6.19.2008

Borderless World

Oleh Any Rufaidah

TAK dipungkiri saat ini kita hidup dalam dunia yang dalam bahasa Yasraf A. Piliang adalah dunia tanpa batas (borderless world). Seperti dalam pengertian umum, tanpa batas berarti serba berkemudahan. Apa yang ada jauh di luar sana dapat diakses dengan mudah. Tinggal sekali klik, maka muncul lah informasi yang dikehendaki. Tak perlu disebutkan contoh-contohnya, rasanya sudah dipahami. Di satu sisi, borderless world memberikan banyak sekali keuntungan. Itu sudah tidak diragukan. Namun, sisi negatifnya juga tidak kalah banyak.

Ya…begitulah. Setiap sesuatu mengandung resiko. Saya jadi teringat ungkapan teman setahun lalu. Waktu itu dia akan melakukan perjalanan. Seperti umumnya pertemanan, saya mengingatkan dia agar hati-hati. Lebih-lebih waktu itu banyak sekali kecelakaan yang terjadi. KM Senopati baru saja tenggelam, kereta api di Jawa Tengah putus dan mengorbankan banyak orang, dan baru saja pesawat Batavia Air mendarat di pemukiman penduduk

Saya menyebutkan kecelakaan-kecelakaan itu dalam SMS. Kemudian dengan singkat teman saya itu membalas, “Di rumah pun ditabrak pesawat”. Hahaha. Kenapa saya lupa bahwa Batavia Air mendarat di pemukiman penduduk? Artinya, di rumah pun tidak bisa bebas lepas dari resiko.

Beberapa waktu lalu, ada teman yang menceritakan seorang pengendara sepeda motor tewas karena menghindari lubang jalan. Dia menghindari lubang kemudian dihantam bus. Itulah yang kata seorang teman merupakan bagian dari impossible is nothing.

Kembali ke borderless world. Dalam hemat saya, dunia maya, dunia virtual, atau apapun namanya mengandung dampak yang besar. Pertama, menjauhkan manusia dari realitas sosial sesungguhnya. Ada banyak orang yang kecanduan dengan dunia ini. Hampir seluruh waktu mereka habiskan dalam dunia tersebut. Sensitivitas sosial jadi hilang.

Kedua, membudayanya plagiatisme. Dalam dunia virtual yang menyediakan fasilitas publikasi memungkinkan semua orang mempublikasikan ide, karya, dan informasi apapun yang dimiliki. Ini merupakan sebuah perkembangan yang sangat baik bagi transformasi ide. Tetapi sifat dunia virtual yang tanpa batas menyebabkan budaya negatif. Singkatnya, di sana muncul budaya plagiatisme. Dan itu sudah banyak terjadi.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Kita memang tidak bisa bertahan untuk tidak menyentuh borderless world, tetapi kita tetap bisa mempertahankan idealisme”. Entah hanya 60% atau 70%. Hahaha. Itulah “takdir” manusia. Selalu berkonflik. (Malang, 19 Juni 2008. 12.27).



Jika Kau Tahu

Any Rufaidah

Jika kau tahu kencangnya debar jantung
saat suara menuturkan namamu
kau tak kan membiarkan hatinya hancur begitu saja

Jika kau tahu derasnya aliran darah saat suaramu terdengar
maka kau tak kan sampai hati melihat pecahan-pecahan hatinya
Jika kau tahu harapan cinta saat kau tampak di matanya
maka kau tak kan pernah rela membiarkannya terluka

Malang, 21 Maret 2008