2.26.2008

Demokrasi dan Romantisme Kemakmuran Semu

Oleh Any Rufaidah

PASCA tumbangnya Orde Baru, Indonesia boleh dikatakan sebagai negara yang sudah membuka kran demokrasi. Tragedi orang hilang, tersumbatnya suara rakyat, terkekangnya partisipasi, bad governance yang berujung pada chaos 1998 akhirnya bisa berganti dengan masa reformasi yang memberikan hawa sejuk untuk menikmati kebebasan. Karya-karya kontroversi boleh beredar kembali, kebebasan pers mulai mendapat pengakuan, aspirasi masyarakat juga lebih mendapatkan tempat. Suasana demokratis adalah sebuah prestasi luar biasa setelah 32 tahun rezim otoriter berkuasa.

Dalam sebuah proses pendidikan demokrasi (Sekolah Demokrasi) di Malang sering sekali muncul pertanyaan bagaimana bentuk demokrasi, bagaimana konsep ideal demokrasi di Indonesia pada beberapa narasumber. Narasumber, salah satunya Prof. DR. Ichlasul Amal menanggapi (SD V, 27/05/06) bahwa pertanyaan tersebut sangat sulit dijawab. Tanggapan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa belum ada konsep dan bentuk demokrasi ideal. Demokrasi masih dalam proses menjadi, bahkan mungkin akan terus menjadi, apalagi di Indonesia yang baru saja terlepas dari rezim otoriter Orde Baru.
Di tengah proses menjadinya demokrasi, Indonesia diwarnai banyak masalah. Bentrokan akibat ketidakpuasan terhadap hasil pemilu, pertentangan pendapat antar aliran beragama, konflik antar suku, ras dan golongan, mahasiswa, masyarakat sipil, militer adalah sebagian masalah yang muncul.
Dua keadaan menjadi ambivalen. Di satu sisi kran demokrasi mulai terbuka, di sisi lain banyak terjadi konflik. Ambivalensi ini membuat sebagian masyarakat berpikir untuk kembali mengenyam kemakmuran Orde Baru. Pikiran ini terbukti dari sebuah pernyataan yang dikutip oleh B. J. Habibie. Habibie mengaku dirinya mendapat pernyataan “Pak Habibie bagaimana kalau itu (Orde Baru) bangun kembali“ (Kompas, 07/06/06).
Seolah-olah tidak masalah bernegara tanpa demokrasi asalkan makmur. Pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut belum tentu menjadi representasi bangsa Indonesia, tetapi jika mereka adalah kelompok elit yang biasa menggulirkan issu sebagai salah satu kekuatannya, maka akan berpengaruh besar bagi pemikiran bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis pernyataan tersebut hanya mungkin dikeluarkan oleh kelompok-kelompok elit, karena masyarakat kecil sudah cukup tersiksa pada masa Orde Baru. Sayang sekali demokrasi yang baru saja beranjak dewasa terbuang karena kemakmuran semu Orde Baru. Tampaknya mereka lupa bahwa demokrasi harus dibayar mahal oleh chaos 1998. Peristiwa 1998 bukanlah peristiwa yang terjadi secara natural, berlangsung sesuai kehendak alam, melainkan bayaran untuk menempuh demokrasi.
Pertanyaannya mengapa muncul pihak yang mengidap romantisme Orde Baru yang sangat besar kemungkinan mengkontaminasi bangsa Indonesia secara luas?Masalah tersebut bersumber pada kesalahan berpikir. Terdapat kebiasaan berpikir praktis, tanpa kesulitan berarti. Selama kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia dibuai oleh kemakmuran, pembangunan, kesejahteraan, walaupun semuanya hanya berkutat pada wilayah material yang berasal dari hutang. Segala kebijakan ditentukan segelintir orang yang secara pasti tidak memberikan kesempatan kepada publik untuk berpikir. Keputusan secara tiba-tiba sudah tersedia.
Sepanjang Orde Baru, lebih dari cukup untuk menancapkan kebiasaan praktis. Mewujudkan demokrasi membutuhkan pemikiran yang panjang dan rumit. Butuh kerja keras dan kesungguhan. Dengan kebiasaan berpikir tersebut, konflik-konflik yang terjadi pada proses menjadinya demokrasi sudah dianggap sebuah kegagalan demokrasi. Serta merta muncul anggapan bangsa Indonesia sudah menikmati kemakmuran di masa Orde Baru, jadi harus dibangun kembali, tidak justru susah-susah berpikir demokrasi. Pihak yang bersangkutan belum cukup memiliki kesiapan untuk mengkonsepkan dan mewujudkan demokrasi sesuai kondisi riil Indonesia.
Kedua, terdapat pola pikir yang diterapkan secara kausalitas yang tidak bersesuaian. Konflik-konflik dianggap disebabkan oleh berubahnya sistem bernegara, dari tidak demokratis menjadi demokratis. Demokrasi menjadi tersangka atas terjadinya konflik-konflik. Oleh karena itu demokrasi tidak perlu, yang diperlukan adalah kemakmuran seperti Orde Baru
Romantisme versus Demokrasi
Kedua pola pikir di atas adalah upaya refleksi yang menghasilkan solusi keliru, sekaligus berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Bangsa Indonesia harus sadar merebut demokrasi mahal dan tetap mahal untuk menjadikannya utuh. Merebut demokrasi membutuhkan perjuangan chaos 1998, maka untuk mewujudkannya perlu lebih dari itu.
Seharusnya tidak ada romantisme Orde Baru dengan alasan demokrasi hanya menimbulkan konflik. Demokrasi adalah tempat bertemunya perbedaan-perbedaan pendapat dengan berbagai macam kepentingan, tetapi demokrasi bukan penghasil konflik.
Orde Baru bukanlah tempat yang pas sebagai romantisme kemakmuran karena hanya jalan buntu menuju kemakmuran. Yang nyata adalah demokrasi yang sedang menjadi. Kita tinggal memilih romantisme kemakmuran semu ataukah demokrasi yang sedang menjadi. Faktanya Indonesia sudah mendapat pengakuan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia selain India dan Amerika Serikat. Memilih demokrasi hanya membutuhkan kesabaran dan kebijaksanaan, sedangkan romantisme membutuhkan kerelaan hidup dalam kesemuan.

ANY RUFAIDAH, Peserta Sekolah Demokrasi PLaCID’s Averroes Angkatan I
(Newsletter SD)

No comments: