3.25.2008

Kapabilitas “Pemimpin” Perempuan, Masihkah Diragukan?

Any Rufaidah

Ketika membaca judul di atas, pikiran kita mungkin langsung tertuju pada politik, pemerintahan, legislatif, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan politik. Pikiran ini benar adanya, karena kata pemimpin identik dengan posisi di pemerintahan. Dalam konteks ini, boleh saja kita mengartikan demikian, meskipun pemimpin sebenarnya juga berlaku dalam bidang ekonomi dan sosial. Hanya saja, kita perlu mencatat bahwa kata “pemimpin” tidak hanya berarti ketua atau direktur, melainkan peran atau posisi perempuan.

Bukti paling riil untuk mengetahui peran perempuan dalam memimpin adalah posisi mereka dalam pemerintahan, khususnya di legislatif. Coba kita lihat jumlah perempuan di legislatif pada periode 2004-2009. Ternyata hanya 61 orang atau 11.3% dari 550 anggota DPR RI. Sekarang kita bandingkan dengan periode-periode sebelumnya, apakah jumlah ini meningkat? Pada periode 1992-1997, jumlah perempuan adalah 60 (12%) dari 500 anggota DPR RI, periode 1997-1999 mengalami penurunan menjadi 56 (11,2%) dari 500 anggota. Pada periode 1999-2004, jumlah perempuan hanya tersisa 46 (9,2%) dari 500 anggota DPR RI (Fajar Online, 09 Maret 2006) Rata-rata jumlah ini adalah 8,8 persen. Angka ini tidak hanya berlaku di pusat, di tingkat provinsi hanya 6 persen, bahkan, di tingkat kabupaten hanya 2,5 (Denny J.A, JP, 12/11/02)

Perbandingan ini menunjukkan jumlah perempuan yang duduk di parlemen pusat tidak mengalami peningkatan signifikan, meskipun sejak tahun 1999 sudah bergulir tuntutan kuota 30% untuk Caleg perempuan. Lalu pertanyaannya, apakah jumlah ini mengartikan bahwa kapabilitas perempuan masih lemah? jawabannya bisa ya, bisa tidak. Kita menjawab kapabilitas perempuan memang masih rendah karena angka buta huruf dan buta sekolah yang “diderita” masih sangat tinggi. Jumlah perempuan yang buta huruf pada 1999 adalah 5,3% atau 2,6% di atas jumlah laki-laki buta huruf. Jumlah perempuan usia 24 tahun ke atas yang belum pernah sekolah juga tidak kalah besarnya, yaitu 17,39%, sedangkan laki-laki hanya 7,68% (Fajar Online, 09 Maret 2006) Tolok ukur ini membuktikan kapabilitas perempuan masih tertinggal di bawah laki-laki, sehingga mereka tidak mampu berperan aktif di dunia politik yang menuntut kecerdasan memadai.

Realitas ini memang harus diakui, tetapi sebaiknya kita tidak gegabah membenarkan. Mari kita tinjau lebih dalam. Tingginya angka buta huruf dan rendahnya tingkat pendidikan perempuan yang berdampak langsung pada kapabilitas tidak muncul begitu saja. Bukan kodrat atau takdir, melainkan konsekuensi sosio-kultur yang diberlakukan untuk perempuan. Sejarah telah menunjukkan, selama berabad-abad, peradaban dunia dijalankan menurut aturan patriarkhi. Budaya ini berlaku hampir di seluruh sendi-sendi kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Terbatasnya akses pendidikan bagi perempuan tidak lain karena aturan ini. Di dalam sistem keluarga misalnya, anak perempuan boleh dan wajar sekolah lebih rendah daripada anak laki-laki. Sistem ini yang membuat tingkat pendidikan perempuan rendah, dan kapabilitas mereka rendah pula. Dengan kata lain, rendahnya kapabilitas perempuan tidak muncul atas dasar “kemalasan” perempuan, tetapi karena sistem patriarkhi yang dijalankan dan diendapkan selama berabad-abad.

Kedua, rendahnya kuantitas perempuan di parlemen bukanlah tolok ukur kapabilitas karena kepentingan politik. Bukan tidak mungkin, Parpol sengaja menempatkan perempuan di urutan bawah, sehingga peluang mereka untuk mendapatkan posisi di parlemen sangat kecil. Data yang membenarkan kemungkinan ini adalah yang dibeberkan oleh Uwes Fatoni. Menurut data tersebut, dari 2.507 calon legislatif perempuan, ternyata hanya 242 orang atau 9,7% yang menempati atau “ditempatkan” pada nomor urut jadi 1, dan 421 orang atau 16,8% yang dinominasikan pada nomor urut 2. Total hanya 663 calon legislatif perempuan yang ditempatkan pada nomor urut jadi. Sisanya, 1839 ditempatkan di nomor urut yang potensi jadinya sangat kecil (Uwes Fatoni, kanguwes.wordpress.com, 28/11/07)

Sampai di sini, setidaknya kita telah memperoleh dua jawaban mengapa tingkat partisipasi perempuan di parlemen masih rendah, yaitu efek patriarkhi dan kepentingan politik. Tetapi keduanya tidak sekaligus menjadi ukuran kapabilitas perempuan sebenarnya. Oleh sebab itu, tidak ada kata keraguan terhadap kapabilitas perempuan. Kita patut mempercayai kapabilitas perempuan yang selama ini terbekuk oleh budaya dan kepentingan. Terlebih, Pusat Kajian Politik (Puskapol) serta Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI telah berani merekomendasikan 996 Caleg perempuan untuk menjawab keraguan Parpol mengenai kapabilitas perempuan (Sindo, 28/2/08)

3.17.2008

Jika Kau Tak Ingin Bicara

Any Rufaidah

Jika bibir tak kau biarkan terbuka
Tolong biarkan matamu tetap berbahasa
Menyampaikan kata-kata
Menyorotkan makna-makna

Jika kata tak sanggup terucap
Tolong izinkan tanganmu tetap bertindak
Memberi tanda untuk kutangkap

Jika rasa kau larang bertutur
Mohon jangan kau larang perilakumu jujur
Biarkan mereka berbahasa

Dan jika mata itu tak berbahasa
Tolong izinkan mataku tetap berbahasa
Jika tanganmu tak bertindak
Mohon izinkan tanganku tetap berusaha
Jika pun perilakumu tak lagi jujur
Mohon izinkan perilakuku tetap bertutur jujur
Jika semua tak ingin bicara
Mohon izinkan aku tetap bicara
Hingga kuhabiskan kata-kata

Pare-Kediri, 18 Mei 2007

Kemenangan Perlu Diwaspadai

Any Rufaidah

Bulan Maret 2008, perempuan Indonesia merayakan dua momentum besar dalam sejarah politik perempuan, Hari Perempuan Sedunia dan kemenangan atas kuota 30% caleg perempuan. Namun, apakah kemenangan akan tetap menjadi kemenangan jika perempuan tidak waspada dalam mengambil langkah politisnya?

8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia, hari dimana perempuan memperoleh kemenangan dalam berpolitik. Disebut kemenangan berpolitik, karena tercetusnya hari ini diawali dengan seruan pemenuhan hak perempuan dalam Pemilu. Sebelum hari ini, perempuan di dunia tidak bisa menggunakan hak memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum. Keberadaan mereka tidak lebih dari penonton momentum yang disebut pesta demokrasi. Sungguh naif, pemilihan wakil rakyat dilakukan dengan meniadakan sebagian rakyat. Baru setelah gerakan perempuan Rusia turun jalan, tepatnya 8 Maret 1917, secara internasional perempuan mendapat hak berpolitik.

Pada bulan Maret 2008 ini, perempuan Indonesia memperoleh kemenangan yang sama berupa pengesahan kuota 30% bagi caleg perempuan. Disahkannya kuota ini memang sepatutnya disebut kemenangan karena perjuangan untuk meng-goal-kannya memakan waktu yang lama, membutuhkan energi dan pikiran ekstra keras. Dapat kita bayangkan bagaimana perjuangan politisi perempuan di tengah tekanan politik yang sangat keras menjelang Pemilu 2009.

Namun, di luar kemenangan, perempuan sepatutnya tidak terlena. Mereka harus waspada karena tekanan politik pada Pemilu 2009 dipastikan jauh lebih tinggi dibanding dua Pemilu sebelumnya. Tekanan ini muncul menyusul perkembangan iklim politik yang semakin mendukung perempuan. Data empiris telah memberi pengetahuan kepada kita tentang bagaimana perbedaan iklim politik yang berkembang ketika kuota 30% belum berhasil disahkan dengan iklim setelahnya. Pemilu tahun 1999, ketika usulan kuota 30% caleg perempuan belum berhasil di-landing-kan, tekanan politik belum seberapa. Pemilu 2004, tekanan politik terhadap perempuan mulai meningkat karena usulan kuota 30% berhasil di-goal-kan ke dalam pasal 65 ayat 1 UU No.12 tahun 2003. Indikasi-indikasi tekanan politik pada saat itu sangat visibel. Partai-partai kontan menyebutkan berbagai kendala pemenuhan kuota. Misalnya, kesulitan menemukan kader potensial yang mampu bersaing dengan kader yang nota bene laki-laki, minimnya kader perempuan, hingga alasan patriarkhi, seperti sulit mendapat izin suami. Di satu sisi, alasan-alasan ini benar, karena perempuan masih berada di masa transisi dalam berpolitik. Budaya patriarkhi yang telah mengendap selama berabad-abad belum memungkinkan perempuan “banting setir” ke arah politik. Tetapi di sisi lain, alasan-alasan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Bahwa masih panjang antrian kader partai yang didominasi laki-laki yang berambisi maju menjadi duta partai.

Semakin terbukanya kesempatan perempuan untuk masuk legislatif yang akan datang tentu akan merangsang munculnya strategi-strategi politik yang lebih represif. Pada Pemilu 2004 saja, tekanan-tekanan itu sudah banyak dijalankan. Misalnya, kewajiban membayar dana kampanye yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Persyaratan ini memang berlaku untuk semua kandidat, tetapi pembuatan aturannya bukan tidak mungkin ditetapkan oleh orang-orang lama yang masih memiliki ambisi untuk maju ke legislatif. Sebagai politisi, mereka menyadari kuota 30% caleg perempuan bisa menjegal langkah politisnya. Tetapi mereka juga menyadari, kemampuannya memperoleh dana dari berbagai pihak lebih handal dibanding kader perempuan yang rata-rata belum lama terjun di dunia politik. Keadaan ini yang kemudian dijadikan strategi politik dalam bentuk persyaratan dana kampanye. Ketika kader perempuan tidak dapat menyetorkan dana kampanye ke partai, konsekuensi mereka adalah tidak didaftar sebagai caleg. Atau didaftar dengan nomor urut sepatu yang potensi kemenangannya sangat kecil.
Saat ini kita belum mengetahui indikasi-indikasi politis terhadap caleg perempuan. Yang jelas, politisi perempuan harus menyiapkan amunisi untuk menghadapi berbagai serangan. Persiapan ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, peningkatan kapabilitas politik. Bagaimana pun, kapabilitas politik perempuan harus terus ditingkatkan, karena masalah ini sering menjadi alasan partai untuk tidak memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Bahkan, harus melampaui kapabilitas kader partai pada umumnya. Langkah ini harus dilakukan sesegera mungkin, sebab masalah kapabilitas bisa dijadikan aturan yang akan menghambat langkah politik seperti halnya dana kampanye. Salah satu tolok ukur kapabilitas politik adalah masa pengabdian di partai. Bagi kader yang sudah lama mengabdi tentu tidak jadi soal, tetapi bagi kader perempuan yang baru 2 atau 3 tahun di partai, akan menghadapi masalah. Oleh sebab itu, sedini mungkin kader perempuan harus berperan aktif dalam kerja-kerja partai. Di samping itu, persinggungan dengan konstituen harus dilakukan secara intensif. Dengan terasahnya kemampuan ini, masa abdi di partai akan tertutupi dengan kapabilitas politik yang memadai.

Kedua, pendidikan politik vertikal. Pendidikan politik vertikal di sini adalah pendidikan dari politisi-politisi perempuan yang lebih dulu duduk di legislatif kepada kader perempuan di partainya. Langkah ini memang upaya yang cukup sulit diterapkan di dunia politik, sebab politik lebih banyak berbicara kompetisi daripada kompetensi. Tidak berbeda dengan politisi lainnya, politisi perempuan tidak begitu saja melepaskan jabatannya. Pekerjaan, pengaruh, tuntutan ekonomi, prestice, dan lain sebagainya menjadi alasan untuk tetap bersaing di kancah pencalonan legislatif. Namun, dalam konteks misi kesetaraan gender, politisi perempuan selayaknya menyingkirkan alasan-alasan ini. Mereka dituntut lebih legowo memberikan pendidikan politik terhadap kader perempuan di partainya. Dengan demikian, persaingan sehat dan misi kesetaraan gender dalam politik akan tercapai.

Dua hal di atas adalah sedikit upaya yang sejauh ini mungkin dilakukan. Tetapi kita tidak tahu bagaimana tekanan politik yang akan menginvansi politisi perempuan nanti. Yang jelas, benar apa kata bang napi, “Waspadalah!”, jangan terlena pada kemenangan hari ini.


Any Rufaidah, Komunitas Studi Gender (KSG) Averroes