3.15.2013

Demi Tuhan, Hatiku

“Demi Tuhan, Hatiku.” Itu adalah sebuah judul dalam buku biografi Kahlil Gibran. Kata itu menggambarkan mungkin kebimbangan, mungkin kegelisahan, mungkin dilema, mungkin keputusasaan, dan sejenisnya yang sedang dialami Gibran. Mengapa saya mengutip kata itu? Ya, karena malam ini saya mengalami sebuah kekecewaan yang kemudian memuncak menjadi tangisan. Perasaan itu bermula dari pengalaman penipuan yang saya alami malam ini. Singkatnya saja, saya membeli tiket penerbangan online via FB. Pemilik FB itu sering mengirim promo-promo tiket. Sebelumnya tidak pernah saya gubris. Malam ini saya jadi berpikir pesan ke dia karena asisten orang yang akan membiayai perjalanan saya sudah pada tahap tidak bisa diandalkan. Waktu yang dibutuhkan untuk memesan tiket sudah sangat tidak rasional. Jadwal penerbangannya sampai saya yang carikan sehingga dia tinggal issued, tapi itu juga tidak dilakukan sampai dua hari. Saya telepon ke 4 agen perjalanan, kebetulan terkendala semua. Ada yang tidak jual tiket dengan maskapai itu, ada yang pas kebetulan tidak angkat telepon, dan ada yang belum melayani penerbangan internasional. 

Maka saya chattinglah dengan agen tiket palsu. Saya kasih jadwal kemudian dia kasih harga. Saya langsung minta bookingkan karena jadwalnya memang sudah saya cek. Jadi sebetulnya hanya tidak ingin ribet untuk bayar dengan bank-bank atau kartu kredit yang saya tidak punya. Ini sebuah kesalahan, terlalu berpikir pragmatis, ingin serba instan. Setelah saya tahu harga totalnya cukup untuk keuangan saya, maka saya minta di-issued-kan. Syarat agen palsu adalah transfer terlebih dahulu. Sebelum saya transfer saya menelepon untuk memastikan apakah agen itu benar ada apa tidak. Dia cukup meyakinkan, maka percayalah saya. Dalam alam bawah sadar saya, saya punya pengalaman pesan tiket via online pada agen langganan, dan hasilnya baik-baik saja, sehingga saya tidak curiga berlebihan. Saya meminjam uang teman saya, karena uang untuk tiket itu masih di sponsor dan uang dari sponsor lainnya masih ada di rekening teman. Tidak memungkinkan untuk mengurusi semua itu dalam waktu cepat malam ini, sehingga saya telepon teman saya yang sangat dermawan (sebetulnya karena dia sangat mencintai saya dengan rasa yang tulus saya kira). Proses transfer terjadi kemudian saya minta di-issued-kan. Ternyata email tiket tidak kunjung datang dan agen palsu memblok FB saya. Nomor HP-nya pun tidak aktif. Saya ‘sedikit’ lemas, karena impian tiket clear malam ini tidak terwujud. 

Itu cerita permulaan. Tapiii…yang membuat saya kecewa malam ini sehingga menuliskan “Demi Tuhan, Hatiku” bukanlah itu. Pada akhirnya saya berpikir untuk melapor polisi meski teman yang meminjamkan uangnya pada saya tidak marah atau menyalahkan saya. Dia hanya bilang, “Tenangkan pikiran sampean. Nanti kan ada rejeki lagi.” Saya BBM teman saya yang polisi untuk bertanya apakah ada teman polisi di Jakarta Pusat. Dia bilang tidak punya, tapi dia menyarankan saya untuk melapor ke Polsek terdekat. Jam menunjukkan pukul 23 lewat. Saya memutuskan menuju Polsek Paseban yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Yang mendorong saya bukan sepenuhnya “agar uang saya kembali”, tetapi “saya orang yang cukup mengenyam pendidikan dan saya sadar hukum, maka saya tidak boleh membiarkan kasus penipuan lewat begitu saja.” Kedua, saya berpikir kalau kasus penipuan seperti itu bisa diselesaikan, maka kasus-kasus serupa tidak akan terjadi atau merebak, sehingga tidak akan ada korban lagi.

Di Polsek Paseban, setelah saya bercerita pada seorang polisi agak tua yang sedang piket, ternyata saya diarahkan ke Polres karena Polsek-nya itu hanya pospol. Baiklah, saya ikuti sarannya. Saya ambil motor di kos dan melaju ke Polres yang jaraknya juga tidak jauh dari tempat saya tinggal. Lapor ke pos penjagaan saya berhadapan dengan satu polisi yang agak kasar dan satu polisi ramah. Baiklah. Saya diarahkan menuju bagian pelaporan. Polisinya agak muda. Mungkin usia antara 32-35. Oh ya, di samping itu saya juga telah berkomunikasi dengan teman yang sudah transfer untuk tiket saya agar menelepon bank dan memblokir rekening agen palsu. Di ruang pelaporan saya bercerita lagi…bla bla bla. Pak polisi yang saya hadapi sedang memutar lagu-lagu dari komputernya sambil mendengarkan saya bercerita. Karena menurut saya itu adalah tindakan tidak menghargai, saya pura-pura saja memegang telinga sambil mengernyitkan dahi agar dia mengecilkan musiknya. Pura-pura itu berhasil. Akhirnya pak polisi mengecilkan musik. Saya melanjutkan cerita. Daaaann…kesimpulannya adalah, lapor perkara mestinya di Surabaya karena transfernya dari sana. Saya terus bertanya, “Mengapa harus begitu? Rasanya tidak rasional karena saya yang menjadi korban di sini. Teman saya memang yang mengalami kerugian saat ini, tapi saya juga akan membayarnya. Tapi intinya tetap begitu, lapornya harus di Surabaya. Karena sudah malas berdebat lagi, saya segera sudahi saja lah. Pada intinya, dia tidak mau melayani laporan.

Itu pengalaman yang membuat saya sangat galau. Seharusnya Indonesia punya sistem yang cepat, tanggap, dan terpadu. Seharusnya, kalau ada laporan dari korban, polisi bisa segera menindaknya. Jika itu bukan di TKP, dia akan bisa kontak ke Polres TKP. Seharusnya polisi punya greget untuk membasmi kejahatan. Mana ada alasan tidak bisa, karena faktanya semua data WNI bisa diakses oleh Polri dan TNI. Agak mustahil kalau Polri menjawab tidak bisa menangkap pelaku penipuan. Apalagi, pada kasus saya ada nomor rekening pelaku. Dan tentu mereka punya hak untuk ikut campur ke bank dalam upaya penangkapan. Semua sangat mungkin dilakukan, bahkan pada waktu yang sangat cepat. Tetapi, pelapor seolah disuruh tidak melapor. Itu akan menambah pekerjaan saja. Ada kesan pak polisi-pak polisi itu memang tidak mau kerja. 

Demi Tuhan, Hatiku, jadi benar teriakan-teriakan teman-teman aktivis bahwa “polisi kerap melakukan pembiaran.” Saya masih menyangsikan kata teman-teman aktivis bahwa ada pembiaran, tapi faktanya sangat terlihat. Demi Tuhan, Hatiku, jadi wajar jika orang-orang yang kehilangan benda-bendanya, motor, laptop, kamera, mobil, HP dan lain sebagainya memilih tidak melapor. Melapor kadang tidak dipercayai, kadang dianggap mengada-ada, dan sejenisnya. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia tak seharusnya begini. Indonesia seharusnya bisa sangat baik. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya menangisi keadaan negeriku yang seolah tak memegang nilai dan komitmen. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya punya keinginan untuk pindah kewarganegaraan. Indonesia yang saya akui sangat saya sayangi tiba-tiba ingin saya tinggalkan. Demi Tuhan, Hatiku, semakin saya tidak ingin bekerja pada pemerintahan. Demi Tuhan, Hatiku, tiba-tiba saya ingin menjadi aktivis dan akademisi saja, dunia yang saya rasa paling memegang nilai-nilai universal. Seandainya saya sudah punya pilihan pekerjaan lain, maka saya akan mundur dari pekerjaan saya sekarang ini. Demi Tuhan, Hatiku, ternyata mencoba percaya dan menganggap semua orang baik adalah kesalahan. Demi Tuhan, Hatiku, saya lelah pada orang yang mengaku sibuk sehingga tidak sempat memesankan tiket sampai berhari-hari. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia seharusnya tidak seperti sekarang ini. 

Jakarta, 15 Maret 2013. 02.32.

3.12.2013

Calcutta dan Segala Kebaikannya

Baru terpikir membuat catatan ini setelah satu setengah tahun kunjungan terjadi. Waktu yang sangat lama. Entah apa, mungkin karena di saat mencari referensi sebuah negeri kemudian menemukan sebuah catatan perjalanan sehingga terdorong untuk menulis catatan perjalanan. Sebelumnya saya hanya membuat catatan kecil tentang keberadaan saya di Calcutta, sebuah kota indah di negeri India. Tapi itu hanya ungkapan syukur, bukan sebuah catatan perjalanan yang lengkap menceritakan Calcutta dan segala kebaikannya. Baiklah, saya akan segera memulai catatan, dari pikiran yang begitu saja keluar, yang mengalir, tanpa editing yang ketat. 

Perjalanan saya ke Calcutta bisa dibilang sebuah rejeki. Mendekati hari raya Idul Fitri, direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN), tempat saya bekerja, menelepon untuk memberitahu undangan konferensi yang diselenggarakan Women’s Studies Research Centre, University of Calcutta, Kolkata, India. Undangan itu sejatinya ditujukan kepada AMAN pusat yang ada di Bangkok. Namun karena mendekati hari raya, direkturnya memberikan ke AMAN Indonesia. Di sini sendiri sebetulnya tidak ada yang bisa berangkat karena akan mudik. Saya satu-satunya staf yang sudah menyatakan tidak mudik. Direktur mendengar hal itu, lalu berpikirlah untuk mendelegasikan saya. Benar-benar rejeki bukan? 

Waktu acara kira-kira kurang satu bulan, sementara saya belum punya paspor. Cukup lelah memang jika harus mengikuti prosedur-prosedur birokrasi untuk mengurus paspor. Saya lupa bagaimana inisiatif saya muncul, kebetulan di AMAN ada pertemuan anak muda yang membincang masalah lingkungan dan lain sebagainya. Di situ hadir Mbak Nana Firman, seorang konsultan NGO internasional yang menangani masalah lingkungan. Mobilitas internasionalnya jangan ditanya lagi. Saya merasa akrab saja dengan dia. Kemudian saya berbicara tentang paspor. Dan, ternyata pamannya adalah Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Mbak Nana tanpa berat hati memberikan nomornya. Hahaha…benar-benar keberuntungan. Saya kontaklah Kepala Kantor Imigrasi yang dimaksud. Namanya Pak Jon. Dia ramah sekali. Setelah saya sampaikan maksud saya –tentu dengan prolog bahwa saya teman keponakannya– disuruhlah saya datang ke kantor imigrasi. 

Di luar urusan itu, saya perlu mengurus dokumen persyaratan paspor. Kartu Keluarga dan akte kelahiran yang asli masih ada di rumah. Saya minta ibu untuk mengirimnya. Ups…ada kesalahan di KK, jadi harus ngurus yang baru ke Dinas Kependudukan Banyuwangi. Untunglah ada seseorang yang sudah seperti kakak yang bisa dimintai bantuan. Dia biasa dipanggil Uut. Saya menanggilnya Mas Uut. Orangnya lumayan manis, ramah, dan sudah seperti saudara. Belakangan, dalam komunikasi soal KK itu, dia menyampaikan dulu pernah suka sama saya. Hahahay….tersenyum saja dalam batin. Sayangnya dia tidak punya keberanian untuk bilang suka. Alasannya adalah merasa tidak pantas karena saya bla bla bla. Itu alasan klasik sebetulnya. Namun hubungan seperti sekarang ini rasanya lebih baik, tetap seperti saudara dan tidak punya kenangan urusan hati. Untuknya, saya mendoakan kebahagiaannya. 

Singkat cerita, dokumen-dokumen dari Banyuwangi sampai ke tangan saya. Maka segeralah saya menghadap Pak Jon di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Setelah menunggu beberapa saat, saya berhasil masuk ke ruangannya. Seperti kesan saya di telepon, betul Pak Jon adalah sosok yang ramah. Usianya mungkin sudah 50 tahun, jadi sudah seperti ke ayah sendiri. Dia mengecek dokumen saya kemudian memberikan coretan memo dan diserahkan kepada anak buahnya. Tidak ada bantahan apa pun. Sepertinya punya pengaruh itu memang enak ya. Semuanya jadi mudah. Hehehe. Tapi dalam proses ini saya melalui semua prosedur, hanya saja lewat jalan tol jadi prosesnya cepat. Saya tunggu pak anak buah memproses. Dan abra kadabra, menjelang jam tiga sore sudah selesai semua proses. Besoknya saya ambil paspor di ruang khusus, ruang Pak Jon. Atas bantuan itu, saya berdoa untuk kemuliaan Pak Jon. (sebagai catatan, tidak ada proses suap-menyuap di sini. Harga paspor normal 270 ribu. Saya hanya membawakan oleh-oleh dari India sebagai rasa terima kasih).

Scan paspor saya kirim ke panitia di Calcutta. Tak lama kemudian saya mendapat balasan tiket. Hahahay…tentu saja senang. Tapi tunggu dulu, proses belum berakhir karena saya harus mendapatkan visa. Proses ini cukup memakan waktu juga, karena saya harus menghadap vice director duta besar untuk diwawancara. Maklumlah, saya diundang untuk ikut konferensi tentang Partisipasi Politik Perempuan dan Pengurangan Kemiskinan dan nama lembaga saya ada kata Muslimnya. Wajar saja jika kedutaan menaruh curiga bahwa saya teroris dan lain sebagainya. Vice director menanyakan banyak hal, mulai dari konferensinya dan detail lembaga saya. Sampai struktur lembaga ditanyakan. Sementara saya dengan polos mengeluarkan jawaban: “Silakan datang ke kantor kami” ketika vice director menanyakan alamat kantor kami. Lagian sih ada-ada saja sampai menanyakan detail alamat. Dan dia tidak puas pula. Visa belum dikeluarkan. Saya disuruh kembali besoknya dengan membawa summary annual report dan profile lembaga. Inang…segitunya ya. Apalagi kalau di kedutaan Amerika. 

28 September 2011 jam 4 sore saya berangkat ke bandara. Check in dan lain sebagainya selesai, masuklah saya ke dalam pesawat Emirates yang akan membawa saya ke Dubai. Menurut Bidhisa Mukheerje, panitia yang mengurusi tiket dan akomodasi saya, tidak ada penerbangan yang via Bangkok pada tanggal yang saya tentukan. Adanya yang lewat Dubai. Jalur itu berputar. Jadi saya harus ke Timur Tengah dulu untuk mencapai India. Memang masih Asia, tapi jaraknya dua kali lipat. Saya menempuh  Dubai dalam waktu sekitar tujuh jam. Tapi perjalanan sungguh tidak terasa. Pertama karena fasilitas pesawat betul-betul memanjakan kita, ada film dan musik yang bisa kita dengar. Kedua, karena sering dikasih makan. Seingat saya lebih dari empat kali pramugari menghampiri untuk memberi makan dan minum. Jadi rata-rata 1,5 jam kami diberi makan atau snack atau minuman. Harga memang tidak pernah bohong ya. Setahu saya, perjalanan PP sekitar 10 juta. Jadi sekali perjalanan sekitar 5 juta. 
 
Di pesawat saya sederet dengan sepasang mahasiswa doktoral asal Jepang. Mereka suami istri. Si suami sedang melakukan penelitian di Indonesia dan istrinya hanya menemani. Si suami yang jajar tepat di samping saya. Saya menyapanya kemudian memperkenalkan diri. Saya bilang saya sedang menyelesaikan S2 Sains Psikologi Sosial. Dia tampak kagum. “Wooh…wooh…,” katanya. Pikir saya, “Ini orang kok kagum begitu ya? Apakah psikologi sosial adalah ilmu yang prestisius dan terkenal susah?” Saya tidak tahu pasti. Mungkin sikap orang yang berpendidikan ya begitu itu, menghargai orang yang sedang menempuh pendidikan. 

Lampu pesawat dimatikan, hampir semua penumpang pun tidur. Saya memilih membuka-buka draft presentasi yang akan saya sampaikan di konferensi. Saya menuliskan poin-poin di buku catatan yang saya bawa. Tapi tidak sampai satu jam, saya pun memilih tidur. Sampai di Dubai pukul 12 malam. Saya langsung mencari petugas maskapai untuk menanyakan gate penerbangan menuju India. Sesuai jadwalnya saya akan berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat mencari jalan menuju gate, saya melihat Gading Marten sedang melintas. Saya sapa saja, “Gading ya?” Dia jawab “Iya”. Kemudian berlalu begitu saja. Maaf ya, tidak hobi minta foto sama artis. Hehehe. 

Setelah dapat informasi dan ditunjukkan jalan menuju gate, saya berjalan, melewati eskalator datar kemudian eskalator tangga dan eskalator datar lagi. Bandara Dubai ampun panjang dan megahnya. Mungkin panjangnya satu desa. Megahnya seperti istana Timur Tengah mungkin. Di salamnya ada mall dan gallery produk-produk kelas dunia. Mau merk apa saja tersedia. Hiasan-hiasan cantik seperti pohon palm dan duplikasinya yang terbuat dari bahan berkilau ada semua. Foto-foto mewah ala fotografi kelas dunia terpajang di beberapa sudut bandara. Beberapa bagian dinding terbuat dari keramik dengan gambar kuda berlari. Beberapa bagian lantai beralaskan karpet tebal. Fasilitas internet, mushalla, tempat tidur sampai hotel tersedia di dalam bandara. Kafe-kafe jangan ditanya lagi. Benar-benar cita rasa Dubai. Karena saat itu adalah Bulan Ramadlan, saya menyempatkan diri untuk tarawih di masjid bandara. Ukurannya tidak besar. Bahan bangunan terbuat dari kayu, mulai lantai, tiang, atap, sampai tempat imam. Saat itu sepi. Hanya ada beberapa perempuan Arab yang berbarengan shalat dengan saya. Saya sempat takut karena sepi, tapi kemudian menikmati suasananya dan juga sempat foto-foto. 

Shalat tarawih selesai, lalu saya segera menuju gate penerbangan ke Calcutta. Hahahay….suasana India sudah mulai terasa. Yang antri di situ kebanyakan orang India. Di pesawat saya bersebelahan dengan seorang bapak yang kira-kira berusia 45 tahun. Dia tinggal di Calcutta. Karakternya diam, tapi ramah dan sangat welcome pada orang lain. Ditambah lagi dermawan. Mengapa saya bilang demikian? Selama di pesawat, dia menyambut pertanyaan-pertanyaan saya dengan ramah. Waktu itu kami sambil menikmati film. Tentu saja yang saya pilih adalah film India. Saya bertanya pada si Bapak, siapa kira-kira bintang film India yang paling terkenal, apakah Shahrukh Khan? Dia menjawab “Ya, tapi sebenarnya King India itu tak akan lama lagi pamornya karena usianya sudah di atas 40 tahun,” ungkapnya. Kami juga berbicara asal negara, tujuan perjalanan, makanan, sampai bagaimana saya menuju tempat tujuan saya setelah turun dari pesawat. Bapak itu terlihat sangat berpengalaman, dia tidak banyak tanya soal negara saya. Kemungkinan karena dia sudah banyak tahu soal Indonesia. Selain itu dia paham betul jalur penerbangan dari Indonesia ke India. “Kenapa harus lewat Dubai, bukankah dari Bangkok bisa?,”  tanyanya. 

Si Bapak bekerja di dunia bisnis. Dia baru saja pulang dari Brazil untuk tujuan wisata. Sebagai seorang bisnisman, saya menduga perjalanannya ke Brazil juga untuk tujuan bisnisnya. Dia tampak tidak membawa apa-apa kecuali sebuah tas kecil untuk buku catatan dan dokumen-dokumen penting seperti paspor. Dia menanyakan bagaimana saya menuju ke tempat tujuan saya di Calcutta nanti. Saya menjawab ada sopir yang akan menjemput tapi sekarang memang belum ada kepastian. Mendengar jawaban itu, dia menawari saya tumpangan. Kebetulan dia dijemput sopirnya. Tentu saja saya senang. Jam 8 pagi waktu Calcutta kami sampai di Bandara Calcutta. Kami jalan bersama menuju tempat pengambilan bagasi. Si Bapak menanyakan kembali bagaimana sopir yang menjemput. Jawaban saya tetap sama. Mendengar itu, si Bapak mencatat nomor teleponnya kemudian memberikannya ke saya sambil bilang, “This is my phone number. Call me if you need help.” Mendapat perlakuan seperti itu dalam kondisi seorang diri di negara lain tentu sangat berharga. Untuk si Bapak, saya berdoa atas keberkahan hidupnya. Sayang sekali saya tidak menanyakan namanya. Nomor teleponnya pun hilang entah di mana. Ya sudahlah, semoga doa dapat menyambungkan kita. 

Bersambung (Calcutta yang saya lihat, suasana konferensi, dan 2 tempat penting)

Serang, Banten, 12 Maret 2013. 14.44.

3.02.2013

Suatu Sore Bersama Risa Permanadeli

Setelah proses nyasar selama 40 menit, akhirnya saya sampai di kantor Bu Risa Permanadeli, di Jalan Ahmad Dahlan, Radio Dalam. Kantor itu adalah tempat Bu Risa mengembangkan Social Representation Theory (SRT). Berdasarkan pengamatan saya, teori ini kurang begitu terdengar di Indonesia. Yang pernah dengar mungkin hanya mahasiswa dan mantan mahasiswa Sains Psikologi Sosial. Saya hanya mendengar dua nama yang dikait-kaitkan dengan teori ini, Bu Risa dan satu orang lagi yang saya tidak hafal namanya. Yang jelas dia laki-laki, pernah kuliah di luar negeri, tinggal di Jakarta dan bekerja di sebuah NGO besar di Jakarta.
 
Bu Risa sedang keluar sebentar. Dia sudah menyampaikan pesan melalui SMS. Sesuai petunjuknya di SMS, saya disuruh menemui pemilik kios minuman di samping kantornya. Namanya Endar. Dia yang akan membukakan pintu rumah Bu Risa. Saya ikuti, dan saya segera masuk. Kagum adalah ekspresi yang saya keluarkan begitu saya masuk. Ukuran kantor itu mungil. Tidak lebar, tapi panjang, sehingga masih terasa lega. Tatanannya rapi. Suasanya nyaman untuk belajar. Cahaya matahari cukup, jadi tidak perlu menyalakan lampu kalau membaca di siang hari. Yang lebih membuat saya kagum adalah tumpukan-tumpukan buku. Ada rak dan lemari untuk tempat buku. Namun tampaknya dua tempat itu tidak muat menampung semua buku, sehingga sebagian ada yang diletakkan di meja diskusi, meja belajar, bawah jendela, dan kusen. Di samping buku di kusen, terpajang foto Che Guevara. Saya agak heran melihatnya. Memori pendek yang terlintas adalah: Che Guevara hanya dikagumi oleh anak-anak muda nasionalis. Orang-orang yang sudah berumur tidak ada yang mengagumi Che. Saya tahu usia Bu Risa di atas 50 tahun, jadi saya pikir pasti tidak mengagumi kaum revolusionis seperti Che (temukan jawabannya nanti).

Saya ‘meninjau’ buku-buku yang tertata di berbagai tempat itu. Ada yang khusus buku-buku SRT, ada yang buku-buku sosial umum, ada yang tentang perempuan, dan ada juga tentang kebudayaan. Sebagian berbahasa Prancis, sebagian Inggris, dan sebagian kecil sekali berbahasa Indonesia. Ya, mau bagaimana lagi ya? Tampaknya buku-buku induk tentang teori-teori sosial hanya tersedia dalam bahasa Inggris dan Eropa. Dan parahnya, kadang baru sampai di Indonesia puluhan tahun setelah penerbitannya di luar negeri. Eiittss…saya katakan ini bukan tanpa bukti. Buku The End of History and the Last Man karya terkenal Francis Fukuyama yang terbit pada tahun 1992, baru dikenal secara luas oleh mahasiswa Indonesia sekitar tahun 2004. Saya katakan ‘dikenal secara luas’ lho ya, bukan tidak dikenal sama sekali. Mungkin kalangan terbatas sudah mengenalnya tak lama setelah buku itu terbit. Dan, bukti itu pun bisa dibantah, agar tidak terkesan terlalu mengagung-agungkan negara lain dan menginferiorkan negeri sendiri.

Saya mengambil buku Social Theory Today milik Anthony Giddens & Jonathan Turner. Membaca-baca sejenak di sofa yang dilapisi kain tenun khas daerah. Tak lama kemudian Bu Risa datang, bersama temannya yang bernama Kristina. Biasa, kami ngobrol-ngobrol dulu dengan tema-tema yang santai. Soal buku, soal kantor, tempat tinggal, dan bla bla bla. Maksud kedatangan saya ke Bu Risa adalah untuk wawancara mengenai sebuah topik yang akan saya dan teman-teman tulis dalam sebuah buku. Hampir dua jam kami menghabiskan waktu untuk wawancara. Bagi saya wawancara itu cukup, tapi bagi Bu Risa belum. Ya, bisa dimaklumi. Bu Risa adalah peneliti, yang terbiasa melakukan analisis secara mendalam. Tidak mungkin jawaban bisa ditemukan dalam sekali wawancara. Mau tidak mau saya menjawab: “Nanti saya kontak lagi ya, Bu, untuk wawancara kedua.”

Wawancara selesai, tapi obrolan santai masih berlangsung. Di situlah saya mendapat kesempatan untuk menanyakan hal-hal ringan namun sangat fundamental. Yang pertama, kami bicara soal hal buruk pada masyarakat Indonesia. Bu Risa tentu bisa membandingkan, karena dia mengambil studi di Prancis. Satu hal mendasar yang membedakan orang Indonesia dengan Eropa adalah cara berpikirnya. Orang Indonesia tidak biasa berpikir runtut, tapi ujug-ujug. Ujug-ujug menyuarakan demokrasi, ujug-ujug menyuarakan kuota perempuan, ujug-ujug menyuarakan liberal, ujug-ujug menyuarakan modern, dan ujug-ujug yang lain. Tapi dasarnya apa, orang Indonesia tidak tahu. Karena di negara lain berkembang sebuah ideologi atau gerakan, kemudian ikut. Asal ikut saja. Apa pun yang dari Barat kita konsumsi. Soal Islam merujuk pada Geertz, soal Jawa dan NU merujuk pada Hefner. Indonesia tidak punya tradisi melakukan penelitian dasar. Akibatnya itu tadi, jadi merujuk pada pemikiran Barat. Ini yang mendasari Bu Risa untuk melakukan penelitian dasar. Dengan kerangka social representation theory, dia mempelajari masyarakat dari masyarakat sendiri, bukan dari yang katanya-katanya.

 Kedua adalah soal perempuan. Topik ini menjadi salah satu concern saya. Pada intinya Bu Risa meragukan pandangan para aktivis perempuan yang mengatakan bahwa kebudayaan Jawa menomorduakan perempuan. Bu Risa mengangkat tesis mengenai representasi sosial terhadap perempuan pada budaya Jawa. Penelitian Bu Risa menghasilkan temuan bahwa budaya Jawa sesungguhnya tidak pernah menginferiorkan perempuan. Justru sebaliknya, perempuan mendapat tempat sangat terpuji. Contohnya, seorang ibu adalah pengambil keputusan dalam urusan-urusan penting dalam rumah tangga, misalnya pendidikan anak dan pembelian property rumah tangga. Kalau anak mau sekolah, pasti ibu yang banyak menentukan pilihan sekolahnya. Contoh lain, kalau mau beli sesuatu, seorang suami selalu meminta pertimbangan istri. Ibu sangat dihormati. Restunya sangat berharga. Bagi anak Jawa, restu ibu sangat tinggi kedudukannya. Penghormatan anak terhadap ibu bahkan lebih tinggi dari penghormatannya terhadap ayah. Dalam urusan pendidikan, mengapa orang Jawa lebih mendahulukan anak laki-laki, sebenarnya bukan persoalan menomorduakan, tetapi masalah ekonomi. Seandainya orangtua punya kemampuan ekonomi yang baik, pasti anak perempuan juga akan disekolahkan. Maka dari itu, pandangan bahwa budaya Jawa menomorduakan perempuan perlu dikaji kembali dengan sungguh-sungguh.

Hal ketiga yang menurut saya menarik adalah soal Che Guevara yang saya sebutkan di atas. Alasan Bu Risa memajang foto Che memang karena pengaruh pendidikan Prancis. Di negeri Menara Eifel itu, universitas dibangun dalam semangat pemikiran kiri. Jadi sikap universitas adalah kritisisme. Mempelajari pemikiran-pemikiran revolusioner adalah hal yang sangat biasa. Jadi wajar saja jika mahasiswa lulusan Prancis sangat gandrung pada Che, Fidel Castro, Mahatma Ghandi, dan tokoh-tokoh revolusioner lainnya. Sore itu, saya mendapat pengetahuan-pengetahuan menarik dari seorang pemikir perempuan. Ada pandangan-pandangan berbeda dari apa yang saya peroleh dan yakini saat ini, terutama mengenai kebenaran bahwa budaya Jawa menomorduakan perempuan. Sebenarnya saya masih sangat ingin mendapat pengetahuan lainnya, tapi tidak mungkin diskusi terus dilanjutkan. Bu Risa harus melanjutkan aktivitas. Saya pun segera pamit dan meluncur kembali ke Salemba Tengah dengan ‘pacar’ saya, motor Mio.

Bandung, 3 Maret 2013. 00.22.