4.16.2008

Menimbang Efektivitas Monetary Policy Communications (MPC) BI

Any Rufaidah

Meskipun komunikasi dianggap tidak lebih penting dari isi kebijakan, seringkali komunikasi justru menjadi penghambat tercapainya tujuan kebijakan. Hal ini yang mengharuskan definisi sasaran, teknis, pelaksana operasional, dan komunikator sekunder policy communications mendapat perhatian lebih.

Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara nilai rupiah, serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kerangka kebijakan moneter sebelumnya, Base Money Targeting, menjadi semangat besar bagi Bank Indonesia untuk mengubah kebijakan moneternya.

Inflation Targeting Framework (ITF) adalah framework kebijakan moneter yang dipilih BI. ITF ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang akan dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit ITF menyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Dari sisi konseptual maupun aplikatif, BI menekankan pentingnya komunikasi kepada masyarakat luas sebagai indikator ekonomi. BI membuat strategi-strategi komunikasi, mulai pembentukan Tim Pengendalian Inflasi yang salah satu tugasnya adalah melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran inflasi kepada masyarakat, komunikasi berkesinambungan, siaran pers, konferensi pers, publikasi Laporan Kebijakan Moneter, hingga penjelasan langsung kepada masyarakat.

Serangkaian strategi komunikasi yang dicanangkan BI ini benar-benar upaya menyeluruh (massive exertion). Upaya ini sekaligus menambah nilai plus BI. Dikatakan demikian, karena dengan membuka kran komunikasi, berarti BI telah memenuhi Pasal 19 Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk memperoleh informasi secara terbuka (Kebijakan Komunikasi Publik Asian Development Bank). Namun demikian, tetap ada hal-hal yang harus menjadi perhatian BI dalam melaksanakan monetary policy communications (MPC) ini. Pertama, sasaran komunikasi. Dalam peng-komunikasi-an kebijakan, yang hampir selalu menjadi problem di negara ini adalah kaburnya sasaran komunikasi. Dalam pengertian umum, masyarakat luas mencakup seluruh lapisan, tidak terkecuali masyarakat awam. Namun, dalam praktiknya, masyarakat luas dalam arti sebenarnya tidak tersentuh. Mereka hanya direpresentasikan oleh kalangan tertentu. Dalam konteks kepemerintahan, masalah ini telah menjadi keresahan, sehingga diciptakan strategi agar komunikasi langsung menyentuh grassroot, seperti sambang desa, tilik desa, jaring asmara, atau istilah strategis lainnya. Ketercapaian sasaran komunikasi ini sudah selayaknya menjadi perhatian prioritas (main attention) bagi BI, karena kaburnya definisi masyarakat luas akan mengaburkan definisi social welfare yang menjadi sasaran prioritas ITF.

Kedua, teknik komunikasi. Teknik komunikasi di Indonesia boleh dikatakan masih sangat sulit. Kesulitan ini berkorelasi langsung dengan tingkat pendidikan masyarakat. Perbankan merupakan bidang yang masih sulit dicerna masyarakat luas. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui apa itu inflasi, moneter, besaran moneter, velocity, apalagi sistem hubungan politik atau keamanan negara yang sangat berpengaruh pada harga kebutuhan pokok sehari-hari. Coba kita pertanyakan apakah nasabah-nasabah memahami mekanisme yang bekerja dalam perbankan. Yang mereka pahami hanya melakukan penyetoran atau penarikan. Mekanisme-mekanisme njelimet lainnya hanya dipahami oleh segelintir orang atau pelaku-pelaku bisnis. Oleh sebab itu, Bank Indonesia perlu menyusun teknik-teknik komunikasi yang mudah diserap masyarakat luas. Misalnya, menciptakan definisi-definisi perbankan yang mudah dipahami, dengan menggunakan analogi-analogi yang akrab. Strategi inilah yang kiranya dipraktikkan Muhammad Yunus, penerima nobel perdamaian 2006 dalam meng-komunikasikan sistem dan mekanisme Grameen Bank. Dengan kesadaran tinggi atas urgen-nya pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, diimbangi dengan tata komunikasi yang baik, ia berhasil mendulang sukses perekonomian masyarakat Bangladesh. Untuk jangka panjang, BI perlu melaksanakan pendidikan ekonomi perbankan bagi masyarakat luas secara langsung, bukan hanya melalui dunia digital yang aksesnya belum dapat dinikmati secara merata. Dengan upaya ini, diharapkan masyarakat dapat berperan sebagai “produsen” kebijakan moneter Indonesia, bukan sebagai objek yang hanya tahu harga murah dan perut kenyang.

Ketiga, pelaksana operasional. Bagaimana pun unggulnya program komunikasi, tanpa diimbangi pelaksana operasional yang memadai secara kualitas dan kuantitas, maka pesan tidak akan tersampaikan dengan baik. Penyampaian pesan yang ditargetkan kepada masyarakat luas memang bukan pekerjaan mudah. Membutuhkan tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit. Tetapi, cost yang harus dibayar akan lebih mahal jika sasaran kebijakan tidak tercapai karena kualitas yang mencakup kapabilitas dan komitmen kerja serta kuantitas pelaksana masih dipertanyakan. Alasan ini patut menjadi pertimbangan BI atas perlunya sistem yang berfungsi mengontrol kapabilitas dan kinerja pelaksana peng-komunikasi-an monetary policy. Sistem ini mencakup seluruh kegiatan komunikasi yang sangat berguna untuk menimbang kelemahan dan keunggulan strategi komunikasi. Melalui sistem ini, timing yang tepat, konsistensi, dan efektivitas komunikasi seperti yang disampaikan Wimar Witoelar pada workshop BI 2006, dapat terukur dengan baik. Di samping upaya tersebut, BI dapat melakukan upaya “berjejaring”. Dalam pandangan saya, jaringan yang dikembangkan BI belum banyak yang mengarah pada lembaga-lembaga sosial non-pemerintah atau NGO. Padahal, dalam perwujudan tata kelola sistem yang menyangkut masyarakat luas, NGO memiliki peran signifikan. Dikatakan signifikan, karena intensitas persinggungan mereka dengan masyarakat secara langsung lebih tinggi. Modal ini yang menjadikan partisipasi masyarakat seringkali tersalur melalui NGO. Kemampuan analisis sosial dan pemahaman yang lebih dalam mengenai karakteristik masyarakat yang dimiliki NGO akan sangat membantu komunikasi kebijakan, sekaligus menjadi wadah konsultasi. Upaya “berjejaring” yang terwujud dalam kemitraan ini dapat dibentuk dalam suatu sistem kerja yang diatur secara struktural, sehingga hubungan timbal balik dapat berjalan maksimal.
Keempat, komunikator sekunder. Yang seringkali tidak mendapat perhatian dalam peng-komunikasi-an kebijakan adalah komunikator sekunder. Hal ini diharapkan tidak terjadi di Bank Indonesia, karena keberadaan komunikator sekunder dapat mengantisipasi kegagalan komunikator primer. Bahkan, hasil yang dicapainya sangat mungkin mampu mengungguli komunikator primer. Dalam analogi perpolitikan, komunikasi yang disampaikan melalui siaran televisi bisa jadi terkalahkan oleh komunikasi-komunikasi kecil yang terjadi di gardu-gardu. Yang dapat dimasukkan dalam kategori komunikator ini adalah pusat-pusat kajian, seperti Perguruan Tinggi dan perpustakaan daerah. Kategori ini berbeda dengan akademisi yang umumnya mencakup pakar, ekonom, pemerhati ekonomi, atau guru besar. Melalui komunikator sekunder ini, BI menyebarluaskan publikasi, laporan, kebijakan baru, dan segala hal yang berhubungan dengan BI ke daerah-daerah. Langkah ini relatif mudah. Terbukti, Asian Development Bank (ADB) mampu melibatkan 167 perpustakaan di 40 negara untuk mendukung Kebijakan Pengungkapan Informasinya. Lebih-lebih di Indonesia sekarang telah banyak berdiri taman baca dan perpustakaan keliling.

Kini posisi kunci untuk mencapai komunikasi kebijakan moneter yang efektif terletak pada Bank Indonesia. Telah banyak program yang gagal karena faktor komunikasi yang kurang efektif. Salah satunya adalah analisis Yohanes S. Widada (Media Indonesia, 4/2/08) yang menyebutkan jauhnya titik capai program penanggulangan kemiskinan bukan terletak pada kelangkaan dana, tetapi pada lemahnya koordinasi (komunikasi) dalam menyelenggarakan program-program terkait. Kita tentu tidak menghendaki hal ini menjadi faktor kegagalan kebijakan moneter Bank Indonesia. Semoga!

Any Rufaidah, Komunitas Studi Gender Averroes Malang