10.31.2009

Sejarah Psikologi


Bicara sejarah psikolog berarti harus kembali pada filsafat. Di berbagai buku yang membicarakan sejarah psikologi, filsafat selalu menjadi kajian awalnya. Hal ini sungguh sangat wajar karena psikologi mempelajari proses kognitif, dan proses kognitif (dalam hal manusia memperoleh pengetahuan) adalah tema besar yang didialogkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Maka dari itu, untuk berbicara sejarah psikologi mau tidak mau harus kembali pada filsafat Yunani kuno –tentu dalam tema yang kajiannya menjadi objek psikologi. Banyak buku yang mengkaji sejarah psikologi, namun bagi saya buku Sejarah Psikologi: Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern milik C. George Boeree adalah yang cukup bisa memberi pemahaman secara sederhana namun padat.

Hasil penelusuran Boeree menemukan Aristoteles lah yang secara langsung bisa disebut sebagai perangsang bagi munculnya kajian psikologi. Aristoteles mempunyai teori yang disebut asosianisme. Ide ini awalnya dari Plato, namun Aristoteles yang dipercaya menyusunnya menjadi teori yang lebih rigid. Asosianisme mengungkapkan bahwa dalam proses mengingat ada asosiasi-asosiasi. Asosianisme memiliki empat hukum.
1.Hukum hubungan (The law of contiguity). Hukum ini mengatakan, dalam ingatan, hal atau peristiwa memiliki asosiasi dengan hal atau peristiwa yang berhubungan. Misalnya, jika kita mengingat cangkir, bisa jadi kita juga mengingat piring. Jika kita mengingat microsoft word, bisa jadi juga mengingat komputer.
2.Hukum frekuensi (The law of frequency). Hukum ini mengatakan jika hal atau peristiwa dihubungkan terus-menerus dalam waktu yang cukup lama, maka dua hal atau peristiwa itu akan selalu berhubungan dalam ingatan. Misalnya, jika setiap sesudah makan selalu merokok, maka makan dan merokok selalu berhubungan. Setiap setelah makan yang kita ingat adalah rokok.
3.Hukum kesamaan (The law of similarity). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat salah satu hal atau peristiwa yang memiliki kesamaan dengan hal atau peristiwa yang lain, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa yang menjadi kembarannya. Misalnya, jika kita mengingat salah satu dari anak kembar, bisa jadi kita akan mengingat pula kembarannya. Jika kita mengingat sebuah pesta ulang tahun, bisa jadi kita mengingat pula pesta ulang tahun yang lain.
4.Hukum kebalikan (The law of contrast). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat hal atau peristiwa, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa lawannya. Misalnya, jika kita mengingat orang yang paling tinggi, bisa jadi kita akan mengingat orang yang paling pendek.

Asosiasi menurut Aristoteles bisa didahului oleh aktivitas memandang, merasa, membau. Misalnya, pada saat memandang apel muncul ide tentang apel. Begitu pula saat merasa atau membau apel.

Selama 2000 tahun teori asosiasi Aristoteles ini dianggap benar –dan cenderung dilupakan. Baru setelah masa pencerahan (Renaisans) asosianisme dikaji kembali. Mereka yang mengkajinya kembali adalah Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, David Hartley, dan James Mill. Semuanya berbicara seputar bagaimana manusia memperoleh pengetahuan: apakah pengetahuan bisa diperoleh dari pancaindera, apakah ada ide bawaan, bagaimana asosiasi antara satu benda dengan benda yang lain dalam pikiran, dan lain sebagainya.

Saat itu, para filsof masih tidak percaya psikologi bisa menjadi ilmu, karena berbagai aktivitas dan isi pikiran tidak bisa diukur. Adalah Ernst Weber (1795 – 1878) yang membantah ketidakpercayaan tersebut. Weber mengeluarkan hukum yang kemudian dikenal Weber’s Law. Hukum tersebut menyatakan adanya hubungan antara stimulus fisik dengan pengalaman mental. Contohnya: jika kita pernah mengangkat beban seberat 40 kg, setelah itu mengangkat berat 41 kg, kita tidak bisa membedakannya. Berbeda jika beban kedua yang kita angkat seberat 20 kg. Artinya, ada saat di mana kita tidak bisa membedakan dan bisa membedakan. Hal itu sangat terkait dengan proses mental.

Kerja-kerja Weber ini dilakukan bersama Gustav Fechner. Hukum Weber dan Fechner disebut oleh Boeree didasari oleh prinsip panteisme Baruch Spinoza. Spinoza mengatakan bahwa di alam semesta hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Manusia dan yang ada dalam alam semesta adalah modifikasi-modifikasi dari yang Esa itu (Solomon & Higgins, terj., 2002). Weber dan Fechner menggunakan prinsip ini sebagai penjelasan bahwa jiwa termodifikasi dalam fisik. Oleh karena itu jiwa bisa dipelajari dan diukur melalui apa yang tampak secara fisik. Tahap ini disebut tahap psikofisik. Mulai ada titik terang bagi psikologi untuk menjadi ilmu.

Pada tahun-tahun berikutnya, para doktor ilmu kedokteran dan fisiologi mulai melakukan penelitian tentang asosiasi. Kajian-kajian tentang asosiasi dan yang terkait dengannya pun, misalnya memori mulai diteliti secara ilmiah. Boeree menyebut Hemann Ebbinghaus sebagai orang pertama yang membuat usaha pengkajian asosiasi secara ilmiah. Ebbinghaus melakukan eksperimen memori dengan cara menyuruh beberapa orang (dan dirinya sendiri) untuk membaca dan mengingat-ingat beberapa kata yang tidak punya arti (nonsense syllables) secara berulang-ulang. Setelah itu daftar kata disingkirkan dan subjek-subjek (dan Ebbingus sendiri) harus menyebut kata-kata tadi.

Hasilnya, ada kata-kata yang dingat dan dilupakan. Dari eksperimen ini pula Ebbinghaus membuat kurve ingatan yang dikenal Kurve Retensi dari Ebbinghaus. Kurve tersebut menunjukkan bahwa apa yang sudah dipelajari akan dilupakan. Mula-mula banyak sekali yang dilupakan sehingga kurve merosot. Tetapi semakin lama kemerosotan itu semakin berkurang. Dan pada waktu tertentu ada sejumlah kata-kata yang diingat dalam waktu yang lama. Hukum Ebbinghaus menyebutkan, “Semakin banyak hal yang harus dipelajari, semakin banyak pula waktu yang diperlukan. Hukum ini disebut Hukum Ebbinghaus (Sarwono, 2002). Buku Ebbinghaus yang terkenal adalah adalah On Memory: An Investigation in Experimenatl Psychology (1885). Ebbinghaus pun pernah menulis artikel pertama tentang tes inteligensi terhadap anak-anak sekolah.

Eksperimen-eksperimen semakin giat dilakukan. Alfred Binet dan Theodore Simon meneliti intelegensi. Kedua orang ini berhasil pula membuat alat tes inteligensi yang kemudian dikenal Binet-Simon Scale of Intelligence. Namun psikologi belum menjadi ilmu. Adalah Wilhelm Wundt yang kemudian berani menegaskan bahwa psikologi bisa menjadi ilmu. Seperti halnya Weber dan Fechner, Wundt percaya pada prinsip panteisme Spinoza –dalam hal kajian psikologi disebut panpsikisme. Prinsip itu berbunyi: “Setiap peristiwa fisik mempunyai imbangan mentalnya masing-masing, dan setiap peristiwa mental mempunyai imbangan fisiknya masing-masing.”

Wundt yakin proses-proses mental bisa diukur melalui yang tampak pada fisik. Seiring dengan keyakinannya itu ia melakukan eksperimen secara mendalam, metodis, dan ketat. Wundt meneliti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi, mendirikan laboratorium di Leipzig pada 1876, dan mulai diikuti banyak orang. Wundt lah yang di kemudian hari disebut Bapak Psikologi. Ia yang menandai lahirnya psikologi sebagai ilmu sendiri yang terpisah dari filsafat. Di satu belahan bumi yang lain, Harvard, William James mendirikan laboratorium psikologi, dan ia mengajar psikologi fisiologis dengan mengacu pada Wundt. Pada 1889 James menjadi profesor psikologi dan tahun berikutnya ia menerbitkan dua volume buku The Principles of Psychology.

Secara kronologis, sejarah psikologi bisa digambarkan sebagai berikut:
Kajian yang berkaitan dengan psikologi dimulai oleh filsafat (Asosianisme Aristoteles) --> Asosianisme baru dikaji kembali pada saat Renaisans (kurang lebih abad 16) – kajian-kajian psikologi masih menjadi bagian filsafat --> kajian-kajian psikologi mulai diteliti oleh doktor ilmu kedokteran dan fisiologi – tahap ini disebut tahap psikofisik – orang-orang yang berperan adalah Ernst Weber dan Gustav Fechner – namun psikologi belum diakui sebagai ilmu, bahkan ada yang yang mengatakan psikologi tidak mungkin bisa menjadi ilmu sendiri --> Wundt menyanggah pesimisme atas psikologi. Berprinsip pada panpsikisme Spinoza ia terus meneliti proses-proses mental seperti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi secara detail dan mendalam --> Wundt disebut sebagai Bapak Psikologi – 1879 disebut tahun kelahiran psikologi.

Any Rufaidah, Depok, 31 Oktober 2009.

Bahan Bacaan:


Boeree, C. George. 2005. Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern. Terj. Abdul Qodir Shaleh. Jogjakarta: Prismashopie.

Sarwono, Sarlito W. 2002. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Solomon, Robert C. & Higgins, Kathleen M. 2003. Sejarah Filsafat. Terj. Saut Pasaribu. Jogjakarta: Bentang.

10.07.2009

Sekilas tentang Cultural Studies dan Cultural Resistance


Cultural Studies
Tulisan ini merupakan sedikit review dari pelatihan Cultural Studies (etnografi di dalamnya) yang sempat saya ikuti pada tanggal 19-23 September 2008. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes ini didesain dengan Sersan (Serius tapi Santai). Serius karena narasumber yang memandu adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di tingkat nasional, yaitu Mas Kirik Ertanto (Save Children) dan Mujtaba Hamdi (Peneliti Tankinaya Institute, Depok). Santai karena model pembelajarannya santai. Tidak ada kontrak forum, peserta bisa mengikuti materi sambil tiduran, makan, minum, dan lain sebagainya asal tidak mengganggu jalannya pelatihan.

Cultural studies bagi saya merupakan kajian yang masih asing. Meskipun sudah sering mendengarnya, pengetahuan saya masih sangat minim. Apa itu cultural studies masih menjadi pertanyaan besar. Pada pelatihan ini saya sedikit mendapat pencerahan tentang pertanyaan tersebut tanpa harus membaca berbagai buku tebal seperti milik Chris Barker. He he.

Yang saya tangkap dari penjelasan Mas Kirik tentang CS adalah:
1. Bahwa CS merupakan reaksi terhadap dominasi yang menganggap bahwa kesadaran setiap orang di muka bumi ini seragam, mengikuti satu alur, dan bisa dikendalikan. Ibaratnya seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia seperti kawanan domba: digiring ke sana ikut ke sana dan digiring ke sini juga ikut saja. CS ingin menjelaskan bahwa kelas bawah memiliki ideologi yang tidak mesti sama dengan persepsi dominasi. Mereka memiliki pemaknaan sendiri tentang apa yang mereka lakukan dan kerjakan: tentang penampilan, arti pertemanan, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Tidak seperti pandangan dominasi yang menganggap bahwa hidup adalah begini dan begitu, di luar itu adalah abnormal. Pada anak jalanan misalnya, mereka memiliki pemaknaan-pemaknaan sendiri tentang apa pun yang melekat pada diri mereka, berbeda dengan apa yang dipersepsi oleh dominasi yang menganggap mereka tidak memiliki aturan, tidak bermoral, banyak tingkah, dan lain sebagainya.

2. CS sekaligus ingin menegaskan bahwa ideologi tidak pernah bersifat total.

3. CS adalah perayaan atas keberagaman.

Any Rufaidah, Banyuwangi, 1 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009

Cultural Resistance
Tulisan ini adalah review kedua dari pelatihan PUSPeK Averroes pada bulan September 2008. Cultural resistance (CR) pada saat itu disampaikan secara eksklusif oleh kawan Mujtaba Hamdi (Taba). Bagi saya CR merupakan tema yang masih asing pula. Ya….begitulah. Terlalu banyak hal-hal asing karena problem kurang membaca.

Cultural resistance –dari istilahnya saja sudah bisa diterka– yaitu perlawanan kebudayaan. Apa yang ada dalam bayangan ketika membaca istilah tersebut? Yang disebut perlawanan adalah keluar dari ke-umum-an (hal yang umum), mayoritas, atau mainstream. Kurang lebih demikian yang saya tangkap dari pelatihan. Dilihat dari latar belakangnya, CR bertujuan untuk melawan dominasi. Secara spesifik, dominasi yang dimaksud di sini adalah hegemoni, kuasa.

Namun dominasi bukan berarti selalu pemerintah. Kata Mas Taba, dominasi, kuasa, tidak selalu berada di luar tempat kita berdiri. Dominasi tidak ada hubungannya apakah ia internal dalam lembaga yang kita naungi atau eksternal (pemerintah misalnya). Lembaga internal atau eksternal bisa menjadi sarang hegemoni bagi individu-individu yang ada di dalamnya.

CR menjelma dalam dua wadah: bentuk dan isi. Dilihat dari bentuk, misalnya musik, grafiti, interpretasi, dan aktivitas. Dari isinya, misalnya lirik musik yang nyeleneh. Di Indonesia, musik yang dicontohkan oleh Mas Taba saat itu adalah lagu-lagu Slank dan Iwan Fals. Rasanya sudah jelas mengapa lagu-lagu Slank dan Iwan Fals menjadi contoh CR. Dalam konteks dunia adalah lagu-lagu John Lennon. Yang juga sempat dicontohkan pada pelatihan adalah budaya punk.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa CR terjadi? Di atas sudah sedikit disinggung alasan CR. Tetapi yang ini lebih mendasar. CR muncul karena kebutuhan terhadap ruang bebas. Ruang bebas bisa dipilah dalam dua bentuk: individual dan material. Ruang bebas individual misalnya kebebasan berpikir, menginterpretasi, dan beraktivitas sesuai dengan kesadaran yang dimiliki. Sedangkan ruang bebas yang material misalnya lirik lagu.

CR tidak terjadi begitu saja. Ada proses dan tingkatannya. Proses CR dalam istilah Mas Taba atau referensi yang ia baca disebut Political Consciousness. Individu berangkat dari keadaan tak sadar, kemudian coba-coba, dan terakhir sadar.
Tidak sadar –> Appropiasi (coba-coba. Seperti halnya coba-coba rasa garam) –> sadar
Lingkup CR : individu –> subculture –> masyarakat
Hasil proses CR : bertahan –> perlawanan –> revolusi
Demikian sekilas tentang CS dan CR. Semoga bermanfaat.

Any Rufaidah, Malang, 24 Oktober 2008. Edited in Depok, 7 Oktober 2009



10.06.2009

Mahasiswa



Auditorium IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, pada pukul satu siang lebih (Oktober 2009) dipenuhi tak kurang dari 30 orang mahasiswa. Saya berada di antara mereka, untuk mendengar pengalaman, pemaparan, dan analisis pembicara tentang gerakan mahasiswa, seperti tema yang tercantum pada spanduk putih biru yang terpampang di depan auditorium. Sebuah tari daerah oleh siswa-siswa sebuah SMA di Jakarta, yang pasti dipersiapkan dengan latihan ketat, ditampilkan.

Tiga orang pembicara diundang ke panggung. Mereka menyampaikan pemaparannya masing-masing selama 30 menit. Menarik dan cukup berisi, tidak terbatas pada gerakan mahasiswa, tetapi juga pada sosial politik Indonesia. Narasumber pertama, yang kini berusia 66 tahun dan pernah masuk tahanan sebanyak tujuh kali selama mahasiswa, memulai pemaparannya dengan pernyataan, “Indonesia didirikan oleh mahasiswa.” Pernyataan ini tampaknya bisa dikorelasikan dengan peristiwa menjelang kemerdekaan ’45: penculikan Soekarno ke Rengasdengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Turunnya Soekarno pada ’66 juga tak lepas dari peran mahasiswa. Soeharto pun diturunkan oleh mahasiswa, lanjut narasumber.

Mahasiswa tidak pernah absen dalam sejarah. Mahasiswa memiliki andil besar dalam sejarah politik yang berimplikasi langsung pada kehidupan sosial. Pembicara ketiga, yang banyak mengamati dan mengkritik sistem dan perilaku politik Indonesia saat ini, mengatakan, “Sejak ’60 – ’64 sudah ada gerakan-gerakan anti Soekarno dari mahasiswa.” Pada ’65 HMI dibubarkan oleh Soekarno. Pembubaran tersebut menyusul hubungan yang kurang baik antara Soekarno dan Masyumi. HMI dianggap sebagai organ yang mendukung Masyumi oleh Soekarno. Posisi mahasiswa dimanfaatkan oleh Angkatan Darat yang merasa cemburu atas hubungan Soekarno dengan PKI yang terlalu dekat. Angkatan Darat mengikat mahasiswa dalam ideologi “Anti PKI”. Pemanfaatan posisi mahasiswa tak lain untuk menggulingkan Soekarno. Sebagai balas jasa, Soeharto memberi posisi penting kepada para aktivis ’66 dalam pemerintahan Orde Baru. Ini adalah contoh dari pembicara ketiga tentang andil besar mahasiswa dalam sejarah Indonesia.

Andil mahasiswa juga terbukti saat reformasi ’98. Namun, pembicara juga menyampaikan kritik pedas terhadap mahasiswa. Ia mengatakan, “Mahasiswa punya andil besar untuk mengganti demokrasi, tetapi mahasiswa tidak mampu menjawab masalah demokrasi unsubstansial hari ini.” Kebobrokan pemerintah maupun potensi pemerintah otoriter yang dijalankan dengan cara lembut (soft authority) yang mulai terlihat terbukti tak mampu disikapi secara kolektif oleh mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa saat ini tidak berdiri pada pondasi yang sama. Mereka tak punya unity dan nilai gerakan yang sama. Pembicara menyinggung pula jiwa intelektual organik yang tak begitu terasa pada mahasiswa. Pembicara mengutip Antonio Gramsci: “Semua orang bisa menjadi intelektual, tetapi tidak semua orang bisa menjadi intelektual organik.” Pembicara mengutip pendapat tersebut rupanya untuk menegaskan bahwa mahasiswa jaman modern ini tak cukup punya sensitivitas, yang bisa menghayati apa yang ada di lingkungan sekitarnya.

Any Rufaidah, Depok, 6 Oktober 2009

Link mendukung: http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakti.html

10.05.2009

Ruang Lingkup Psikologi

Tulisan ini adalah tulisan kedua yang membahas seputar psikologi dari yang paling dasar. Jika di tulisan pertama saya menulis definisi psikologi, maka di tulisan kedua ini saya menulis tentang ruang lingkup psikologi. Bacaan bahasan ini adalah Pengantar Psikologi (jilid I edisi ke-11) Rita L. Atkinson dkk. Dalam buku tersebut, Atkinson tidak langsung menyebutkan apa saja yang dipelajari psikologi, tetapi ia memberi contoh untuk ditangkap sendiri oleh pembaca. Berikut saya kutip secara lengkap contoh-contoh tersebut:

1.Hidup dengan otak yang terbelah. Otak manusia dibagi menjadi hemisfer kiri dan kanan. Dalam keadaan normal, kedua hemisfer itu berhubungan satu sama lain melalui serabut-serabut syaraf. Tetapi sebagian orang yang menderita epilepsi parah menjalani pemutusan serabut-serabut tersebut secara bedah dan hidup dengan otak yang terbelah (pemisahan ini mencegah kejang yang berasal di salah satu hemisfer ke hemisfer lain). Interaksi kasual (sepintas) dengan orang lain tidak menyatakan sesuatu yang tidak lazim. Tetapi eksperimen psikologi sekarang menunjukkan bahwa orang dengan otak terbelah bisa memiliki persepsi dan pengalaman sadar yang tidak lazim, dan eksperimen tersebut menjelaskan banyak hal tentang kesadaran normal.

2.Ketakutan terkondisi (terbiasakan). Seekor tikus diletakkan di ruang tertutup dan secara berkala dihubungkan dengan kejutan listrik ringan melalui lanta. Tepat sebelum kejutan listrik terjadi, terdengar suatu bunyi nada. Setelah nada dan kejutan diberikan beberapa kali, bunyi nada saja akan menghasilkan reaksi yang menyatakan rasa takut, termasuk meringkuk dan defekasi. Hewan itu dikatakan mengalami suatu ketakutan terkondisi terhadap apa yang sebelumnya merupakan stimulus tak berbahaya (bunyi nada).
Banyak rasa takut yang dialami oleh manusia mungkin dipelajari dengan cara ini, terutama pada masa anak-anak dini. Bayangkan seorang anak kecil yang mengalami penyiksaan fisik atau emosional oleh kerabat tertentunya. Setelah sejumlah pengalaman menyakitkan, semata-mata mendengar suara kerabatnya itu dapat menimbulkan reaksi ketakutan pada anak. Ketakutan itu, yang dipelajari dengan sedikit pikiran atau kesadaran, sulit untuk dilawan dengan penenangan verbal (misalnya: “Tidak ada yang perlu ditakuti lagi sekarang”). Tetapi rasa takut dapat dikurangi dengan suatu bentuk terapi yang didasarkan pada prinsip pengkondisian (pembiasaan).

3.Amnesia masa anak-anak. Sebagian besar orang dewasa, bahkan yang telah lanjut usia, dapat mengingat peristiwa pada masa kecilnya, tetapi hanya sampai tingkat tertentu. Hampir tidak ada orang yang dapat mengingat peristiwa yang terjadi dalam 3 tahun pertama kehidupannya. Ambil contoh peristiwa penting seperti kelahiran adik. Jika kelahiran itu terjadi setelah anak berusia 3 tahun, ia mungkin memilikii suatu kenangan akan peristiwa tersebut. Jumlah yang dapat diingat semakin banyak lagi jika usia anak saat kelahiran itu lebih tua. Tetapi jika kelahiran adik terjadi sebelum usia 3 tahun, sebagian besar orang tidak dapat mengingat kejadian tentang peristiwa itu.
Fenomena ini, yang ditemukan oleh Sigmund Freud, dinamakan amnesia masa anak-anak (childhood amnesia). Hal ini sangat mengejutkan, karena tiga tahun pertama itu adalah tahun-tahun yang sangat kaya akan pengalaman. Sangat banyak hal baru yang tidak terjadi lagi: kita berkembang dari neonatus yang tidak berdaya menjadi bayi yang mulai merangkak dan berceloteh dan menjadi anak yang belajar berjalan dan bicara. Tetapi transisi yang luar biasa itu hanya meninggalkan sedikit jejak dalam kenangan kita.

4.Obesitas. Secara kasar diperkirakan 35 juta orang Amerika mengalami obesitas (kegemukan), yang secara teknik berarti mereka memiliki berat badan 30 persen atau lebih dari berat badan yang sesuai untuk struktur dan tinggi badannya. Obesitas menyebabkan meningkatnya insidensi diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Di ujung spektrum lainnya, sebagian individu (terutama wanita muda) menderita anoreksia nervosa, suatu gangguan di mana penderita membatasi makannya. Kadang-kadang sampai menimbulkan kelaparan bagi dirinya sendiri. Anoreksia dapat menyebabkan kematian.
Para ahli psikologi tertarik untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan orang makan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Salah satu faktor tampaknya adalah riwayat kelaparan. Jika tikus pertama kali tidak diberi makanan, kemudian dibiarkan makan sebanyak mungkin, mereka makan lebih banyak dibandingkan tikus lain yang tidak memiliki riwayat kelaparan. Pada kasus ini, kelaparan sebelumnya menyebabkan makan berlebih selanjutnya. Ini dapat menjelaskan mengapa banyak kasus anoreksia secara paradoksikal mencatat pesta makan juga: kelaparan yang diperlukan untuk tetap kurus akhirnya menyebabkan makan berlebihan.

5.Ekspresi agresi. Banyak orang sekarang percaya bahwa mereka dapat menurunkan perasaan agresif mereka dengan mengekspresikannya secara langsung atau seakan-akan dialami oleh orang lain. Untuk mempelajari ekspresi agresi yang seolah-olah dialami oleh orang lain, para peneliti mengamati anak-anak yang sedang menonton televisi. Di dalam suatu penelitian, salah satu kelompok anak menonton film kartun yang penuh kekerasan, sedangkan kelompok lain menonton film kartun yang tanpa kekerasan, dengan jumlah jam tayang yang sama. Anak yang menonton film kartun dengan kekerasan menjadi lebih agresif dalam interaksinya dengan teman sebayanya, sedangkan anak yang menonton film kartun tanpa kekerasan tidak menunjukkan perubahan agresi. Selain itu, efek kekerasan pada televisi tersebut dapat bertahan lama: semakin banyak tayangan kekerasan dalam televisi yang ditonton oleh anak usia 9 tahun, semakin besar kemungkinan dirinya menjadi agresif pada usia 19.
(Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi (jilid 1 edisi ke-11), terj. Widjaja Kusuma (Batam: Interaksara, tanpa tahun), hlm. 15-19)

Dari kelima contoh di atas, bisa ditangkap bahwa yang dipelajari oleh psikologi adalah perilaku manusia. Cakupan ini sangat luas. Atkinson dkk mengakui hal ini. Dalam diskusi kelas akhir-akhir ini, saya sering mendengar bahwa kini psikologi semakin bisa diterapkan di semua aspek. Ungkapan yang lain adalah, “Psikologi tidak boleh dianggap sebagai ilmu yang sempit, karena psikologi bisa masuk di mana saja.” Kurang lebih alasannya adalah: karena di mana pun manusia berperilaku. Untuk mempelajari perilaku tersebut, psikologi mempelajari pula ilmu fisiologi (terutama terlihat pada contoh 1).

Pertanyaan besar yang menjadi semangat dalam psikologi adalah: “Mengapa orang berperilaku demikian?” Bagi orang yang belajar psikologi saat ini, mereka sudah memiliki alat analisis, yaitu aliran-aliran/perspektif-perspektif dalam psikologi itu sendiri.

Any Rufaidah, Depok, 3 Oktober 2009



Psikologi


Saya sebut tulisan ini dan tulisan-tulisan berikutnya yang terkait psikologi sebagai tulisan seri psikologi. Tulisan ini sengaja saya buat untuk me-refresh pelajaran psikologi. Saya memulai dengan pengertian psikologi.Banyak orang yang menyebut psikologi sebagai ilmu jiwa. Pengertian ini muncul dari arti harfiah psikologi itu sendiri: psyche dan logos. Dalam bahasa Inggris, psyche berarti soul, mind, atau spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata itu dapat dicakup dalam satu kata: jiwa (Sarlito W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 4). Sedangkan pengertian logos kiranya sudah sangat dipahami. Dari arti harfiah tersebut psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa.


Di Indonesia, pengertian ini diperdebatkan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan. Pertama, karena persoalan semantik. Jiwa sulit dipisahkan dari kata-kata lain yang mirip, misalnya, nyawa, sukma, batin, dan roh. Akan ada perdebatan terus-menerus jika psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa. Kedua, karena persoalan scientific. Dalam kajian Sarlito W. Sarwono, sejak psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan, yang terpisah dari filsafat (sejak 1879), muncul kesulitan. Pasalnya, objek ilmu pengetahuan harus nyata. Sementara untuk membuktikan adanya jiwa sebagai sesuatu yang nyata adalah tidak mungkin. Tuntutan scientific membuat para sarjana psikologi mengartikan psikologi sebagai ilmu yang sama dengan karakterologi (ilmu tentang karakter) atau tipologi (ilmu tentang berbagai tipe atau jenis manusia berdasarkan karakternya) (Ibid., hlm. 5).

Pengertian lain mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan (ekspresi kejiwaan) yang tampak melalui raga atau badan. Masalah yang muncul dari definisi adalah: ekspresi yang ditampakkan seseorang tidak selalu menjadi representasi apa yang dirasakan. Dalam istilah sehari-hari kita mengenal tangis bahagia. Itulah contohnya. Artinya, menangis tidak selalu menunjukkan kesedihan. Namun, dalam kajian Sarlito, definisi di atas mendapat pembenaran: Toh kita bisa membedakan mana tangis bahagia, senyum malu, dan senyum ramah. Ekpresi-ekspresi itu akan dapat dipahami karena kita tidak melihat seseorang dari ekspresi yang tampak semata, melainkan dari seluruh tingkah laku seseorang. Berdasarkan argumentasi ini psikologi mendapat definisi yang baru: ilmu tentang tingkah laku (Ibid., hlm. 6-7).

Pengertian ini yang tampaknya dipegang oleh para sarjana dan akademisi psikologi saat ini. General Psychology menulis: More recently, most psychology textbooks have come full circle, and now psychology is most typically defined as the science of behavior and mental processes (Frederick L. Coolidge, Psychology: A Paradigmatic Approach, Second Edition, (Massachusetts: Pearson Custom Publishing, Tanpa Tahun), hlm. 1). Pengertian terakhir mencantumkan proses mental sebagai objek kajian psikologi. Artinya, psikologi juga mempelajari ilmu faal.

Any Rufaidah, Depok, 27 September 2009