2.02.2010

Antara Jogja – Jakarta



Jogjakarta (dengan J) dalam pandanganku adalah kota remang-remang. Lihat saja lampu di jalan-jalan, semua remang, tak ada yang berwarna putih terang. Entah apa makna remang: mungkin tenang sebagai gambaran Jawa, mungkin kota belajar yang tidak gaduh, mungkin pula mesum. Jogjakarta pada 25 – 30 Januari 2010 bagaimanapun menyisakan hal-hal indah: teman-teman baru yang mempesona (yang diam, yang ceria, yang ‘berantakan’, yang aktivis), pengetahuan-pengetahuan baru yang mencerahkan.
Kontrakan daerah Sapen, belakang Hotel Shafir, pinggir rel, apa yang bisa dilakukan pada tempat kecil itu? Apakah kita bisa membicarakan sebuah perubahan pada diri, pada kelompok, masyarakat, ataupun negara? Sangat bisa sesungguhnya, untuk membuat diri mati dikenang: karena apa lagi tujuan manusia dihidupkan? Seperti Gus Dur misalnya, yang melampaui pandangan kebanyakan, menembus batas pengertian keimanan kebanyakan orang. Kontrakan daerah Sapen, belakang Hotel Shafir, pinggir rel, tampaknya belum ada suasana itu. Tetapi jangan lihat itu, karena di sana ada kekayaan: pribadi-pribadi yang potensial, yang ingin tahu tentang sesuatu, buku-buku, fasilitas informasi, pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran

Menikmati sesuatu dalam batasnya. Sebuah buku tentang pribadi Rasulullah berada pada sebuah tumpukan. Judul buku itu menjadi menarik karena ia terasosiasi dengan pencarianku beberapa waktu terakhir ini. Hanya satu sifat Rasul yang paling teringat: bahwa ia semakin sabar jika tekanan semakin besar. Ia semakin tersenyum jika diperlakukan semakin kasar. Wajar jika perang terbesar adalah perang melawan kekerasan pada diri.

Kereta Progo dari Stasiun Lempuyangan membawaku meninggalkan Jogjakarta. Di antara tiga mahasiswa dan seorang lelaki berambut gimbal, kereta Progo membawaku pada jalur-jalur baru, keindahan-keindahan baru. Langit masih bersinar, rumput masih menampakkan hijaunya. Semakin banyak sesuatu yang baru, semakin terasa aku tak pernah ke mana-mana. Semakin kecil rasanya.

Perbincangan terbina antara aku dan para lelaki di sekitarku. Perbincangan tentang negara yang mengenaskan, yang mengerikan. Lelaki muda tepat di sampingku mulai perbincangan dengan menyoal komersialisasi pendidikan. Ia bertanya mengapa prosentase masuk kelas pada mahasiswa adalah 75 persen? Tidak 50 persen saja. Jawabannya cukup panjang, dimulai dengan peristiwa Malari tahun 1974. Pemuda berkulit putih dengan rambut gondrong itu menyoal pula soal kekayaan minyak dan tambang emas di Papua yang mestinya bisa menggratiskan pendidikan jika semua hasilnya dikelola oleh negara. Heeeehhh…..kita saling melengkapi data kebobrokan negara, kemudian mengatakan, “Sangat mengerikan”. Berbayang-bayang pada masa depan, tentang biaya sekolah anak-anak, kemudian saling setuju hal itu menakutkan. Generasi hari ini sudah dilanda ketakutan atas komersialisasi pendidikan, bagaimana besok?

Pemuda tepat di depanku tampaknya tertarik pada pembicaraan itu. Ia kemudian menimpali. Pengetahuannya luas, tentang perekonomian, tentang sejarah, pun tentang hukum. Ia mengatakan sedikit rahasia kekayaan Singapura yang diperoleh dari bumi Indonesia. Lengkaplah kekacauan di negara ini. Semakin banyak dan menumpuk dari hari ke hari. Jadi teringat pada perbincangan di Malang beberapa waktu lalu: kebijakan-kebijakan negara kita putus sama sekali dengan aspirasi masyarakat. Tidak ada yang menggambarkan kebutuhan rakyat. Indonesia berhasil mengadopsi teori-teori demokrasi, tetapi gagal mengadopsi spiritnya. Demokrasi Indonesia seperti tak berurat akar, yang kelimpungan, yang mudah goyah, yang elit.

Any Rufaidah
Depok, 1 Februari 2010