12.26.2009

Irshad Manji

Irshad Manji (41) adalah Muslimah kelahiran Uganda yang hidup di tengah “tradisi” kekerasan dan perbudakan. Di usia empat tahun, ia dibawa berimigrasi ke Kanada. Imigrasi adalah satu-satunya pilihan ribuan warga Uganda sebagai konsekuensi kediktatoran Idi Amin Dada untuk membersihkan warga selain kulit hitam. Tidak ada pilihan bagi kulit berwarna untuk tinggal kecuali dengan mengorbankan nyawa. Kediktatoran Amin Dada beberapa generasi berikutnya benar telah usai, tetapi kekerasan dan perbudakan tidak beringsut sedikit pun. Hanya perbedaan objek saja. Kali ini adalah terhadap orang-orang berkulit hitam.

Irshad adalah sosok kritis. Sejak kecil ia sudah mempertanyakan hal-hal besar yang dilihatnya. Mengapa ada perbudakan pada keluarga-keluarga Muslim?, ada apa dengan Islam?, hingga remaja dan dewasa pertanyaan tersebut semakin penting baginya. Suasana lebih demokratis di Kanada adalah iklim yang cocok bagi Irshad untuk berpikir tentang hal-hal “nakal” tersebut. Suasana itu yang pada akhirnya mendukung sosok Irshad tumbuh sebagai pemberani, atau dalam penamaannya adalah Muslim Refusenik.

Irshad kecil diasuh oleh suster-suster Gereja Baptis Rose of Sharon. Irshad dan kakaknya sering dititipkan di sana sampai orangtua mereka usai bekerja. Hari-hari di gereja memberikan banyak pelajaran bagi Irshad. Ia mempelajari injil, dan seperti biasa mempertanyakan apapun yang dilihat dan didengar mengenai agama. Kekritisan membawa Irshad yang kala itu masih delapan tahun mendapat penghargaan tahunan sebagai Orang Kristen Paling Menjanjikan.

Namun sayang bagi Irshad, penghargaan justru memotivasi sang ayah untuk mengambilnya dari gereja. Madrasah adalah tempat yang harus dimasuki berikutnya. Madrasah yang terletak di Richmond itu beriklim tidak nyaman bagi Irshad. Pola pendidikannya dipenuhi dengan otokrasi dan pembedaan. Pengkotak-kotakan laki-laki dan perempuan dalam batas-batas yang tidak semestinya dilakukan secara “normal”. Doktrinasi yang mensaratkan pembungkaman terjadi dengan wajar di sana. Irshad, sebagai anak kritis sering mendapat perlakuan tidak nyaman dari pengajar akibat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Ia pernah diusir pula akibat kekritisan yang tak umum itu.

Pendidikan tingkat pertama Irshad diselesaikan di J.N. Burnett. Jiwa kepemimpinan Irshad teraktualisasi di sana, yaitu dengan menjadi ketua Osis. J.N. Burnett memberi pelajaran sekaligus perbandingan antara otokrasi dan demokrasi. Antara budaya Muslim Afrika Timur dengan Kristiani di tempatnya sekarang. Perbandingan otokrasi dalam masyarakat Muslim dan demokrasi dalam masyarakat Barat adalah hal besar yang membawanya menjadi pemburu kebenaran. Seperti musafir di padang pasir, Irshad kehausan jawaban atas pertanyaan mengenai agama dan realitas kehidupan Islam. Menyelinap ke perpustakan yang tak boleh ia masuki sebagai perempuan hingga menjadi apa yang ia sebut “tikus mall” untuk mendapatkan Al Qur’an berbahasa Inggris dilakukan untuk mencari jawaban atas makna Islam.

Irshad dewasa bekerja sebagai pemandu acara bernuansa dialog agama di Queer Television. Proses belajar yang telah ditempa dengan cara yang tak biasa membuatnya lihai berbicara tentang agama. Memproduksi acara TV dan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tayangan adalah rutinitas padat yang harus ia lalui. Di samping itu, melayani dan menjawab berbagai “serangan” yang ditujukan padanya sebagai Muslimah liberal adalah kesibukan yang tak kalah menyita waktu. Pertanyaan tentang ketuhanan sampai pilihan seksual sebagai lesbian menjadi tema yang harus ia jawab. Tetapi itu yang membuat Irshad terus berintrospeksi dan mempelajari agama secara lebih mendalam.

Selain sebagai seorang Muslim liberal, Irshad tanpa ragu menyebut dirinya feminis. Penobatan diri sebagai feminis bukan hanya keputusan ikut-ikutan bagi Irshad. Ia mengambilnya sebagai sebuah kesadaran. Kesadaran atas penindasan terhadap perempuan, khususnya pada budaya Arab yang mengaku paling Islam. Hingga hidupnya kini, Irshad tetap teguh memegang keyakinannya sebagai Muslimah yang disebutnya refusenik, orang yang memperjuangkan kebebasan beragama dan kebebasan pribadi, dan sebagai feminis.

Irshad menulis karya The Trouble with Islam Today: A Wake-up Call for Honesty and ChangeKarya tersebut mengundang kontroversi di kalangan Muslim. Beberapa negara Islam melarang bestseller internasional tersebut masuk ke wilayahnya. Irshad juga harus ekstra menjaga diri karena teror setelah terbitnya karya tersebut. Hal itu menjadi alasan untuk tidak berumah tangga atau memiliki anak pula.

Meski demikian, The Trouble with Islam Today kini telah tersebar di 30 negara. Dalam edisi Indonesia, Irshad memberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Terbitan pertama edisi Indonesia baru pada bulan April 2008 atau tiga tahun setelah edisi bahasa Inggris. Pemikiran Irshad memang belum dikenal luas, tetapi pada kalangan pemikir Islam generasi muda dan gerakan perempuan nasional, misalnya pada Wahid Institute dan Koalisi Perempuan Indonesia, ia diterima dengan terbuka (Vintage, Canada: 2005).

Atas pemikiran dan keberaniannya, beberapa lembaga memberi Irshad penghargaan. Oprah Winfrey memberi Chutzpah Award atas keberanian, tekad, ketegasan, dan keyakinannya. Majalah Ms. Menjuluki Irshad sebagai Feminis Abad 21. Maclean’s memberi penghargaan Honor Roll 2004 sebagai ”Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh” dan The Jakarta Post mengakuinya sebagai satu dari tiga Muslimah yang mampu membawa perubahan positif dalam Islam.

Irshad kini menekuni aktivitas di beberapa bidang. Sebagai mentor mahasiswa muda dengan spesifikasi hak asasi manusia dan kebijakan publik pada The Pierre Trudesu Foundation Montereal, Kanada, sebagai dewan editorial antariman di majalah Seventeen New York, dan menangani Project Ijtihad, lembaga yang dirintis untuk pergerakan reformasi liberal bagi para Muslim muda, dijalankan secara bersamaan.
Penyiksaan terhadap pelayan dan pekerja kulit hitam berlangsung “normal” pada keluarga-keluarga Muslim Afrika Timur kala itu. Tidak terkecuali di dalam keluarga Irshad. Pemukulan terhadap Tomasi, pelayan keluarga sudah biasa dilakukan oleh sang ayah.

Bahan Bacaan
Manji, Irshad. 2008. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umam Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher dan Koalisi Perempuan Indonesia.

Any Rufaidah, Depok, 27 Desember 2009
Tulisan ini dipublikasikan pula pada www.averroespress.net