9.07.2009

Syukur


Bersyukur bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat susah –atau setidaknya sering terlupakan. Buktinya, banyak orang yang menulis bahwa dirinya mesti bersyukur, banyak kiai dan ustadz yang menekankan berulang-ulang tentang pentingnya bersyukur, dan ada lagu-lagu tentang syukur. Mungkin kita termasuk dalam kebanyakan orang itu, yang susah bersyukur, atau sering melupakan syukur, yang justru mudah mengeluh. Percakapan dengan teman baru, seorang Padang yang merantau di Jakarta lima tahun ini telah memberi pelajaran bahwa syukur kerap terlupakan.

Seorang Padang itu berusia 24 tahun, lebih muda setahun dari saya. Tetapi perjuangan hidup –atau ‘kesusahannya’ sudah sangat panjang. Ia hanya berhasil menempuh pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Setelah itu ia bekerja. Dalam percakapan malam itu, ia mengaku pernah bekerja sebagai pengaspal jalan, sebagai kuli bangunan, pedagang baju kaki lima yang tidur di emper-emper toko, dan sekarang sebagai penjaga warung Padang milik pamannya di depan Kelurahan Beji, Depok.

Seperti orang yang baru saja keluar dari pengasingan yang tanpa teman, kawan Padang itu bercerita panjang lebar, termasuk jumlah uang yang akan ia bawa pulang kampung lebaran nanti. Namun bisa dimaklumi, karena ia tak punya teman untuk ngobrol, pun waktu untuk menikmati megahnya kota. Pada waktu puasa begini, ia dan seorang kawannya mesti menjaga warung hingga jam lima pagi. Jam sepuluh pagi warung harus dibuka lagi. Jika kebosanan datang, hanya play station dan televisi yang menjadi teman. Begitu setiap hari selama lima tahun ini.

Dalam perjalanan ke Jakarta tiga hari lalu, seorang pemuda Bogor, yang tiba-tiba duduk di bangku bis sebelah saya, mengaku malu untuk bergaul dengan orang-orang berpendidikan tinggi, karena ia hanya tamatan sekolah menengah pertama. Perjalanan pada bis berikutnya, seorang kenek yang usianya lebih muda dari saya sedang memasang penutup kursi bis. Dua sopir dalam bis yang sama sedang membicarakan desas-desus adanya tunjangan hari raya yang jumlahnya Rp 500 ribu dari manajemen bis tempat bekerja mereka. Itu pun masih desas-desus. Pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah ada THR dari pengelola. “Bukannya hanya kue kaleng dan sirup?,” kata seorang sopir tak percaya. Rp 500 ribu setahun, itu adalah jumlah kecil untuk pekerjaan seorang sopir. Tetapi sopir-sopir itu toh begitu menantikannya.

Kurang lebih 15 hari lalu, seorang gadis 18 tahun, yang bekerja sebagai pembantu di rumah seorang kawan, beranggapan bahwa dirinya bukan orang yang selevel dengan saya. Pendidikannya hanya sekolah dasar. Lulus sekolah ia sudah bekerja di beberapa kota: Surabaya, Bali, dan sekarang di Malang, sebagai penjaga toko, penjaga counter HP, dan sekarang sebagai pembantu rumah tangga.

Di terminal Rawamangun tiga hari lalu seorang pemuda tampan mendorong gerobak mie ayam dagangannya. Di sudut lain terminal seorang pemuda berlari-lari menghampiri penumpang yang baru turun dari bis, menyiapkan bahunya untuk mengangkut barang bawaan penumpang.

Pagi ini, seorang anak kecil yang belum genap 15 tahun menjajakan korannya di sekitaran fakultas, kemudian satpam menegurnya agar tak berjualan di kawasan dalam fakultas. Di berbagai tempat dan sudut kota, banyak sekali dijumpai pemandangan-pemandangan tak sedap. Tapi merekalah yang mengingatkan kita untuk bersyukur, atau ingat pada syukur, yang menggerakkan hati kita: sebetulnya, betapa kita adalah orang-orang yang sangat beruntung.

Any Rufaidah
Depok, 7 September 2009

9.05.2009

Suara


12 orang ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang itu setidaknya menjadi gambaran bahwa tak semua orang Indonesia mampu bersuara tanpa rasa takut. Mereka berbisik-bisik sebelum mencoba menjawab pertanyaan orang yang berdiri di depan. “Nanti salah?,” bisik salah seorang di antara mereka yang ingin mencoba menjawab. Begitu sulit bagi mereka untuk mengeluarkan suara. Padahal orang yang berdiri di depan bukan pejabat. Ia fasilitator yang sudah beberapa kali bertemu, beradaptasi, dan berbicara dengan bahasa yang tepat. Dalam forum kecil itu pun ia mengulang-ulang kata, “Tidak perlu takut. Tidak ada jawaban yang salah.” Meski begitu suara 12 ibu-ibu dan remaja putri tak dengan mudah ia dapat. Jika bukan karena niat tulus dan niat membangun, putus asa adalah jawabannya.

Desa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu adalah desa “pinggiran”. Sisi kanan adalah bukit dan sisi kiri adalah sawah dan ladang tebu. Jalannya sempit, aspalnya tak sempurna. Penduduk di sana tak akrab dengan pendidikan, meski ada remaja-remaja berseragam sekolah di beberapa tempat di pinggir jalan. Remaja-remaja berseragam itu pun nampaknya baru-baru ini saja, ketika teknologi sudah merajalela dan pemerintah harus tak enak diri membiarkan desa “pinggiran” tak punya bangunan sekolah.
Di tempat berbeda, di gedung dewan, para anggotanya berebut bicara. Lebih dari mampu. Bicara dengan otot ketika bicara dengan kata-kata tak menghasilkan kepuasan pun dilakukan. Yang terakhir bukan lagi urusan kemampuan, tapi kepuasan. Sangat jauh berbeda.

Mengapa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak mendapat latihan untuk bersuara? Sarana berlatih berbicara di negara ini praktis hanya sekolah. Hanya sekolah yang memberi ruang muridnya untuk membaca puisi, presentasi, dan bertanggung jawab atas pikiran yang dituangkan dalam kertas. Semakin tinggi pendidikan, semakin luas ruang untuk beraktualisasi, semakin tumbuh keberanian untuk berbicara. Sementara 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak biasa membaca puisi di depan teman-teman sekelasnya. Mereka terbiasa bekerja, di sawah atau di ladang, yang tak membutuhkan keterampilan untuk berbicara. Mereka juga bukan orang yang langsung berbicara kepada pedagang yang akan membeli gabah dan tebu mereka.

Seorang kawan pernah bercerita: di kampungnya, tak umum bagi anak-anak untuk bersekolah. Bukan semata-mata karena kemalasan, tetapi tak ada ruang sebagai tempat belajar. Sepanjang 60 tahun kemerdekaan Indonesia, sepanjang itu pula tak ada gedung sekolah di sana. Di pojok jalan menuju kampung sang kawan itu terlihat gedung sekolah SD, tetapi jaraknya tak sekedar jauh. Tak semua anak punya sepeda menuju ke sana. Dalam pikiran kita, itu persoalan yang semestinya sudah selesai. Kampung seorang kawan itu mestinya punya gedung sekolah sendiri. Apalagi kita tahu bahwa di kampung itu ada kepala dusun dan ada kepala desa. “Bagaimana ini?,” itu pertanyaannya. Apakah penduduk di sana tak punya harap berdirinya sebuah gedung sekolah? Apakah mereka tak punya harap menyaksikan anak-anak mereka berseragam, berbaris dan memberi hormat pada bendera, ikut serta dalam lomba-lomba kemerdekaan Indonesia, atau membaca puisi di panggung malam kelulusan?

Bagaimana jika bukan itu? Tetapi karena warga tak punya suara. Seperti lingkaran setan: tak punya suara karena tak mendapat cukup pendidikan dan akhirnya tak punya suara untuk menuntut pendidikan.

Konon, di dusun 12 ibu-ibu dan remaja putri, banyak orang yang menjadi TKI. Menjadi TKI bukan pekerjaan positif, meski pendapatan yang dihasilkan berlipat-lipat dan menyumbang devisa yang tak sedikit pada negara. Setidaknya itu tergambar dari cara seorang kawan yang memberi tahu tentang TKI di dusun tempat 12 ibu-ibu dan remaja putri itu. Ia berbicara dengan pelan, menyiratkan maksud berhati-hati. “Apa lagi ini?” Pekerjaan tak positif dipilih. Mungkin itu pula akibat tak punya suara.

Kita boleh bertanya, “Apakah menyelenggarakan pendidikan di desa di bawah bukit begitu sulitnya? Atau adalah kesengajaan, pendidikan tak diselenggarakan karena ia akan memberi suara, dan suara adalah bahaya?” 12 ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang adalah sebagian kecil saja.

Any Rufaidah
Malang, 26 Agustus 2009 (edited in Jakarta, 6 September 2009)