9.05.2009

Suara


12 orang ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang itu setidaknya menjadi gambaran bahwa tak semua orang Indonesia mampu bersuara tanpa rasa takut. Mereka berbisik-bisik sebelum mencoba menjawab pertanyaan orang yang berdiri di depan. “Nanti salah?,” bisik salah seorang di antara mereka yang ingin mencoba menjawab. Begitu sulit bagi mereka untuk mengeluarkan suara. Padahal orang yang berdiri di depan bukan pejabat. Ia fasilitator yang sudah beberapa kali bertemu, beradaptasi, dan berbicara dengan bahasa yang tepat. Dalam forum kecil itu pun ia mengulang-ulang kata, “Tidak perlu takut. Tidak ada jawaban yang salah.” Meski begitu suara 12 ibu-ibu dan remaja putri tak dengan mudah ia dapat. Jika bukan karena niat tulus dan niat membangun, putus asa adalah jawabannya.

Desa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu adalah desa “pinggiran”. Sisi kanan adalah bukit dan sisi kiri adalah sawah dan ladang tebu. Jalannya sempit, aspalnya tak sempurna. Penduduk di sana tak akrab dengan pendidikan, meski ada remaja-remaja berseragam sekolah di beberapa tempat di pinggir jalan. Remaja-remaja berseragam itu pun nampaknya baru-baru ini saja, ketika teknologi sudah merajalela dan pemerintah harus tak enak diri membiarkan desa “pinggiran” tak punya bangunan sekolah.
Di tempat berbeda, di gedung dewan, para anggotanya berebut bicara. Lebih dari mampu. Bicara dengan otot ketika bicara dengan kata-kata tak menghasilkan kepuasan pun dilakukan. Yang terakhir bukan lagi urusan kemampuan, tapi kepuasan. Sangat jauh berbeda.

Mengapa 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak mendapat latihan untuk bersuara? Sarana berlatih berbicara di negara ini praktis hanya sekolah. Hanya sekolah yang memberi ruang muridnya untuk membaca puisi, presentasi, dan bertanggung jawab atas pikiran yang dituangkan dalam kertas. Semakin tinggi pendidikan, semakin luas ruang untuk beraktualisasi, semakin tumbuh keberanian untuk berbicara. Sementara 12 ibu-ibu dan remaja putri itu tak biasa membaca puisi di depan teman-teman sekelasnya. Mereka terbiasa bekerja, di sawah atau di ladang, yang tak membutuhkan keterampilan untuk berbicara. Mereka juga bukan orang yang langsung berbicara kepada pedagang yang akan membeli gabah dan tebu mereka.

Seorang kawan pernah bercerita: di kampungnya, tak umum bagi anak-anak untuk bersekolah. Bukan semata-mata karena kemalasan, tetapi tak ada ruang sebagai tempat belajar. Sepanjang 60 tahun kemerdekaan Indonesia, sepanjang itu pula tak ada gedung sekolah di sana. Di pojok jalan menuju kampung sang kawan itu terlihat gedung sekolah SD, tetapi jaraknya tak sekedar jauh. Tak semua anak punya sepeda menuju ke sana. Dalam pikiran kita, itu persoalan yang semestinya sudah selesai. Kampung seorang kawan itu mestinya punya gedung sekolah sendiri. Apalagi kita tahu bahwa di kampung itu ada kepala dusun dan ada kepala desa. “Bagaimana ini?,” itu pertanyaannya. Apakah penduduk di sana tak punya harap berdirinya sebuah gedung sekolah? Apakah mereka tak punya harap menyaksikan anak-anak mereka berseragam, berbaris dan memberi hormat pada bendera, ikut serta dalam lomba-lomba kemerdekaan Indonesia, atau membaca puisi di panggung malam kelulusan?

Bagaimana jika bukan itu? Tetapi karena warga tak punya suara. Seperti lingkaran setan: tak punya suara karena tak mendapat cukup pendidikan dan akhirnya tak punya suara untuk menuntut pendidikan.

Konon, di dusun 12 ibu-ibu dan remaja putri, banyak orang yang menjadi TKI. Menjadi TKI bukan pekerjaan positif, meski pendapatan yang dihasilkan berlipat-lipat dan menyumbang devisa yang tak sedikit pada negara. Setidaknya itu tergambar dari cara seorang kawan yang memberi tahu tentang TKI di dusun tempat 12 ibu-ibu dan remaja putri itu. Ia berbicara dengan pelan, menyiratkan maksud berhati-hati. “Apa lagi ini?” Pekerjaan tak positif dipilih. Mungkin itu pula akibat tak punya suara.

Kita boleh bertanya, “Apakah menyelenggarakan pendidikan di desa di bawah bukit begitu sulitnya? Atau adalah kesengajaan, pendidikan tak diselenggarakan karena ia akan memberi suara, dan suara adalah bahaya?” 12 ibu-ibu dan remaja putri di sebuah dusun di Kecamatan Dampit, Malang adalah sebagian kecil saja.

Any Rufaidah
Malang, 26 Agustus 2009 (edited in Jakarta, 6 September 2009)