10.06.2009

Mahasiswa



Auditorium IX Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI, pada pukul satu siang lebih (Oktober 2009) dipenuhi tak kurang dari 30 orang mahasiswa. Saya berada di antara mereka, untuk mendengar pengalaman, pemaparan, dan analisis pembicara tentang gerakan mahasiswa, seperti tema yang tercantum pada spanduk putih biru yang terpampang di depan auditorium. Sebuah tari daerah oleh siswa-siswa sebuah SMA di Jakarta, yang pasti dipersiapkan dengan latihan ketat, ditampilkan.

Tiga orang pembicara diundang ke panggung. Mereka menyampaikan pemaparannya masing-masing selama 30 menit. Menarik dan cukup berisi, tidak terbatas pada gerakan mahasiswa, tetapi juga pada sosial politik Indonesia. Narasumber pertama, yang kini berusia 66 tahun dan pernah masuk tahanan sebanyak tujuh kali selama mahasiswa, memulai pemaparannya dengan pernyataan, “Indonesia didirikan oleh mahasiswa.” Pernyataan ini tampaknya bisa dikorelasikan dengan peristiwa menjelang kemerdekaan ’45: penculikan Soekarno ke Rengasdengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Turunnya Soekarno pada ’66 juga tak lepas dari peran mahasiswa. Soeharto pun diturunkan oleh mahasiswa, lanjut narasumber.

Mahasiswa tidak pernah absen dalam sejarah. Mahasiswa memiliki andil besar dalam sejarah politik yang berimplikasi langsung pada kehidupan sosial. Pembicara ketiga, yang banyak mengamati dan mengkritik sistem dan perilaku politik Indonesia saat ini, mengatakan, “Sejak ’60 – ’64 sudah ada gerakan-gerakan anti Soekarno dari mahasiswa.” Pada ’65 HMI dibubarkan oleh Soekarno. Pembubaran tersebut menyusul hubungan yang kurang baik antara Soekarno dan Masyumi. HMI dianggap sebagai organ yang mendukung Masyumi oleh Soekarno. Posisi mahasiswa dimanfaatkan oleh Angkatan Darat yang merasa cemburu atas hubungan Soekarno dengan PKI yang terlalu dekat. Angkatan Darat mengikat mahasiswa dalam ideologi “Anti PKI”. Pemanfaatan posisi mahasiswa tak lain untuk menggulingkan Soekarno. Sebagai balas jasa, Soeharto memberi posisi penting kepada para aktivis ’66 dalam pemerintahan Orde Baru. Ini adalah contoh dari pembicara ketiga tentang andil besar mahasiswa dalam sejarah Indonesia.

Andil mahasiswa juga terbukti saat reformasi ’98. Namun, pembicara juga menyampaikan kritik pedas terhadap mahasiswa. Ia mengatakan, “Mahasiswa punya andil besar untuk mengganti demokrasi, tetapi mahasiswa tidak mampu menjawab masalah demokrasi unsubstansial hari ini.” Kebobrokan pemerintah maupun potensi pemerintah otoriter yang dijalankan dengan cara lembut (soft authority) yang mulai terlihat terbukti tak mampu disikapi secara kolektif oleh mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa saat ini tidak berdiri pada pondasi yang sama. Mereka tak punya unity dan nilai gerakan yang sama. Pembicara menyinggung pula jiwa intelektual organik yang tak begitu terasa pada mahasiswa. Pembicara mengutip Antonio Gramsci: “Semua orang bisa menjadi intelektual, tetapi tidak semua orang bisa menjadi intelektual organik.” Pembicara mengutip pendapat tersebut rupanya untuk menegaskan bahwa mahasiswa jaman modern ini tak cukup punya sensitivitas, yang bisa menghayati apa yang ada di lingkungan sekitarnya.

Any Rufaidah, Depok, 6 Oktober 2009

Link mendukung: http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/trisakti.html