1.25.2011

Salam untuk Wardah Hafidz


Jumat sore 21 Januari 2011, dalam perpisahan Training Advokasi Damai untuk Perempuan yang diselenggarakan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, lembaga tempat saya beraktivitas sebagai volunteer, saya berkesempatan bersalaman pipi dengan Wardah Hafidz. Dalam salaman itu, saya merasakan perasaan yang mendalam terhadap perempuan kelahiran Jombang itu. Namun pasti, itu bukan gejala abnormalitas seksual. Tepatnya, sayang itu tumbuh karena kekaguman yang mendalam.

Hal itu juga saya rasakan pada direktur saya saat ini. Saya menyayanginya karena kekaguman. Bagi saya, dia adalah perempuan tangguh, yang memegang prinsip, berani mengambil pilihan. Pada sebuah perjalanan dalam taksi, saya pernah terhenyak heran karena direktur itu mengatakan memilih tidak meneruskan program Ph.D-nya di Singapura karena merasa tidak cocok dengan budaya di sana. Sepenggal kalimatnya adalah, “Lebih baik keluar daripada mengorbankan kebahagiaan saya.” Oh Tuhan, hampir pasti saya belum pernah berani mengambil keputusan seperti itu.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Mengapa kekaguman itu muncul?” Sedikit sudah saya singgung, karena keberanian mengambil pilihan radikal. Marilah kita melihat realitas. Meskipun telah lama pemikiran feminisme berkembang, tak cukup banyak perempuan yang berani mengambil keputusan radikal dalam hidupnya. Wardah Hafidz, setelah saya telusuri profilnya dalam Wikipedia, dia dibesarkan dalam lingkungan pesantren di Jombang. Namun, dia memilih ‘tidak taat’ pada pola pendidikan yang ‘diwajibkan’ oleh keluarganya. Dia pun keluar dari aktivitas mengajar di almamaternya di Malang, kemudian memilih menekuni dunia yang benar-benar berbeda. Dunia itu memerlukan keberanian luar biasa. Dunia itu mengharuskannya menghadapi intimidasi, premanisme, dan sebagainya.

Perempuan rasanya masih berjuang ekstra keras untuk memperjuangkan kemerdekaan dirinya. Bukan hanya dalam relasi warga negara dengan pemerintah, tetapi juga dalam relasi laki-laki dan perempuan sebagai pasangan, misalnya. Tengok saja, sudah mampukah perempuan menjadi subjek yang benar-benar merdeka di depan pasangannya? Jika pun mereka menyadari kemerdekaannya, sudahkah laki-laki mau berbesar hati menghargai itu?

Boleh saja pendapat ini dianggap ‘serangan’ terhadap laki-laki: tampaknya laki-laki mendapat kutukan budaya sehingga harus menanggung beban ‘gengsi’ jika harus membagi ‘hak’-nya dengan perempuan dan beban ‘malu’ untuk menerima perbedaan dalam diri perempuan sebagai pasangannya. Seberapa banyakkah laki-laki yang mau membagi tugas sebagai kepala keluarga dengan sang istri? Ah, rasanya hanya ada beberapa. Dan pertanyaan yang lebih kecil lagi, seberapa banyakkah laki-laki yang mau mendampingi perempuan sebagai pasangannya dalam dinamika kedirian perempuan? Seberapa banyak laki-laki yang mau memaklumi perempuan sebagai pasangannya ketika sang perempuan ingin membuka penutup kepala, misalnya? Ah, tampaknya tak cukup banyak. Sementara, perempuan mereduksi kemerdekaannya agar tetap dicintai.

Demikianlah, pada hal-hal fundamental terkait hak atas dirinya saja perempuan menghadapi banyak hambatan, apalagi pada hal-hal yang melampaui itu. Atas dasar itu, saya mengagumi dan menyayangi perempuan yang telah berhasil mengambil pilihan radikal dalam hidupnya. Pun saya mengagumi laki-laki yang dengan besar hati memberikan kemerdekaan pada perempuan sebagai pasangannya.

Setelah selesai berpamitan dengan peserta training, Mbak Wardah sekali lagi berpamitan. Dia menepuk bahu saya sambil berkata, “Yo’”. Saya amati langkahnya, langkah yang tak biasa untuk ukuran perempuan pada umumnya. Di tengah jalan, dia terang karena sorot lampu-lampu kendaraan yang padat kala itu. Rok batik panjang dan blues warna hijau sungguh semakin indah terkena sorot lampu.

Salam untuk Wardah Hafidz

Depok, 25 Januari 2011. 00.17

Any Rufaidah