5.04.2013

Modal dan Tantangan Politik Perempuan


 Any Rufaedah, Pengurus Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) PB PMII, Pegiat studi psikologi sosial, Penulis Buku "Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar"(2012).

Daftar Caleg Sementara (DCS) telah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 lalu. Dari wacana-wacana yang berkembang, ada indikasi bahwa partai-partai politik belum siap memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Meskipun para aktivis perempuan sudah mewacanakan adanya sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota 30%, pada kenyataannya parta-partai politik masih mengeluh, bahkan memohon agar tidak ada sanksi. Artinya, ada gerak yang tidak seimbang antara tuntutan pemenuhan kuota dengan kesiapan partai. Tuntunan akan kuota berjalan cepat sementara partai masih jalan di tempat.

Alasan yang paling sering dikemukakan oleh parpol adalah sulitnya mencari perempuan yang mau terjun ke dunia politik. Menurut mereka politik itu keras dan kotor. Meskipun ada banyak perempuan yang sebetulnya memiliki kemampuan di politik, tetapi mereka enggan karena alasan itu. Tersangkutnya politisi-politisi perempuan dalam kasus korupsi menambah keengganan perempuan untuk terjun di politik. Dalam hemat saya, fenomena ini menjadi kritik bagi wajah politik Indonesia saat ini. Bagaimana bisa politik yang dalam filsafatnya adalah cara untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, hari ini justru menakutkan. Mengutip Albert Camus, politik adalah ikhtiar bersama-bersama melawan yang bathil dan bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut (Takwin, 2011).

Ketakutan yang diakui perempuan sekaligus menjadi penanda bahwa politik Indonesia semakin jauh dari landasan hakikinya. Jika tetap pada landasan hakikinya, perempuan justru akan berbondong-bondong masuk politik. Sejarah telah banyak membuktikan bahwa perempuan menjadi aktor-aktor aktif dalam berbagai gerakan kemanusiaan. Sebut saja Anis Hidayah yang memotori perlindungan terhadap buruh migran dan Wardah Hafidz yang mendampingi kasus-kasus penggusuran pada masyarakat miskin kota. Keduanya telah meraih penghargaan internasional atas kegigihannya. Dalam politik pun, perempuan berperan aktif. Pada Februari 1998, dimana negara dalam keadaan Siaga Satu, para aktivis dan akademisi perempuan bergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP) untuk mendesak  pemulihan ekonomi, sosial, dan politik yang genting saat itu. Gadis Arivia sebagai penggerak, dengan jelas menyebut demonstrasi SIP di bundarah HI tahun ‘98 adalah gerakan politik. It is about politics, tulisnya.

Secara natural, perempuan adalah pihak yang dekat dengan kehidupan, sebab mereka dikaruniai fungsi reproduksi mulai dari hamil sampai menyusui. Karunia itu mengembangkan naluri menghidupi dan menolak perampasan hidup. Seorang ibu tahu bagaimana ekspresi lapar dan haus dari seorang anak. Sementara politik Indonesia saat ini cocok disebut politik rimba. Siapa kuat itulah yang menang. Perempuan yang terbiasa memberi air susu pada anak dan dididik dalam kultur yang mengharuskannya ramah, tentu tidak sepakat pada politik rimba. Bagi mereka lebih baik bekerja seadanya daripada berurusan dengan dunia yang bertolak belakang dengan nalurinya. Penolakan perempuan pada politik semestinya menjadi cambuk bagi parpol, bahwa perilaku para politisi yang didominasi laki-laki saat ini keras dan kotor. Yang berani mendekat hanyalah orang-orang yang keras dan kotor pula.

Mahalnya Harga Politik
Faktor yang juga menjadi alasan enggannya perempuan terjun ke politik adalah mahalnya biaya untuk nyaleg. Untuk menjadi caleg DPR RI dan DPRD Provinsi membutuhkan uang miliaran rupiah. Untuk tingkat DPRD Kabupaten/Kota membutuhkan ratusan juta rupiah. Kenyataan itu tentu saja membuat caleg berpikir ulang. Perilaku masyarakat yang pragmatis akibat pembiasaan money politic sangat mempengaruhi harga politik saat ini. Adanya ‘mafia-mafia’ caleg juga menambah biaya politik. ‘Mafia-mafia’ itu sengaja hanya mengambil uang caleg sementara kerjanya untuk membantu kampanye tidak seberapa. Jika caleg tidak pandai-pandai merekrut tim kampanye, mereka bisa tercebur dalam permainan ‘mafia-mafia’ itu.

Pencalegan memang membutuhkan biaya, tetapi sebatas untuk biaya cetak alat kampanye, biaya transportasi, dan konsumsi ringan saat pertemuan dengan calon pemilih. Tidak ada dana berlebihan jika yang dikeluarkan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Yang membuat dana bengkak adalah cash money yang dibagi-bagikan kepada calon pemilih. Fenomena itu biasa disebut serangan fajar. Masyarakat yang berpendidikan rendah banyak yang menerimanya. Saya pernah membuktikannya sendiri di suatu daerah. Masyarakat yang lulusan SMP banyak yang menerima uang suap dari tim sukses caleg. Semuanya mereka terima. Yang dipilih adalah caleg yang memberi uang paling banyak.

Praktik itu telah menularkan virus yang sangat merusak politik pada masa-masa berikutnya. Partai politik punya tanggung jawab besar dalam upaya menyudahi money politic. Banyak cara yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah memberi sanksi kepada caleg yang terbukti memberi uang kepada calon pemilih. Meskipun ada pengawas pemilu, pada kenyataannya penindakan hukum tidak berjalan karena terkendala alat bukti dan ketakutan masyarakat untuk menjadi saksi. Partai politik lah yang mampu mengambil peran. Jika money politic berhasil dihentikan, harga politik tentu saja tidak akan mahal. Dengan demikian perempuan tidak perlu takut karena biaya nyaleg yang mahal.

Modal dan Tantangan Politik Perempuan
Sebenarnya perempuan adalah kelompok yang dapat memperbaiki wajah politik Indonesia. Naluri menghidupi, sikap dan perilaku yang ramah adalah modal yang sangat berarti. Selama ini politisi perempuan yang ada di parlemen memang belum mampu menjadi warna baru dalam politik. Mereka masih sebatas ngikut arus yang selama ini diciptakan mayoritas politisi laki-laki. Akibatnya, politisi perempuan seolah hanya jadi pelengkap. Yang lebih parah lagi, mereka terseret dalam kasus-kasus korupsi yang didalangi politisi laki-laki. Semestinya perempuan menggunakan naluri-naluri menghidupinya dalam berpolitik, tidak justru terjebak pada politik keras dan kotor.

Kedua, perempuan memiliki kesolidan yang tinggi. Kita bisa lihat buktinya dalam kehidupan sehari-hari. Jika diajak melakukan aktivitas, ibu-ibu lebih kompak dibandingkan bapak-bapak. Karakter itu terbangun dari kultur yang mendidik perempuan agar lebih berkomunitas. Perempuan Indonesia biasa melakukan berbagai aktivitas secara berkelompok. Dalam tradisi buwuh (membantu orang hajatan) misalnya, perempuan mengerjakan keperluan-keperluan hajatan dengan beramai-ramai. Waktu yang mereka habiskan pun lama. Di situlah terjadi interaksi yang mendalam di antara ibu-ibu. Berbeda dengan laki-laki yang ditekankan untuk mandiri. Laki-laki diberi tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Itu sebabnya laki-laki lebih sibuk dengan urusan kemandiriannya. Mereka bertindak lebih cepat dan hanya sesuai kebutuhannya, sementara perempuan punya ruang yang lebih banyak untuk interaksi dengan sesama.  

Soliditas yang kuat ini menjadi modal yang sangat penting dalam politik. Dengan soliditas kuat, perempuan bisa menggalang kekuatan sesama politisi perempuan. Kekuatan itu secara bersama-sama kemudian digunakan untuk mempengaruhi sistem dan perilaku politik. Tidak mudah memang, tetapi jika dimulai dan disuarakan terus-menerus maka perubahan wajah politik akan terjadi. Bukankah berani memulai dan konsistensi adalah syarat untuk sebuah perubahan? Selamat berjuang, politisi perempuan.