2.21.2011

Kegagalan dan Prestasi

Hari ini (20/2/11), di tengah aktivitas penyusunan modul pendidikan toleransi yang disambi dengan kotak-katik main-main, sebagian perhatian tertuju pada siaran Metro Hari Ini dengan tema “Memprihatinkan Indonesia”. Siaran ini secara khusus mengulas lagu Bimbo yang berjudul “ABC Indonesia” yang berisi kritik terhadap carut-marutnya Indonesia. Dalam acara tersebut dihadirkan Bimbo dan Guru Besar Psikologi Politik Indonesia yang tak lain adalah dosen saya.

Tema “Memprihatinkan Indonesia” sesungguhnya sudah sangat sering dibicarakan. Berbagai pengamat politik diajak berdialog oleh tv-tv nasional. Dalam suatu tayangan, Metro TV pernah pula menghadirkan Yudi Latif untuk membincang tema yang sama. Kala itu, saya ingat presenter acara hingga mendesak Yudi Latif agar memberikan solusi atas keadaan negara yang sudah carut-marut ini.

Dalam siaran hari ini, wacana yang muncul relatif biasa saja. Namun ada satu pertanyaan presenter yang kemudian menyulut ketertarikan untuk menuliskannya dalam catatan. Pertanyaan itu adalah soal kegagalan negara dan prestasi anak bangsa yang tak sedikit jumlahnya. Pada intinya, presenter menanyakan apakah negara telah gagal karena prestasi-prestasi anak bangsa sangat banyak.

Jika saya diminta menjawab pertanyaan itu, tentu jawaban yang muncul adalah, “Ketidaktuntasan hukum korban Trisaksi, remang-remangnya keadilan atas kasus Munir, kelambatan tindakan hukum atas penyerangan terhadap Ahmadiyah, kemiskinan yang massif, itu adalah urusan pemerintah. Namun, prestasi siswa-siswi bangsa dalam olimpiade internasional, keberhasilan mahasiswa pada kompetisi teknologi tingkat dunia, dan penghargaan-penghargaan kepada pejuang Hak Asasi Manusia, bukanlah karena negara, melainkan karena kreativitas guru dalam mendidik siswa, kreativitas, dan komitmen individu.

Lingkup masalah sungguh-sungguh berbeda. Jadi, jika pemerintah mengklaim prestasi anak bangsa sebagai keberhasilannya, rasanya kurang fair, apalagi jika terus-menerus mengatakan bahwa kegagalannya mengatasi suatu masalah disebabkan oleh pihak lain.

Perumahan Lembah Depok, 20 Februari 2011. 19.14

Any Rufaidah

2.07.2011

Perihal Kemiskinan


Beberapa kali di dalam angkutan kota dan metromini, saya menemui kebanyakan bahkan semua penumpang tidak mau memberi uang receh pada pengamen. Suatu ketika, pengamen hingga ngedumel karena tak seorang pun di metromini yang memberinya uang receh. Pemandangan seperti itu saya temui beberapa kali, maka wajarlah jika kemudian menyulut pertanyaan ‘why’.

Sementara ada dua jawaban yang terpikirkan. Pertama, karena penumpang sadar bahwa memberi uang pada pengamen/pengemis tidak mengatasi masalah kemiskinan; kedua, karena mereka berhitung ketat soal pengeluaran. Jika jawaban pertama yang benar, maka tindakan tidak memberi uang pada pengamen adalah tindakan kritis. Namun jika ternyata jawaban kedua yang benar, maka masalah kemiskinan benar-benar sedang melilit bangsa ini sedemikian hebatnya.

Saya teringat pada penjelasan Wardah Hafidz yang mencerahkan dalam momen pelatihan “Advokasi Damai oleh Perempuan” 18 – 21 Januari lalu. Dalam momen itu, Wardah Hafidz menggambarkan tiga kelas ekonomi dalam sebuah tabung leher angsa. Kelas miskin berada di bawah, jumlahnya paling besar. Kelas menengah berada di tengah, jumlahnya lebih sedikit. Dan kelas kaya berada di ujung tabung, jumlahnya sangat sedikit.
Gambaran Mbak Wardah memancing keingintahuan saya saat itu. Pasalnya, data BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia tak lebih dari 50 juta. Artinya, penduduk kelas menengah 3 – 4 kali lebih banyak jumlahnya. Menanggapi pertanyaan saya, Mbak Wardah kala itu kurang lebih menjawab, “Kategori miskin yang ditetapkan BPS itu tidak tepat. Selama ini, BPS hanya melihat miskin hanya dari 2 hal: kesejahteraan dan akses sumberdaya. Kesejahteraan diukur dari sandang, pangan, papan, dan akses sumberdaya dilihat dari kemudahan memperoleh sumberdaya.”

Mbak Wardah melanjutkan, “Miskin harus dilihat dari lima hal. Selain yang dua tadi, ada kesadaran kritis, partisipasi, dan kuasa/power/daya. Dua hal yang disebutkan di awal adalah kategori yang terendah. Miskin tak cukup dilihat dari kesejahteraan dan akses sumberdaya saja. Jika tidak ada kesadaran kritis, tidak memiliki peluang untuk partisipasi, misalnya dalam pengelolaan ekonomi dan pengambilan kebijakan, dan power, orang masih terkategori miskin.” Mbak Wardah menambahkan, di Jakarta yang konon memiliki 100 mall lebih, hanya sekitar 500 ribu orang yang mampu membeli di mall. Lainnya hanya mampu membeli di perko alias emperan toko.

Kembali pada soal tidak memberi receh pada pengamen, mungkin alasannya adalah perhitungan yang ketat pada pengeluaran. 500/1000 perak bagi banyak orang masih diperhitungkan. Nominal itu bisa untuk menambah uang angkot, membeli minuman atau buah potong di pinggir jalan. Dengan kata lain, 500/1000 perak masih diperlukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Jika demikian adanya –ketika 500/1000 perak masih diperhitungkan oleh penumpang yang notabene adalah orang-orang bekerja –maka memang benar data yang mengatakan penduduk miskin hanya di bawah 50 juta jiwa perlu dipertanyakan.

Depok, 6 Februari 2011. 02.06

Any Rufaidah