Itu sangat berharga, teman. Kamu sekarang hanya perlu meyakinkan orang-orang di sekitarmu. Dan memang itulah jalannya.”

Diskusi berakhir di situ. Selanjutnya kukatakan, “Traktir makan sekarang!” 

Any R.
Pasar Minggu, 31 Oktober 2011. 12.46.




6.26.2011

Refleksi: Kebebasan


Sepanjang sejarah manusia, gerakan-gerakan pembebasan telah dilakukan. Entah itu kebebasan berpikir, kebebasan dari perbudakan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan dari penindasan, kebebasan mendapat hak asasi, kebebasan dari kebodohan, kebebasan dari belenggu budaya, kebebasan dari belenggu suami. Tokoh-tokoh pembebasan pun menuai cemoohan, perlawanan, hingga kematian. Socrates, Nabi Muhammad, Karl Marx, Che Guevara, R.A. Kartini, Aung San Suu Kyi, Gus Dur, dan sebagainya, menuai banyak sekali peristiwa-peristiwa menyedihkan.

Ada apa dengan kebebasan, hingga memerlukan banyak pikiran hingga darah untuk mendapatkan dan memperjuangkannya? Apakah manusia punya bawaan tidak suka pada kebebasan, sehingga tidak mau memberi kebebasan pada yang lainnya? Bagi saya, ini susah dimengerti. Lebih-lebih, setelah ada gerakan dan wadah untuk kebebasan malah muncul gerakan dan wadah baru untuk kembali pada belenggu. Di antara contohnya adalah munculnya Klub Istri Taat Suami –klub ini hanya contoh saja, tidak menjadi bahan diskusi utama.

Jadi muncul pertanyaan, apakah kebebasan itu menakutkan? Bukankah dengan kebebasan hidup menjadi ringan, dan bukankah hanya dengan kebebasan semua orang dapat menghormati sesamanya. Mengapa kebebasan justru sulit diwujudkan? Apa yang akan didapat ketika tidak ada kebebasan? Apa pula ruginya jika memberi kebebasan pada sesama? Apakah kita akan rugi jika memberi yang lain hak untuk mengetahui (transparansi)? Apakah akan ada kerugian jika memberi hak bersuara pada sesama? Apakah ada kerugian jika memberi hak berpendidikan, hak menentukan pilihan, hak menjadi insan merdeka bagi sesama?

Seharusnya tidak ada kerugian. Tapi kenyataannya lain. Ada saja yang merasa ada kerugian, sehingga berpikir keras untuk mengatur strategi, entah untuk mendapat kekuasaan atau mendapat uang. Ada saja yang sikut kanan sikut kiri, menilep hak orang lain, untuk mendapat ini dan itu. Tampaknya, manusia lebih menakutnya. Tampaknya, tuhan manusia adalah manusia (ditulis dengan kebebasan, dengan keyakinan bahwa Tuhan memberi sangat berlimpah kebebasan).

Any Rufaidah
Ps. Minggu, Senin, 27 Juni 2011. 12.05


5.26.2011

Gunakan Cara Kerja Dokter

Ini adalah catatan yang saya buat di sela-sela menyusun laporan kegiatan. Facebook tetap saya biarkan online. Bagi saya, tak ada jaminan jika FB off maka pikiran akan terfokus penuh. Boleh jadi karena selama ini saya terbiasa nyambi. Makan nyambi kerja, kerja A nyambi kerja B, kuliah nyambi berkegiatan, dsb. Mohon maaf kepada sahabat yang merasa dirinya adalah yang saya ceritakan ini. Saya mohon ijin dan berharap sahabat justru dapat berbangga karena sahabat menjadi inspirasi bagi hadirnya tulisan ini.

Well, seorang kawan menyapa melalui FB setelah saya komentari statusnya. Dia bertanya apakah saya sudah merid? Kemudian menyampaikan bahwa dia punya teman yang belum merid juga. Singkatnya, jika saya berkenan, dia akan mengenalkan temannya itu.

Hmm...hampir pasti maksudnya baik. Namun, menikah tidak menjadi pilihan semua orang. Banyak orang yang malas atau enggan menikah. Apalagi di jaman sekarang ini, ketika menikah telah menjadi pilihan (bukan lagi 'keharusan'). Jujur saya katakan, saat ini saya belum berpikir untuk menikah. Saya belum tertarik, tanpa bermaksud mengingkari sunnah Nabi.

Kemudian saya teringat pada salah satu catatan Ajahn Brahm dalam buku best sellernya "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya". Dalam catatan itu, ilmuwan yang kemudian memilih menjadi biksu itu hendak menyampaikan bahwa tidak semua orang menginginkan A, meskipun A terlihat baik. Maka sebaiknya, bertanyalah dulu sebelum memberi resep. Ada baiknya kita menggunakan cara kerja dokter. Diagnosis dulu baru tulis resepnya.

Jatipadang, 26 Mei 2011

Any Rufaidah

3.02.2011

Kerja Keras Kelebihan Batas

Ide yang akan tercatat ini lahir (kembali) di tengah aktivitas orat-oret pada buku Culture and Subjective Well-Being –seperti buku mana pun, semakin diselami semakin menarik– sambil ditemani Rhyme in Peace –suara Bondan Prakoso sangat pas membawakan syair kesedihan dalam lagu itu. Bukan untuk pertama kalinya ide yang akan tercatat ini muncul. Oleh sebab itu, ide ini disebut “(kembali)”. Sungguh ide ini tidak penting kecuali sebagai catatan jejak pikiran yang pernah muncul atau mungkin untuk sarana belajar di kehidupan nanti.

Empat atau lima hari lalu ide ini muncul. Ia bermula dari sebuah kelelahan, kelelahan menjalani kehidupan. Sungguh ini bukan karena di Jakarta, karena faktanya ibu dan ayah yang ada di kampung kota paling timur Pulau Jawa sana menceritakan hal yang sama. Ibu yang cantik jelita, yang saya kagumi kegigihannya, pernah menggambarkan bahwa orang-orang di kampung banyak yang mengalami kelelahan. Mereka banting tulang untuk hidup, dan akhirnya pun kelelahan. “Biso mangan nggo kesok ben untung (bisa makan untuk besok saja untung),” kata ibu menggambarkan kondisi beberapa tetangga di kampung sana.

Saya mulai kelelahan untuk mengerjakan tugas-tugas yang berkonsekuensi pada uang. Untuk mendapatkan uang, maka harus memeras tenaga, pikiran, dan waktu sedemikian hingga; mendisiplinkan diri; berkejar-kejaran dengan waktu hingga tak peduli kanan kiri. Kerja keras. Ya, itu sudah betul. Tidak ada yang salah dengan konsep kerja keras. Agama mengajarkan manusia untuk bekerja keras agar dapat mencapai kebahagiaan.

Sungguh-sungguh saya tak ragu atas perintah kerja keras, namun saya bertanya ‘apakah kerja keras harus sekeras seperti yang sekarang ini?’ Dengan mengeluarkan tenaga seperti ini bukankah seharusnya sudah mendapat hasil yang lebih besar? Ah, saya mungkin pemalas. Sungguh salah jika contohnya adalah saya. Namun bagaimana dengan para pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, dan pekerja kasar lainnya. Mereka bekerja dengan sangat keras. Mereka bangun di pagi buta, melawan debu jalanan, tak peduli pada teriknya matahari, namun hasilnya tetap makan seadanya dan tidur pun seadanya.

Pikiran kecil bertanya: Masa’ sih untuk mendapatkan pekerjaan energi yang dikeluarkan harus sedemikian rupa? Kerja keras mencari pinjaman biaya administrasi, kerja keras melobi para pejabat terasnya, kerja keras mempelajari materi-materi yang kadang tidak substansial, dan sebagainya. Masa’ sih untuk memahami materi sekolah energi yang harus dikeluarkan demikian hebatnya? Ikut kursus sana-sini dengan biaya mahal. Masa’ sih untuk dapat menikmati bangku SMA harus bekerja keras sedemikian hingga? Belajar pagi hingga siang dan bekerja saat malam. Masa’ sih untuk mencari makan harus tidak bersekolah? Dan masa’ sih untuk mempertahankan idealisme harus bertarung sedemikian kuatnya? Dengan usaha yang sedemikian itu, seharusnya hasil yang dituai oleh banyak orang di negeri ini jauh lebih besar dari faktanya.

Jadi teringat teori Karl Marx tentang nilai lebih. Dalam tema itu, Marx mengungkapkan bahwa kaum borjuis melakukan menyerapan energi buruh secara berlebihan sementara imbalan yang diberikan tidak sebanding. Misalnya, untuk menutup biaya produksi dan mendapat keuntungan secukupnya untuk perusahaan, buruh cukup bekerja 4 jam. Namun nyatanya perusahaan tidak bertindak demikian. Buruh diharuskan bekerja 8 jam agar perusahaan mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Hasilnya, pemilik dan pejabat perusahaan kaya raya sementara buruh sempoyongan membayar cicilan rumah dan membiayai keperluan lainnya.

Jika saja bisa menjalani hidup tanpa harus terengah-engah, tanpa kerja keras yang kelebihan batas, mungkin kita akan punya cukup waktu untuk memikirkan dan menyebarkan kearifan, kebajikan, dan cinta. Namun karena tidak, maka yang ada adalah persaingan, trik dan intrik, individualisme, ketidakpedulian, dan kelelahan.

Pasar Minggu, 2 Maret 2011. 16.36

Any Rufaidah

2.21.2011

Kegagalan dan Prestasi

Hari ini (20/2/11), di tengah aktivitas penyusunan modul pendidikan toleransi yang disambi dengan kotak-katik main-main, sebagian perhatian tertuju pada siaran Metro Hari Ini dengan tema “Memprihatinkan Indonesia”. Siaran ini secara khusus mengulas lagu Bimbo yang berjudul “ABC Indonesia” yang berisi kritik terhadap carut-marutnya Indonesia. Dalam acara tersebut dihadirkan Bimbo dan Guru Besar Psikologi Politik Indonesia yang tak lain adalah dosen saya.

Tema “Memprihatinkan Indonesia” sesungguhnya sudah sangat sering dibicarakan. Berbagai pengamat politik diajak berdialog oleh tv-tv nasional. Dalam suatu tayangan, Metro TV pernah pula menghadirkan Yudi Latif untuk membincang tema yang sama. Kala itu, saya ingat presenter acara hingga mendesak Yudi Latif agar memberikan solusi atas keadaan negara yang sudah carut-marut ini.

Dalam siaran hari ini, wacana yang muncul relatif biasa saja. Namun ada satu pertanyaan presenter yang kemudian menyulut ketertarikan untuk menuliskannya dalam catatan. Pertanyaan itu adalah soal kegagalan negara dan prestasi anak bangsa yang tak sedikit jumlahnya. Pada intinya, presenter menanyakan apakah negara telah gagal karena prestasi-prestasi anak bangsa sangat banyak.

Jika saya diminta menjawab pertanyaan itu, tentu jawaban yang muncul adalah, “Ketidaktuntasan hukum korban Trisaksi, remang-remangnya keadilan atas kasus Munir, kelambatan tindakan hukum atas penyerangan terhadap Ahmadiyah, kemiskinan yang massif, itu adalah urusan pemerintah. Namun, prestasi siswa-siswi bangsa dalam olimpiade internasional, keberhasilan mahasiswa pada kompetisi teknologi tingkat dunia, dan penghargaan-penghargaan kepada pejuang Hak Asasi Manusia, bukanlah karena negara, melainkan karena kreativitas guru dalam mendidik siswa, kreativitas, dan komitmen individu.

Lingkup masalah sungguh-sungguh berbeda. Jadi, jika pemerintah mengklaim prestasi anak bangsa sebagai keberhasilannya, rasanya kurang fair, apalagi jika terus-menerus mengatakan bahwa kegagalannya mengatasi suatu masalah disebabkan oleh pihak lain.

Perumahan Lembah Depok, 20 Februari 2011. 19.14

Any Rufaidah

2.07.2011

Perihal Kemiskinan


Beberapa kali di dalam angkutan kota dan metromini, saya menemui kebanyakan bahkan semua penumpang tidak mau memberi uang receh pada pengamen. Suatu ketika, pengamen hingga ngedumel karena tak seorang pun di metromini yang memberinya uang receh. Pemandangan seperti itu saya temui beberapa kali, maka wajarlah jika kemudian menyulut pertanyaan ‘why’.

Sementara ada dua jawaban yang terpikirkan. Pertama, karena penumpang sadar bahwa memberi uang pada pengamen/pengemis tidak mengatasi masalah kemiskinan; kedua, karena mereka berhitung ketat soal pengeluaran. Jika jawaban pertama yang benar, maka tindakan tidak memberi uang pada pengamen adalah tindakan kritis. Namun jika ternyata jawaban kedua yang benar, maka masalah kemiskinan benar-benar sedang melilit bangsa ini sedemikian hebatnya.

Saya teringat pada penjelasan Wardah Hafidz yang mencerahkan dalam momen pelatihan “Advokasi Damai oleh Perempuan” 18 – 21 Januari lalu. Dalam momen itu, Wardah Hafidz menggambarkan tiga kelas ekonomi dalam sebuah tabung leher angsa. Kelas miskin berada di bawah, jumlahnya paling besar. Kelas menengah berada di tengah, jumlahnya lebih sedikit. Dan kelas kaya berada di ujung tabung, jumlahnya sangat sedikit.
Gambaran Mbak Wardah memancing keingintahuan saya saat itu. Pasalnya, data BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia tak lebih dari 50 juta. Artinya, penduduk kelas menengah 3 – 4 kali lebih banyak jumlahnya. Menanggapi pertanyaan saya, Mbak Wardah kala itu kurang lebih menjawab, “Kategori miskin yang ditetapkan BPS itu tidak tepat. Selama ini, BPS hanya melihat miskin hanya dari 2 hal: kesejahteraan dan akses sumberdaya. Kesejahteraan diukur dari sandang, pangan, papan, dan akses sumberdaya dilihat dari kemudahan memperoleh sumberdaya.”

Mbak Wardah melanjutkan, “Miskin harus dilihat dari lima hal. Selain yang dua tadi, ada kesadaran kritis, partisipasi, dan kuasa/power/daya. Dua hal yang disebutkan di awal adalah kategori yang terendah. Miskin tak cukup dilihat dari kesejahteraan dan akses sumberdaya saja. Jika tidak ada kesadaran kritis, tidak memiliki peluang untuk partisipasi, misalnya dalam pengelolaan ekonomi dan pengambilan kebijakan, dan power, orang masih terkategori miskin.” Mbak Wardah menambahkan, di Jakarta yang konon memiliki 100 mall lebih, hanya sekitar 500 ribu orang yang mampu membeli di mall. Lainnya hanya mampu membeli di perko alias emperan toko.

Kembali pada soal tidak memberi receh pada pengamen, mungkin alasannya adalah perhitungan yang ketat pada pengeluaran. 500/1000 perak bagi banyak orang masih diperhitungkan. Nominal itu bisa untuk menambah uang angkot, membeli minuman atau buah potong di pinggir jalan. Dengan kata lain, 500/1000 perak masih diperlukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Jika demikian adanya –ketika 500/1000 perak masih diperhitungkan oleh penumpang yang notabene adalah orang-orang bekerja –maka memang benar data yang mengatakan penduduk miskin hanya di bawah 50 juta jiwa perlu dipertanyakan.

Depok, 6 Februari 2011. 02.06

Any Rufaidah


1.29.2011

Aktivis


Pernah suatu ketika, saat berada di dalam angkutan kota bersama orang-orang yang pulang kerja, saya bertanya dalam hati, “Saya beraktivitas dengan jam yang sama dengan karyawan kantoran, tapi pekerjaan saya apa ya?” Jika orang-orang yang di angkot ditanya apa pekerjaannya, pasti dengan mudah mereka menjawabnya, tetapi tidak demikian dengan saya. Pernah dalam suatu perbincangan, seorang kawan bercerita anak temannya tidak bisa menjawab ketika ditanya apa pekerjaan ayahnya. Maklum, sang ayah kerja di Lembaga Swadaya Masyarakat.

Sebagian orang mungkin menyebut saya aktivis, meskipun kata itu masih agak berlebihan. Apa artinya aktivis? Dalam www.artikata.com, aktivis adalah 1. Orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya; 2. Seseorang yang menggerakkan (demonstrasi, dsb).

Secara bebas, aktivis adalah orang yang aktif merespon hal-hal yang tidak semestinya. Hal itu bisa merujuk pada sikap, tindakan, kebijakan, dan sejenisnya. Kedua, aktivis adalah orang yang memiliki kesadaran kritis, sadar akan adanya masalah dan mau bertindak untuk memperbaikinya.

Pikiran saya kemudian menuju pada orang-orang seangkot, “Bagaimana dengan saudara-saudara ini?”, Mereka disebut sesuai dengan profesinya. Mungkin bankir, karyawan, operator, dan sebagainya. Jika mereka tidak disebut aktivis, apakah berarti mereka pasif? Menurut saya, buktinya demikian. Ketika ada masalah di negeri ini, apakah mereka bersedia untuk ikut serta turun ke jalan pada jam istirahat atau hari libur kerja? Atau ikut bersuara dalam forum-forum masyarakat sipil? Nyatanya tidak demikian.

Pikiran saya kemudian melayang pada antrian orang-orang yang bekerja di sebuah halte busway Jakarta, seorang penumpang yang tampaknya pejabat penting sebuah perusahaan yang se-busway suatu ketika, dan orang-orang di resepsi pernikahan seorang staf departemen keuangan yang pernah saya hadiri. Mereka semua cukup secara material. Waktunya dihabiskan untuk mencari uang. Melihat rentetan pemandangan itu, saya pernah bertanya, “Jika sudah banyak uang, lalu mau apa? Banyak orang yang berduit kemudian merasa bingung di masa tuanya untuk apa uang itu. George Soros, misalnya, kemudian memilih mendanai yayasan untuk pembangunan masyarakat sipil, atau Angelina Jolie dan Brad Pitt yang menyumbangkan sebagian uangnya untuk anak-anak kurang beruntung.

Tulisan ini dibuat bukan untuk maksud mengejek yang bukan aktivis, tetapi untuk mengatakan bahwa tampaknya mencari uang saja tidak cukup. Kehidupan ini semakin semrawut. Tindakan orang-orang yang memerintah, ambil saja di Indonesia, tidak begitu baik. Tampaknya, jika kawan-kawan yang bukan aktivis ikut serta dalam kegiatan aktivisme, mungkin perubahan akan lebih cepat terjadi. Berkesadaran kritis sangat diperlukan di masa ini dan masa yang akan datang. Demikian.

Pasar Minggu, 30 Januari 2011. 11.51

Any Rufaidah


1.25.2011

Salam untuk Wardah Hafidz


Jumat sore 21 Januari 2011, dalam perpisahan Training Advokasi Damai untuk Perempuan yang diselenggarakan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, lembaga tempat saya beraktivitas sebagai volunteer, saya berkesempatan bersalaman pipi dengan Wardah Hafidz. Dalam salaman itu, saya merasakan perasaan yang mendalam terhadap perempuan kelahiran Jombang itu. Namun pasti, itu bukan gejala abnormalitas seksual. Tepatnya, sayang itu tumbuh karena kekaguman yang mendalam.

Hal itu juga saya rasakan pada direktur saya saat ini. Saya menyayanginya karena kekaguman. Bagi saya, dia adalah perempuan tangguh, yang memegang prinsip, berani mengambil pilihan. Pada sebuah perjalanan dalam taksi, saya pernah terhenyak heran karena direktur itu mengatakan memilih tidak meneruskan program Ph.D-nya di Singapura karena merasa tidak cocok dengan budaya di sana. Sepenggal kalimatnya adalah, “Lebih baik keluar daripada mengorbankan kebahagiaan saya.” Oh Tuhan, hampir pasti saya belum pernah berani mengambil keputusan seperti itu.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Mengapa kekaguman itu muncul?” Sedikit sudah saya singgung, karena keberanian mengambil pilihan radikal. Marilah kita melihat realitas. Meskipun telah lama pemikiran feminisme berkembang, tak cukup banyak perempuan yang berani mengambil keputusan radikal dalam hidupnya. Wardah Hafidz, setelah saya telusuri profilnya dalam Wikipedia, dia dibesarkan dalam lingkungan pesantren di Jombang. Namun, dia memilih ‘tidak taat’ pada pola pendidikan yang ‘diwajibkan’ oleh keluarganya. Dia pun keluar dari aktivitas mengajar di almamaternya di Malang, kemudian memilih menekuni dunia yang benar-benar berbeda. Dunia itu memerlukan keberanian luar biasa. Dunia itu mengharuskannya menghadapi intimidasi, premanisme, dan sebagainya.

Perempuan rasanya masih berjuang ekstra keras untuk memperjuangkan kemerdekaan dirinya. Bukan hanya dalam relasi warga negara dengan pemerintah, tetapi juga dalam relasi laki-laki dan perempuan sebagai pasangan, misalnya. Tengok saja, sudah mampukah perempuan menjadi subjek yang benar-benar merdeka di depan pasangannya? Jika pun mereka menyadari kemerdekaannya, sudahkah laki-laki mau berbesar hati menghargai itu?

Boleh saja pendapat ini dianggap ‘serangan’ terhadap laki-laki: tampaknya laki-laki mendapat kutukan budaya sehingga harus menanggung beban ‘gengsi’ jika harus membagi ‘hak’-nya dengan perempuan dan beban ‘malu’ untuk menerima perbedaan dalam diri perempuan sebagai pasangannya. Seberapa banyakkah laki-laki yang mau membagi tugas sebagai kepala keluarga dengan sang istri? Ah, rasanya hanya ada beberapa. Dan pertanyaan yang lebih kecil lagi, seberapa banyakkah laki-laki yang mau mendampingi perempuan sebagai pasangannya dalam dinamika kedirian perempuan? Seberapa banyak laki-laki yang mau memaklumi perempuan sebagai pasangannya ketika sang perempuan ingin membuka penutup kepala, misalnya? Ah, tampaknya tak cukup banyak. Sementara, perempuan mereduksi kemerdekaannya agar tetap dicintai.

Demikianlah, pada hal-hal fundamental terkait hak atas dirinya saja perempuan menghadapi banyak hambatan, apalagi pada hal-hal yang melampaui itu. Atas dasar itu, saya mengagumi dan menyayangi perempuan yang telah berhasil mengambil pilihan radikal dalam hidupnya. Pun saya mengagumi laki-laki yang dengan besar hati memberikan kemerdekaan pada perempuan sebagai pasangannya.

Setelah selesai berpamitan dengan peserta training, Mbak Wardah sekali lagi berpamitan. Dia menepuk bahu saya sambil berkata, “Yo’”. Saya amati langkahnya, langkah yang tak biasa untuk ukuran perempuan pada umumnya. Di tengah jalan, dia terang karena sorot lampu-lampu kendaraan yang padat kala itu. Rok batik panjang dan blues warna hijau sungguh semakin indah terkena sorot lampu.

Salam untuk Wardah Hafidz

Depok, 25 Januari 2011. 00.17

Any Rufaidah

1.20.2011

Pagi yang Biasa Saja

Pagi yang biasa saja. Dan seperti biasanya, malas bangun untuk beraktivitas. Dan juga seperti biasanya, keputusan bangun diambil in the last hour. Mengurus diri seadanya, berpenampilan seadanya, berjalan pada jalur biasanya, dan menuju kelas biasanya. Itu adalah kelas terakhir mata kuliah kapita selekta, sekaligus mata kuliah terakhir jika lulus.

Pembicaraannya tidak cukup menarik, peace psychology. Entahlah, mungkin karena sudah satu semester ini ikut kelas mediasi konflik sehingga yang disampaikan kala itu terasa hambar dan di permukaan saja. Atau mungkin karena faktor lain yang lebih personal. Namun, lupakan. Tokoh-tokoh peace psychology tingkat dunia diperkenalkan dalam ceramah pagi itu, plus literatur-literatur, plus sepak terjang para punggawa peace psychology tingkat dunia. Ada nama Daniel J. Christie, Michael Wessels, Morton Deutsch, Cristina J. Montiel, Deborah Du Nann Winter, Susan Opotow, Herbert C. Kelman, Naomi Lee, Fathali Moghadam, Joseph de Rivera, dan sebagainya.

Hampir 2 jam berlalu tetap tidak begitu seru. In last minutes, keluarlah tema keindonesiaan. Ah, tapi tidak terlintas sedikit pun soal PMII yang selalu ‘mengajarkan’ keindonesiaan dalam momen Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Disebutnya sebagai gagasan. Sesungguhnya gagasan tersebut muncul sebagai jawaban atas konflik etnik/suku yang kerap terjadi di Indonesia. Konflik jenis ini memang diakui lebih sulit diselesaikan daripada interstate conflict. Tak lain karena melibatkan identitas kesukuan.

Bagaimana mengatasi konflik etnik/suku?, itu pertanyaannya. Dan jawabannya adalah: “dengan membangun sense of citizenship”. Istilah orisinal menurut saya. Untuk menumbuhkan rasa tersebut, maka negara harus kuat. Pejabat, birokrat, penegak hukum, semua harus kuat. Atas nama publik, semua pihak yang menyalahgunakan hak publik harus ditindak tegas. Warga negara harus taat pajak dan menghormati hak-hak publik. Mereka yang melanggar harus ditindak tegas. Sekali lagi, negara harus kuat.

Namun, Indonesia adalah negara yang cukup kompleks permasalahannya. Banyak yang mengatakan berulanga-ulang masalah di negara ini seperti lingkaran setan. Dan sayangnya, pun pada kelas ini, gagasannya tidak terjawab dengan tuntas. “Siapa yang memulai menumbuhkan sense of citizenship?” itu pertanyaannya. Mungkin Jürgen Habermas menjawab ‘Intelektual Organik’. Jawaban itu baik. Jika intelektual/akademisi yang dianggap mampu menumbuhkan sense of citizenship, maka sebarkanlah gagasan itu dan berkomitmenlah pada upaya itu. Tinggalkan, atau setidaknya kurangi ‘ngobyek’. Itu perjuangan mulia, nyonya, Tuhan yang akan memberi penghargaan.

11. 25, 25 menit lewat dari jadwal kuliah, kelas berakhir dengan copy meng-copy file. Terima kasih untuk Profesor.

Depok, 11 Desember 2010

Any Rufaidah