6.23.2013

Posstrukturalisme

Any Rufaedah

Keinginan menulis topik ini muncul dari sebuah buku berjudul “Posstrukturalisme & Posmodernisme: Sebuah pengantar kritis” karya Madan Sarup. Buku yang saya miliki adalah cetakan ke III tahun 2007. Di kalangan anak muda semasa kuliah S1 dulu, buku-buku seperti itu sangat populer. Sayangnya, terkadang kita selesai di diskusi, tidak sampai pada tulisan serius. Tapi itu juga sangat membantu, terutama untuk membuka pikiran. Saya ingat ada teman-teman yang sangat gandrung pada wacana-wacana kiri semacam itu yang kemudian membentuk “Liyan Community”. Saya tidak terlibat dalam lingkaran inti, hanya sangat sering bersama mereka. Kini orang-orangnya sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak lagi tinggal di satu kota. Tidak tahu pasti apakah mereka masih berminat pada wacana-wacana yang sama atau sudah beralih pada “dunia” lain. Saya sendiri, mungkin karena dulu belajarnya sepotong-sepotong saja, sering muncul keinginan untuk menuntaskan pembacaan. Pengaruh “Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar” yang saya tulis dalam iklim masih gandrung-gandrungnya pada wacana kiri, tentu ikut mempengaruhi keinginan saya untuk membaca jenis buku serupa. Lebih-lebih, buku-buku yang mendominasi koleksi saya adalah buku-buku kiri. Entahlah. Yang jelas, dengan membaca buku-buku seperti itu, terutama filsafat dan cultural studies, saya seolah hidup, bahagia, dan setelahnya merasa terarah. Bisa membuat penghubung untuk menjelaskan teori dan fenomena sosial. Baiklah, saya kembali pada topik.

Sarup membahas posstrukturalisme dalam sebuah bab berjudul “Beberapa Aliran Posstrukturalisme”. Ia memulai dengan Nietzsche. Nietzsche dikategorikan sebagai pemikir posstrukturalisme karena penolakannya pada sistem. Bagi Nietzsche, keinginan pada sistem merepresentasikan kurangnya integritas. Dengan kata lain, jika kita menginginkan adanya sistem, integritas kita berarti masih kurang sehingga masih membutuhkan keteraturan, kontrol yang ketat, dan mereduksi kebebasan. Kedua, sistem tidak dapat mengungkapkan semua seluruh kebenaran. Paling-paling sistem hanya menggunakan satu sudut pandang. Padahal manusia seharusnya melihat berbagai sudut pandang dan tidak membatasi pikiran ke dalam satu saja. Pada poin ini saya ingin menyampaikan analogi. Ibaratnya begini: dalam sebuah kantor ada satu sistem yang mengatur. Misalnya: setiap karyawan harus masuk pukul 8 dan pulang pukul 4 sore setiap hari. Bagi yang tidak mengikuti aturan itu akan menerima sanksi. Lalu ada seorang karyawan yang lebih nyaman begadang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dan akhirnya tidak bisa bangun pagi untuk ke kantor. Bagi sistem yang berlaku itu, tentu saja ia dianggap pemalas, tidak taat aturan, tidak taat pimpinan, dan sebagainya. Padahal, ia sebagai individu memiliki kenyamanan sendiri. Dan itu yang menurutnya benar. Namun bagi sistem yang berlaku, ia tidak bisa dianggap benar. Ada dua sudut pandang berbeda, dan sistem tidak bisa mencakup kedua-duanya sebagai yang sama-sama benar. Nietzsche menolak konformitas (kepatuhan) individu. Oleh karena itu ia tidak setuju pada konsep negara dan juga membenci keanggotaan partai. Baginya pelembagaan itu adalah kekuatan yang mengintimidasi orang dalam konformitas. Kebebasan individual atau aktualisasi diri untuk mencapai kesempurnaan diri justru akan tereduksi secara besar-besaran.

Kedua adalah Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Kita bisa mengenali sebagian pemikirannya dari buku “What is philosophy?: Reinterpretasi atas filsafat, sains, dan seni”. Deleuze dan Guattari secara spesifik mengkritisi pemikiran Marx dan Freud. Poin kritik mereka adalah generalisasi. Pada Marx, masyarakat dikategorikan pada kelas-kelas. Padahal ada organisasi kelompok-kelompok kecil yang lebih longgar sistemnya. Misalnya masyarakat nomaden. Mereka tidak memiliki batas wilayah atau sistem hierarkhis. Namun kepada mereka kesadaran-kesadaran revolusioner bisa merasuk dan menciptakan gerakan kolektif. Dengan kata lain, Marx keliru tidak mempertimbangkan kelompok-kelompok non struktural sebagai penggerak revolusi. Bagi Deleuze dan Guattari, tidak cukup melawan ketimpangan dengan turun ke jalanan saja, tetapi harus merasuki kesadaran-kesadaran setiap orang dan kelompok-kelompok kecil non struktural.

Kita bisa mempertimbangkan kebenaran kritik Deleuze dan Guattari. Dengan hanya mengandalkan kelompok-kelompok besar yang merepresentasikan kelas, yakni buruh, gerakan revolusioner justru mudah dipatahkan. Kelompok yang terorganisir rapi cenderung menggantungkan gerakan pada pemimpin. Ketika pemimpin bisa diajak berkompromi, anggota-anggotanya tidak bisa bergerak. Berbeda dengan gerakan kesadaran kepada individu-individu atau kelompok-kelompok kecil bawah tanah. Gerakan mereka bisa lebih solid. Yang menyatukan adalah kesadaran, bukan ikatan struktural. Kita bisa mengambil contoh gerakan Che Guevara. Mereka adalah kelompok kecil. Che sendiri berlatar belakang dokter dan sakit-sakitan. Kelompok Che tidak merepresentasikan kelas apa pun selain disebut kelompok pemberontak. Tetapi mereka mampu membuat gerakan revolusioner yang begitu berbahaya dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihatnya pada GAM di Aceh.

Deleuze dan Guattari juga mengkritik generalisasi Freud. Kalau kita membaca kembali pemikiran Freud, kita memang akan menemukan penyempitan di mana-mana. Mulai pembagian struktur psikis manusia menjadi id, ego, dan superego sampai pengalaman oedipus complex yang dianggap universal. Pada masa awal pencariannya tentang manusia, Freud memang menemukan banyak variasi temuan, tetapi kemudian menyimpulkannya ke dalam kotak sempit ketidaksadaran. Setiap penjelasan pasien ditafsirkan sebagai manifestasi ketidaksadaran. Kita bisa menemukannya dalam “Psychopathology of everyday life,” misalnya, dimana Freud menafsirkan keterangan-keterangan pasien sebagai wujud ketidaksadaran yang terpendam dalam dunia id. Geleuze dan Guattari menyebut Freud seperti ahli nujum yang bisa memprediksi gejala-gejala pasien selalu disebabkan oleh dorongan ketidaksadaran. Deleuze dan Guattari menolak generalisasi oedipus complex. Pertama, oedipus complex diandaikan universal. Kedua, kekayaan informasi dari pasien direduksi menjadi penjelasan-penjelasan yang telah jadi. Ketiga, terdapat bias patriarkhal dalam konsep oedipus complex dimana hasrat direduksi menjadi organ seksual laki-laki).

(Bersambung)
Jakarta, 23 Juni 2013






6.18.2013

Framework Pendidikan Perdamaian Lederach

Any Rufaedah 

Menyusul banyaknya kasus kekerasan di Indonesia, banyak orang bertanya mengenai sumber kekerasan dan bagaimana mengatasinya. Berbagai jawaban pun muncul. Ada yang menjawab penyerangan dilakukan karena kepentingan politik, ada yang menjawab karena kekecewaan masyarakat atas ketidakadilan sosial (misalnya kemiskinan), karena penafsiran agama yang terlalu kaku, dan sebagainya.

Psikologi adalah ilmu yang banyak mendapat bagian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Para pakar psikologi diundang dalam seminar-seminar untuk keperluan tersebut. Psikologi memang memberi banyak perhatian pada kasus-kasus kekerasan. Banyak pakar telah mengeluarkan teori-teori untuk menjawab masalah tersebut. Sebut saja Gustave Le Bon, Daniel J. Christie, dan tokoh-tokoh psikologi klasik Konrad Lorenz dan Sigmund Freud.
Secara garis besar, dalam psikologi terdapat tiga paradigma besar mengenai kekerasan. Pertama, paradigma biologis. Dalam paradigma ini, kekerasan dilihat sebagai insting bawaan. Salah satu tokoh yang meyakini pendapat ini adalah Konrad Lorenz, ilmuwan peraih Nobel Tahun 1973 di bidang fisiologi dan kedokteran. Ia mengatakan setiap orang dan spesies lainnya membawa insting berkelahi (fighting instinc). Setiap spesies memahami isyarat stimulus-stimulus yang ada dan mampu meresponnya secara otomatis. Seorang anak kecil yang menyerang saudaranya karena mainannya diambil adalah respon yang bersifat naluriah. Namun tujuan melakukan perkelahian menurut Lorenz (1966) adalah untuk mempertahankan diri (survive). Kedua, paradigma frustrasi-agresi (dikembangkan oleh John Dollard dkk sejak 1939). Paradigma ini mengatakan bahwa kekerasan/penyerangan disebabkan oleh rasa frustrasi, yaitu gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan (Dollard dkk, 1939, dalam Wrightsman, 1977). Ketiga, paradigma Model Umum Agresi (General Aggression Model/GAM), dipelopori oleh Craig A. Anderson dkk sejak tahun 1996. Menurut paradigma ini, perilaku menyerang disebabkan oleh berbagai macam variabel, baik yang berasal dari pelakunya, misalnya suasana hati, pikiran, karakter mudah marah, atau dari stimulus eksternal. Paradigma GAM tidak bisa disebut behaviorisme, biologis, atau kognitif saja, karena ia mengakui faktor internal dan eksternal dapat memicu perilaku kekerasan.
Itulah ulasan singkat mengenai teori-teori kekerasan dalam psikologi. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak hendak mengulas lebih dalam teori-teori tersebut (termasuk kritik-kritiknya), melainkan sedikit teori seorang profesor sosiologi dan studi konflik, John Paul Lederach. Lederach dalam salah satu bukunya, Preparing for Peace (1996), menyampaikan sebuah framework yang layaknya digunakan oleh aktor-aktor yang berkecimpung dalam pembangunan perdamaian. Framework itulah yang akan penulis sampaikan dalam tulisan ini. Secara spesifik, uraian ini adalah jawaban singkat terhadap pertanyaan “Bagaimana mengatasi konflik (yang sering berujung pada kekerasan)?”
Lederach menyebut konsepnya tersebut dengan “An Intergrated Framework for Training”. Ia terdiri dari popular education, appropriate technology, dan ethnography. Popular education adalah konsep yang diusung oleh Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan yang namanya sudah tak asing di Indonesia –sekadar untuk mereview, popular education menjelaskan macam-macam kesadaran, yakni kesadaran tertutup, kesadaran naif, kesadaran terbuka, dan kesadaran kritis. Secara singkat, popular education mengatakan syarat utama untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis sendiri dicapai hanya dengan melalui pengetahuan. Individu yang masih memiliki kesadaran tertutup tidak mungkin bisa begitu saja menyadari adanya masalah jika tidak diberi/mendapat pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Lederach, popular education harus menjadi framework bagi para aktor yang ingin mencegah terjadinya kekerasan/penyerangan.
Komponen kedua adalah appropriate technology (teknologi tepat guna). Konsep ini dimunculkan di tengah kritik terhadap model pengembangan masyarakat yang berbasis transfer (yang dinilai problematik). Menurut Lederach, pendekatan yang tepat untuk membangun perdamaian (di dalamnya menyangkut membangun cara berpikir toleran/damai) adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi di sini berarti  menggunakan pengetahuan lokal dan menghadapkan individu/masyarakat pada konteks masalah yang sebenarnya. Dalam hemat Lederach, fasilitator pembangunan perdamaian selayaknya mengajak individu/masyarakat untuk menggali nilai-nilai perdamaian dengan cara yang tersedia dalam kultur mereka sendiri (indigenous knowledge). Kedua, dalam proses pembangunan perdamaian, fasilitator selayaknya mengajak individu/masyarakat agar bersedia berbagi pengetahuan satu sama lain dengan fokus pada realitas dan masalah yang mereka hadapi.
Komponen ketiga adalah etnografi. Sebagaimana dikenal dalam antropologi atau sosiologi, etnografi adalah metode penelitian yang menekankan pada kedalaman. Lederach mengajukan metode ini dalam upaya pembangunan perdamaian. Secara singkat, Lederach mengatakan bahwa fasilitator pembangunan perdamaian layaknya menggunakan metode etnografi agar pemetaannya terhadap sumber konflik mendalam. Dengan demikian, cara yang tepat untuk mencegah dan mengatasi konflik tidak salah sasaran.
Framework Lederach hanya salah satu dari sekian banyak yang ada. Tidak ada yang tahu secara pasti model mana yang paling efektif. Namun apa pun pendekatannya, dalam hemat penulis semuanya layak digunakan, mengingat masalah kekerasan, penyerangan, konflik, intoleransi semakin lama semakin kompleks, bahkan terkadang tidak dapat diselesaikan.

Bahan Bacaan:
Lederach, J.P. 1996. Preparing for Peace. Syracuse University Press: New York.
Lorenz, K. (1966). On aggression. New York: Harcourt, Brace & World.
Wrightsman, L. S. ( 1977). Social psychology (2nd Ed.). California: Brooks/Cole Publising Company.

Sekitar 2011 - 2012