3.09.2010

Hegel: Dialektika


Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart pada 1770. Pada usia 18 tahun ia belajar teologi di Tubingen. Pada 1818 menjadi profesor di Berlin setelah sebelumnya menjadi asisten profesor di Jena dan profesor di Heidelberg. Hegel meninggal karena kolera pada 1831 setelah berhasil mendapat pengikut yang sangat besar di hampir seluruh universitas di Jerman.

Hegel hidup pada masa Immanuel Kant, pemikir yang ingin keluar dari skeptisisme David Hume. Revolusi Prancis adalah bagian lain dari konteks kehidupan Hegel. Ia berusia 19 tahun saat Revolusi Prancis berjalan. Buku pertamanya (1807), The Phenomenology of Spirit, selesai saat Napoleon berada di puncak kekuasaan. Meski mendapat pendidikan di seminari, Hegel tak menonjolkan jiwa religiusnya. Esai-esai awalnya justru bersifat menghujat agama Kristen. Yang lebih menonjol dari Hegel adalah jiwa filsuf.

Hegel adalah pemikir yang gerah atas perdebatan soal rasio dan pengalaman. Ia seolah ingin mengatakan bahwa perdebatan yang berlangsung sejak Descartes hingga Kant itu sudah harus dicukupkan. Ia mengatakan pengetahuan terus berkembang melalui konfrontasi dan konflik. Ini adalah prinsip dialektika, konsep Hegel yang paling dikenal. Konsekuensinya, kebenaran tidak ada yang abadi. Mendukung perbudakan adalah sikap yang wajar pada 2500 tahun lalu. Namun sikap tersebut akan dihujat pada masa sekarang.

Dalam konteks mana pun, dialektika selalu terjadi. Sebuah pemikiran selalu menghadapi pemikiran yang berseberangan. Di antara keduanya kemudian muncul pemikiran yang mendamaikan. Konsep-konsep tersebut dikenal sebagai tesis – antitesis – sintesis. Misalnya, rasionalisme Descartes adalah sebuah tesis, empirisme Hume adalah antithesis, dan pandangan Kant adalah sintesis. Pemikiran baru biasanya dilandasi oleh pemikiran yang telah diajukan sebelumnya. Dalam kajian filsafat ilmu dikenal istilah-istilah grand theory dan proposisi. Grand theory menjadi dasar untuk menjelaskan fenomena baru yang lebih spesifik. Temuan baru yang muncul dari penyelidikan fenomena menghasilkan proposisi, dan begitu seterusnya.

Setiap sejarah, bagi Hegel, memiliki standar kebenaran sendiri. Seperti contoh yang telah disebutkan di atas, pada konteks jaman 2500 tahun lalu berbeda standar nilai kebenarannya dengan konteks saat ini. Contoh lain yang mungkin lebih dekat dengan generasi saat ini adalah patriarkhi dan kesetaraan gender. Seratus tahun lalu, perempuan bekerja adalah pemandangan yang luar biasa. Namun saat ini sudah hampir menjadi keharusan. Dialektika patriarkhi dan feminisme telah menghasilkan standar kebenaran baru.

Dialektika sangat berlaku dalam ilmu pengetahuan. Sebuah teori bisa dibantah dengan bukti empiris baru. Misalnya, sebuah teori mengatakan penyebab agresivitas anak-anak adalah pola asuh orangtua yang keras. Teori tersebut bisa terbantahkan jika ada penelitian yang menemukan jawaban lain, misalnya frekuensi bermain game peperangan. Dengan demikian, standar kebenaran tentang penyebab agresivitas mengalami pergeseran atau pertambahan variabel. Yang paling benar menurut Hegel adalah yang paling masuk akal. Dan yang menentukan kemasukakalan kebenaran adalah sejarah sendiri.

Sejarah dalam perumpaan sastra filosofis Gaarder ibarat sungai yang mengalir. Setiap gerakan dalam air ditentukan oleh jatuh dan berpusarnya air di hulu. Namun gerakan itu pun ditentukan oleh bebatuan dan liku-liku sungai. Sungai dalam pengertian ini jika dipahami terpisah dari air maka akan sulit dimengerti. Begitu pula dengan sejarah jika dipahami terpisah dari individu-individu di dalamnya. Sejarah dan individu merupakan satu kesatuan, seperti sungai yang satu kesatuan dengan air. Sejarah ditentukan oleh akal/pemikiran individu-individu. Namun akal/pemikiran dipengaruhi oleh berbagai macam hal, misalnya teknologi, fenomena alam, dan sebagainya. Apa yang mempengaruhi tersebut seperti halnya bebatuan, relief tanah, hujan, dan lain-lain, yang mempengaruhi gerak dalam air.

Seperti halnya sungai, sejarah memiliki muara tujuan. Hegel optimis mengatakan sejarah akan menuju pada rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Manusia terus melangkah menuju perkembangan diri yang semakin meningkat. Pernyataan tersebut menyiratkan makna bahwa dialektika bercita-cita meraih kebebasan. Tentu tak ada yang tahu kebenaran optimisme Hegel, tetapi perjalanan sejarah mungkin saja sudah menyiratkan hal itu. Orang bisa merasakan perlindungan hak asasi manusia (perempuan, anak, buruh, dan sebagainya) atau demokrasi mencapai kemajuan dalam perkembangan sejarah.

Dialektika Hegel menyentuh pula topik tentang Diri. Bila digolongkan dalam paradigma tertentu, Hegel adalah seorang konstruktivisme. Ia mengatakan Diri adalah konstruksi sosial. Diri diciptakan oleh masyarakat melalui interaksi antarpribadi. Argumen ini dikembangkan atas dasar kebutuhan individu. Bagi Hegel, setiap individu membutuhkan pengakuan, tidak hanya keamanan dan kesenangan material. Dan pengakuan diperoleh hanya melalui interaksi antarpribadi.

Any Rufaidah
Depok, 7 Maret 2010

Bahan Bacaan:
Gaarder, J. 2006. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.

Solomon, R. C. & Higgins, K. M. 2003. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang Budaya.