5.24.2008

Hati-Hati Politik Hiburan

Oleh Any Rufaidah

Akhir-akhir ini dunia kepemimpinan Indonesia diwarnai dua aktor baru. Mereka adalah Rano Karno dan Dede Yusuf. Rano Karno mewarnai kepemimpinan di Tangerang, dan lebih luas, Dede Yusuf yang bernama asli Yusuf Macan Efendi berhasil menaklukkan hati penduduk Jawa Barat. Jalan politik keduanya cukup mulus meskipun ada juga kalangan yang meragukan. Mengatakan mereka berdua hanya modal tampang dan mengandalkan popularitas. Keraguan ini muncul karena karier politik kedua artis senior itu masih relatif singkat. Belum cukup matang untuk memimpin.


Pertanyaannya, mengapa mereka bisa meraih posisi penting yang diperebutkan banyak politisi itu? Padahal pergulatan politik yang dilalui belum seberapa. Dibanding tokoh-tokoh lain, proses yang ditempuh belum ada apa-apanya. Selain itu, dunia yang selama ini ditekuni jauh dari politik.

Ada satu jawaban yang bisa dilontarkan untuk pertanyaan di atas. Yaitu, karena masyarakat membutuhkan pemimpin muda yang bersih dan dekat dengan mereka. Ada kebutuhan, ada permintaan. Hukum itu kini berlaku dalam politik Indonesia. Kebutuhan berangkat dari realitas kepemimpinan yang selama ini carut marut. Banyak bukti yang secara jelas menunjukkan kondisi tersebut. Angka kemiskinan yang tak kunjung berkurang, peningkatan pengangguran, pendidikan yang bobrok, harga Sembako yang terus melambung, sementara korupsi semakin merajalela. Sungguh menyedihkan.

Keterpurukan itu tentu tidak bisa dilepaskan dari pemimpin. Masyarakat menilai, berbagai masalah yang muncul terutama disebabkan oleh pemimpinnya. Pemimpin tidak tegas, justru seringkali ikut serta dalam membantu upaya-upaya penyalahgunaan hak masyarakat demi misi penumpukan harta. Kedekatan pemimpin pun selama ini masih minim. Mereka turun kalau sedang membutuhkan suara. Setelah itu hilang tanpa jejak. Waktu banyak dihabiskan untuk interaksi dengan pengusaha dan oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu di daerah yang dipimpin. Deal-deal pembangunan mall dan proyek-proyek besar lainnya menjadi rutinitas pengganti kunjungan ke masyarakat. Akhirnya, masyarakat terlupakan, tidak ter-openi, bahkan tidak lagi menjadi prioritas.

Masyarakat kini sudah lelah menghadapi realitas seperti itu. Mereka sekaligus bosan menunggu janji-janji pemimpin yang tak jelas kapan akan terwujud. Ini yang membuat mereka semakin membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin muda yang bersih, tidak terlibat dalam kejahatan-kejahatan politik-pemerintahan serta popular. Yang terakhir ini (popular), bagi masyarakat tidak hanya berarti terkenal, melainkan dekat.

Kehadiran yang Tepat
Di tengah kelelahan dan kebosanan terhadap aktor-aktor lama, Rano Karno dan Dede Yusuf hadir sebagai Calon Wakil Bupati (Cawabup) Tangerang dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jawa Barat. Kehadiran mereka sangat tepat, sesuai dengan permintaan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Masyarakat menyambut gembira. Terbukti, keduanya kemudian berhasil menempati posisi penting di daerahnya tersebut. Mengalahkan pesaing-pesaing yang sudah tidak diragukan lagi kapasitas politiknya, seperti Agum Gumelar. Rano yang berpasangan dengan Ismet ditetapkan menang di seluruh kecamatan. Suara yang mereka kantongi lebih dari separo jumlah pemilih, yaitu 56,5 persen.

Kesuksesan ini disebabkan oleh faktor yang linear dengan permintaan masyarakat. Muda, bersih, dan popular. Rano Karno dan Dede Yusuf masih muda, memiliki idealisme dan karakter yang pas. Citra mereka di mata masyarakat selama ini baik. Di dunia keartisan jauh dari gosip-gosip miring serta tidak suka neko-neko. Yang lebih penting, keduanya bersih. Ini menjadi akurat mengingat pergulatan mereka di dunia politik masih baru. Karena baru, maka tidak tercemar oleh kejahatan-kejahatan politik-pemerintahan. Di samping itu, mereka dekat di hati pemilihnya.
Politik Hiburan
Keberhasilan Rano Karno dan Dede Yusuf sebagai pemimpin bagaimana pun harus diakui sebagai prestasi. Tidak mudah mencapai jabatan tersebut. Perlu tenaga, pemikiran, dan biaya. Bentuk usaha keduanya minimal dapat dilihat dari keabsenan di dunia keartisan selama beberapa tahun terakhir. Dalam jangka waktu itu, baik Rano maupun Dede rela melepaskan diri dari dunia yang membesarkannya demi belajar politik. Dengan upaya tersebut, wajar jika Rano dan Dede berhasil meraih tempat no. 2 di Tangerang dan Jawa Barat. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijadikan koreksi dari fenomena politik ini.

Politik adalah dunia yang penuh strategi. Jika tanpa strategi, bukan politik namanya. Dan politikus adalah orang yang selalu bermain strategi. Strategi politik bisa dimunculkan dari berbagai macam latar belakang. Kebutuhan pasar (pemilih) adalah salah satu faktor yang sangat menentukan strategi politik yang hendak dimainkan. Aktor lama tentu tidak buta akan kebutuhan pasar. Mereka membaca kebutuhan, kemudian menawarkan apa yang diminta pasar. Motif penarikan Rano Karno dan Dede Yusuf ke wilayah-wilayah penting bisa jadi hanya untuk memenuhi permintaan pasar. Muda, bersih, dan dekat di hati pemilih. Ketiga unsur itu adalah modal besar untuk menarik hati pemilih. Dan semuanya telah terbukti. Masyarakat Tangerang dan Jawa Barat langsung terhipnotis karena kekuatan si Doel dan si Macan. Namun dalam dunia politik keduanya bisa jadi hanya dijadikan hiburan politik, dan kemudian politik Indonesia menjadi politik hiburan. Ada kesimpulan bahwa permintaan pemilih yang dilatarbelakangi oleh kelelahan dan kebosanan atas realitas pemimpin harus diatasi dengan hiburan. Maka ditariklah orang-orang baru agar masyarakat terhibur. Dengan begitu pasar menjadi puas, sementara kekuasaan utama tetap dipegang aktor-aktor lama. Jika sudah demikian, berarti motif politik penarikan Rano Karno dan Dede Yusuf tidak lebih sebagai hiburan politik.

Kita tentu tidak ingin pemimpin hanya berfungsi sebagai hiburan politik dan politik Indonesia menjadi politik hiburan. Oleh sebab itu, masyarakat harus pandai dalam pembaca realitas politik yang sedang berkembang. Dan para artis yang saat ini banyak dilirik untuk mengikuti keberhasilan senior mereka sebaiknya juga pandai membaca fenomena. Tidak sekedar ikut tanpa menyadari fungsi dan keberadaan mereka seharusnya. Kekritisan harus selalu diasah sebelum diri sendiri dan masyarakat luas terjebak dalam politik hiburan. Semoga ini tidak terjadi.

Penulis adalah anggota Averroes Community, Malang.

Aku Hanya Kotoran Binatang

Any Rufaidah

Aku ini hanya kotoran binatang
Yang mengaharap mata tak jijik saat melihatku
Aku ini hanya kotoran binatang
Yang berharap hidung-hidung tak tertutup saat dekat denganku
Aku ini hanya kotoran binatang
Yang berharap tak ada kaki yang menginjakku
Aku ini adalah kotoran binatang
Yang menunggu orang mengangkatku
Tumbuh bersama bunga, menciptakan keindahan, menghadirkan keharuman
Tapi aku hanya kotoran binatang
Berharap pun adalah khayalan
Aku hanya kotoran binatang