10.07.2009

Sekilas tentang Cultural Studies dan Cultural Resistance


Cultural Studies
Tulisan ini merupakan sedikit review dari pelatihan Cultural Studies (etnografi di dalamnya) yang sempat saya ikuti pada tanggal 19-23 September 2008. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes ini didesain dengan Sersan (Serius tapi Santai). Serius karena narasumber yang memandu adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di tingkat nasional, yaitu Mas Kirik Ertanto (Save Children) dan Mujtaba Hamdi (Peneliti Tankinaya Institute, Depok). Santai karena model pembelajarannya santai. Tidak ada kontrak forum, peserta bisa mengikuti materi sambil tiduran, makan, minum, dan lain sebagainya asal tidak mengganggu jalannya pelatihan.

Cultural studies bagi saya merupakan kajian yang masih asing. Meskipun sudah sering mendengarnya, pengetahuan saya masih sangat minim. Apa itu cultural studies masih menjadi pertanyaan besar. Pada pelatihan ini saya sedikit mendapat pencerahan tentang pertanyaan tersebut tanpa harus membaca berbagai buku tebal seperti milik Chris Barker. He he.

Yang saya tangkap dari penjelasan Mas Kirik tentang CS adalah:
1. Bahwa CS merupakan reaksi terhadap dominasi yang menganggap bahwa kesadaran setiap orang di muka bumi ini seragam, mengikuti satu alur, dan bisa dikendalikan. Ibaratnya seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia seperti kawanan domba: digiring ke sana ikut ke sana dan digiring ke sini juga ikut saja. CS ingin menjelaskan bahwa kelas bawah memiliki ideologi yang tidak mesti sama dengan persepsi dominasi. Mereka memiliki pemaknaan sendiri tentang apa yang mereka lakukan dan kerjakan: tentang penampilan, arti pertemanan, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Tidak seperti pandangan dominasi yang menganggap bahwa hidup adalah begini dan begitu, di luar itu adalah abnormal. Pada anak jalanan misalnya, mereka memiliki pemaknaan-pemaknaan sendiri tentang apa pun yang melekat pada diri mereka, berbeda dengan apa yang dipersepsi oleh dominasi yang menganggap mereka tidak memiliki aturan, tidak bermoral, banyak tingkah, dan lain sebagainya.

2. CS sekaligus ingin menegaskan bahwa ideologi tidak pernah bersifat total.

3. CS adalah perayaan atas keberagaman.

Any Rufaidah, Banyuwangi, 1 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009

Cultural Resistance
Tulisan ini adalah review kedua dari pelatihan PUSPeK Averroes pada bulan September 2008. Cultural resistance (CR) pada saat itu disampaikan secara eksklusif oleh kawan Mujtaba Hamdi (Taba). Bagi saya CR merupakan tema yang masih asing pula. Ya….begitulah. Terlalu banyak hal-hal asing karena problem kurang membaca.

Cultural resistance –dari istilahnya saja sudah bisa diterka– yaitu perlawanan kebudayaan. Apa yang ada dalam bayangan ketika membaca istilah tersebut? Yang disebut perlawanan adalah keluar dari ke-umum-an (hal yang umum), mayoritas, atau mainstream. Kurang lebih demikian yang saya tangkap dari pelatihan. Dilihat dari latar belakangnya, CR bertujuan untuk melawan dominasi. Secara spesifik, dominasi yang dimaksud di sini adalah hegemoni, kuasa.

Namun dominasi bukan berarti selalu pemerintah. Kata Mas Taba, dominasi, kuasa, tidak selalu berada di luar tempat kita berdiri. Dominasi tidak ada hubungannya apakah ia internal dalam lembaga yang kita naungi atau eksternal (pemerintah misalnya). Lembaga internal atau eksternal bisa menjadi sarang hegemoni bagi individu-individu yang ada di dalamnya.

CR menjelma dalam dua wadah: bentuk dan isi. Dilihat dari bentuk, misalnya musik, grafiti, interpretasi, dan aktivitas. Dari isinya, misalnya lirik musik yang nyeleneh. Di Indonesia, musik yang dicontohkan oleh Mas Taba saat itu adalah lagu-lagu Slank dan Iwan Fals. Rasanya sudah jelas mengapa lagu-lagu Slank dan Iwan Fals menjadi contoh CR. Dalam konteks dunia adalah lagu-lagu John Lennon. Yang juga sempat dicontohkan pada pelatihan adalah budaya punk.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa CR terjadi? Di atas sudah sedikit disinggung alasan CR. Tetapi yang ini lebih mendasar. CR muncul karena kebutuhan terhadap ruang bebas. Ruang bebas bisa dipilah dalam dua bentuk: individual dan material. Ruang bebas individual misalnya kebebasan berpikir, menginterpretasi, dan beraktivitas sesuai dengan kesadaran yang dimiliki. Sedangkan ruang bebas yang material misalnya lirik lagu.

CR tidak terjadi begitu saja. Ada proses dan tingkatannya. Proses CR dalam istilah Mas Taba atau referensi yang ia baca disebut Political Consciousness. Individu berangkat dari keadaan tak sadar, kemudian coba-coba, dan terakhir sadar.
Tidak sadar –> Appropiasi (coba-coba. Seperti halnya coba-coba rasa garam) –> sadar
Lingkup CR : individu –> subculture –> masyarakat
Hasil proses CR : bertahan –> perlawanan –> revolusi
Demikian sekilas tentang CS dan CR. Semoga bermanfaat.

Any Rufaidah, Malang, 24 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009