10.14.2008

Rasa dalam Cinta, Cinta dalam Rasa

Diary online, satu lagi yang akan saya tuliskan di dirimu. Kali ini tentang rasa dalam cinta dan cinta dalam rasa. Apa maksud judul itu? Saya tidak paham betul, tapi tidak mau ambil pusing. Saya menyenanginya, maka saya menulisnya. He he. Semalam (13/10/08), saya sempat ngobrol dengan teman sekasur. Obrolan yang menarik dan mengandung banyak makna. Bagi saya kemudian, obrolan itu perlu direkam karena akan sangat berguna untuk mengerti rasa dalam cinta dan cinta dalam rasa serta berguna untuk memupuk empati kepada sesama manusia.

Obrolan itu dimulai dari curhat-curhat ringan yang tujuan sebenarnya untuk mengatasi masalah besar. Obrolan itu kemudian menjadi dialog menarik. Tema besarnya adalah cinta dan rasa. Saya bertanya pada si kawan tentang bagaimana rasanya ditinggal orangtua. Pertanyaan itu muncul untuk membandingkan rasa dalam cinta di konteks lain. Si kawan bercerita panjang lebar tentang perasaannya. Ketika ditinggal pergi orang yang kita cintai, badan terasa lemas semua. Seperti tidak ada energi untuk menegakkan diri. Si kawan menceritakan ibunya yang kala itu terlihat lemas di depan jenazah sang suami. Untuk menegakkan badan saja sangat sulit. Si kawan melihat ibu yang berusaha menguatkan diri untuk kokoh kala itu dengan mati-matian.

Saya bertanya pada si kawan tentang bagaimana perasaannya kini. Dia mengaku, sampai sekarang kalau lewat rumah sakit tempat ayah dan ibunya dirawat, badannya masih merasa lemas. Tentu juga disertai gerakan hati yang sangat kuat. Dia bercerita (dengan suara serak karena menahan tangis), beberapa minggu setelah kematian sang ayah, seorang teman membawanya lewat jalan samping rumah sakit. Seketika melihat rumah sakit, si kawan spontan lemas. Karena tidak kuatnya dia sempat berkata kasar (misuh) pada si teman. Sampai sekarang si kawan menghindari jalur arah rumah sakit. Kalau mendengar suara ambulan juga demikian. Sampai sekarang dia merasakan getaran di hati karena teringat pada ayah dan ibunya. Meski kadarnya tidak sebesar dulu, rasa itu masih tetap ada.

Apa artinya, kawan? Jadi begitulah rasa dalam cinta dan cinta dalam rasa itu. Luar biasa, sehingga membuat diri kita tidak mampu melihat apapun yang berhubungan dengan kepergiannya. Tetapi, apakah begitu artinya? Ya….mungkin nanti ada perspektif berbeda.


(AR, Mlg, 15 Okt ’08. 01.52)

10.12.2008

Tentang Cinta

Jatuh cinta bagai kegilaan sementara
Mengguncang bagai gempa bumi, lalu mereda
Setelah reda, kalian harus membuat keputusan apakah akar kalian begitu terkait, hingga mungkinkah kalian bersama
Karena inilah cinta

Cinta bukan kehilangan nafas, atau semangatnya, atau hasrat memanfaatkan setiap menit dalam sehari, atau tak bisa tidur membayangkan bagaimana ia menciumi tubuhmu
Itu hanya jatuh cinta
Kita bisa yakinkan diri sedang mengalaminya

Cinta sendiri adalah sisanya
Sisa yang terbakar oleh jatuh cinta

Kedengarannya tak menyenangkan
Tapi begitulah adanya

(dalam film “Captain Corelli’s Mandolin”)



Melihatmu bersamanya hatiku sakit, karena aku mencintai kamu
Tapi aku melepaskan kamu ke pelukannya, karena aku mencintai kamu

(dalam film “Tentang Cinta”)


(AR, Mlg, 12 Okt’08. 17.48)

10.10.2008

Keindahan dalam Perbedaan

He…he…he. Saya ingin tertawa di awal. Tertawa tentang perbedaan yang selama ini dekat, tetapi tidak betul-betul saya nikmati. Ini adalah tentang perbedaan karakter di keluarga saya. Baru saat mudik lebaran tahun ini saya merasakan bahwa ada perbedaan karakter yang begitu mencolok antara 4 orang yang ada di rumah (ibu, ayah, adik, dan saya), dan baru kali ini saya merasakan keindahan dalam perbedaan tersebut. Kemudian, saya jadi ingin merekam keindahan itu dalam diary online ini.

Di dalam tulisan ini saya akan bercerita karakter orang-orang yang ada di rumah, termasuk saya. Ah…ini akan menarik. Mungkin ini akan menjadi kenangan yang bisa membanjiri keyboard saat saya membacanya lagi nanti, jika salah satu dari kami lebih dulu pergi (kuberdoa semoga keluarga saya panjang umur. Amiiiiin). Tetapi cerita ini hanyalah apa yang saya pahami tentang mereka secara umum dan terekam dengan sangat kasar. Kompleksitasnya sebagai manusia, mungkin saya tidak akan pernah tahu.

OK, cerita pertama saya mulai dari ayah. He he he. Ayah adalah tipe orang “pemalas”, tapi dia senang berpikir. Banyak waktunya dihabiskan untuk tidur, tidur-tiduran, duduk (mungkin sambil berpikir). Selebihnya ke sawah dan sesekali membantu ibu di toko. Saat malam, ayah senang begadang. Aktivitasnya adalah nonton TV, biasanya sambil buat makanan sendiri di dapur. Setelah itu biasanya duduk di ruang tamu yang terbuka dalam keadaan gelap. Ayah kuat duduk berjam-jam dalam suasana seperti itu. Mungkin di sana dia berpikir tentang apapun.

Selain karena dialektika hidup yang telah dilaluinya, mungkin karena hobi itu yang membuat wacana filsafatnya lumayan bisa diakui, minimal oleh saya (ha ha). Saya sering mendengarnya berdiskusi tentang banyak tema, umumnya tentang hidup. Gaya diskusinya sangat menggebu-gebu hingga kawan diskusinya tidak mampu membantah. Kadang juga saya lihat ayah hanya sedikit memberi kesempatan pada kawan diskusinya. Saya sendiri juga sering berdiskusi kecil dengannya, terutama sejak kuliah. Berdiskusi tentang cita-cita, tentang agama, tentang masyarakat, tentang organisasi, tentang Indonesia, dan juga tentang hidup. Nah, kalau diskusi dengan saya, kadang ayah mengaku tidak tahu (tidak ngotot). Mungkin karena perbedaan masa sekarang yang tidak dia ketahui lagi.

Cara berpikir ayah berbeda dengan orang-orang di kampung pada umumnya. Saya memuji bahwa dia lebih maju, luas, dan modern. Misalnya, orang kampung pada umumnya melarang anak perempuannya pergi jauh, baik untuk kuliah atau bekerja. Itu tidak terjadi pada ayah. Dia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada saya untuk memilih apa yang saya ingin, tidak ada larangan sedikit pun. Saya pikir itu karena cara berpikirnya maju, memandang jauh ke depan, bahwa pada masa nanti kuliah jauh akan menjadi biasa.

Waktu Orde Baru ayah pernah aktif di PPP. Aktivitas organisasinya cukup padat. Rekan separtainya cukup banyak. Di rumah lumayan sering ada pertemuan-pertemuan partai. Menurut pengakuannya, dia pernah mau dicalonkan untuk maju ke DPRD. Hanya sayang dia bukan orang yang tertib administrasi. Ijazah sekolahnya ditinggal di pondok pesantren, dan sampai sekarang dia tidak memegang satu pun. Setelah reformasi dimana banyak partai bermunculan, aktivitas partainya mulai surut. Kala itu PKB dengan gencar mampu menggeser dominasi PPP. Rekan-rekan separtai ayah banyak yang berpindah ke PKB. Ayah sendiri tetap stay tune di PPP karena alasan azas dan lain-lain yang saya tidak ketahui secara jelas. Kalau sekarang saya tidak tahu lagi dia di partai mana. Yang jelas, dia tidak banyak peduli pada pesta demokrasi.

Oh…ya, ada satu lagi aktivitas politik yang pernah saya ketahui, yaitu pemenangan kepala desa sepuluh tahun lalu. Ayah pernah sangat aktif memenangkan seorang kepala desa. Setelah lolos, dia dipercaya memegang LKMD. Tetapi, baru sekitar setahun dia mundur. Alasannya karena pemerintahan desa corrupt. Idealismenya bertentangan dengan pemerintahan desa, dan setelah itu dia tidak lagi bersentuhan dengan urusan desa.

Dengar-dengar dari kakek nenek, masa kecil ayah dihabiskan di pondok pesantren. Sejak kelas 5 SD dia hijrah ke Ponpes Lirboyo, Kediri hingga beberapa tahun. Tetapi meski demikian, saya tidak melihat tanda-tanda Muslim taat di dirinya. Sholatnya saja bolong-bolong. He he. Ke masjid seminggu sekali. Kakek, nenek, ibu jadi sering mengeluh karena hal itu. Saya sendiri biasanya hanya diam, karena kurang lebih begitu juga, meski pernah mondok juga. Wa ha ha. Selebihnya, ayah senang berpetualang. Dari cerita-ceritanya sendiri, saya menangkap dia sering melakukan perjalanan ke beberapa kota. Pernah minggat juga dari rumah, entah karena apa. Minggat dengan ninggal hutang. Wa ha ha. Dady, I love you.

Di satu sisi, ayah termasuk orang sensitif. Emosinya mudah tersentuh. Itu yang beberapa saat lalu sering menyulut pertengkarannya dengan ibu. Tetapi sekarang lumayan mereda setelah dia membaca sebuah buku. Penghargaannya kepada sifat ibu yang bertolak belakang lebih terlihat. Kesadarannya untuk membantu ibu lebih tampak, meski itu masih naik-turun.

OK…sampai itu saja cerita tentang ayah. Sekarang tentang ibu.

He…he...ibu adalah orang yang sangat energetik. Dia mengerjakan hampir semua pekerjaan di rumah dan hampir boleh disebut menopang perekonomian keluarga. Dia membuka toko pada jam 6 pagi sampai jam 9 atau 10 malam. Prinsipnya adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (sepertinya begitu). Ibu memasak sambil melayani pembeli yang jumlahnya tergolong banyak di toko. Sehingga masakan baru siap jam 10-an. Tidak ada tradisi sarapan pagi di keluarga saya. Kalau ada yang sarapan ya pakai nasi kemarin, itupun jika ada lauknya. Ayah sendiri tidak terbiasa sarapan karena bangunnya jam 9-an. Setelah bekerja seharian, rata-rata jam 9 malam ibu langsung tidur dengan lelap. Setiap hari dia habiskan waktu untuk rutinitas seperti itu.

Capek, tentu saja sering dia alami. Ditambah lagi dengan kebiasaan bangun siang ayah. Itu yang membuatnya sering bercerita dengan marah kepada saya. Jika saya di rumah, dia bercerita banyak tentang kebiasaan buruk ayah yang jarang membantu, kerjanya tidur, kalau malam begadang, dan besoknya nggak bisa bangun pagi.

Ibu tipe orang ceria. Wajahnya selalu sumringah. Kalau sedang ngobrol dengan orang lain selalu disertai tawa lebar. Saking cerianya volume suaranya sering tidak terkontrol. Kalau saya di dekatnya kadang telinga sampai brebeken. Saya sering mengingatkannya kalau sudah begitu. Tetapi tetap saja, senggang sedikit dia bicara dengan nada seperti berteriak lagi.

Pendidikan agama ibu boleh dibilang sedikit, tetapi dia taat beribadah. Sholatnya rajin, pengajian, dan ngaji Al-Qur’an juga begitu. Sering beramal pula. Lebaran kemarin dia menghabiskan uang di atas 500 ribu untuk anak-anak kecil dan keponakan-keponakan yang jumlahnya se-desa. He he. Entah bagaimana cara nalar ibu mengenai uang. Kalau membeli kebutuhan sendiri dia sangat perhitungan. Untuk beli baju 300-an saja mikir berulang kali, tetapi kalau memberi anak-anak kecil tidak terlalu dipikirkan. Ya…mungkin karena dia terbiasa berpikir kecil, sehingga harga bilangan bulat sangat sulit diambilnya. Berbeda sekali dengan ayah yang cenderung tidak pakai banyak perhitungan untuk urusan membeli kebutuhan sendiri.

Saya melihat perjalanan hidup ibu tidak terlalu berliku. Cara berpikirnya mainstreaming saja. Idealnya tentang hidup sulit untuk subversif. Misalnya, dia menginginkan saya berjodoh dengan orang jauh, tidak dengan orang satu kota. Kehidupan saya nanti mapan, punya mobil, punya pekerjaan tetap, dan lain-lain seperti pada umumnya. Dia sering mengatakan itu pada saya. Berbeda dengan ayah yang hampir tidak pernah ikut ngurus soal itu.

Dari sini bisa dibayangkan bagaimana lebarnya perbedaan antara ayah dan ibu? Huh…dalam sebuah rumah tangga.

Sekarang tentang adik. Adik mungkin yang paling berbeda dengan ayah, ibu, dan saya. Dia tidak menuruni gen ayah atau ibu. Tetapi meski dia saudara angkat, mungkin rasanya tidak ada bedanya dengan saudara kandung (saya tidak bisa membedakan karena tidak punya saudara kandung. He he). Adik tipe orang yang lebih suka sendiri. Dia lebih senang nonton TV. Kalau sudah nonton TV, dipanggil saja tidak dengar. Karena itu dia sering kena bentak ibu. Kalau digodain cewek dia selalu bergaya cool, tidak peduli, dan tidak menunjukkan rasa tertarik sedikit pun.

Adik tergolong anak cerdas, minimal di SDnya. Nilai NEM SDnya nomor dua. Hobinya adalah menggambar kartun. Saya melihatnya rajin menggambar sejak kira-kira kelas 3 SD. Kertas gambarnya adalah bungkus rokok. Entah memang tidak punya kertas gambar atau bagaimana, saya tidak tahu. Kalau gambarnya dilihat orang lain, adik selalu menolak. Dia selalu menyembunyikan hasil gambarnya.

Sekarang dia banyak mendapat pujian orang kampung karena rajin sholat berjamaah di masjid dan tadarusan tiap malam. Kadang saya menggodanya kalau ada orang lain sedang memujinya. Di satu sisi saya juga merasa sedikit khawatir karena kalau sudah mendapat citra tertentu, orang akan sulit keluar darinya, tidak bisa bertindak bebas karena citra tersebut. Huh…tapi biarlah, itu adalah proses hidupnya. Bagi ayah pula itu tidak masalah, biar dia berjalan sendiri sesuai apa yang disukai.

Nah, sekarang giliran saya. Ehhhhhm. Makhluk ini adalah yang paling rumit di antara yang lain mungkin. Tapi sebenarnya juga tidak. Secara umum, karakter saya mirip ayah. Karena itu kadang saya menyebut diri saya plek (persis) ayah. Pemalas, suka santai-santai, senang tidur, sensitif, tetapi kritis dan cenderung suka berpikir lah (he he). Perjalanan hidup yang telah saya lalui cukup berliku. Pada waktu kecil saya adalah anak yang taat beribadah, rajin sholat, ngaji tidak pernah telat, cerdas, tapi obsesif. Di samping itu dorongan ibu khususnya membuat saya sering ikut nyanyi dari panggung ke panggung, baik di dalam maupun di luar desa. Waktu itu saya rasakan ibu sangat bangga melihat saya suka menyanyi. Kalau ayah sih biasa-biasa saja. Saya sering menyanyi hingga SMP.

Masa-masa SMP saya tidak lagi jadi anak alim. Sering main-main, keluyuran sama teman-teman, dan juga pacaran. He he. Fase itu berubah lagi sejak SMA. SMA saya memutuskan pakai jilbab, kemudian mondok di Ponpes dekat sekolah sampai lulus. Di pondok saya berubah jadi anak alim lagi, juga cukup disegani oleh teman-teman se-pondok.

Prestasi sekolah tergolong baik. NEM SD tertinggi, SMP selalu dapat ranking lah, meski tidak satu, dan SMA selalu masuk kelas unggulan meski saya rasa itu adalah anugerah Tuhan saja. Mungkin karena doa anak pondokan atau bagaimana, pastinya saya tidak tahu. Setelah SMA saya “terjerumus” masuk UIN Malang karena gagal SPMB. Tetapi jurusan psikologi yang saya ambil tidak sepenuhnya merupakan keterjerumusan. Di tingkat UIN, prestasi diakui lah, didukung dengan beberapa prestasi dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah. Pada masa kuliah saya aktif di beberapa organisasi; PMII, jurnalistik, radio kampus, BEM, dan ikatan anak se-kota. Setahun sebelum lulus saya bekerja di sebuah LSM di Malang. Setelah lulus ambil kursus Bahasa Inggris di Kediri untuk persiapan S2.

Sambil menunggu S2, saya butuh aktivitas sampingan, maka saya pilih sebuah komunitas di Malang pula. Saat mau masuk S2, semua syarat administrasi beres, tempat tinggal di Jakarta juga sudah ada, saya terlibat pada diskusi tentang sekolah dengan seorang teman. Pemahaman saya tentang sekolah, karier, dan hidup kemudian berubah hampir total. Entah apa alasan tepatnya, kemudian saya memutuskan tidak ambil kuliah itu atau dipending dulu. Di masa ini saya boleh disebut sedang berada pada posisi tidak jelas, meski selalu ada yang dikerjakan untuk mencukupi biaya hidup.

Dalam hal asmara, ehhhhm, ini lebih berliku lagi. Tapi sebaiknya saya tuliskan di lembar lain saja. Yang jelas tingkah saya dalam asmara membuat saya mendapat beberapa sebutan. He he.

Di dalam keluarga saya boleh disebut sebagai penengah antara ayah dan ibu yang karakternya sangat berbeda. Yang terakhir, saya cukup melakukan fungsi itu. Seperti biasanya ibu mengeluhkan kebiasaan ayah dengan harapan saya bisa membantu mengubahnya. Yang saya bicarakan waktu itu adalah prinsip menghargai, nilai-nilai pluralitas, komunikasi, kesepakatan, dan lain-lain yang sejenis di dalam rumah tangga. He he. Ibu diam saja waktu itu. Ah…indah rasanya. Keindahan dalam perbedaan. Meski berbeda selalu ada sayang, cinta, kasih di dalamnya. Ada tawa jika salah satu mendapat bahagia, ada tangisan jika di antara kita tersirat sedih, dan ada rasa tak rela jika salah satu pergi. Selalu ada getaran yang menyertai hubungan itu. Dan selalu ada doa untuk kelanggengan hubungan itu. Keindahan dalam perbedaan.

OK. It’s all. Sebenanrnya ada mak yek (nenek) dan pak yek (kakek) yang juga menarik untuk diceritakan.


(AR, Mlg, 10 Okt.’08. 14.08)


Judulnya "Tanpa Judul" Saja

Bahwa aku bangga tidak menjadi antek komersialisasi, itu adalah kebenaran
Tetapi bahwa ada rasa sesal di dada kini, itu kebenaran pula
Dua tahun, empat tahun, enam tahun ke depan, entah apa yang akan kudapatkan
Mungkin aku akan jumpalitan sambil terus memaknai hidup dengan makna yang kubuat-buat

Bahwa aku bangga dicintainya, itu kebenaran
Tetapi bahwa akhirnya aku mengaku menyesal, itu kebenaran kedua
Aku tersiksa dalam kerangkeng rasa yang sulit kupatahkan
Langkah sangat sulit kuayunkan keluar darinya

Bahwa aku sering berbangga diciptakan dalam adaku ini, itu kebenaran
Tetapi bahwa aku menyesal dengan adaku kini, itu kebenaran berikutnya
Aku begitu rapuh larut dalam busa-busa mulut siapa saja
Betapa bentengku sangat mudah hancur dalam satu dua kata
Aku tak mampu menjadi karang yang teguh diterpa badai
Aku tak mampu menjadi perahu besar yang setidaknya mampu mencoba melawan arus samudera

Bahwa aku tak mampu untuk tak menyesal, itu adalah kebenaran
Tetapi bahwa aku tak tahu apakah harus mencoba menghentikannya, itu kebenaran pula

(AR, Bwi, 04 Okt. 08. 23.34)

10.06.2008

Catatan dari Kampung Halaman

Setiap lebaran, seperti Muslim di perantauan pada umumnya, saya pun pulang kampung. Bertemu keluarga, kerabat, teman, mantan pacar, dan lain sebagainya adalah hal yang sangat menyenangkan. Cerita, tawa, suka, duka, perkembangan, pertumbuhan, kemunduran, dan lain sebagainya ada di sana. Semua yang tidak ditemukan selama setahun seperti langsung bisa diserap saat lebaran, dalam waktu satu atau dua hari. Itulah salah satu indahnya lebaran.

Maha Besar Tuhan yang telah memikirkan ini untuk manusia. Ini adalah kenikmatan maha dahsyat. Selain itu, ada beberapa hal yang saya sukai saat lebaran. Di hari pertama lebaran saya selalu menemukan tangisan yang jelas didasari rasa kemanusiaan. Rasa sayang, rasa mengasihi, rasa ingin membalas budi, rasa salut atas perjuangan hidup yang selama ini dilakukan, rasa tak rela jika dia pergi. Ya Tuhan…sungguh luar biasa.

Tetapi ada juga yang tidak saya suka, setidaknya untuk saat ini. Saat bertemu keluarga, kerabat, teman, hampir pasti saya terlibat pertanyaan tentang pekerjaan. Heh, jawaban apa yang harus saya utarakan? Penjelasannya sangat rumit, bahwa saya mengerjakan ini dan itu benar-benar membutuhkan penjelasan dalam waktu cukup panjang. Tidak ada waktu bernegosiasi, kecuali dengan diri bahwa ini pilihan jawaban yang paling tepat. Tidak boleh ada dua atau lebih, karena dua atau lebih sulit dimengerti oleh banyak orang. Ada semacam tuntutan “kemapanan” yang harus ditampilkan. Setidaknya itu yang saya mengerti dari jawaban yang dimau banyak orang di kampung halaman.

Pekerjaan Rasulullah apa sih? He he….

(AR, Bwi, 04 Okt. ’08. 14.24)

Ja’i dan Jay

Tulisan ini adalah tentang seseorang “yang tak dianggap” oleh sebagian besar orang. Saya menyebutnya “yang tak dianggap” karena gangguan mental yang dialaminya. Genealogi Foucault tentang madness and civilization terjadi padanya dan hampir semua orang yang mengalami hal sama. Tetapi dia sering membuat orang lain tertawa. Seseorang itu bernama Ja’i.


Saat mudik lebaran ini, dua kali saya melihatnya. Seperti biasanya, di jalanan dengan baju seadanya dan kresek atau kantong beras di tangannya. Melihatnya yang kedua kali, memori langsung melompat pada tingkahnya saat saya SMP. Selang sedikit setelah lompatan itu, otak tiba-tiba ingin merekamnya. Melalui tulisan. Saya pikir, ini bagus. Ja’i, seseorang “yang tak dianggap”, tetapi sering membuat orang tertawa. Tertawa karena tingkah Ja’i, saya pikir kemudian adalah sebuah jalan kenikmatan yang diberikan Tuhan. Kemudian, “saya harus berterima kasih pada Ja’i, atau jika tidak langsung, setidaknya mensyukuri tawa karena tingkahnya itu”. Itu yang menuntun untuk menuliskan ini, sebagai sebuah rekaman saja, catatan kenangan, rasa terima kasih, atau rasa syukur atas tawa jika tidak berlebihan. Kemungkinan besar Ja’i tidak akan pernah tahu tulisan ini, but it’s ok, itu tidak jadi masalah.

Saya tahu Ja’i sejak SMP. Dia sering “mangkal” di SMP dan sekitarnya. Meski mengalami gangguan mental, secara fisik masih lumayan terawat. Pakaiannya masih enak dipandang. Tidak ada bagian vital tubuh yang terumbar. Dia masih bisa bekerja. Kresek atau kantong beras di tangan yang dibawa setiap hari itu adalah untuk tempat hasil pungutannya. Biasanya gelas atau botol air mineral yang dipungutnya di jalanan. Entah untuk siapa dan kepada siapa Ja’i bekerja, saya dan teman-teman tidak tahu detailnya. Dulu Ja’i hanya di daerah SMP dan sekitarnya, tapi sekarang dia berjalan sampai daerah kampung saya. Jaraknya kira-kira 7 km dari SMP. Bagaimana ceritanya, saya tak tahu.
Pada umumnya teman-teman se-SMP dan juga sekolah lain memanfaatkan celoteh Ja’i yang konyol sebagai bahan tertawaan. Terutama teman-teman cowok, mereka sering menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan asal. Lalu kami semua tertawa mendengar jawabannya. Gaya bicaranya sangat konyol dan blak-blakan, dan selalu disertai tawa ceria yang menunjukkan rasa tidak bersalah atau rasa apapun. Dia senang nggoda cewek-cewek, termasuk saya. Tak jarang dengan centil dia mengarahkan tangannya pada kami yang cewek-cewek, kemudian kami berlari karena takut dan geli. Ha ha ha.

Yang paling teringat dari kekonyolan Ja’i adalah, saat ditanya, “Namamu siapa?” dia selalu menjawab, “Jay”. Dia menjawabnya dengan ekspresi PD yang besar. Wa ha ha ha. Lalu kami semua tertawa mendengar dan melihatnya. Pertanyaan itu kami ulang berkali-kali, dan selalu meledakkan tawa yang sama. Ja’i….Ja’i, dia pernah menghibur kami dengan yang dianggap semua orang sebagai kekurangan.

“Hai….Ja’i, lebaran kemarin aku melihatmu di jalanan. Dengan penampilan yang sama seperti saat aku SMP. Kau tidak berpikir lebaran kan? Sekarang kau tampak lebih tua. Hai….Ja’i, ijinkan aku mengenangmu dalam coretan singkat ini. Kau pernah membuatku dan kami tertawa. Terima kasih ya. Maha Besar Tuhan yang membedakan manusia hanya dari ketaqwaannya. Kau telah membahagiakanku dan kami dengan “kekuranganmu”, maka kau sama berhaknya dengan manusia lain atas kebahagiaan yang disediakan Tuhan nanti, dalam kesempurnaanmu nanti. Ya Tuhan, mungkin nanti jika kau dulu yang meninggalkan dunia ini, kuingatkan diriku sendiri semoga ingat untuk mendoakanmu”

(AR, Bwi, 05 Okt. 23.38)