6.11.2009

Neoliberalisme

Tepatnya seminggu yang lalu, beberapa teman akan menggelar diskusi dengan tema “Neoliberalisme dan Demokrasi”. Undangan melalui media komunikasi yang “paling” efektif tetapi diharamkan oleh beberapa ulama telah disebar. Huuuu….seperti angin segar kabar itu menyegarkan otak saya.
19.27 WIB saya lihat kelengkapan penunjang diskusi sudah dipersiapkan. Pun dengan logistik. Papan tulis sudah terlihat bersih. Spidol dan penghapus sudah tertata rapi. Teh hangat sudah siap menambah hangatnya diskusi yang akan dilangsungkan. Kursi yang biasanya tertumpuk, saat itu berjajar rapi mengelilingi meja warna biru muda.

Sambil menunggu kehadiran narasumber, saya membaca tiga tulisan neolib yang sengaja saya print out sebelumnya. Satu tulisan berbicara tentang sejarah lahirnya neolib, satu lagi bicara tentang salah kaprah memahami neolib, dan satu terakhir mengenai neoliberalisme jilbab. Menarik.

Perlahan tapi pasti, bacaan itu memacu kerja otak saya. Hmmm….”Apa sih bahaya terbesar jika negara menganut neoliberalisme? Bukankah pemerintah Indonesia terbukti belum mampu mewujudkan kesejahteraan? So, bagus dong jika negara tidak terlalu diberi ruang untuk campur tangan”. Sebagai pembaca awam, pertanyaan itu muncul di benak.

Ho….ho….ho ternyata tidak begitu, sebab kontrak relasi rakyat hanya dengan pemerintah, bukan dengan pengusaha. Rakyat membayar pajak melalui negara, bukan melalui pengusaha. Jika campur tangan negara dikurangi, rakyat tidak bisa menuntut lebih terhadap negara. Bisa-bisa rakyat jadi boneka, dilempar ke kanan dilempar ke kiri. Apa kata dunia jika demikian halnya.

Enam puluh menit, kemudian 120 menit, narasumber tak kunjung datang. Dua puluh menit berikutnya, narasumber dipastikan tidak bisa datang. Beberapa kawan yang sudah berkumpul terlihat kecewa. Hmmm......tak jadi soal.

Any Rufaidah
Malang, 11 Juni 2009. 19.43.