4.13.2010

Warna, Ayam, Helm, dan Seragam


Setiap hari, setiap saat, kita menerima informasi yang bermacam-macam. Tak jarang mereka meletupkan ide, kenangan indah, kemarahan, kebencian, sanggahan, pembenaran. Satu pemandangan saja terkadang menjadi pemicu bagi lahirnya ide-ide segar. Ia berasosiasi dengan ide-ide sebelumnya dan terkumpul menjadi sebuah pemikiran yang sistematis, yang bisa dijelaskan dengan baik, yang menjadi refleksi dan pelajaran diri. Sayang rasanya jika ide yang meletup-letup setiap hari lewat begitu saja. Apa yang membuat Plato dikenal hingga hari ini, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Raditya Dika, dan sebagainya yang banyak jumlahnya, jika bukan karena mereka mencatat.

Apa perlunya mencatat? Seorang siswa akan kelimpungan jika catatannya hilang menjelang ujian. Jadi catatan bagi mereka berfungsi untuk mengingat kembali pelajaran yang diberikan bapak/ibu guru. Bagi remaja yang gemar mencatat di buku harian, mencatat adalah sarana untuk curhat, meluapkan ketakjuban ataupun kemarahan. Bagi sebagian, mencatat adalah pekerjaan luhur: menuangkan dan berbagi ide. Bagi sebagian yang lain, mencatat adalah proses untuk mengenali diri. Bagi sebagian untuk kenangan. Bagi sebagian adalah semuanya: curhat, merekam, menjadikannya catatan pelajaran, menuangkan ide. Bagi saya, mencatat adalah untuk semua alasan itu, dan untuk memperkenalkan diri.

Ini adalah percikan pikiran yang hadir pada 5 April 2010. Hari itu saya mengunjungi bibi –sebenarnya dia adalah tetangga di kampung. Tetapi karena dekat dengan keluarga, saya menganggapnya bibi– yang kini tinggal di Cileungsi, Bogor, mengikuti suaminya yang TNI. Perjanjian saya dengan suami bibi beberapa kali gagal. Dan kali ini saya niatkan untuk mengunjunginya, di tengah banyaknya tugas membaca materi kuliah. Pikir saya, “Toh tak ada jaminan jika tak kemana-mana saya akan membaca buku-buku kuliah. Dan tak ada jaminan jika pergi maka tak bisa membuat resume untuk kuliah”. Mungkin ini adalah bagian dari pemikiran bahwa manusia tak semestinya dikendalikan oleh lingkungan (konstruksionis), meski tak sepenuhnya mampu.

Setelah membereskan kamar yang berantakan karena tugas ujian tengah semester, saya mempersiapkan diri. Kamar mandi, di situ tercantol baju, handuk, tempat sabun yang di dalamnya berisi macam-macam alat mandi. Tak ada warna yang sama. Handuk berwarna hijau mencolok, baju berwarna coklat tua, tempat sabun berwarna merah, puff berwarna biru cerah, sabun berwarna ungu, sikat gigi warna pink, pasta gigi warna biru mengkilat, shampoo warna hijau dan putih, dan (tak usah disebutkan) berwarna orange cerah. Betapa berwarnanya benda-benda itu. Dan itu hanya di kamar mandi. Di luar sana, tak terhitung jumlahnya. Agama mengatakan berbedaan itu rahmat. Dan sungguh itu benar. Jika saja pakaian-pakaian hanya terdiri satu warna, betapa kusamnya saya. Karena itu saya sering membeli barang-barang dengan warna yang belum saya punya. Yang cerah, yang tak umumnya bernuansa perempuan. Tak perlu didominasi satu warna agar hidup lebih berwarna.

Perjalanan cukup jauh. Menghabiskan waktu dua jam termasuk dengan salah jalur. Mestinya bisa langsung Kampung Rambutan – flyover Cileungsi – Jonggol. Tetapi karena petunjuk penjaga kos dengan pertimbangan kemacetan, jalurnya melalui Depok – Simpangan Depok – akhirnya ke Kampung Rambutan juga – flyover Cileungsi – Jonggol. Daerah Cileungsi ternyata tak jauh dari Mekarsari, tempat wisata yang sebelumnya hanya saya tahu dari stiker yang tertempel di mobil-mobil. Bahkan sebelumnya saya tak mengira Mekarsari adalah tempat wisata kebun buah. Di Jonggol saya turun di Gang Doang. Kata suami bibi, saya akan dijemput di situ. Sebetulnya itu adalah pertemuan pertama saya dengan paman. Sebelumnya kami hanya akrab melalui telepon dan perbincangan orangtua. Ada khawatir juga kalau-kalau salah orang. He he he. Namun akhirnya ketemu juga. Rumah bibi cukup jauh dari gang. Tepatnya di perumahan PNS dan TNI. 5 tahun ini bibi tinggal di situ bersama dua anaknya yang masih kelas 2 SMP dan 4 SD.

Terlinang air mata saat bertemu bibi. Mungkin sudah 15 tahun saya tak bertemu dengannya. Dia pergi dari kampung sejak saya dan anak-anak dari pernikahan pertamanya masih SD. Dia kerja di Dili, Papua, dan bertemu dengan suaminya sekarang di kota itu. Indah rasanya pertemuan itu. Saya mensyukurinya. Dan mensyukuri pula akhirnya bibi hidup bahagia dengan keluarga keduanya, tenang, punya kesibukan, dan tinggal di rumah sendiri. Hubungannya dengan 3 anak dari perkawinan pertamanya pun baik-baik saja. Tak ada yang membencinya meski ‘ditelantarkan’ sejak kecil.

Ayam
Pagi hari berikutnya, saya duduk-duduk di depan rumah bibi. Bibi memberi makan ayam peliharaannya. Ada sekitar 7 ayam. Di antara mereka ada 1 ayam paling kecil. Saya perhatikan ayam-ayam besar makan dengan tenang. Bersama-sama mereka menguasai makanan. Sementara si kecil hanya berada di pinggiran. Begitu dia bermaksud mengambil makanan yang dikuasai si besar, dirinya dihajar. Kemudian dia mundur dan kembali ke pinggiran dengan makanan ala kadarnya. Beberapa kali si kecil mencoba usaha yang sama, tetapi hasilnya juga sama. Dia harus mundur dan kembali ke pinggiran. Dia makan dengan gelagat ketakutan. Ayam besar kira-kira jumlahnya 6. Tetapi mereka tak saling berebut. Mereka rela makan sama-sama. Tetapi begitu tidak rela si kecil mengambil bagian sedikit saja.

Tersiratlah di benak, “Yang sama kuatnya rela berbagi makanan, tetapi begitu tak rela jika si kecil mengambil sedikit saja. Tidak masalah sesama si besar saling berbagi, tetapi ada kemurkaan jika si kecil bermaksud minta diberi.” Seperti hukum rimba saja, tuan. Mungkin saja itu hanya berlaku pada ayam dan binatang lainnya, tidak pada manusia. Namun jika manusia demikian, maka wajar kiranya jika ada ejekan ‘seperti binatang’. Yang diejek tak boleh langsung marah kiranya jika memang melakukan perilaku demikian.

Helm dan Seragam
Dua jam berikutnya saya diantar pulang. Sebelum berangkat, saya tanya helm pada bibi. Bibi menjawab tidak perlu, polisi tidak akan menilang. “Oh bibi, helm untuk melindungi diriku, bukan untuk diberikan pada polisi. Polisi sudah punya banyak helm, Bi.” Siapa pun kita tak bebas dari celaka. Dan, di jalan, paman menyenggol motor. Dia menghindari mobil, tetapi karena terlalu minggir, sebuah motor tersenggol. Kami tidak apa-apa. Hanya spion paman yang melesat. Sebetulnya paman yang salah, tetapi karena dia berseragam TNI, yang disenggol justru yang minta maaf. Seragam menentukan siapa yang seharusnya mengakui kesalahan, tuan. Pamanku sendiri tahu pengendara motor itu takut karena seragam. Dia mengatakannya pada saya. Apakah ‘Jadilah orang berseragam agar kau selalu benar' berlaku di negeri ini?

Any Rufaidah
Depok, 13 April 2010



4.05.2010

Puisi Terakhir WS Rendra


Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".


Demikian puisi terakhir WS Rendra yang ditulisnya di atas ranjang sewaktu ia terbaring sakit, seperti disampaikan Mbak Lisa pada milist Muslim (3/4).

* posting dari teman pada milist averroesmenulis