5.03.2008

Anak Perlu Dispensasi

ANY RUFAIDAH, S. Psi


Tuntutan zaman memaksa bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh dan mampu bersaing di kancah internasional. Persaingan dunia yang semakin lama semakin ketat menuntut persiapan diri sebaik mungkin. Jika tidak mampu bersaing, bersiap-siaplah terlindas zaman. Tuntutan itu menjadikan kebutuhan akan pendidikan berkualitas semakin besar. Untuk itulah, pendidikan menciptakan formulasi-formulasi kreatif. Kita amati, dari tahun ke tahun Depdiknas mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru dengan tujuan utama untuk meningkatkan SDM. Nilai minimum kelulusan SMA yang semula hanya 3,01 dinaikkan menjadi 4,01 pada tahun ajaran 2003/2004. Pada tahun ajaran berikutnya (2004/2005), nilai dinaikkan lagi menjadi 4,25. Asumsinya, jika siswa mampu lulus belajar dengan standart nilai tinggi, kemampuan akademiknya dapat diakui. Bukan hanya Depdiknas yang mengeluarkan formulasi-formulai dalam bentuk kebijakan baru. Sekolah-sekolah nampaknya bekerja keras pula dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Salah satu dari sekian banyak program yang ditawarkan adalah fullday school.


Program fullday school menerapkan sistem belajar sehari penuh, dimana siswa belajar sepanjang hari di sekolah, mulai pukul 07.00 hingga 16.00 atau lebih. Sekolah-sekolah yang menerapkan sistem ini menawarkan berbagai fasilitas belajar dan les-les tambahan. Komputer lengkap dengan jaringan internet, laboratorium IPA, laboratorium bahasa, dan fasilitas lainnya sudah tersedia. Guru-guru selalu siap memberikan pelajaran tambahan hingga sore hari. Bimbingan agama pun tersedia. Layaknya supermarket, sekolah menyediakan segala sesuatu yang berhubungan dengan peningkatan mutu SDM. Dan yang paling penting, fullday school sangat berguna untuk menghindari pergaulan-pergaulan negatif, meminimalisir pengaruh luar sekolah seperti penggunaan narkotika dan miras, balapan liar, tawuran antar pelajar, gank liar seperti halnya gank motor, dan bentuk-bentuk pergaulan negatif lainnya. Dengan memperpanjang waktu di sekolah, anak-anak diharapkan menjadi generasi cerdas dan “bersih”. Pada sisi ini, fullday school sangat bermanfaat. Di era globalisasi yang serba bebas ini, anak-anak (remaja) memang mudah terpengaruh berbagai macam hal. Kehadiran dunia maya yang biasa disebut cyberspace dan kecanggihan teknologi memungkinkan remaja mengakses berbagai informasi dengan mudah. Dengan segala kemudahan itu, gaya hidup di berbagai belahan dunia dapat terserap dengan mudah. Seakan-akan tidak ada batas yang memisahkan antara bagian dunia satu dengan bagian lainnya. Peneliti budaya ITB, Yasraf A. Piliang (2004) menyebut realitas ini sebagai dunia tanpa batas (bouderless world). Gaya remaja Barat dengan rok mini, blue jeans sobek-sobek, body piercing, cat rambut warna-warni, dapat masuk dan diimitasi dalam waktu sekejap mata.

Pengaruh-pengaruh negatif pergaulan yang berkembang di era globalisasi ini memang seharusnya diperhatikan. Jika tidak, bangsa ini akan terancam kehilangan identitas dan jati diri bangsa. Tidak memiliki ciri khas yang bisa dibanggakan dan mudah dipermainkan oleh kekuatan asing. Fullday school sebagai salah satu tameng atas kemungkinan itu perlu mendapat apresiasi. Tetapi perlu diingat, kita tetap tidak boleh meremehkan keterbatasan anak (peserta didik) yang mengikuti program tersebut.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang siswa SMP yang mengikuti sekolah fullday. Ketika saya bertanya sekolah di mana? Ia menjawab, kemudian mengatakan ingin segera pindah dari sekolahnya sekarang. Sebab, di sekolahnya terlalu banyak tugas dan tidak ada waktu untuk bersantai dan bermain-main. Dengan nada ketus ia mengatakan, “Masak anak SMP tidak diberi waktu main.”

Siswa itu merasa tertekan dan tidak sanggup mengikuti program fullday. Gambaran ini hanya satu dari sekian banyak contoh yang riil terjadi. Bayangkan saja, berapa jumlah siswa yang mengalami hal serupa. Sebenarnya mereka ingin pindah sekolah, tetapi ada faktor yang menghalangi, salah satunya adalah orang tua. Terkadang orang tua tidak mengijinkan anaknya pindah sekolah, karena fullday school dianggap the best program. Orang tua berharap dengan mengikuti program ini anak akan berprestasi. Mereka lupa bahwa model pendidikan yang tak dikehendaki anak justru akan menjadi boomerang. Anak merasa tertekan karena tidak kuat menanggung beban sekolah. Di sinilah pengertian orang tua sangat dibutuhkan.

Kebijaksanaan orang tua sangat diperlukan dalam menghadapi contoh seperti di atas. Jaga Image (Jaim) karena anaknya tidak mampu mengikuti fullday school yang dalam masyarakat dianggap bagus tidak perlu dipertahankan. Pemahaman orang tua terhadap kondisi anak lah yang harus ditampilkan. Orang tua harus menyadari bahwa kemampuan setiap anak dalam menyerap pelajaran berbeda. Jangan karena ketidaksadaran orang tua, anak menjadi korban. Mereka tidak mampu menyerap pelajaran dengan maksimal. Ke sekolah hanya untuk menyenangkan orang tua, bukan atas kemauan sendiri. Belajar pun sekadarnya saja. Perlu dipahami bahwa kebutuhan anak muncul sesuai dengan bakat dan minatnya. Bakat dan minat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Tidak seharusnya dipaksakan. Selain itu, anak memiliki hak memilih orientasi belajarnya sendiri. Orang tua yang lebih dulu mengenal demokrasi harus mampu mempraktikkannya di sini. Demokrasi bukan hanya berlaku antara pemerintah dan rakyat. Di lingkungan keluarga pun memerlukan demokrasi. Bahkan, penerapan demokrasi di lingkungan keluarga lah yang justru lebih bermanfaat. Agama pun secara jelas memberi amanat kepada orang tua untuk mendidik anak sebaik mungkin. Tetapi agama tidak menghendaki pemaksaan. Kita diperintah untuk memberi kebebasan.

Dan sudah selayaknya diketahui bahwa yang disebut kesuksesan bukan hanya disokong oleh kemampuan akademik (Intelectual Quotient) yang ditawarkan fullday school. Orang sukses adalah orang yang mampu mengembangkan minat dan bakatnya secara maksimal. Bukan hanya mereka yang mampu menghafal rumus matematika atau fisika. Mereka yang pandai bermain biola atau gitar, menjadi atlet renang atau bulutangkis adalah orang-orang yang sukses pula. Dengan kata lain, “Banyak jalan menuju sukses”. Anak memiliki pilihan sendiri-sendiri untuk menemukan jalan suksesnya.

Kita semua berharap bahwa formulasi cerdas berupa fullday school mampu menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa maju dan kokoh. Tetapi perlu menjadi catatan bahwa pendidikan yang kita tanamkan adalah pendidikan berbasis kebebasan seperti yang diajarkan oleh ahli pendidikan Brazil, Paulo Freire, bukan pendidikan berbasis sangkar. Semoga.

ANY RUFAIDAH, S. Psi, HRD Lembaga Pendidikan“El Maurice Muamalah College”Malang
(Koran Pendidikan, November 27)