Any Rufaedah
Menyusul banyaknya kasus
kekerasan di Indonesia, banyak orang bertanya mengenai sumber kekerasan dan
bagaimana mengatasinya. Berbagai jawaban pun muncul. Ada yang menjawab
penyerangan dilakukan karena kepentingan politik, ada yang menjawab karena
kekecewaan masyarakat atas ketidakadilan sosial (misalnya kemiskinan), karena
penafsiran agama yang terlalu kaku, dan sebagainya.
Psikologi adalah ilmu yang
banyak mendapat bagian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Para pakar
psikologi diundang dalam seminar-seminar untuk keperluan tersebut. Psikologi
memang memberi banyak perhatian pada kasus-kasus kekerasan. Banyak pakar telah
mengeluarkan teori-teori untuk menjawab masalah tersebut. Sebut saja Gustave Le
Bon, Daniel J. Christie, dan tokoh-tokoh psikologi klasik Konrad Lorenz dan
Sigmund Freud.
Secara garis besar, dalam psikologi terdapat tiga paradigma besar mengenai kekerasan. Pertama, paradigma biologis. Dalam paradigma ini, kekerasan dilihat sebagai insting bawaan. Salah satu tokoh yang meyakini pendapat ini adalah Konrad Lorenz, ilmuwan peraih Nobel Tahun 1973 di bidang fisiologi dan kedokteran. Ia mengatakan setiap orang dan spesies lainnya membawa insting berkelahi (fighting instinc). Setiap spesies memahami isyarat stimulus-stimulus yang ada dan mampu meresponnya secara otomatis. Seorang anak kecil yang menyerang saudaranya karena mainannya diambil adalah respon yang bersifat naluriah. Namun tujuan melakukan perkelahian menurut Lorenz (1966) adalah untuk mempertahankan diri (survive). Kedua, paradigma frustrasi-agresi (dikembangkan oleh John Dollard dkk sejak 1939). Paradigma ini mengatakan bahwa kekerasan/penyerangan disebabkan oleh rasa frustrasi, yaitu gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Dollard dkk, 1939, dalam Wrightsman, 1977). Ketiga, paradigma Model Umum Agresi (General Aggression Model/GAM), dipelopori oleh Craig A. Anderson dkk sejak tahun 1996. Menurut paradigma ini, perilaku menyerang disebabkan oleh berbagai macam variabel, baik yang berasal dari pelakunya, misalnya suasana hati, pikiran, karakter mudah marah, atau dari stimulus eksternal. Paradigma GAM tidak bisa disebut behaviorisme, biologis, atau kognitif saja, karena ia mengakui faktor internal dan eksternal dapat memicu perilaku kekerasan.
Secara garis besar, dalam psikologi terdapat tiga paradigma besar mengenai kekerasan. Pertama, paradigma biologis. Dalam paradigma ini, kekerasan dilihat sebagai insting bawaan. Salah satu tokoh yang meyakini pendapat ini adalah Konrad Lorenz, ilmuwan peraih Nobel Tahun 1973 di bidang fisiologi dan kedokteran. Ia mengatakan setiap orang dan spesies lainnya membawa insting berkelahi (fighting instinc). Setiap spesies memahami isyarat stimulus-stimulus yang ada dan mampu meresponnya secara otomatis. Seorang anak kecil yang menyerang saudaranya karena mainannya diambil adalah respon yang bersifat naluriah. Namun tujuan melakukan perkelahian menurut Lorenz (1966) adalah untuk mempertahankan diri (survive). Kedua, paradigma frustrasi-agresi (dikembangkan oleh John Dollard dkk sejak 1939). Paradigma ini mengatakan bahwa kekerasan/penyerangan disebabkan oleh rasa frustrasi, yaitu gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Dollard dkk, 1939, dalam Wrightsman, 1977). Ketiga, paradigma Model Umum Agresi (General Aggression Model/GAM), dipelopori oleh Craig A. Anderson dkk sejak tahun 1996. Menurut paradigma ini, perilaku menyerang disebabkan oleh berbagai macam variabel, baik yang berasal dari pelakunya, misalnya suasana hati, pikiran, karakter mudah marah, atau dari stimulus eksternal. Paradigma GAM tidak bisa disebut behaviorisme, biologis, atau kognitif saja, karena ia mengakui faktor internal dan eksternal dapat memicu perilaku kekerasan.
Itulah ulasan singkat
mengenai teori-teori kekerasan dalam psikologi. Namun, dalam tulisan ini,
penulis tidak hendak mengulas lebih dalam teori-teori tersebut (termasuk
kritik-kritiknya), melainkan sedikit teori seorang profesor sosiologi dan studi
konflik, John Paul Lederach. Lederach dalam salah satu bukunya, Preparing
for Peace (1996), menyampaikan sebuah framework yang layaknya
digunakan oleh aktor-aktor yang berkecimpung dalam pembangunan perdamaian.
Framework itulah yang akan penulis sampaikan dalam tulisan ini. Secara
spesifik, uraian ini adalah jawaban singkat terhadap pertanyaan “Bagaimana
mengatasi konflik (yang sering berujung pada kekerasan)?”
Lederach menyebut konsepnya
tersebut dengan “An Intergrated Framework for Training”. Ia terdiri dari popular
education, appropriate technology, dan ethnography. Popular education
adalah konsep yang diusung oleh Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan yang
namanya sudah tak asing di Indonesia –sekadar untuk mereview, popular education
menjelaskan macam-macam kesadaran, yakni kesadaran tertutup, kesadaran naif,
kesadaran terbuka, dan kesadaran kritis. Secara singkat, popular education
mengatakan syarat utama untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik
adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis sendiri dicapai hanya dengan melalui
pengetahuan. Individu yang masih memiliki kesadaran tertutup tidak mungkin bisa
begitu saja menyadari adanya masalah jika tidak diberi/mendapat pengetahuan.
Oleh karena itu, menurut Lederach, popular education harus menjadi framework
bagi para aktor yang ingin mencegah terjadinya kekerasan/penyerangan.
Komponen kedua adalah appropriate
technology (teknologi tepat guna). Konsep ini dimunculkan di tengah
kritik terhadap model pengembangan masyarakat yang berbasis transfer (yang
dinilai problematik). Menurut Lederach, pendekatan yang tepat untuk membangun
perdamaian (di dalamnya menyangkut membangun cara berpikir toleran/damai)
adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi di sini berarti menggunakan
pengetahuan lokal dan menghadapkan individu/masyarakat pada konteks masalah
yang sebenarnya. Dalam hemat Lederach, fasilitator pembangunan perdamaian
selayaknya mengajak individu/masyarakat untuk menggali nilai-nilai perdamaian
dengan cara yang tersedia dalam kultur mereka sendiri (indigenous knowledge).
Kedua, dalam proses pembangunan perdamaian, fasilitator selayaknya mengajak
individu/masyarakat agar bersedia berbagi pengetahuan satu sama lain dengan
fokus pada realitas dan masalah yang mereka hadapi.
Komponen ketiga adalah
etnografi. Sebagaimana dikenal dalam antropologi atau sosiologi, etnografi
adalah metode penelitian yang menekankan pada kedalaman. Lederach mengajukan
metode ini dalam upaya pembangunan perdamaian. Secara singkat, Lederach
mengatakan bahwa fasilitator pembangunan perdamaian layaknya menggunakan metode
etnografi agar pemetaannya terhadap sumber konflik mendalam. Dengan demikian,
cara yang tepat untuk mencegah dan mengatasi konflik tidak salah sasaran.
Framework Lederach hanya
salah satu dari sekian banyak yang ada. Tidak ada yang tahu secara pasti model mana
yang paling efektif. Namun apa pun pendekatannya, dalam hemat penulis semuanya
layak digunakan, mengingat masalah kekerasan, penyerangan, konflik, intoleransi
semakin lama semakin kompleks, bahkan terkadang tidak dapat diselesaikan.
Bahan Bacaan:
Lederach, J.P. 1996. Preparing for Peace. Syracuse
University Press: New York.
Lorenz, K. (1966). On aggression. New York: Harcourt,
Brace & World.
Wrightsman, L. S. ( 1977). Social psychology (2nd Ed.).
California: Brooks/Cole Publising Company.
Sekitar 2011 - 2012