2.15.2010

Self, Dualisme, Keseimbangan


Sebuah brainstorming dalam kelas baru membawa kami pada diskusi tentang self, Diri. Tulisan Bagus Takwin dalam jurnal online universitas yang baru sepuluh menit lalu terperhatikan sontak terbersit kembali, terasosiasi dengan pertanyaan tentang Diri. Diri adalah entitas yang terbentuk dari lingkungan, tetapi Diri memiliki otonomi/otoritas untuk bersikap pada lingkungan, memilih atau mengabaikan sesuatu yang tersedia. Ada dua hal yang membentuk Diri, bukan lingkungan saja dan bukan kehendak diri saja. Mirip dengan Qodariyah dan Jabariyah yang beberapa waktu lalu sempat kembali terbersit dalam pikiran, dan kemudian menghasilkan pemahaman yang mendasar bab Ahlussunnah wal Jamaah.

Diskusi Diri siang itu membawaku pada sedikit dialog diri, hingga sampai pada sebuah pernyataan, “Diri haruslah seimbang”. Ini adalah hukum Freud dan hukum agama mana pun. Kalimat itu singkat, mudah, ringan. Tetapi seimbang tak singkat, tak mudah, dan tak ringan. Kupikir sangat panjang dialektika Diri untuk mencapai kata seimbang, equilibrium. Pertentangan-pertentangan batin yang tak kunjung henti bahkan. Banyak sekali contohnya, yaitu dalam bentuk perubahan-perubahan drastis dan “dramatis”. Kisah dalam “Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur”, misalnya atau “Pelacur Menjadi Kekasih Tuhan” yang belum ada novelnya.

Senin siang minggu berikutnya, diskusi dualisme terjadi lagi. Tepatnya pada Diri dan Society. Pertanyaan yang sama dan kerumitan yang sama. Siapa mendahului siapa: person atau society. Ada yang berkata person, ada yang berkata society. George Herbert Mead, Herbert Blumer, John Dewey, sampai pada Immanuel Kant –pun sebenarnya Sokrates dan Descartes– adalah nama-nama besar yang bicara soal dua subjek itu. Perdebatan person atau society kemudian melahirkan pandangan yang berbeda arah, meskipun pada akhirnya kini tak ada yang benar-benar kekeh memegang salah satu. Para pemikir kontemporer mungkin lelah mempertahankan pandangan “tunggal” nya dan tak mampu tak jatuh pada garis yang berbeda.

Pertentangan sangat melelahkan. Jadi, jika tak mungkin memegang satu hal, pegang saja keduanya. Pertanyaan pada semua orang adalah, “Apakah manusia memiliki kehendak bebas atau tidak?” Jika tak ada kemampuan untuk menjawab ya atau tidak, maka jawab saja “ya” dan “tidak”. Tak perlu ada paksaan soal jawaban. Pada titik tertentu kita tak mampu menjawab “ya” atau “tidak” saja, melainkan harus kedua-duanya.
Ah….lelah rasanya berpikir hal-hal reflektif. Kadang ingin membuangnya saja dan berganti tema yang baru. Tetapi, ah….biarkan saja perubahan-perubahan itu. Ada kalanya membuat sesuatu yang reflektif dan ada kalanya membuat yang santai. Biar semuanya seimbang tanpa perlu dipaksa seimbang.

Any Rufaidah
Depok, 9 Februari 2010.