Any Rufaedah
Keinginan menulis topik ini
muncul dari sebuah buku berjudul “Posstrukturalisme & Posmodernisme: Sebuah
pengantar kritis” karya Madan Sarup. Buku yang saya miliki adalah cetakan ke
III tahun 2007. Di kalangan anak muda semasa kuliah S1 dulu, buku-buku seperti
itu sangat populer. Sayangnya, terkadang kita selesai di diskusi, tidak sampai
pada tulisan serius. Tapi itu juga sangat membantu, terutama untuk membuka
pikiran. Saya ingat ada teman-teman yang sangat gandrung pada wacana-wacana
kiri semacam itu yang kemudian membentuk “Liyan Community”. Saya tidak terlibat
dalam lingkaran inti, hanya sangat sering bersama mereka. Kini orang-orangnya
sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak lagi tinggal di satu kota.
Tidak tahu pasti apakah mereka masih berminat pada wacana-wacana yang sama atau
sudah beralih pada “dunia” lain. Saya sendiri, mungkin karena dulu belajarnya
sepotong-sepotong saja, sering muncul keinginan untuk menuntaskan pembacaan.
Pengaruh “Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar” yang saya tulis dalam iklim
masih gandrung-gandrungnya pada wacana kiri, tentu ikut mempengaruhi keinginan
saya untuk membaca jenis buku serupa. Lebih-lebih, buku-buku yang mendominasi
koleksi saya adalah buku-buku kiri. Entahlah. Yang jelas, dengan membaca
buku-buku seperti itu, terutama filsafat dan cultural studies, saya seolah hidup, bahagia, dan setelahnya merasa
terarah. Bisa membuat penghubung untuk menjelaskan teori dan fenomena sosial. Baiklah,
saya kembali pada topik.
Sarup membahas posstrukturalisme
dalam sebuah bab berjudul “Beberapa Aliran Posstrukturalisme”. Ia memulai
dengan Nietzsche. Nietzsche dikategorikan sebagai pemikir posstrukturalisme
karena penolakannya pada sistem. Bagi Nietzsche, keinginan pada sistem
merepresentasikan kurangnya integritas. Dengan kata lain, jika kita
menginginkan adanya sistem, integritas kita berarti masih kurang sehingga masih
membutuhkan keteraturan, kontrol yang ketat, dan mereduksi kebebasan. Kedua,
sistem tidak dapat mengungkapkan semua seluruh kebenaran. Paling-paling sistem
hanya menggunakan satu sudut pandang. Padahal manusia seharusnya melihat
berbagai sudut pandang dan tidak membatasi pikiran ke dalam satu saja. Pada
poin ini saya ingin menyampaikan analogi. Ibaratnya begini: dalam sebuah kantor
ada satu sistem yang mengatur. Misalnya: setiap karyawan harus masuk pukul 8
dan pulang pukul 4 sore setiap hari. Bagi yang tidak mengikuti aturan itu akan
menerima sanksi. Lalu ada seorang karyawan yang lebih nyaman begadang untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya dan akhirnya tidak bisa bangun pagi untuk ke
kantor. Bagi sistem yang berlaku itu, tentu saja ia dianggap pemalas, tidak
taat aturan, tidak taat pimpinan, dan sebagainya. Padahal, ia sebagai individu
memiliki kenyamanan sendiri. Dan itu yang menurutnya benar. Namun bagi sistem
yang berlaku, ia tidak bisa dianggap benar. Ada dua sudut pandang berbeda, dan
sistem tidak bisa mencakup kedua-duanya sebagai yang sama-sama benar. Nietzsche
menolak konformitas (kepatuhan) individu. Oleh karena itu ia tidak setuju pada
konsep negara dan juga membenci keanggotaan partai. Baginya pelembagaan itu
adalah kekuatan yang mengintimidasi orang dalam konformitas. Kebebasan
individual atau aktualisasi diri untuk mencapai kesempurnaan diri justru akan
tereduksi secara besar-besaran.
Kedua adalah Gilles Deleuze dan Felix
Guattari. Kita bisa mengenali sebagian pemikirannya dari buku “What is philosophy?:
Reinterpretasi atas filsafat, sains, dan seni”. Deleuze dan Guattari secara
spesifik mengkritisi pemikiran Marx dan Freud. Poin kritik mereka adalah
generalisasi. Pada Marx, masyarakat dikategorikan pada kelas-kelas. Padahal ada
organisasi kelompok-kelompok kecil yang lebih longgar sistemnya. Misalnya masyarakat
nomaden. Mereka tidak memiliki batas wilayah atau sistem hierarkhis. Namun kepada
mereka kesadaran-kesadaran revolusioner bisa merasuk dan menciptakan gerakan
kolektif. Dengan kata lain, Marx keliru tidak mempertimbangkan
kelompok-kelompok non struktural sebagai penggerak revolusi. Bagi Deleuze dan
Guattari, tidak cukup melawan ketimpangan dengan turun ke jalanan saja, tetapi
harus merasuki kesadaran-kesadaran setiap orang dan kelompok-kelompok kecil non
struktural.
Kita bisa mempertimbangkan
kebenaran kritik Deleuze dan Guattari. Dengan hanya mengandalkan
kelompok-kelompok besar yang merepresentasikan kelas, yakni buruh, gerakan revolusioner
justru mudah dipatahkan. Kelompok yang terorganisir rapi cenderung
menggantungkan gerakan pada pemimpin. Ketika pemimpin bisa diajak berkompromi,
anggota-anggotanya tidak bisa bergerak. Berbeda dengan gerakan kesadaran kepada
individu-individu atau kelompok-kelompok kecil bawah tanah. Gerakan mereka bisa
lebih solid. Yang menyatukan adalah kesadaran, bukan ikatan struktural. Kita
bisa mengambil contoh gerakan Che Guevara. Mereka adalah kelompok kecil. Che
sendiri berlatar belakang dokter dan sakit-sakitan. Kelompok Che tidak
merepresentasikan kelas apa pun selain disebut kelompok pemberontak. Tetapi
mereka mampu membuat gerakan revolusioner yang begitu berbahaya dan akhirnya
berhasil merebut kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihatnya pada
GAM di Aceh.
Deleuze dan Guattari juga
mengkritik generalisasi Freud. Kalau kita membaca kembali pemikiran Freud, kita
memang akan menemukan penyempitan di mana-mana. Mulai pembagian struktur psikis
manusia menjadi id, ego, dan superego sampai pengalaman oedipus complex yang dianggap universal. Pada masa awal
pencariannya tentang manusia, Freud memang menemukan banyak variasi temuan,
tetapi kemudian menyimpulkannya ke dalam kotak sempit ketidaksadaran. Setiap
penjelasan pasien ditafsirkan sebagai manifestasi ketidaksadaran. Kita bisa
menemukannya dalam “Psychopathology of everyday life,” misalnya, dimana Freud
menafsirkan keterangan-keterangan pasien sebagai wujud ketidaksadaran yang
terpendam dalam dunia id. Geleuze dan Guattari menyebut Freud seperti ahli
nujum yang bisa memprediksi gejala-gejala pasien selalu disebabkan oleh
dorongan ketidaksadaran. Deleuze dan Guattari menolak generalisasi oedipus complex. Pertama, oedipus complex
diandaikan universal. Kedua, kekayaan
informasi dari pasien direduksi menjadi penjelasan-penjelasan yang telah jadi. Ketiga, terdapat bias patriarkhal dalam
konsep oedipus complex dimana hasrat direduksi
menjadi organ seksual laki-laki).
(Bersambung)
Jakarta, 23 Juni 2013