2.26.2010

Sukabumi – Bogor



Kadang kita tak tahu apa yang menuntun diri hingga sampai pada sebuah tempat. Mungkin kita ditakdirkan menjadi orang yang memiliki kesempatan menginjakkan kaki di berbagai kota, mungkin pula karena kita punya hobi berkeliling. Banyak teman yang menyebutku senang travelling, meski itu tak sepenuhnya benar karena kadang aku berada di kamar hingga suntuk, bosan, beraktivitas seadanya, memikirkan hal-hal kecil, membaca buku dengan tidak tuntas, bersemangat menuangkan ide yang datang dari bacaan tapi kemudian tak semua niat itu dilaksanakan, membiarkan diri dan kain-kain menjadi berantakan, menghidupkan musik dengan mengabaikannya, menghubungi teman-teman lama dengan pulsa yang ada, atau menghadapkan diri pada tantangan dan merasakan seberapa mampu diri menghadapinya.

Kali ini kakiku berada pada Kota Hujan, Bogor, setelah Sukabumi yang kukunjungi kedua kalinya dan melihat pabrik-pabrik minuman di sana untuk pertama kalinya. Setidaknya itu keberadaan yang ketiga. Bogor, ia punya keistimewaan. Di kota itu kebun raya terhampar, perguruan tinggi ternama berdiri, dan tempat mukim Presiden Indonesia saat ini. Namun jalan protokol Bogor, dan kota-kota lain di Indonesia, tak pernah sepi dari pedagang asongan yang kulitnya hitam terbakar panas matahari bertahun-tahun, yang keringat di bagian tubuhnya yang terbuka tampak jelas, yang sibuk menghampiri mobil-mobil, yang loncat dari bis ke bis, yang memungut uang recehan, yang mukanya tampak kelelahan.

Pemandangan seperti itu tak hanya sekali kita temui. “Mungkin ini persoalan sistemik”. Hmmm...Teori kemiskinan menyebutkan tiga paradigma: kemiskinan adalah takdir Tuhan; karena manusia malas berusaha; karena persoalan struktur/sistem negara. Emile Durkheim, Peter L. Berger, Thomas Luckmann adalah pemikir yang kukenal menganut paradigma ketiga. Tepatnya, pemikir-pemikir itu memandang realitas adalah hasil konstruk. Tapi tiga paradigma itu, seperti pada persoalan person atau society pada tulisan sebelumnya, menjadi rumit jika saling dipertentangkan. Bolehlah kita mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan, meski kita tak tahu dalam konteks ini di titik mana campur tangan Tuhan. Ia telah memfirmankan Ar Ra’du: 11. Mengacu pada ayat itu, ku lebih sepakat pada dua faktor: individu dan struktur/sistem negara. Jadi teringat pada Sekolah Analisis Sosial (Ansos) yang kuikuti pada masa awal kuliah dulu: persoalan menjadi dikatakan persoalan sosial jika ia sudah menggejala. Berbeda jika orang miskin di Indonesia hanya 1 atau 2 orang. Faktanya, orang miskin Indonesia berkisar antara 30 – 40 juta jiwa atau lebih (abaikan saja angka tepatnya). Pertanyaannya, apakah orang malas bekerja di Indonesia sehingga menjadi miskin sebesar itu jumlahnya?

Ukuran kemiskinan adalah pendapatan. Tak ada perdebatan soal ini. Pendapatan berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Dari sinilah faktor struktural/sistem pada kemiskinan menampakkan dirinya. Di Indonesia, mendapat pendidikan yang layak adalah pilihan, bukan keharusan, meski UU mengatakan pendidikan adalah hak semua warga negara. Nyatanya, apakah seorang anak harus sekolah atau tidak adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Melihat realitas di kampung, seringkali ku‘marah’ pada orang yang mengatakan, “Tidak punya biaya” sehingga anaknya mesti tidak melanjutkan sekolah. Kupikir itu masalah individunya saja yang malas berusaha. Mungkin kemarahanku betul, tapi jika dipikir-pikir lagi salah besar. Mereka memang benar-benar tak mampu melanjutkan sekolah. Sekali lagi, itu adalah persoalan sosial.

Banyak anak tidak mampu melanjutkan pendidikan. Dampaknya, pintu bekerja di kantoran yang menjanjikan pendapatan yang layak –dan juga prestis– tertutup sudah. Tak ada pilihan lain kecuali menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga, penjaga toko, kenek, tukang parkir, atau menjadi TKI. Lingkaran kemiskinan terus membesar karena faktor yang menyebabkannya bukan faktor individu. Apakah anak-anak Indonesia memilih tidak mau sekolah jika kesempatan mereka terbuka? Rasanya semua pasti akan berebut untuk itu. Sayangnya, kekayaan Indonesia yang mestinya bisa menyelesaikan persoalan sosial dinikmati secara individual. Okay.

Any Rufaidah
Depok, 24 Februari 2010