6.07.2008

Dipan di Jalan Beraspal


Cerpen: Any Rufaidah

“Aku berangkat, Bu”, suara tua pak Narto terdengar lirih.
“Kapan pulang, Pak?”
“Sampai barangnya laku”
“Dua hari?”
“Aku tidak tahu”
“Seminggu?”
“Aku juga tidak tahu. Pokoknya sampai barangnya laku”
“Dua minggu?”
“Mungkin saja”
“Hati-hati, Pak?”, dengan suara berat, bu Minah, perempuan yang setia mendampingi pak Narto selama 40 tahun itu berpesan.

Sambil menyerahkan sebungkus nasi, sebotol air, dan singkong rebus yang dikemasnya dalam kresek hitam, bu Minah melepas kepergian suaminya dengan wajah pilu. Bagaimana perempuan itu tidak berat membiarkan suaminya pergi, usia suaminya sudah senja, hampir tidak ada satu pun rambut yang tidak berwarna putih. Kumis dan alisnya juga hampir berwarna sama. Seharusnya dia istirahat, menikmati masa tuanya di rumah, bukan pergi tanpa tahu tujuan, tanpa tahu waktu. Apalagi tidak membawa cukup bekal. Hanya uang 10 ribu dan makanan untuk sehari. Tapi mau bagaimana lagi, pak Narto tidak mungkin membiarkan istrinya kelaparan. Dia tidak peduli seberapa berat perjalanan yang akan ditempuh.
Pak Narto berangkat, menuntun sepeda tua yang mengangkut dipan yang akan dijualnya. Sebenarnya berat menjual dipan kuno itu. Itu barang bawaan orang tua bu Minah waktu menikah dulu. Tapi apa mau dikata? Dia harus rela, kecuali jika mau kelaparan. Hanya dipan yang jumlahnya dua. Kursi, bupet, lemari, hanya ada satu. Dulu lemari memang ada dua, tapi sudah dijual ke tetangga. Kini giliran dipan yang harus dijual berkeliling karena tidak ada tetangga yang membelinya.
Jalan beraspal masih terlihat lengang, lalu lalang sepeda motor dan mobil masih bisa dihitung. Pak Narto memang sengaja berangkat jam 5 pagi agar tidak panas. Sebelum mulai mengayuh sepeda tua di jalan beraspal itu, pak Narto berhenti sejenak, menyaksikan panjangnya jalan. Panjang sekali jalan itu. Tidak berujung. Dia tidak tahu berapa kilo jarak yang mampu ditempuh. Tapi dia harus melampauinya sampai dipan yang dibawanya terjual. Sejauh apapun. Kemudian dia mengayuh sepedanya, pelan. Bukannya tidak punya tenaga, tapi dipan yang dibawanya memang berat. Dia kesulitan mengatur keseimbangan tubuhnya yang renta dengan berat dipan. Bayangkan saja, bahannya kayu jati. Kalau tidak ada papan yang menyangga, sepeda tua yang mengangkutnya mungkin sudah patah.
Pak Narto menyusuri jalan sambil menikmati hembusan angin yang masih terasa sejuk. Dia jadi teringat masa lalunya, mengayuh sepeda di pagi hari, merasakan sejuknya udara pagi. 30 tahun lalu, setiap pagi dia bersepeda, mengantarkan anaknya ke sekolah. Di jalan, dia sering balapan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu lain yang juga mengantarkan anaknya ke sekolah. Anak-anak menikmati balapan orang tuanya. Bahkan mereka jadi supporter dengan berteriak-teriak lantang. Tidak peduli banyak orang menganggapnya aneh. Mereka menikmatinya. Tapi sayang, Nahdi, anak laki-laki yang sangat disayangi pak Narto itu meninggal karena kecelakaan. Pak Narto menyesal atas kejadian itu. Dia merasa bersalah karena terlambat menjemput. Nahdi akhirnya jalan kaki. Tepat di tikungan, sepeda motor yang melaju kencang menabraknya. Sejak itu, berakhirlah semua. Pak Narto tidak pernah lagi bersepeda di pagi hari, merasakan sejuknya udara, balapan dengan orang tua lain, atau mendengar teriakan anak-anak yang jadi supporter setia. Kenangan itu tidak bisa diulang karena bu Minah tidak bisa mengandung lagi. Mau mengadopsi anak pun pikir-pikir. Yang biasa mengadopsi anak itu kan orang kaya? Kalau tidak, sama saja menyengsarakan anak orang. Karena itu pak Narto dan bu Minah tidak berani mengadopsi anak.
“Dipan Bu, Pak”, suara pak Narto mulai diperdengarkan kepada orang-orang yang baru saja memulai aktivitas pagi hari.
“Dipan kayu jati, Bu, Pak”, terus dia tawarkan dipan itu.
***
Matahari mulai menguning, sedikit demi sedikit kesejukan udara pagi menghilang. Jumlah kendaraan pun semakin padat. Tapi belum ada seorang pun yang memanggil pak Narto untuk sekedar melihat dipannya. Satu per satu mereka menjawab, “Mboten, Pak”. Pak Narto berharap ada orang yang memanggilnya, membeli dipan yang dibawanya itu. Jadi tidak usah jauh-jauh dia menyusuri jalan beraspal. Pulang membawa uang, memberikannya pada bu Minah, lalu bu Minah membeli beras untuk persiapan satu bulan. Masalah bumbu dan sayur gampang. Di pekarangan rumahnya sudah tersedia beraneka bumbu dan sayur. Cabai, tomat, laos, kunyit, jahe, bayam, jagung, kacang panjang, semua ada. Bu Minah tinggal memasak sayur-sayur itu bergiliran, seperti jadwal biasanya. Hari senin masak sayur bayam, selasa, jagung, rabu, kacang panjang, dan seterusnya. Lauknya tahu-tempe atau ikan teri, ditambah sambal jeruk purut, sudah nikmat. Kalau sudah bosan dan kebetulan ada dana lebih, baru bu Minah masak ikan laut atau daging. Tapi itu jarang sekali, setahun mungkin hanya tiga atau empat kali. Kalau tidak begitu, bulan depan mau makan apa? Pak Narto hanya seorang tukang cangkul ladang. Penghasilannya tidak seberapa. Apalagi sekarang, sudah jarang orang yang menyuruhnya menggarap ladang. Tenaganya sudah berkurang. Jadi, orang-orang enggan menyuruhnya. Ladang yang dulu dikerjakan hanya 2 hari, sekarang bisa sampai 4 hari. Karena tidak ada penghasilan, terpaksa dia dan istrinya menjual barang-barang di rumahnya, termasuk dipan itu.
Pak Narto terus mengayuh sepeda tuanya dan memperdengarkan suaranya yang juga tua. Satu kilo, dua kilo, tiga kilo, terus begitu. Sementara, matahari semakin tinggi, sinarnya semakin terik, membuat butiran-butiran debu mengkilat menyilaukan mata. Pak Narto mulai merasakan panas, tenggorokannya mulai terasa kering. Dia mencari pohon rindang untuk tempat istirahat. Ya...pohon asam itu. Dia berhenti di bawah pohon asam, menyandarkan sepeda tuanya, lalu meneguk minuman di botol yang dibekali istrinya. Rasanya sangat segar, lebih segar daripada saat minum di ladang. Padahal airnya sama, yang memasak juga orang yang sama, bu Minah. Mungkin karena panas di jalan raya melampaui panas di ladang. Lebih-lebih udara kotor, debu yang beterbangan, menambah keringnya tenggorokan.
Pak Narto menyandarkan dirinya pula di pohon asam, menikmati semilir angin yang dikipaskan daun asam. Semilir angin itu terasa begitu nikmat hingga membuat pak Narto terasa ngantuk. Menyadari kantuknya, pak Narto segera bangkit, mengemas minuman ke kresek hitam semula, memasang topi koboi ala pedesaannya, lalu mengayuh sepedanya kembali. Meneriakkan suara tuanya pada orang-orang untuk mendapatkan beberapa lembar uang.
“Dipan, Bu”.
“Dipan, Pak. Bahannya jati asli”. Tak bosan-bosan laki-laki berbaju coklat tua itu menawarkan barang dagangannya. Tapi keadaan masih sama. Belum ada orang yang memanggilnya. Padahal sudah cukup jauh jarak yang ditempuh. Pak Narto sudah tidak tahu daerah yang dilalui sekarang. Apakah itu masih Pasuruan, tempat tinggalnya, atau sudah kota lain. Maklum, dia tidak bisa baca. Apalagi sejak Nahdi meninggal, Pak Narto sudah jarang jalan-jalan. Waktu Nahdi masih hidup, masih ada yang mengajak jalan-jalan, ke kota atau ke tempat-tempat rekreasi yang harga tiketnya murah.
“Dipan..Dipan. Jati Asli” kali ini pak Narto melantangkan suaranya. Sudah bosan dia mengayuh sepeda dengan tenaganya yang semakin berkurang. Sudah berbusa-busa mulutnya menawarkan dagangannya. Mungkin suara lantang akan membuat orang-orang di dalam rumah mau keluar untuk memanggilnya.
“Dipan..Dipan. Jati Asli”
“Dipan..Dipan. Jati Asli”, lama-lama suara itu terdengar bergetar, serak, menggigil.
“Aaah…tenggorokanku terasa kering lagi”, gumam pak Narto dalam hati. Kali ini dia mencari masjid karena azan dzuhur sudah berlalu setengah jam lalu. Tak jauh, pak Narto menemukan langgar kecil. Dia turun, menuntun sepeda tuanya ke area langgar. Kemudian lmengambil botol minuman dan meneguknya, lalu duduk di beranda langgar, melemaskan kakinya yang berkulit keriput. Di tengah istirahatnya, Pak Narto menyadari, bajunya basah terlumuri keringat.
“Waduuuh…bagaimana ini? Tidak bawa baju ganti lagi. Sholat pakai apa?”, Pak Narto memikirkan cara untuk sebaik mungkin menghadap Khaliq. Ya…dia sudah tahu caranya. Dilepasnya baju di badannya, lalu dia cantelkan ke pagar langgar yang terbuat dari bambu. Sambil menunggu terik matahari mengeringkan baju dan menghilangkan bau keringat yang menempel, pak Narto melanjutkan istirahatnya di beranda langgar. Memutar-mutar leher, menekuk-nekuk lengan, dan memijat-mijat kakinya. Sekilas pak Narto teringat istrinya. Bu Minah sangat pengertian. Dia tahu kapan pak Narto pegal-pegal. Tapi pak Narto terkadang nakal. Dia sering memanfaatkan kebaikan istrinya. Setiap hari minta dipijat, meski tidak pegal-pegal. Pak Narto melirik kondisi baju yang masih tercantel di pagar bambu langgar. Sepertinya sudah kering, dia harus segera mengambilnya dan menggunakan untuk menunaikan ibadah sholat. Pak Narto mulai melantunkkan kalimat-kalimat toyyibah, membungkukkan badan, menempelkan kening pada sajadah suci, lalu memanjatkan doa dengan khusuk, Ya Rabbi, Hamba mohon, dipan hamba segera laku. Amiiin. Pak Narto mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Penuh harap hingga matanya berbinar-binar karena kumpulan air yang menggenang. Andai tidak harus melanjutkan ihtiar, mungkin sajadah tempatnya menempelkan kening sudah terbasahi dengan hujan air mata. Dia bangkit, menuntun sepeda tua yang mengangkut dipan, mengayuhnya kembali, menawarkan dipan kembali. Sepanjang jalan pak Narto melakukannya dengan menahan sengatan matahari, menahan sakitnya urat-urat di seluruh badan, dan menahan keringnya tenggorokan. Dia lalui terus jalan berlubang, bergelombang, menanjak, menurun, dan lain sebagainya. Hanya sesekali dia berhenti, mengobati keringnya tenggorokan dan menyapu keringat yang bercucuran.
***
“Ini sudah sore, dipannya belum laku juga. Bagaimana ini? Aku harus tidur di mana?”, sambil terus mengayuh sepeda tua dan menawarkan dipan yang dibawanya, pak Narto berpikir. Dia tidak punya saudara atau kawan. Jangankan saudara atau kawan, daerah yang dilalui saja tidak tahu. Sementara sinar mentari semakin redup. Lampu-lampu kendaraan mulai dinyalakan.
“Apa aku pulang saja? Ah…tidak. Aku tidak mungkin pulang kalau belum menukarkan dipan ini dengan uang. Minah akan kecewa kalau aku tidak bawa uang”, pikiran itu menuntunnya tetap berjalan sampai menemukan kumandang sholawat santri dari sebuah musholla kecil lagi. Suara itu membawanya menemukan jawaban di mana harus melalui malam.
“Ya…di musholla saja. Besok, pagi-pagi baru kulanjutkan perjalanan.
Pak Narto mempercepat ayuhan kakinya. Dia ingin ikut sholat berjamaah, kemudian berdzikir bersama jamaah itu. Apalagi, seharian hanya bersuara sendiri, tidak bercengkerama dengan siapa pun. Dengan gerak cepat, pak Narto menyandarkan sepeda tuanya, mengambil air wudlu, lalu masuk dalam shaf jamaah. Indah rasanya melakukan sesuatu bersama-sama. Mengucapkan kalimat “Aaamiin” bersama, rukuk bersama, sujud bersama, berdzikir bersama, dan saling menjabat tangan bersama. Indah rasanya. Beberapa orang bapak menyapa pak Narto, mengajaknya bercengkerama tentang apa pun yang terlintas sampai tidak terasa azan isya’ berkumandang. Setelah itu pak Narto melalui malam di musholla sendiri. Tiba-tiba perutnya berbunyi, memanggil jatah yang harus diberikan. Pak Narto lupa makan seharian. Dia tidak tahu, bagaimana perutnya bisa menahan lapar seharian? Untung saja, lauk yang dimasak istrinya tidak berkuah, jadi tidak basi. Pak Narto langsung malahap nasi berlauk telur ceplok, tempe, dan sambal goreng yang dibungkus dengan daun pisang itu. Lalu dia duduk, menunggu usus-usus dan lambung mencerna makanan. Setengah jam dia duduk di beranda musholla itu sambil mengamati kendaraan-kendaraan yang melintas. Setelah dirasa cukup, pak Narto merebahkan badan di lantai musholla yang beralaskan karpet hijau. Dia lepas semua kelelahan yang terkumpul sehari ini. Melupakan semua hingga fajar menyapa.
***
Pagi berjalan dengan sendirinya, memaksa pak Narto melanjutkan perjalanan yang tak diketahui tujuan dan waktunya. Seperti semula, dia mengayuh sepeda tua, memperdengarkan suaranya.
“Dipan…dipan…”
Setengah hari pak Narto melalui perjalanan. Tiba-tiba dia terhenti, melihat daerah seperti hutan di depannya. Dia mendekati rimbun pohon-pohon yang terbelah oleh jalan beraspal itu.
“Bagaimana ini? Aku harus melewati hutan”.
Lagi-lagi pikiran harus membawa uang saat pulang menuntun pak Narto meneruskan perjalanan. Dia lalui saja hutan yang jarang dilalui kendaraan itu. Hanya sekali dia berhenti, mengisi perut dengan singkong rebus yang memang disisakan untuk makan hari itu. Bagi pak Narto, singkong sama saja dengan nasi. Dia dan istrinya sering makan singkong rebus untuk menghemat beras. Apalagi kalau persediaan beras tinggal sedikit, biasanya siang makan nasi, malam makan singkong rebus. Begitulah biasanya.
Dua jam pak Narto menembus hutan. Dia melihat kota baru di depannya. Entah apa namanya, dia tidak berpikir kota apa itu. Yang dia pikir hanya bagaimana agar dipannya laku.
“Dipan…dipan…”, pak Narto memulai teriakannya di kota yang baru diemui.
“Dipan…dipan…”, begitu seterusnya. Tapi keadaan tetap sama. Dipannya belum laku juga. Sementara tubuhnya mulai lemas, napasnya terdengar tersengal-sengal. Pandangannya berkunang-kunang. Sialnya lagi, air di botol sudah habis, singkong rebus tidak tersisa. Tapi pak Narto belum menyerah juga. Dia memaksa tubuhnya agar tetap bekerja di tengah sinar matahari yang masih terik. Tetap begitu, seterusnya begitu.
Sial! Meskipun semangat tetap kuat, badan tetap tidak bisa dipaksa. Tangan dan kaki pak Narto gemetaran. Kemudinya mulai tidak terkendali. Lalu dia terjatuh bersama sepeda tua dan dipannya. Tapi pak Narto masih memaksa diri. Dia bangkit, menuntun sepeda, dan menepi di sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya jatuh. Dengan muka memerah dan suara gemetar, dia minta minum pada seorang ibu pemilik rumah itu.
“Nak, minta minum”, kalimatnya singkat karena tak kuat lagi membuat kalimat untuk berbasa-basi. Perempuan setengah baya itu dengan cepat mengambilkan minum. Kemudian mengambilkan sepiring nasi. Tentu saja, pak Narto menyantapnya dengan lahap. Itu bukan keadaan yang baik untuk menyembunyikan rasa lapar.
“Bapak dari mana?”, tanya bu Isma, perempuan pemilik rumah itu.
“Dari Pasuruan, Nak”.
“Pasuruan?”, tanya bu Isma heran.
“Iya, Nak”.
“Dari Pasuruan Bapak bersepeda membawa dipan itu?”, tambah bu Isma dengan lebih heran.
“Iya, Nak”.
“Dipannya mau dibawa ke mana, Pak?”.
“Dijual, Nak”.
“Berapa harga?”.
“150. Kalau Nak…?”
“Isma”.
“Iya. Kalau Nak Isma mau 125 saja, karena Nak Isma sudah memberi saya makan”.
Bu Isma bergegas masuk ke dalam kamar.
“Ini, Pak. 150”.
“Nak Isma membelinya?”
“Iya, Pak”
“Alhamdulillah. Tapi, 125 saja, Nak”.
“Nasinya itu saya kasih, Pak. Tidak beli. Sudah, itu sudah murah. Bahannya kayu jati, suami saya suka barang-barang kuno.
Pak Narto bergegas berdiri menurunkan dipannya. Dengan bantuan bu Isma, dia mengangkat dipan itu di tempat yang diminta bu Isma.
“Terima kasih, Nak. Saya pamit dulu”.
“Ini sudah sore, Pak. Bapak nginap saja di sini. Besok pagi-pagi baru pulang”.
“Tidak, Nak. Istri saya sudah menunggu. Mungkin sekarang dia tidak makan karena tidak ada uang. Saya harus cepat-cepat memberikan uang ini padanya. Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalasnya”.
Bu Isma tersentuh mendengar ucapan laki-laki tua itu. Tak tersadari matanya terasa berat karena menyimpan kumpulan air. Dia tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya mengayuh sepeda dari Pasuruan sampai Banyuwangi. Dia memandangi pak Narto yang mengayuh sepeda dengan semangat dan membalas lambaian tangannya yang disertai tawa sumringah itu.
S e l e s a i
Malang, 14 Agustus 2007