3.12.2013

Calcutta dan Segala Kebaikannya

Baru terpikir membuat catatan ini setelah satu setengah tahun kunjungan terjadi. Waktu yang sangat lama. Entah apa, mungkin karena di saat mencari referensi sebuah negeri kemudian menemukan sebuah catatan perjalanan sehingga terdorong untuk menulis catatan perjalanan. Sebelumnya saya hanya membuat catatan kecil tentang keberadaan saya di Calcutta, sebuah kota indah di negeri India. Tapi itu hanya ungkapan syukur, bukan sebuah catatan perjalanan yang lengkap menceritakan Calcutta dan segala kebaikannya. Baiklah, saya akan segera memulai catatan, dari pikiran yang begitu saja keluar, yang mengalir, tanpa editing yang ketat. 

Perjalanan saya ke Calcutta bisa dibilang sebuah rejeki. Mendekati hari raya Idul Fitri, direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN), tempat saya bekerja, menelepon untuk memberitahu undangan konferensi yang diselenggarakan Women’s Studies Research Centre, University of Calcutta, Kolkata, India. Undangan itu sejatinya ditujukan kepada AMAN pusat yang ada di Bangkok. Namun karena mendekati hari raya, direkturnya memberikan ke AMAN Indonesia. Di sini sendiri sebetulnya tidak ada yang bisa berangkat karena akan mudik. Saya satu-satunya staf yang sudah menyatakan tidak mudik. Direktur mendengar hal itu, lalu berpikirlah untuk mendelegasikan saya. Benar-benar rejeki bukan? 

Waktu acara kira-kira kurang satu bulan, sementara saya belum punya paspor. Cukup lelah memang jika harus mengikuti prosedur-prosedur birokrasi untuk mengurus paspor. Saya lupa bagaimana inisiatif saya muncul, kebetulan di AMAN ada pertemuan anak muda yang membincang masalah lingkungan dan lain sebagainya. Di situ hadir Mbak Nana Firman, seorang konsultan NGO internasional yang menangani masalah lingkungan. Mobilitas internasionalnya jangan ditanya lagi. Saya merasa akrab saja dengan dia. Kemudian saya berbicara tentang paspor. Dan, ternyata pamannya adalah Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Mbak Nana tanpa berat hati memberikan nomornya. Hahaha…benar-benar keberuntungan. Saya kontaklah Kepala Kantor Imigrasi yang dimaksud. Namanya Pak Jon. Dia ramah sekali. Setelah saya sampaikan maksud saya –tentu dengan prolog bahwa saya teman keponakannya– disuruhlah saya datang ke kantor imigrasi. 

Di luar urusan itu, saya perlu mengurus dokumen persyaratan paspor. Kartu Keluarga dan akte kelahiran yang asli masih ada di rumah. Saya minta ibu untuk mengirimnya. Ups…ada kesalahan di KK, jadi harus ngurus yang baru ke Dinas Kependudukan Banyuwangi. Untunglah ada seseorang yang sudah seperti kakak yang bisa dimintai bantuan. Dia biasa dipanggil Uut. Saya menanggilnya Mas Uut. Orangnya lumayan manis, ramah, dan sudah seperti saudara. Belakangan, dalam komunikasi soal KK itu, dia menyampaikan dulu pernah suka sama saya. Hahahay….tersenyum saja dalam batin. Sayangnya dia tidak punya keberanian untuk bilang suka. Alasannya adalah merasa tidak pantas karena saya bla bla bla. Itu alasan klasik sebetulnya. Namun hubungan seperti sekarang ini rasanya lebih baik, tetap seperti saudara dan tidak punya kenangan urusan hati. Untuknya, saya mendoakan kebahagiaannya. 

Singkat cerita, dokumen-dokumen dari Banyuwangi sampai ke tangan saya. Maka segeralah saya menghadap Pak Jon di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Setelah menunggu beberapa saat, saya berhasil masuk ke ruangannya. Seperti kesan saya di telepon, betul Pak Jon adalah sosok yang ramah. Usianya mungkin sudah 50 tahun, jadi sudah seperti ke ayah sendiri. Dia mengecek dokumen saya kemudian memberikan coretan memo dan diserahkan kepada anak buahnya. Tidak ada bantahan apa pun. Sepertinya punya pengaruh itu memang enak ya. Semuanya jadi mudah. Hehehe. Tapi dalam proses ini saya melalui semua prosedur, hanya saja lewat jalan tol jadi prosesnya cepat. Saya tunggu pak anak buah memproses. Dan abra kadabra, menjelang jam tiga sore sudah selesai semua proses. Besoknya saya ambil paspor di ruang khusus, ruang Pak Jon. Atas bantuan itu, saya berdoa untuk kemuliaan Pak Jon. (sebagai catatan, tidak ada proses suap-menyuap di sini. Harga paspor normal 270 ribu. Saya hanya membawakan oleh-oleh dari India sebagai rasa terima kasih).

Scan paspor saya kirim ke panitia di Calcutta. Tak lama kemudian saya mendapat balasan tiket. Hahahay…tentu saja senang. Tapi tunggu dulu, proses belum berakhir karena saya harus mendapatkan visa. Proses ini cukup memakan waktu juga, karena saya harus menghadap vice director duta besar untuk diwawancara. Maklumlah, saya diundang untuk ikut konferensi tentang Partisipasi Politik Perempuan dan Pengurangan Kemiskinan dan nama lembaga saya ada kata Muslimnya. Wajar saja jika kedutaan menaruh curiga bahwa saya teroris dan lain sebagainya. Vice director menanyakan banyak hal, mulai dari konferensinya dan detail lembaga saya. Sampai struktur lembaga ditanyakan. Sementara saya dengan polos mengeluarkan jawaban: “Silakan datang ke kantor kami” ketika vice director menanyakan alamat kantor kami. Lagian sih ada-ada saja sampai menanyakan detail alamat. Dan dia tidak puas pula. Visa belum dikeluarkan. Saya disuruh kembali besoknya dengan membawa summary annual report dan profile lembaga. Inang…segitunya ya. Apalagi kalau di kedutaan Amerika. 

28 September 2011 jam 4 sore saya berangkat ke bandara. Check in dan lain sebagainya selesai, masuklah saya ke dalam pesawat Emirates yang akan membawa saya ke Dubai. Menurut Bidhisa Mukheerje, panitia yang mengurusi tiket dan akomodasi saya, tidak ada penerbangan yang via Bangkok pada tanggal yang saya tentukan. Adanya yang lewat Dubai. Jalur itu berputar. Jadi saya harus ke Timur Tengah dulu untuk mencapai India. Memang masih Asia, tapi jaraknya dua kali lipat. Saya menempuh  Dubai dalam waktu sekitar tujuh jam. Tapi perjalanan sungguh tidak terasa. Pertama karena fasilitas pesawat betul-betul memanjakan kita, ada film dan musik yang bisa kita dengar. Kedua, karena sering dikasih makan. Seingat saya lebih dari empat kali pramugari menghampiri untuk memberi makan dan minum. Jadi rata-rata 1,5 jam kami diberi makan atau snack atau minuman. Harga memang tidak pernah bohong ya. Setahu saya, perjalanan PP sekitar 10 juta. Jadi sekali perjalanan sekitar 5 juta. 
 
Di pesawat saya sederet dengan sepasang mahasiswa doktoral asal Jepang. Mereka suami istri. Si suami sedang melakukan penelitian di Indonesia dan istrinya hanya menemani. Si suami yang jajar tepat di samping saya. Saya menyapanya kemudian memperkenalkan diri. Saya bilang saya sedang menyelesaikan S2 Sains Psikologi Sosial. Dia tampak kagum. “Wooh…wooh…,” katanya. Pikir saya, “Ini orang kok kagum begitu ya? Apakah psikologi sosial adalah ilmu yang prestisius dan terkenal susah?” Saya tidak tahu pasti. Mungkin sikap orang yang berpendidikan ya begitu itu, menghargai orang yang sedang menempuh pendidikan. 

Lampu pesawat dimatikan, hampir semua penumpang pun tidur. Saya memilih membuka-buka draft presentasi yang akan saya sampaikan di konferensi. Saya menuliskan poin-poin di buku catatan yang saya bawa. Tapi tidak sampai satu jam, saya pun memilih tidur. Sampai di Dubai pukul 12 malam. Saya langsung mencari petugas maskapai untuk menanyakan gate penerbangan menuju India. Sesuai jadwalnya saya akan berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat mencari jalan menuju gate, saya melihat Gading Marten sedang melintas. Saya sapa saja, “Gading ya?” Dia jawab “Iya”. Kemudian berlalu begitu saja. Maaf ya, tidak hobi minta foto sama artis. Hehehe. 

Setelah dapat informasi dan ditunjukkan jalan menuju gate, saya berjalan, melewati eskalator datar kemudian eskalator tangga dan eskalator datar lagi. Bandara Dubai ampun panjang dan megahnya. Mungkin panjangnya satu desa. Megahnya seperti istana Timur Tengah mungkin. Di salamnya ada mall dan gallery produk-produk kelas dunia. Mau merk apa saja tersedia. Hiasan-hiasan cantik seperti pohon palm dan duplikasinya yang terbuat dari bahan berkilau ada semua. Foto-foto mewah ala fotografi kelas dunia terpajang di beberapa sudut bandara. Beberapa bagian dinding terbuat dari keramik dengan gambar kuda berlari. Beberapa bagian lantai beralaskan karpet tebal. Fasilitas internet, mushalla, tempat tidur sampai hotel tersedia di dalam bandara. Kafe-kafe jangan ditanya lagi. Benar-benar cita rasa Dubai. Karena saat itu adalah Bulan Ramadlan, saya menyempatkan diri untuk tarawih di masjid bandara. Ukurannya tidak besar. Bahan bangunan terbuat dari kayu, mulai lantai, tiang, atap, sampai tempat imam. Saat itu sepi. Hanya ada beberapa perempuan Arab yang berbarengan shalat dengan saya. Saya sempat takut karena sepi, tapi kemudian menikmati suasananya dan juga sempat foto-foto. 

Shalat tarawih selesai, lalu saya segera menuju gate penerbangan ke Calcutta. Hahahay….suasana India sudah mulai terasa. Yang antri di situ kebanyakan orang India. Di pesawat saya bersebelahan dengan seorang bapak yang kira-kira berusia 45 tahun. Dia tinggal di Calcutta. Karakternya diam, tapi ramah dan sangat welcome pada orang lain. Ditambah lagi dermawan. Mengapa saya bilang demikian? Selama di pesawat, dia menyambut pertanyaan-pertanyaan saya dengan ramah. Waktu itu kami sambil menikmati film. Tentu saja yang saya pilih adalah film India. Saya bertanya pada si Bapak, siapa kira-kira bintang film India yang paling terkenal, apakah Shahrukh Khan? Dia menjawab “Ya, tapi sebenarnya King India itu tak akan lama lagi pamornya karena usianya sudah di atas 40 tahun,” ungkapnya. Kami juga berbicara asal negara, tujuan perjalanan, makanan, sampai bagaimana saya menuju tempat tujuan saya setelah turun dari pesawat. Bapak itu terlihat sangat berpengalaman, dia tidak banyak tanya soal negara saya. Kemungkinan karena dia sudah banyak tahu soal Indonesia. Selain itu dia paham betul jalur penerbangan dari Indonesia ke India. “Kenapa harus lewat Dubai, bukankah dari Bangkok bisa?,”  tanyanya. 

Si Bapak bekerja di dunia bisnis. Dia baru saja pulang dari Brazil untuk tujuan wisata. Sebagai seorang bisnisman, saya menduga perjalanannya ke Brazil juga untuk tujuan bisnisnya. Dia tampak tidak membawa apa-apa kecuali sebuah tas kecil untuk buku catatan dan dokumen-dokumen penting seperti paspor. Dia menanyakan bagaimana saya menuju ke tempat tujuan saya di Calcutta nanti. Saya menjawab ada sopir yang akan menjemput tapi sekarang memang belum ada kepastian. Mendengar jawaban itu, dia menawari saya tumpangan. Kebetulan dia dijemput sopirnya. Tentu saja saya senang. Jam 8 pagi waktu Calcutta kami sampai di Bandara Calcutta. Kami jalan bersama menuju tempat pengambilan bagasi. Si Bapak menanyakan kembali bagaimana sopir yang menjemput. Jawaban saya tetap sama. Mendengar itu, si Bapak mencatat nomor teleponnya kemudian memberikannya ke saya sambil bilang, “This is my phone number. Call me if you need help.” Mendapat perlakuan seperti itu dalam kondisi seorang diri di negara lain tentu sangat berharga. Untuk si Bapak, saya berdoa atas keberkahan hidupnya. Sayang sekali saya tidak menanyakan namanya. Nomor teleponnya pun hilang entah di mana. Ya sudahlah, semoga doa dapat menyambungkan kita. 

Bersambung (Calcutta yang saya lihat, suasana konferensi, dan 2 tempat penting)

Serang, Banten, 12 Maret 2013. 14.44.