2.26.2008

Menghidupkan Subjek di Tengah Kematiannya

Oleh ANY RUFAIDAH

Judul : Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Žižek.
Penulis : Thomas Kristiatmo
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xiv + 113 halaman

Di tengah ramainya pernyataan “subjek sudah mati”, dibutuhkan orang “gila” yang berani nekad membetot lagi segala wacana, yang telah terbang tinggi dan terlanjur beranak pinak dalam kerumitan abstraksi itu, kembali ke bumi yang nyata sehari-hari. Dan orang yang melawan arus dan paling vokal berbicara ihwal “subjek” serta mendudukkannya kembali sebagai sentral itu adalah Slavoj Žižek (Thomas Kristiatmo)


Apa itu subjek? Pertanyaan ini seolah tak pernah memiliki jawaban final. Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan modern, sejak Rene Descartes hingga detik ini, subjek masih menjadi misteri. Kalaupun kita merasa telah memiliki definisi yang pasti (The fixed definition), semua itu hanya definisi seolah-olah. Seolah-olah pasti dan tak bermasalah, seperti halnya alasan beragama. Senyatanya, definisi atas subjek tidak pernah berada pada titik pasti. Ia tak pernah bermukim pada satu pemikiran. Coba lihat, cogito ergo sum Descartes yang mampu menjadi pijakan atas definisi subjek pada zamannya, kini diganyang habis oleh pemikir yang populer disebut kaum strukturalis dan postrukturalis. Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, Gilles Deleuze seolah tak menyisakan tempat bagi keberadaan subjek. Kubu ini menentang definisi Cartesian yang menjadikan subjek sebagai pemikir mandiri (subjeksentrisme). Mereka berkeyakinan akan tidak adanya subjek mandiri, karena subjek selalu dikepung oleh struktur, struktur kekuasaan, struktur bahasa, kebudayaan. Struktur telah mengikat subjek sedemikian rupa sehingga ia tak mungkin berkembang dengan caranya sendiri. Struktur amat menentukan hendak menjadi apakah subjek itu.

Perbedaan-perbedaan pendapat yang teramat pelik itulah yang menjadikan subjek selalu menarik untuk dikaji. Lebih-lebih, perkembangan budaya yang demikian pesat serta kepungan struktur yang demikian padat, menjadikan definisi subjek semakin tak menentu dan tetap hangat untuk dijadikan santapan intelektual. Hal ini merangsang banyak pemikir kontemporer untuk tumbuh dengan membawa “subjek” sebagai objek kajian. Salah satunya adalah Slavoj Žižek, yang pemikirannya disajikan dengan renyah dalam buku ini.

Slavoj Žižek, begitulah, ia hadir dengan caranya sendiri. Seperti roda yang menggelinding dari satu titik, kemudian kembali ke titik yang sama. Di tengah maraknya penghakiman atas kesalahan Descartes, Žižek justru meredefinisi pemikiran tokoh yang menjadi icon lahirnya pengetahuan modern itu. Namun, di situlah uniknya pemikir asal Ljubljana, Slovenia ini. Ia tak mau terjebak pada pernyataan “subjek telah mati” yang banyak didengungkan strukturalisme dan postrukturalisme. Justru ia hendak “membantu” manusia dari frustrasi akibat pernyataan nihil itu.

Bagaimanakah redefinisi subjek Žižek atas cogito Cartesian? Žižek memilih rute yang unik pula untuk meredefinisi subjek ala Cartesian. Ia melewati pemikiran psikoanalis, Jacques Lacan, kemudian menariknya ke ranah filsafatnya sendiri. Jacques Lacan terkenal dengan konsep fase cermin. Menurutnya, antara usia 6 – 18 bulan, setiap orang mengalami fase cermin. Pada usia ini, anak mulai mengenal dirinya ketika berhadapan dengan cermin. Sejak itu anak mendefinisikan dirinya dengan apa yang dilihat di dalam cermin. Pada fase ini, subjek dikatakan sebagai “yang imajiner”. Definisi subjek akan segera tergeser (displacement) ketika anak mampu menyampaikan pikiran secara gramatikal (mengenal bahasa). Anak mendefinisikan dirinya dengan simbol-simbol yang dapat mereka bahasakan. Di sini anak mengidentifikasi dirinya sebagai “yang simbolik”. Dalam kedua fase ini, “yang imajiner” dan “yang simbolik”, subjek seakan-akan telah terdefinisi dengan pasti. Namun sebenarnya tidak. “Yang imajiner” dan “yang simbolik” justru mengalienasi ke-diri-an subjek sendiri. Subjek selalu diimajinasi dan disimbolisasi dengan apa yang di luar diri subjek, bukan yang ada dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, subjek tak pernah hadir. Ia selalu diwakili oleh “yang imajiner” dan “yang simbolik”. Tanpa keduanya, subjek tidak akan terdefinisi dan teridentifikasi.

Lalu di mana subjek “yang nyata”? Bagi Lacan, “yang nyata” adalah yang tak terjamah oleh “yang imajiner” maupun “yang simbolik”. Ia adalah objet petit-a, yang tak dapat diimajinasikan maupun disimbolisasi (hlm. 41). Ia seperti ruang kosong yang tak terimajinasi dan tak tersimbolisasi. Tak dapat dibayangkan atau digramatikalkan. Namun ia tetap ada.

Konsep inilah yang dijadikan lambaran oleh Žižek dalam meredefinisi subjek Descartes. Menurutnya, cogito Cartesian bukanlah substansi yang penuh dalam dirinya sendiri (hlm. 90). Cogito adalah ruang kosong. Sampai di sini, kita akan bertanya seperti halnya konsep Lacan dipertanyakan, “Jika demikian, bagaimana subjek dapat terdefinisi?” Lacan bukanlah tipe orang yang mudah lari dari tanggung jawab. Meskipun telah menegaskan bahwa “yang nyata” tak dapat diimajinasi atau disimbolisasi, ia tetap berisi. Yang dimaksud tak terimajinasi dan tak tersimbolisasi oleh Lacan adalah dalam hubungan dengan realitas objektif. Isi subjek “yang nyata” dalam keyakinannya adalah hasrat. Pada konsep ini, Lacan menampakkan pengaruh yang sangat besar dari pewarisnya, Sigmund Freud. Freud dengan jelas mengumumkan pemikiran yang sangat kontroversial hingga kini, bahwa manusia terkuasai oleh ketidaksadaran. Ketidaksadaran ini yang menjadi alasan sekaligus pengarah tindakan manusia. Ia memang tak terdefinisi, tetapi tetap ada dengan cara meng-ada-nya sendiri. Begitu pula dengan Žižek, tetap konsisten pada misinya untuk “membantu” manusia lepas dari frustrasi nihilisme. Ia mengakui, ruang kosong subjek “yang nyata” tetap membutuhkan isi. Isi itu adalah produk kebudayaan yang sedang melingkupi subjek. Tetapi subjek tidak serta merta dibentuk oleh struktur kebudayaan seperti yang dikatakan strukturalisme dan postrukturalisme. Subjek tetap memiliki keistimewaan untuk menerima atau menolak arus kebudayaan. Di sinilah letak keistimewaan subjek ala Žižek yang diredefinisi dari cogito Cartesian. Subjek tak bisa hadir tanpa kehadiran yang lain, sekaligus me-niada dalam kehadiran yang lain.

Begitulah cara Žižek meredefinisi subjek Cartesian. Melalui lambaran Lacan, kemudian menariknya ke ranah filsafat yang ia yakini. Entah redefinisi ini adalah representasi konsep cogito Cartesian atau justru sebaliknya, yang terpenting Žižek telah manawarkan definisi subjek di tengah kematian subjek. Dan Thomas Kristiatmo dengan gaya penulisannya yang mudah dicerna membantu kita untuk “sedikit” menemukan versi baru atas subjektivitas manusia ala Žižek, dengan tetap membuka celah-celah dialektika yang tidak memungkinkan definisi final atas subjek.

ANY RUFAIDAH, Penggiat kajian filsafat dan psikoanalisis
(Jelajah Budaya on-line)

No comments: