2.26.2008

Peliknya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Oleh Any Rufaidah

Akutnya korupsi di Indonesia telah menjadi hantu bagi idealisme calon pemimpin muda. Prosedur-prosedur kotor yang harus dilewati generasi muda dalam upaya menciptakan Indonesia Bersih semakin menegaskan bahwa niat baik memberangus korupsi masih demikian pelik dan rumit.
Beberapa waktu lalu (21/11) saya menghadiri dinner lecture yang diberi tajuk “Peradilan dan Demokrasi”. Acara yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) pimpinan Ignas Kleden ini menghadirkan Busyro Muqoddas (ketua Komisi Yudisial) dan Mahfud MD (wakil ketua Badan Legislasi DPR-RI). Sebagai orang yang kompeten sekaligus praktisi di bidang hukum, keduanya menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di “bawah meja” pengadilan. Kreativitas mafia pengadilan dalam melakukan berbagai macam aksi diungkapkan dengan gamblang di hadapan peserta. Dalam makalahnya, Busyro menyampaikan kasus-kasus besar yang diloloskan oleh para hakim. Sedangkan Mahfud lebih detail membeberkan aneka ragam praktik korupsi di pengadilan. Ini sungguh keberanian luar biasa yang jarang ditemukan di Indonesia.
Bukan sebagai orang yang hanya mampu mengundang keprihatinan, kedua pakar ini pun memberikan solusi atas pemberantasan mafia pengadilan. Busyro menawarkan agenda reformasi peradilan (judiciary reform) yang intinya adalah mewujudkan sistem kekuasaan kehakiman melalui UU Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan kekuasaan kehakiman yang pro demokrasi. Melalui UU itu, kepentingan rakyat pencari keadilan akan terwakili dan terjamin. Tidak ada lagi kekecewaan akibat terbuainya para hakim pada uang sogok. Judiciary reform juga mengagendakan mekanisme rekruitmen hakim dan panitera secara meritokrasi dan transparan.
Lebih keras menyerang pemerintah, Mahfud MD mengajukan tiga langkah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh (massive reform), baik dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Kedua, secepatnya memutus hubungan dengan persoalan-persoalan KKN yang ditancapkan Orde Baru. Ketiga, menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagai sistem rekruitmen politik yang demokratis dan terbuka.
Jika diamati, solusi-solusi yang ditawarkan Busyro maupun Mahfud senantiasa mengacu pada titik yang sama, yakni pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Mereka berdua mengharapkan terjadinya cut black generation yang memungkinkan pembersihan korupsi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan melakukan misi tersebut? Jawabannya adalah generasi muda. Kita tahu bahwa ketidakberhasilan agenda reformasi disebabkan masih terkuasainya kepemimpinan nasional oleh antek-antek Orde Baru, sehingga secara mental, penyelesaian masalah, dan pembagunan masyarakat, masih mengacu pada metode lama. Akibatnya, Indonesia tidak mengalami perubahan seperti yang dicita-citakan reformasi, bahkan lebih parah. Sebagai ukuran riil, kita lihat saja angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin membengkak. Oleh karena itu, sudah saatnya angkatan muda yang disebut Fadjroel Rachman sebagai the rising generation diberi kesempatan untuk mengawal gerakan memberangus korupsi beserta kepicikan birokrasi lainnya. Upaya ini diharapkan mampu menciptakan reformasi dalam arti sesungguhnya. Menciptakan “Indonesia Bersih” untuk menuju kemakmuran yang sebenar-benarnya.
Setelah menemukan pelakunya, sekarang tinggal bagaimana cara memasukkan pelaku itu ke dalam sistem pemerintahan? Di sini lah peliknya pemberantasan korupsi. Pasalnya, jalur yang harus dilalui oleh angkatan muda adalah jalur politik yang telah tercemar oleh praktik korupsi. Mereka harus masuk dalam lingkaran sistem. Tanpa upaya ini, harapan untuk menciptakan “Indonesia Bersih” akan sia-sia belaka, karena kita tidak mungkin bisa berperan tanpa terlibat dalam pengambilan kebijakan serta mengetahui pelaksanaannya. Akses untuk mengetahui praktik-praktik korupsi hanya bisa didapat dengan kedudukan jabatan.
Mengapa hal ini disebut pelik? Tidak lain karena tingkat ketercemaran birokrasi terhadap korupsi sudah demikian akut. Bahkan banyak yang menyebut korupsi di Indonesia sebagai budaya yang hanya bisa ditumpas dalam jangka waktu sangat lama. Bayangkan saja, untuk mencapai jabatan politik tertentu, calon pemimpin diharuskan melalui prosedur-prosedur yang dikotori oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Prosedur-prosedur tersebut ibaratnya pagar betis yang telah dipenuhi ranjau-ranjau. Jika kita tak mampu menjinakkan ranjau, konsekuensinya adalah mati. Hal ini tentu saja menjadi ancaman serius bagi idealisme generasi muda sendiri. Seakan-akan hanya ada dua pilihan, kompromi atau mati. Itu saja. Tak ada pilihan lain.
Begitulah, upaya menciptakan Indonesia Bersih tampaknya masih sangat rumit dan pelik karena birokrasi kita sudah tercemar sedemikian hebatnya. Alih-alih membersihkan, mendekat saja sudah bisa tercemar. Yang menjadi tantangan besar saat ini adalah seberapa besar idealisme generasi muda setelah melalui jalur-jalur politik yang penuh resiko itu. Tercemar serta ikut menambah kotoran baru atau tetap bertahan dengan idealisme. Dan perlu diingat bahwa fakta-fakta yang telah disampaikan Busyro dan Mahfud jauh lebih pelik dari argumen ini.

ANY RUFAIDAH, Komite Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KKID) wilayah Malang
(Website SD)

No comments: