1.20.2011

Pagi yang Biasa Saja

Pagi yang biasa saja. Dan seperti biasanya, malas bangun untuk beraktivitas. Dan juga seperti biasanya, keputusan bangun diambil in the last hour. Mengurus diri seadanya, berpenampilan seadanya, berjalan pada jalur biasanya, dan menuju kelas biasanya. Itu adalah kelas terakhir mata kuliah kapita selekta, sekaligus mata kuliah terakhir jika lulus.

Pembicaraannya tidak cukup menarik, peace psychology. Entahlah, mungkin karena sudah satu semester ini ikut kelas mediasi konflik sehingga yang disampaikan kala itu terasa hambar dan di permukaan saja. Atau mungkin karena faktor lain yang lebih personal. Namun, lupakan. Tokoh-tokoh peace psychology tingkat dunia diperkenalkan dalam ceramah pagi itu, plus literatur-literatur, plus sepak terjang para punggawa peace psychology tingkat dunia. Ada nama Daniel J. Christie, Michael Wessels, Morton Deutsch, Cristina J. Montiel, Deborah Du Nann Winter, Susan Opotow, Herbert C. Kelman, Naomi Lee, Fathali Moghadam, Joseph de Rivera, dan sebagainya.

Hampir 2 jam berlalu tetap tidak begitu seru. In last minutes, keluarlah tema keindonesiaan. Ah, tapi tidak terlintas sedikit pun soal PMII yang selalu ‘mengajarkan’ keindonesiaan dalam momen Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Disebutnya sebagai gagasan. Sesungguhnya gagasan tersebut muncul sebagai jawaban atas konflik etnik/suku yang kerap terjadi di Indonesia. Konflik jenis ini memang diakui lebih sulit diselesaikan daripada interstate conflict. Tak lain karena melibatkan identitas kesukuan.

Bagaimana mengatasi konflik etnik/suku?, itu pertanyaannya. Dan jawabannya adalah: “dengan membangun sense of citizenship”. Istilah orisinal menurut saya. Untuk menumbuhkan rasa tersebut, maka negara harus kuat. Pejabat, birokrat, penegak hukum, semua harus kuat. Atas nama publik, semua pihak yang menyalahgunakan hak publik harus ditindak tegas. Warga negara harus taat pajak dan menghormati hak-hak publik. Mereka yang melanggar harus ditindak tegas. Sekali lagi, negara harus kuat.

Namun, Indonesia adalah negara yang cukup kompleks permasalahannya. Banyak yang mengatakan berulanga-ulang masalah di negara ini seperti lingkaran setan. Dan sayangnya, pun pada kelas ini, gagasannya tidak terjawab dengan tuntas. “Siapa yang memulai menumbuhkan sense of citizenship?” itu pertanyaannya. Mungkin Jürgen Habermas menjawab ‘Intelektual Organik’. Jawaban itu baik. Jika intelektual/akademisi yang dianggap mampu menumbuhkan sense of citizenship, maka sebarkanlah gagasan itu dan berkomitmenlah pada upaya itu. Tinggalkan, atau setidaknya kurangi ‘ngobyek’. Itu perjuangan mulia, nyonya, Tuhan yang akan memberi penghargaan.

11. 25, 25 menit lewat dari jadwal kuliah, kelas berakhir dengan copy meng-copy file. Terima kasih untuk Profesor.

Depok, 11 Desember 2010

Any Rufaidah