3.02.2011

Kerja Keras Kelebihan Batas

Ide yang akan tercatat ini lahir (kembali) di tengah aktivitas orat-oret pada buku Culture and Subjective Well-Being –seperti buku mana pun, semakin diselami semakin menarik– sambil ditemani Rhyme in Peace –suara Bondan Prakoso sangat pas membawakan syair kesedihan dalam lagu itu. Bukan untuk pertama kalinya ide yang akan tercatat ini muncul. Oleh sebab itu, ide ini disebut “(kembali)”. Sungguh ide ini tidak penting kecuali sebagai catatan jejak pikiran yang pernah muncul atau mungkin untuk sarana belajar di kehidupan nanti.

Empat atau lima hari lalu ide ini muncul. Ia bermula dari sebuah kelelahan, kelelahan menjalani kehidupan. Sungguh ini bukan karena di Jakarta, karena faktanya ibu dan ayah yang ada di kampung kota paling timur Pulau Jawa sana menceritakan hal yang sama. Ibu yang cantik jelita, yang saya kagumi kegigihannya, pernah menggambarkan bahwa orang-orang di kampung banyak yang mengalami kelelahan. Mereka banting tulang untuk hidup, dan akhirnya pun kelelahan. “Biso mangan nggo kesok ben untung (bisa makan untuk besok saja untung),” kata ibu menggambarkan kondisi beberapa tetangga di kampung sana.

Saya mulai kelelahan untuk mengerjakan tugas-tugas yang berkonsekuensi pada uang. Untuk mendapatkan uang, maka harus memeras tenaga, pikiran, dan waktu sedemikian hingga; mendisiplinkan diri; berkejar-kejaran dengan waktu hingga tak peduli kanan kiri. Kerja keras. Ya, itu sudah betul. Tidak ada yang salah dengan konsep kerja keras. Agama mengajarkan manusia untuk bekerja keras agar dapat mencapai kebahagiaan.

Sungguh-sungguh saya tak ragu atas perintah kerja keras, namun saya bertanya ‘apakah kerja keras harus sekeras seperti yang sekarang ini?’ Dengan mengeluarkan tenaga seperti ini bukankah seharusnya sudah mendapat hasil yang lebih besar? Ah, saya mungkin pemalas. Sungguh salah jika contohnya adalah saya. Namun bagaimana dengan para pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, dan pekerja kasar lainnya. Mereka bekerja dengan sangat keras. Mereka bangun di pagi buta, melawan debu jalanan, tak peduli pada teriknya matahari, namun hasilnya tetap makan seadanya dan tidur pun seadanya.

Pikiran kecil bertanya: Masa’ sih untuk mendapatkan pekerjaan energi yang dikeluarkan harus sedemikian rupa? Kerja keras mencari pinjaman biaya administrasi, kerja keras melobi para pejabat terasnya, kerja keras mempelajari materi-materi yang kadang tidak substansial, dan sebagainya. Masa’ sih untuk memahami materi sekolah energi yang harus dikeluarkan demikian hebatnya? Ikut kursus sana-sini dengan biaya mahal. Masa’ sih untuk dapat menikmati bangku SMA harus bekerja keras sedemikian hingga? Belajar pagi hingga siang dan bekerja saat malam. Masa’ sih untuk mencari makan harus tidak bersekolah? Dan masa’ sih untuk mempertahankan idealisme harus bertarung sedemikian kuatnya? Dengan usaha yang sedemikian itu, seharusnya hasil yang dituai oleh banyak orang di negeri ini jauh lebih besar dari faktanya.

Jadi teringat teori Karl Marx tentang nilai lebih. Dalam tema itu, Marx mengungkapkan bahwa kaum borjuis melakukan menyerapan energi buruh secara berlebihan sementara imbalan yang diberikan tidak sebanding. Misalnya, untuk menutup biaya produksi dan mendapat keuntungan secukupnya untuk perusahaan, buruh cukup bekerja 4 jam. Namun nyatanya perusahaan tidak bertindak demikian. Buruh diharuskan bekerja 8 jam agar perusahaan mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Hasilnya, pemilik dan pejabat perusahaan kaya raya sementara buruh sempoyongan membayar cicilan rumah dan membiayai keperluan lainnya.

Jika saja bisa menjalani hidup tanpa harus terengah-engah, tanpa kerja keras yang kelebihan batas, mungkin kita akan punya cukup waktu untuk memikirkan dan menyebarkan kearifan, kebajikan, dan cinta. Namun karena tidak, maka yang ada adalah persaingan, trik dan intrik, individualisme, ketidakpedulian, dan kelelahan.

Pasar Minggu, 2 Maret 2011. 16.36

Any Rufaidah