5.14.2010

Pacha, Chalwanka, Inca



Perjalanan kecil dengan keperluan mengantar seorang kawan ke sebuah mall mengantarkan saya pada sesuatu yang mengagumkan, yang sama sekali baru, yang menyadarkan pada keindahan anugerah Tuhan yang disebarkan di muka bumi. Lelaki paruh baya dengan pakaian dan ikat kepala etnik sedang memainkan alat musik berbentuk angklung dengan ukuran kecil. Ia menebarkan nada-nada indah yang bukan hanya seperti menarik telinga saya untuk mendengar, tetapi juga semacam menghanyutkan hati saya di dalamnya. Nama lelaki itu adalah Pacha. Dari mini brosur yang diberi oleh panitia, ia berasal dari Peru, Amerika Selatan. Ia adalah pendiri grup musik etnik dari pegunungan Andes, Amerika Selatan, bernama Chalwanka. Dari mini brosur itu pula saya mendapat informasi nama Chalwanka diambil dari bahasa asli suku Inca (bahasa Quechua (baca: Kechua)) yang berarti “Ikan Batu” dan alat musik yang dimainkan Pacha pada pertunjukan malam itu adalah Zamponas (baca: Zamponyas) & Quenas (baca: Kenas). Pacha sudah bergaul dengan Zamponas dan Quenas selama 20 tahun dan telah performance di beberapa negara seperti Italia, Portugal, Spanyol, Brazil, Jepang, dan Indonesia saat ini.

Di sudut kiri lokasi pertunjukan, tiga perempuan cantik tampak sibuk melayani orang yang melihat-lihat album Chalwanka. Saya ingin memiliki satu album itu. Tetapi kemudian abai karena tampaknya banyak sekali pengeluaran di bulan ini. ‘Membeli lain kali via email seperti prosedur yang dijelaskan,’ kata dalam batin. Baiklah. Makan adalah langkah berikutnya. Ayam bakar dan teh manis hangat di lantai dua Margo City –terima kasih kepada sang kawan yang mentraktir. Tepat ketika hendak pulang, Pacha menyelesaikan pertunjukkan. Dari jauh ia tampak sedang membuka baju etniknya. Sudah saatnya ia melayani pengagum dadakan dan penonton. Begitu kuat hasrat untuk bersalaman atau foto dengannya. Sebagai orang Peru yang berbakat, yang berdedikasi tinggi pada apa yang dikagumi, yang telah menyusuri beberapa bagian dunia, yang menjadi salah satu bukti besar keagungan dan keindahan Tuhan, tangannya menjadi bernilai dan gambar dirinya menambah harga orang-orang yang berdiri di sampingnya. ‘Aku ingin berdiri di sampingnya’. Satu album, kemudian mendekat, meminta tanda tangan, berjabat tangan, dan meminta teman mengabadikan kami.

Raut muka Pacha dari dekat memang menyiratkan dedikasi, pribadi yang teguh. Pada gambar diri di brosur mini, ia menatap dengan demikian tajam. Tangannya setengah menggenggam. Anting di telinganya tak memudarkan siratan itu.

Selain Pacha dan musiknya, suku Inca adalah keindahan yang rasanya tak layak dilewatkan. Inilah suku Inca:

Budaya Suku Inca

Author: chalwanka _ 31 Januari, 2010

Budaya suku Inca kemungkinan berpadu dengan kebudayaan suku sebelumnya yang sudah sejak ribuan tahun lalu tinggal di Peru.

Kerajaan Inca adalah sebuah kerajaan kuno yang telah ada sejak ratusan tahun lalu dan musnah ketika bangsa Spanyol memasuki wilayah Amerika Selatan. Suku Inca dengan ibukota Cuzco atau Qosqo, sekarang Peru terletak di sisi paling selatan tepatnya di pegunungan Andes, berakhir pada 1533 masehi. Inca disebut sebagai peradaban “pra-Columbus, artinya sudah ada sejak sebelum kedatangan Christopher Columbus. Selama periode tersebut, Inca menguasai sebagian besar wilayah Amerika Selatan bagian barat.

Sejarahwan mencatat, Inca dengan raja terakhir Atahualpa disebutkan tewas karena terbunuh oleh tentara Spanyol bernama Francisco Pizarro. Karena sejak peperangan tersebut selama 400 tahun, Inca yang disebut juga kota benteng hilang dari peradaban sejarah. Hingga pada pertengahan 1911 banyak orang menganggap cerita yang turun-temurun ini hanyalah dongeng di kalangan suku Indian.

Penemuan suku Inca berhasil terungkap berkat ekspedisi yang dilakukan oleh Profesor Hiram Bingham dari Yale University. Dalam perjalanan penjelajahan yang berlangsung Juni 1911, Bingham diikuti staf dan asisten pembantunya, melakukan penelusuran ke jalur yang belum pernah dilewati, yakni lembah Urubamba yang terletak di wilayah selatan Peru. Penemuan bermula dari petunjuk seorang pemilik penginapan kecil yang menunjukkan sisa-sisa peninggalan suatu suku. Baru ketika dicari petunjuk lain dengan menyusuri wilayah gunung maka ditemukanlah kota hilang suku Inca yang berada di pegunungan Andes.

Perpaduan kebudayaan
Meski telah hampir 100 tahun penemuan peradaban Inca terkuak, hingga kini masih banyak misteri yang belum terungkap. Jumat (15/3) peneliti dari Peru kembali melaporkan ditemukannya puing-puing bekas jalan, candi kuno, dan sistem irigasi yang dibuat pada awal berdirinya kota kerajaan Inca, Cuzco. Candi yang baru ditemukan ini menurut peneliti merupakan kebudayaan yang ada sebelum suku Inca melekat di Peru. Di lokasi ini ditunjukkan adanya pelaksanaan ritual kepercayaan dan juga perlakuan militer.

Ahli arkeologi Inca, Oscar Rodriguez mengatakan ada 11 kamar yang di dalamnya tersimpan mumi dan patung. Bangunan ini sebagiannya adalah hasil renovasi bangunan lama yang disebut umurnya jauh lebih tua dari suku Inca sendiri. “Ini adalah perpaduan antara suku Inca dan kebudayaan suku sebelumnya. Ini adalah konsekuensi,” ujar Washington Camacho, direktur Sacsayhuaman Archaeological Park. Bangunan ini diubah dari arsitektur sebelumnya yang itu adalah lebih kuno dibanding Inca.

Kebudayaan yang kejam
Peneliti menduga, ada kesamaan antara suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut sama dengan kebudayaan Inca waktu berdiri. Suku ini kemungkinan menjadi penyembah matahari dan memiliki tradisi yang kejam. Setelah Inca muncul dan mengalahkan suku tersebut, maka warisan kebudayaan yang sama membuat Inca merenovasi dan membuat kepercayaan pada para dewa semakin kuat. Penemuan ini terungkap berdasarkan penemuan mumi anak-anak berusia 15 tahun yang diperuntukkan bagi sang dewa. Dari helai-helai rambut yang ada diketahui bahwa anak tersebut digemukkan sebelum dikorbankan.

“Kami mempelajari sejarah dari rambut anak ini untuk mengetahui cerita masa lalu,” ujar Andrew Wilson, seorang arkeolog di Universitas Bradford, Inggris dalam temuannya yang ditulis di Proceedings of the National Academy of Sciences, pada tahun lalu. Pengukuran radio isotop yang ada memperlihatkan, setahun sebelum anak tersebut dikorbankan, mereka diberi makanan mewah seperti daging dan jagung. Makanan ini adalah pengganti jenis makanan karbohidrat seperti kentang yang biasa dimakan oleh anak ini.

Tiga atau empat bulan sebelum dikorbankan, ritual anak ini lebih mengerikan. Tumbal yang sudah siap dibawa ke gunung dan pada periode itu diberi makan yang dicampur dengan racun. Bukti-bukti kematian mumi kecil yang dinamai Llullaillaco Boy ini sangatlah tragis. Selain racun juga ditemukan adanya indikasi kandungan obat halusinasi. Anak sebagai tumbal ini oleh peneliti diduga mati bukan karena racun melainkan karena suatu tragedi penyiksaan secara perlahan akibat halusinasi. Ini terbukti dari temuan pakaian yang melilit ketat dan tulang rusuk yang patah serta tulang panggul yang bergeser.

Sumber : http://www.chalwanka.com (dengan editing kecil pada tata bahasa)

Email chalwanka: chalwanka_pacha@yahoo.com
FB: wilmerleon500@yahoo.eschalwanka-teers

Any Rufaidah
Depok, 14 Mei 2010