
Perjalanan saya ke Calcutta bisa
dibilang sebuah rejeki. Mendekati hari raya Idul Fitri, direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN),
tempat saya bekerja, menelepon untuk memberitahu undangan konferensi yang
diselenggarakan Women’s Studies Research
Centre, University of Calcutta, Kolkata, India. Undangan itu sejatinya
ditujukan kepada AMAN pusat yang ada di Bangkok. Namun karena mendekati hari
raya, direkturnya memberikan ke AMAN Indonesia. Di sini sendiri sebetulnya
tidak ada yang bisa berangkat karena akan mudik. Saya satu-satunya staf yang
sudah menyatakan tidak mudik. Direktur mendengar hal itu, lalu berpikirlah
untuk mendelegasikan saya. Benar-benar rejeki bukan?
Waktu acara kira-kira kurang satu
bulan, sementara saya belum punya paspor. Cukup lelah memang jika harus
mengikuti prosedur-prosedur birokrasi untuk mengurus paspor. Saya lupa
bagaimana inisiatif saya muncul, kebetulan di AMAN ada pertemuan anak muda yang
membincang masalah lingkungan dan lain sebagainya. Di situ hadir Mbak Nana
Firman, seorang konsultan NGO internasional yang menangani masalah lingkungan.
Mobilitas internasionalnya jangan ditanya lagi. Saya merasa akrab saja dengan
dia. Kemudian saya berbicara tentang paspor. Dan, ternyata pamannya adalah
Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Mbak Nana tanpa berat hati memberikan nomornya.
Hahaha…benar-benar keberuntungan. Saya kontaklah Kepala Kantor Imigrasi yang
dimaksud. Namanya Pak Jon. Dia ramah sekali. Setelah saya sampaikan maksud saya
–tentu dengan prolog bahwa saya teman keponakannya– disuruhlah saya datang ke
kantor imigrasi.
Di luar urusan itu, saya perlu
mengurus dokumen persyaratan paspor. Kartu Keluarga dan akte kelahiran yang
asli masih ada di rumah. Saya minta ibu untuk mengirimnya. Ups…ada kesalahan di
KK, jadi harus ngurus yang baru ke
Dinas Kependudukan Banyuwangi. Untunglah ada seseorang yang sudah seperti kakak
yang bisa dimintai bantuan. Dia biasa dipanggil Uut. Saya menanggilnya Mas Uut.
Orangnya lumayan manis, ramah, dan sudah seperti saudara. Belakangan, dalam
komunikasi soal KK itu, dia menyampaikan dulu pernah suka sama saya.
Hahahay….tersenyum saja dalam batin. Sayangnya dia tidak punya keberanian untuk
bilang suka. Alasannya adalah merasa tidak pantas karena saya bla bla bla. Itu
alasan klasik sebetulnya. Namun hubungan seperti sekarang ini rasanya lebih
baik, tetap seperti saudara dan tidak punya kenangan urusan hati. Untuknya,
saya mendoakan kebahagiaannya.
Singkat cerita, dokumen-dokumen
dari Banyuwangi sampai ke tangan saya. Maka segeralah saya menghadap Pak Jon di
Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Setelah menunggu beberapa saat, saya berhasil
masuk ke ruangannya. Seperti kesan saya di telepon, betul Pak Jon adalah sosok
yang ramah. Usianya mungkin sudah 50 tahun, jadi sudah seperti ke ayah sendiri.
Dia mengecek dokumen saya kemudian memberikan coretan memo dan diserahkan
kepada anak buahnya. Tidak ada bantahan apa pun. Sepertinya punya pengaruh itu
memang enak ya. Semuanya jadi mudah. Hehehe. Tapi dalam proses ini saya melalui
semua prosedur, hanya saja lewat jalan tol jadi prosesnya cepat. Saya tunggu
pak anak buah memproses. Dan abra kadabra, menjelang jam tiga sore sudah
selesai semua proses. Besoknya saya ambil paspor di ruang khusus, ruang Pak
Jon. Atas bantuan itu, saya berdoa untuk kemuliaan Pak Jon. (sebagai catatan,
tidak ada proses suap-menyuap di sini. Harga paspor normal 270 ribu. Saya hanya
membawakan oleh-oleh dari India sebagai rasa terima kasih).
Scan paspor saya kirim ke panitia
di Calcutta. Tak lama kemudian saya mendapat balasan tiket. Hahahay…tentu saja
senang. Tapi tunggu dulu, proses belum berakhir karena saya harus mendapatkan
visa. Proses ini cukup memakan waktu juga, karena saya harus menghadap vice
director duta besar untuk diwawancara. Maklumlah, saya diundang untuk ikut
konferensi tentang Partisipasi Politik Perempuan dan Pengurangan Kemiskinan dan
nama lembaga saya ada kata Muslimnya. Wajar saja jika kedutaan menaruh curiga
bahwa saya teroris dan lain sebagainya. Vice director menanyakan banyak hal,
mulai dari konferensinya dan detail lembaga saya. Sampai struktur lembaga
ditanyakan. Sementara saya dengan polos mengeluarkan jawaban: “Silakan datang
ke kantor kami” ketika vice director menanyakan alamat kantor kami. Lagian sih
ada-ada saja sampai menanyakan detail alamat. Dan dia tidak puas pula. Visa
belum dikeluarkan. Saya disuruh kembali besoknya dengan membawa summary annual report dan profile
lembaga. Inang…segitunya ya. Apalagi kalau di kedutaan Amerika.
28 September 2011 jam 4 sore saya
berangkat ke bandara. Check in dan lain sebagainya selesai, masuklah saya ke
dalam pesawat Emirates yang akan membawa saya ke Dubai. Menurut Bidhisa
Mukheerje, panitia yang mengurusi tiket dan akomodasi saya, tidak ada
penerbangan yang via Bangkok pada tanggal yang saya tentukan. Adanya yang lewat
Dubai. Jalur itu berputar. Jadi saya harus ke Timur Tengah dulu untuk mencapai
India. Memang masih Asia, tapi jaraknya dua kali lipat. Saya menempuh Dubai dalam waktu sekitar tujuh jam. Tapi
perjalanan sungguh tidak terasa. Pertama karena fasilitas pesawat betul-betul
memanjakan kita, ada film dan musik yang bisa kita dengar. Kedua, karena sering
dikasih makan. Seingat saya lebih dari empat kali pramugari menghampiri untuk
memberi makan dan minum. Jadi rata-rata 1,5 jam kami diberi makan atau snack
atau minuman. Harga memang tidak pernah bohong ya. Setahu saya, perjalanan PP
sekitar 10 juta. Jadi sekali perjalanan sekitar 5 juta.
Di pesawat saya sederet dengan
sepasang mahasiswa doktoral asal Jepang. Mereka suami istri. Si suami sedang
melakukan penelitian di Indonesia dan istrinya hanya menemani. Si suami yang
jajar tepat di samping saya. Saya menyapanya kemudian memperkenalkan diri. Saya
bilang saya sedang menyelesaikan S2 Sains Psikologi Sosial. Dia tampak kagum.
“Wooh…wooh…,” katanya. Pikir saya, “Ini orang kok kagum begitu ya? Apakah
psikologi sosial adalah ilmu yang prestisius dan terkenal susah?” Saya tidak
tahu pasti. Mungkin sikap orang yang berpendidikan ya begitu itu, menghargai
orang yang sedang menempuh pendidikan.
Lampu pesawat dimatikan, hampir
semua penumpang pun tidur. Saya memilih membuka-buka draft presentasi yang akan
saya sampaikan di konferensi. Saya menuliskan poin-poin di buku catatan yang
saya bawa. Tapi tidak sampai satu jam, saya pun memilih tidur. Sampai di Dubai
pukul 12 malam. Saya langsung mencari petugas maskapai untuk menanyakan gate
penerbangan menuju India. Sesuai jadwalnya saya akan berangkat pada pukul 2
dini hari. Saat mencari jalan menuju gate, saya melihat Gading Marten sedang
melintas. Saya sapa saja, “Gading ya?” Dia jawab “Iya”. Kemudian berlalu begitu
saja. Maaf ya, tidak hobi minta foto sama artis. Hehehe.
Setelah dapat informasi dan
ditunjukkan jalan menuju gate, saya berjalan, melewati eskalator datar kemudian
eskalator tangga dan eskalator datar lagi. Bandara Dubai ampun panjang dan
megahnya. Mungkin panjangnya satu desa. Megahnya seperti istana Timur Tengah
mungkin. Di salamnya ada mall dan gallery produk-produk kelas dunia. Mau merk
apa saja tersedia. Hiasan-hiasan cantik seperti pohon palm dan duplikasinya
yang terbuat dari bahan berkilau ada semua. Foto-foto mewah ala fotografi kelas
dunia terpajang di beberapa sudut bandara. Beberapa bagian dinding terbuat dari
keramik dengan gambar kuda berlari. Beberapa bagian lantai beralaskan karpet
tebal. Fasilitas internet, mushalla, tempat tidur sampai hotel tersedia di
dalam bandara. Kafe-kafe jangan ditanya lagi. Benar-benar cita rasa Dubai.
Karena saat itu adalah Bulan Ramadlan, saya menyempatkan diri untuk tarawih di
masjid bandara. Ukurannya tidak besar. Bahan bangunan terbuat dari kayu, mulai
lantai, tiang, atap, sampai tempat imam. Saat itu sepi. Hanya ada beberapa
perempuan Arab yang berbarengan shalat dengan saya. Saya sempat takut karena
sepi, tapi kemudian menikmati suasananya dan juga sempat foto-foto.
Shalat tarawih selesai, lalu saya
segera menuju gate penerbangan ke Calcutta. Hahahay….suasana India sudah mulai
terasa. Yang antri di situ kebanyakan orang India. Di pesawat saya bersebelahan
dengan seorang bapak yang kira-kira berusia 45 tahun. Dia tinggal di Calcutta.
Karakternya diam, tapi ramah dan sangat welcome pada orang lain. Ditambah lagi
dermawan. Mengapa saya bilang demikian? Selama di pesawat, dia menyambut
pertanyaan-pertanyaan saya dengan ramah. Waktu itu kami sambil menikmati film.
Tentu saja yang saya pilih adalah film India. Saya bertanya pada si Bapak,
siapa kira-kira bintang film India yang paling terkenal, apakah Shahrukh Khan?
Dia menjawab “Ya, tapi sebenarnya King India itu tak akan lama lagi pamornya
karena usianya sudah di atas 40 tahun,” ungkapnya. Kami juga berbicara asal
negara, tujuan perjalanan, makanan, sampai bagaimana saya menuju tempat tujuan
saya setelah turun dari pesawat. Bapak itu terlihat sangat berpengalaman, dia
tidak banyak tanya soal negara saya. Kemungkinan karena dia sudah banyak tahu
soal Indonesia. Selain itu dia paham betul jalur penerbangan dari Indonesia ke
India. “Kenapa harus lewat Dubai, bukankah dari Bangkok bisa?,” tanyanya.
Si Bapak bekerja di dunia bisnis.
Dia baru saja pulang dari Brazil untuk tujuan wisata. Sebagai seorang
bisnisman, saya menduga perjalanannya ke Brazil juga untuk tujuan bisnisnya.
Dia tampak tidak membawa apa-apa kecuali sebuah tas kecil untuk buku catatan
dan dokumen-dokumen penting seperti paspor. Dia menanyakan bagaimana saya
menuju ke tempat tujuan saya di Calcutta nanti. Saya menjawab ada sopir yang
akan menjemput tapi sekarang memang belum ada kepastian. Mendengar jawaban itu,
dia menawari saya tumpangan. Kebetulan dia dijemput sopirnya. Tentu saja saya
senang. Jam 8 pagi waktu Calcutta kami sampai di Bandara Calcutta. Kami jalan
bersama menuju tempat pengambilan bagasi. Si Bapak menanyakan kembali bagaimana
sopir yang menjemput. Jawaban saya tetap sama. Mendengar itu, si Bapak mencatat
nomor teleponnya kemudian memberikannya ke saya sambil bilang, “This is my
phone number. Call me if you need help.” Mendapat perlakuan seperti itu dalam
kondisi seorang diri di negara lain tentu sangat berharga. Untuk si Bapak, saya
berdoa atas keberkahan hidupnya. Sayang sekali saya tidak menanyakan namanya.
Nomor teleponnya pun hilang entah di mana. Ya sudahlah, semoga doa dapat
menyambungkan kita.
Bersambung (Calcutta yang saya lihat, suasana konferensi, dan 2 tempat
penting)
Serang, Banten, 12 Maret 2013. 14.44.