11.09.2010

Pikiran kecil saja

Ini pikiran kecil saja, yang hadir tengah malam 7 November 2010, yang muncul begitu saja tanpa terketahui apa yang memicunya. Ah, bukankah banyak sekali hal-hal yang muncul tanpa terketahui sebabnya. Itu adalah bagian dari kemahatakberdayaan manusia memahami setiap apa yang terjadi. Tema besar dari pikiran ini adalah soal korelasi. Kasusnya adalah barokah dan tidaknya rejeki.

Pernah (dan sering) saya (dan mungkin kita) mendengar penjelasan mengapa saudara-saudara kita yang bekerja sebagai buruh migran tetap saja melarat, tak ada materi yang menunjukkan kemakmuran meski dikabarkan uang yang didapatkan sangat menggiurkan jumlahnya. Katanya karena perilaku saudara-saudara selama di luar negeri kerap menyalahi norma-norma sosial dan agama. Maka katanya wajar jika hasil kerja tidak ada dan materi yang sudah terkumpul cepat terjual. Akhirnya tetap saja melarat.

Hmm. Begitukah penjelasannya? Saya meragukan nalar tersebut. Soal tetap melarat adalah soal tidak adanya keberlanjutan penghasilan, bukan terkait langsung dengan bagaimana cara kita mendapatkan rejeki atau tingkah laku selama mengais rejeki itu. Jika kawan-kawan ex buruh migrant tetap berada pada keadaan yang dulu bukan karena perkara mereka berperilaku buruk semata-mata, melainkan karena tidak adanya sustainability penghasilan. Banyak orang-orang penting di negeri ini tetap kaya meski tingkah lakunya demikian terlihat adanya. Bagaimana menjelaskannya? Tak lain itu karena mereka terus berpenghasilan/mendapat aliran uang. Bagaimana nalarnya uang kawan-kawan ex buruh migran, misalnya, habis tanpa diketahui dan kemudian itu dihubungkan dengan ketidakbarokahan akibat perilaku? Ini persoalan yang sangat rasional: uang habis karena dibelanjakan. Semua pasti pas hitungannya.

Any R.
Depok, 8 November 2010. 00.51.

Salam untuk Nuril

5.14.2010

Pacha, Chalwanka, Inca



Perjalanan kecil dengan keperluan mengantar seorang kawan ke sebuah mall mengantarkan saya pada sesuatu yang mengagumkan, yang sama sekali baru, yang menyadarkan pada keindahan anugerah Tuhan yang disebarkan di muka bumi. Lelaki paruh baya dengan pakaian dan ikat kepala etnik sedang memainkan alat musik berbentuk angklung dengan ukuran kecil. Ia menebarkan nada-nada indah yang bukan hanya seperti menarik telinga saya untuk mendengar, tetapi juga semacam menghanyutkan hati saya di dalamnya. Nama lelaki itu adalah Pacha. Dari mini brosur yang diberi oleh panitia, ia berasal dari Peru, Amerika Selatan. Ia adalah pendiri grup musik etnik dari pegunungan Andes, Amerika Selatan, bernama Chalwanka. Dari mini brosur itu pula saya mendapat informasi nama Chalwanka diambil dari bahasa asli suku Inca (bahasa Quechua (baca: Kechua)) yang berarti “Ikan Batu” dan alat musik yang dimainkan Pacha pada pertunjukan malam itu adalah Zamponas (baca: Zamponyas) & Quenas (baca: Kenas). Pacha sudah bergaul dengan Zamponas dan Quenas selama 20 tahun dan telah performance di beberapa negara seperti Italia, Portugal, Spanyol, Brazil, Jepang, dan Indonesia saat ini.

Di sudut kiri lokasi pertunjukan, tiga perempuan cantik tampak sibuk melayani orang yang melihat-lihat album Chalwanka. Saya ingin memiliki satu album itu. Tetapi kemudian abai karena tampaknya banyak sekali pengeluaran di bulan ini. ‘Membeli lain kali via email seperti prosedur yang dijelaskan,’ kata dalam batin. Baiklah. Makan adalah langkah berikutnya. Ayam bakar dan teh manis hangat di lantai dua Margo City –terima kasih kepada sang kawan yang mentraktir. Tepat ketika hendak pulang, Pacha menyelesaikan pertunjukkan. Dari jauh ia tampak sedang membuka baju etniknya. Sudah saatnya ia melayani pengagum dadakan dan penonton. Begitu kuat hasrat untuk bersalaman atau foto dengannya. Sebagai orang Peru yang berbakat, yang berdedikasi tinggi pada apa yang dikagumi, yang telah menyusuri beberapa bagian dunia, yang menjadi salah satu bukti besar keagungan dan keindahan Tuhan, tangannya menjadi bernilai dan gambar dirinya menambah harga orang-orang yang berdiri di sampingnya. ‘Aku ingin berdiri di sampingnya’. Satu album, kemudian mendekat, meminta tanda tangan, berjabat tangan, dan meminta teman mengabadikan kami.

Raut muka Pacha dari dekat memang menyiratkan dedikasi, pribadi yang teguh. Pada gambar diri di brosur mini, ia menatap dengan demikian tajam. Tangannya setengah menggenggam. Anting di telinganya tak memudarkan siratan itu.

Selain Pacha dan musiknya, suku Inca adalah keindahan yang rasanya tak layak dilewatkan. Inilah suku Inca:

Budaya Suku Inca

Author: chalwanka _ 31 Januari, 2010

Budaya suku Inca kemungkinan berpadu dengan kebudayaan suku sebelumnya yang sudah sejak ribuan tahun lalu tinggal di Peru.

Kerajaan Inca adalah sebuah kerajaan kuno yang telah ada sejak ratusan tahun lalu dan musnah ketika bangsa Spanyol memasuki wilayah Amerika Selatan. Suku Inca dengan ibukota Cuzco atau Qosqo, sekarang Peru terletak di sisi paling selatan tepatnya di pegunungan Andes, berakhir pada 1533 masehi. Inca disebut sebagai peradaban “pra-Columbus, artinya sudah ada sejak sebelum kedatangan Christopher Columbus. Selama periode tersebut, Inca menguasai sebagian besar wilayah Amerika Selatan bagian barat.

Sejarahwan mencatat, Inca dengan raja terakhir Atahualpa disebutkan tewas karena terbunuh oleh tentara Spanyol bernama Francisco Pizarro. Karena sejak peperangan tersebut selama 400 tahun, Inca yang disebut juga kota benteng hilang dari peradaban sejarah. Hingga pada pertengahan 1911 banyak orang menganggap cerita yang turun-temurun ini hanyalah dongeng di kalangan suku Indian.

Penemuan suku Inca berhasil terungkap berkat ekspedisi yang dilakukan oleh Profesor Hiram Bingham dari Yale University. Dalam perjalanan penjelajahan yang berlangsung Juni 1911, Bingham diikuti staf dan asisten pembantunya, melakukan penelusuran ke jalur yang belum pernah dilewati, yakni lembah Urubamba yang terletak di wilayah selatan Peru. Penemuan bermula dari petunjuk seorang pemilik penginapan kecil yang menunjukkan sisa-sisa peninggalan suatu suku. Baru ketika dicari petunjuk lain dengan menyusuri wilayah gunung maka ditemukanlah kota hilang suku Inca yang berada di pegunungan Andes.

Perpaduan kebudayaan
Meski telah hampir 100 tahun penemuan peradaban Inca terkuak, hingga kini masih banyak misteri yang belum terungkap. Jumat (15/3) peneliti dari Peru kembali melaporkan ditemukannya puing-puing bekas jalan, candi kuno, dan sistem irigasi yang dibuat pada awal berdirinya kota kerajaan Inca, Cuzco. Candi yang baru ditemukan ini menurut peneliti merupakan kebudayaan yang ada sebelum suku Inca melekat di Peru. Di lokasi ini ditunjukkan adanya pelaksanaan ritual kepercayaan dan juga perlakuan militer.

Ahli arkeologi Inca, Oscar Rodriguez mengatakan ada 11 kamar yang di dalamnya tersimpan mumi dan patung. Bangunan ini sebagiannya adalah hasil renovasi bangunan lama yang disebut umurnya jauh lebih tua dari suku Inca sendiri. “Ini adalah perpaduan antara suku Inca dan kebudayaan suku sebelumnya. Ini adalah konsekuensi,” ujar Washington Camacho, direktur Sacsayhuaman Archaeological Park. Bangunan ini diubah dari arsitektur sebelumnya yang itu adalah lebih kuno dibanding Inca.

Kebudayaan yang kejam
Peneliti menduga, ada kesamaan antara suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut sama dengan kebudayaan Inca waktu berdiri. Suku ini kemungkinan menjadi penyembah matahari dan memiliki tradisi yang kejam. Setelah Inca muncul dan mengalahkan suku tersebut, maka warisan kebudayaan yang sama membuat Inca merenovasi dan membuat kepercayaan pada para dewa semakin kuat. Penemuan ini terungkap berdasarkan penemuan mumi anak-anak berusia 15 tahun yang diperuntukkan bagi sang dewa. Dari helai-helai rambut yang ada diketahui bahwa anak tersebut digemukkan sebelum dikorbankan.

“Kami mempelajari sejarah dari rambut anak ini untuk mengetahui cerita masa lalu,” ujar Andrew Wilson, seorang arkeolog di Universitas Bradford, Inggris dalam temuannya yang ditulis di Proceedings of the National Academy of Sciences, pada tahun lalu. Pengukuran radio isotop yang ada memperlihatkan, setahun sebelum anak tersebut dikorbankan, mereka diberi makanan mewah seperti daging dan jagung. Makanan ini adalah pengganti jenis makanan karbohidrat seperti kentang yang biasa dimakan oleh anak ini.

Tiga atau empat bulan sebelum dikorbankan, ritual anak ini lebih mengerikan. Tumbal yang sudah siap dibawa ke gunung dan pada periode itu diberi makan yang dicampur dengan racun. Bukti-bukti kematian mumi kecil yang dinamai Llullaillaco Boy ini sangatlah tragis. Selain racun juga ditemukan adanya indikasi kandungan obat halusinasi. Anak sebagai tumbal ini oleh peneliti diduga mati bukan karena racun melainkan karena suatu tragedi penyiksaan secara perlahan akibat halusinasi. Ini terbukti dari temuan pakaian yang melilit ketat dan tulang rusuk yang patah serta tulang panggul yang bergeser.

Sumber : http://www.chalwanka.com (dengan editing kecil pada tata bahasa)

Email chalwanka: chalwanka_pacha@yahoo.com
FB: wilmerleon500@yahoo.eschalwanka-teers

Any Rufaidah
Depok, 14 Mei 2010

4.13.2010

Warna, Ayam, Helm, dan Seragam


Setiap hari, setiap saat, kita menerima informasi yang bermacam-macam. Tak jarang mereka meletupkan ide, kenangan indah, kemarahan, kebencian, sanggahan, pembenaran. Satu pemandangan saja terkadang menjadi pemicu bagi lahirnya ide-ide segar. Ia berasosiasi dengan ide-ide sebelumnya dan terkumpul menjadi sebuah pemikiran yang sistematis, yang bisa dijelaskan dengan baik, yang menjadi refleksi dan pelajaran diri. Sayang rasanya jika ide yang meletup-letup setiap hari lewat begitu saja. Apa yang membuat Plato dikenal hingga hari ini, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Raditya Dika, dan sebagainya yang banyak jumlahnya, jika bukan karena mereka mencatat.

Apa perlunya mencatat? Seorang siswa akan kelimpungan jika catatannya hilang menjelang ujian. Jadi catatan bagi mereka berfungsi untuk mengingat kembali pelajaran yang diberikan bapak/ibu guru. Bagi remaja yang gemar mencatat di buku harian, mencatat adalah sarana untuk curhat, meluapkan ketakjuban ataupun kemarahan. Bagi sebagian, mencatat adalah pekerjaan luhur: menuangkan dan berbagi ide. Bagi sebagian yang lain, mencatat adalah proses untuk mengenali diri. Bagi sebagian untuk kenangan. Bagi sebagian adalah semuanya: curhat, merekam, menjadikannya catatan pelajaran, menuangkan ide. Bagi saya, mencatat adalah untuk semua alasan itu, dan untuk memperkenalkan diri.

Ini adalah percikan pikiran yang hadir pada 5 April 2010. Hari itu saya mengunjungi bibi –sebenarnya dia adalah tetangga di kampung. Tetapi karena dekat dengan keluarga, saya menganggapnya bibi– yang kini tinggal di Cileungsi, Bogor, mengikuti suaminya yang TNI. Perjanjian saya dengan suami bibi beberapa kali gagal. Dan kali ini saya niatkan untuk mengunjunginya, di tengah banyaknya tugas membaca materi kuliah. Pikir saya, “Toh tak ada jaminan jika tak kemana-mana saya akan membaca buku-buku kuliah. Dan tak ada jaminan jika pergi maka tak bisa membuat resume untuk kuliah”. Mungkin ini adalah bagian dari pemikiran bahwa manusia tak semestinya dikendalikan oleh lingkungan (konstruksionis), meski tak sepenuhnya mampu.

Setelah membereskan kamar yang berantakan karena tugas ujian tengah semester, saya mempersiapkan diri. Kamar mandi, di situ tercantol baju, handuk, tempat sabun yang di dalamnya berisi macam-macam alat mandi. Tak ada warna yang sama. Handuk berwarna hijau mencolok, baju berwarna coklat tua, tempat sabun berwarna merah, puff berwarna biru cerah, sabun berwarna ungu, sikat gigi warna pink, pasta gigi warna biru mengkilat, shampoo warna hijau dan putih, dan (tak usah disebutkan) berwarna orange cerah. Betapa berwarnanya benda-benda itu. Dan itu hanya di kamar mandi. Di luar sana, tak terhitung jumlahnya. Agama mengatakan berbedaan itu rahmat. Dan sungguh itu benar. Jika saja pakaian-pakaian hanya terdiri satu warna, betapa kusamnya saya. Karena itu saya sering membeli barang-barang dengan warna yang belum saya punya. Yang cerah, yang tak umumnya bernuansa perempuan. Tak perlu didominasi satu warna agar hidup lebih berwarna.

Perjalanan cukup jauh. Menghabiskan waktu dua jam termasuk dengan salah jalur. Mestinya bisa langsung Kampung Rambutan – flyover Cileungsi – Jonggol. Tetapi karena petunjuk penjaga kos dengan pertimbangan kemacetan, jalurnya melalui Depok – Simpangan Depok – akhirnya ke Kampung Rambutan juga – flyover Cileungsi – Jonggol. Daerah Cileungsi ternyata tak jauh dari Mekarsari, tempat wisata yang sebelumnya hanya saya tahu dari stiker yang tertempel di mobil-mobil. Bahkan sebelumnya saya tak mengira Mekarsari adalah tempat wisata kebun buah. Di Jonggol saya turun di Gang Doang. Kata suami bibi, saya akan dijemput di situ. Sebetulnya itu adalah pertemuan pertama saya dengan paman. Sebelumnya kami hanya akrab melalui telepon dan perbincangan orangtua. Ada khawatir juga kalau-kalau salah orang. He he he. Namun akhirnya ketemu juga. Rumah bibi cukup jauh dari gang. Tepatnya di perumahan PNS dan TNI. 5 tahun ini bibi tinggal di situ bersama dua anaknya yang masih kelas 2 SMP dan 4 SD.

Terlinang air mata saat bertemu bibi. Mungkin sudah 15 tahun saya tak bertemu dengannya. Dia pergi dari kampung sejak saya dan anak-anak dari pernikahan pertamanya masih SD. Dia kerja di Dili, Papua, dan bertemu dengan suaminya sekarang di kota itu. Indah rasanya pertemuan itu. Saya mensyukurinya. Dan mensyukuri pula akhirnya bibi hidup bahagia dengan keluarga keduanya, tenang, punya kesibukan, dan tinggal di rumah sendiri. Hubungannya dengan 3 anak dari perkawinan pertamanya pun baik-baik saja. Tak ada yang membencinya meski ‘ditelantarkan’ sejak kecil.

Ayam
Pagi hari berikutnya, saya duduk-duduk di depan rumah bibi. Bibi memberi makan ayam peliharaannya. Ada sekitar 7 ayam. Di antara mereka ada 1 ayam paling kecil. Saya perhatikan ayam-ayam besar makan dengan tenang. Bersama-sama mereka menguasai makanan. Sementara si kecil hanya berada di pinggiran. Begitu dia bermaksud mengambil makanan yang dikuasai si besar, dirinya dihajar. Kemudian dia mundur dan kembali ke pinggiran dengan makanan ala kadarnya. Beberapa kali si kecil mencoba usaha yang sama, tetapi hasilnya juga sama. Dia harus mundur dan kembali ke pinggiran. Dia makan dengan gelagat ketakutan. Ayam besar kira-kira jumlahnya 6. Tetapi mereka tak saling berebut. Mereka rela makan sama-sama. Tetapi begitu tidak rela si kecil mengambil bagian sedikit saja.

Tersiratlah di benak, “Yang sama kuatnya rela berbagi makanan, tetapi begitu tak rela jika si kecil mengambil sedikit saja. Tidak masalah sesama si besar saling berbagi, tetapi ada kemurkaan jika si kecil bermaksud minta diberi.” Seperti hukum rimba saja, tuan. Mungkin saja itu hanya berlaku pada ayam dan binatang lainnya, tidak pada manusia. Namun jika manusia demikian, maka wajar kiranya jika ada ejekan ‘seperti binatang’. Yang diejek tak boleh langsung marah kiranya jika memang melakukan perilaku demikian.

Helm dan Seragam
Dua jam berikutnya saya diantar pulang. Sebelum berangkat, saya tanya helm pada bibi. Bibi menjawab tidak perlu, polisi tidak akan menilang. “Oh bibi, helm untuk melindungi diriku, bukan untuk diberikan pada polisi. Polisi sudah punya banyak helm, Bi.” Siapa pun kita tak bebas dari celaka. Dan, di jalan, paman menyenggol motor. Dia menghindari mobil, tetapi karena terlalu minggir, sebuah motor tersenggol. Kami tidak apa-apa. Hanya spion paman yang melesat. Sebetulnya paman yang salah, tetapi karena dia berseragam TNI, yang disenggol justru yang minta maaf. Seragam menentukan siapa yang seharusnya mengakui kesalahan, tuan. Pamanku sendiri tahu pengendara motor itu takut karena seragam. Dia mengatakannya pada saya. Apakah ‘Jadilah orang berseragam agar kau selalu benar' berlaku di negeri ini?

Any Rufaidah
Depok, 13 April 2010



4.05.2010

Puisi Terakhir WS Rendra


Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".


Demikian puisi terakhir WS Rendra yang ditulisnya di atas ranjang sewaktu ia terbaring sakit, seperti disampaikan Mbak Lisa pada milist Muslim (3/4).

* posting dari teman pada milist averroesmenulis


3.09.2010

Hegel: Dialektika


Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart pada 1770. Pada usia 18 tahun ia belajar teologi di Tubingen. Pada 1818 menjadi profesor di Berlin setelah sebelumnya menjadi asisten profesor di Jena dan profesor di Heidelberg. Hegel meninggal karena kolera pada 1831 setelah berhasil mendapat pengikut yang sangat besar di hampir seluruh universitas di Jerman.

Hegel hidup pada masa Immanuel Kant, pemikir yang ingin keluar dari skeptisisme David Hume. Revolusi Prancis adalah bagian lain dari konteks kehidupan Hegel. Ia berusia 19 tahun saat Revolusi Prancis berjalan. Buku pertamanya (1807), The Phenomenology of Spirit, selesai saat Napoleon berada di puncak kekuasaan. Meski mendapat pendidikan di seminari, Hegel tak menonjolkan jiwa religiusnya. Esai-esai awalnya justru bersifat menghujat agama Kristen. Yang lebih menonjol dari Hegel adalah jiwa filsuf.

Hegel adalah pemikir yang gerah atas perdebatan soal rasio dan pengalaman. Ia seolah ingin mengatakan bahwa perdebatan yang berlangsung sejak Descartes hingga Kant itu sudah harus dicukupkan. Ia mengatakan pengetahuan terus berkembang melalui konfrontasi dan konflik. Ini adalah prinsip dialektika, konsep Hegel yang paling dikenal. Konsekuensinya, kebenaran tidak ada yang abadi. Mendukung perbudakan adalah sikap yang wajar pada 2500 tahun lalu. Namun sikap tersebut akan dihujat pada masa sekarang.

Dalam konteks mana pun, dialektika selalu terjadi. Sebuah pemikiran selalu menghadapi pemikiran yang berseberangan. Di antara keduanya kemudian muncul pemikiran yang mendamaikan. Konsep-konsep tersebut dikenal sebagai tesis – antitesis – sintesis. Misalnya, rasionalisme Descartes adalah sebuah tesis, empirisme Hume adalah antithesis, dan pandangan Kant adalah sintesis. Pemikiran baru biasanya dilandasi oleh pemikiran yang telah diajukan sebelumnya. Dalam kajian filsafat ilmu dikenal istilah-istilah grand theory dan proposisi. Grand theory menjadi dasar untuk menjelaskan fenomena baru yang lebih spesifik. Temuan baru yang muncul dari penyelidikan fenomena menghasilkan proposisi, dan begitu seterusnya.

Setiap sejarah, bagi Hegel, memiliki standar kebenaran sendiri. Seperti contoh yang telah disebutkan di atas, pada konteks jaman 2500 tahun lalu berbeda standar nilai kebenarannya dengan konteks saat ini. Contoh lain yang mungkin lebih dekat dengan generasi saat ini adalah patriarkhi dan kesetaraan gender. Seratus tahun lalu, perempuan bekerja adalah pemandangan yang luar biasa. Namun saat ini sudah hampir menjadi keharusan. Dialektika patriarkhi dan feminisme telah menghasilkan standar kebenaran baru.

Dialektika sangat berlaku dalam ilmu pengetahuan. Sebuah teori bisa dibantah dengan bukti empiris baru. Misalnya, sebuah teori mengatakan penyebab agresivitas anak-anak adalah pola asuh orangtua yang keras. Teori tersebut bisa terbantahkan jika ada penelitian yang menemukan jawaban lain, misalnya frekuensi bermain game peperangan. Dengan demikian, standar kebenaran tentang penyebab agresivitas mengalami pergeseran atau pertambahan variabel. Yang paling benar menurut Hegel adalah yang paling masuk akal. Dan yang menentukan kemasukakalan kebenaran adalah sejarah sendiri.

Sejarah dalam perumpaan sastra filosofis Gaarder ibarat sungai yang mengalir. Setiap gerakan dalam air ditentukan oleh jatuh dan berpusarnya air di hulu. Namun gerakan itu pun ditentukan oleh bebatuan dan liku-liku sungai. Sungai dalam pengertian ini jika dipahami terpisah dari air maka akan sulit dimengerti. Begitu pula dengan sejarah jika dipahami terpisah dari individu-individu di dalamnya. Sejarah dan individu merupakan satu kesatuan, seperti sungai yang satu kesatuan dengan air. Sejarah ditentukan oleh akal/pemikiran individu-individu. Namun akal/pemikiran dipengaruhi oleh berbagai macam hal, misalnya teknologi, fenomena alam, dan sebagainya. Apa yang mempengaruhi tersebut seperti halnya bebatuan, relief tanah, hujan, dan lain-lain, yang mempengaruhi gerak dalam air.

Seperti halnya sungai, sejarah memiliki muara tujuan. Hegel optimis mengatakan sejarah akan menuju pada rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Manusia terus melangkah menuju perkembangan diri yang semakin meningkat. Pernyataan tersebut menyiratkan makna bahwa dialektika bercita-cita meraih kebebasan. Tentu tak ada yang tahu kebenaran optimisme Hegel, tetapi perjalanan sejarah mungkin saja sudah menyiratkan hal itu. Orang bisa merasakan perlindungan hak asasi manusia (perempuan, anak, buruh, dan sebagainya) atau demokrasi mencapai kemajuan dalam perkembangan sejarah.

Dialektika Hegel menyentuh pula topik tentang Diri. Bila digolongkan dalam paradigma tertentu, Hegel adalah seorang konstruktivisme. Ia mengatakan Diri adalah konstruksi sosial. Diri diciptakan oleh masyarakat melalui interaksi antarpribadi. Argumen ini dikembangkan atas dasar kebutuhan individu. Bagi Hegel, setiap individu membutuhkan pengakuan, tidak hanya keamanan dan kesenangan material. Dan pengakuan diperoleh hanya melalui interaksi antarpribadi.

Any Rufaidah
Depok, 7 Maret 2010

Bahan Bacaan:
Gaarder, J. 2006. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.

Solomon, R. C. & Higgins, K. M. 2003. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang Budaya.



2.26.2010

Sukabumi – Bogor



Kadang kita tak tahu apa yang menuntun diri hingga sampai pada sebuah tempat. Mungkin kita ditakdirkan menjadi orang yang memiliki kesempatan menginjakkan kaki di berbagai kota, mungkin pula karena kita punya hobi berkeliling. Banyak teman yang menyebutku senang travelling, meski itu tak sepenuhnya benar karena kadang aku berada di kamar hingga suntuk, bosan, beraktivitas seadanya, memikirkan hal-hal kecil, membaca buku dengan tidak tuntas, bersemangat menuangkan ide yang datang dari bacaan tapi kemudian tak semua niat itu dilaksanakan, membiarkan diri dan kain-kain menjadi berantakan, menghidupkan musik dengan mengabaikannya, menghubungi teman-teman lama dengan pulsa yang ada, atau menghadapkan diri pada tantangan dan merasakan seberapa mampu diri menghadapinya.

Kali ini kakiku berada pada Kota Hujan, Bogor, setelah Sukabumi yang kukunjungi kedua kalinya dan melihat pabrik-pabrik minuman di sana untuk pertama kalinya. Setidaknya itu keberadaan yang ketiga. Bogor, ia punya keistimewaan. Di kota itu kebun raya terhampar, perguruan tinggi ternama berdiri, dan tempat mukim Presiden Indonesia saat ini. Namun jalan protokol Bogor, dan kota-kota lain di Indonesia, tak pernah sepi dari pedagang asongan yang kulitnya hitam terbakar panas matahari bertahun-tahun, yang keringat di bagian tubuhnya yang terbuka tampak jelas, yang sibuk menghampiri mobil-mobil, yang loncat dari bis ke bis, yang memungut uang recehan, yang mukanya tampak kelelahan.

Pemandangan seperti itu tak hanya sekali kita temui. “Mungkin ini persoalan sistemik”. Hmmm...Teori kemiskinan menyebutkan tiga paradigma: kemiskinan adalah takdir Tuhan; karena manusia malas berusaha; karena persoalan struktur/sistem negara. Emile Durkheim, Peter L. Berger, Thomas Luckmann adalah pemikir yang kukenal menganut paradigma ketiga. Tepatnya, pemikir-pemikir itu memandang realitas adalah hasil konstruk. Tapi tiga paradigma itu, seperti pada persoalan person atau society pada tulisan sebelumnya, menjadi rumit jika saling dipertentangkan. Bolehlah kita mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan, meski kita tak tahu dalam konteks ini di titik mana campur tangan Tuhan. Ia telah memfirmankan Ar Ra’du: 11. Mengacu pada ayat itu, ku lebih sepakat pada dua faktor: individu dan struktur/sistem negara. Jadi teringat pada Sekolah Analisis Sosial (Ansos) yang kuikuti pada masa awal kuliah dulu: persoalan menjadi dikatakan persoalan sosial jika ia sudah menggejala. Berbeda jika orang miskin di Indonesia hanya 1 atau 2 orang. Faktanya, orang miskin Indonesia berkisar antara 30 – 40 juta jiwa atau lebih (abaikan saja angka tepatnya). Pertanyaannya, apakah orang malas bekerja di Indonesia sehingga menjadi miskin sebesar itu jumlahnya?

Ukuran kemiskinan adalah pendapatan. Tak ada perdebatan soal ini. Pendapatan berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Dari sinilah faktor struktural/sistem pada kemiskinan menampakkan dirinya. Di Indonesia, mendapat pendidikan yang layak adalah pilihan, bukan keharusan, meski UU mengatakan pendidikan adalah hak semua warga negara. Nyatanya, apakah seorang anak harus sekolah atau tidak adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Melihat realitas di kampung, seringkali ku‘marah’ pada orang yang mengatakan, “Tidak punya biaya” sehingga anaknya mesti tidak melanjutkan sekolah. Kupikir itu masalah individunya saja yang malas berusaha. Mungkin kemarahanku betul, tapi jika dipikir-pikir lagi salah besar. Mereka memang benar-benar tak mampu melanjutkan sekolah. Sekali lagi, itu adalah persoalan sosial.

Banyak anak tidak mampu melanjutkan pendidikan. Dampaknya, pintu bekerja di kantoran yang menjanjikan pendapatan yang layak –dan juga prestis– tertutup sudah. Tak ada pilihan lain kecuali menjadi pedagang asongan, pembantu rumah tangga, penjaga toko, kenek, tukang parkir, atau menjadi TKI. Lingkaran kemiskinan terus membesar karena faktor yang menyebabkannya bukan faktor individu. Apakah anak-anak Indonesia memilih tidak mau sekolah jika kesempatan mereka terbuka? Rasanya semua pasti akan berebut untuk itu. Sayangnya, kekayaan Indonesia yang mestinya bisa menyelesaikan persoalan sosial dinikmati secara individual. Okay.

Any Rufaidah
Depok, 24 Februari 2010



2.15.2010

Self, Dualisme, Keseimbangan


Sebuah brainstorming dalam kelas baru membawa kami pada diskusi tentang self, Diri. Tulisan Bagus Takwin dalam jurnal online universitas yang baru sepuluh menit lalu terperhatikan sontak terbersit kembali, terasosiasi dengan pertanyaan tentang Diri. Diri adalah entitas yang terbentuk dari lingkungan, tetapi Diri memiliki otonomi/otoritas untuk bersikap pada lingkungan, memilih atau mengabaikan sesuatu yang tersedia. Ada dua hal yang membentuk Diri, bukan lingkungan saja dan bukan kehendak diri saja. Mirip dengan Qodariyah dan Jabariyah yang beberapa waktu lalu sempat kembali terbersit dalam pikiran, dan kemudian menghasilkan pemahaman yang mendasar bab Ahlussunnah wal Jamaah.

Diskusi Diri siang itu membawaku pada sedikit dialog diri, hingga sampai pada sebuah pernyataan, “Diri haruslah seimbang”. Ini adalah hukum Freud dan hukum agama mana pun. Kalimat itu singkat, mudah, ringan. Tetapi seimbang tak singkat, tak mudah, dan tak ringan. Kupikir sangat panjang dialektika Diri untuk mencapai kata seimbang, equilibrium. Pertentangan-pertentangan batin yang tak kunjung henti bahkan. Banyak sekali contohnya, yaitu dalam bentuk perubahan-perubahan drastis dan “dramatis”. Kisah dalam “Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur”, misalnya atau “Pelacur Menjadi Kekasih Tuhan” yang belum ada novelnya.

Senin siang minggu berikutnya, diskusi dualisme terjadi lagi. Tepatnya pada Diri dan Society. Pertanyaan yang sama dan kerumitan yang sama. Siapa mendahului siapa: person atau society. Ada yang berkata person, ada yang berkata society. George Herbert Mead, Herbert Blumer, John Dewey, sampai pada Immanuel Kant –pun sebenarnya Sokrates dan Descartes– adalah nama-nama besar yang bicara soal dua subjek itu. Perdebatan person atau society kemudian melahirkan pandangan yang berbeda arah, meskipun pada akhirnya kini tak ada yang benar-benar kekeh memegang salah satu. Para pemikir kontemporer mungkin lelah mempertahankan pandangan “tunggal” nya dan tak mampu tak jatuh pada garis yang berbeda.

Pertentangan sangat melelahkan. Jadi, jika tak mungkin memegang satu hal, pegang saja keduanya. Pertanyaan pada semua orang adalah, “Apakah manusia memiliki kehendak bebas atau tidak?” Jika tak ada kemampuan untuk menjawab ya atau tidak, maka jawab saja “ya” dan “tidak”. Tak perlu ada paksaan soal jawaban. Pada titik tertentu kita tak mampu menjawab “ya” atau “tidak” saja, melainkan harus kedua-duanya.
Ah….lelah rasanya berpikir hal-hal reflektif. Kadang ingin membuangnya saja dan berganti tema yang baru. Tetapi, ah….biarkan saja perubahan-perubahan itu. Ada kalanya membuat sesuatu yang reflektif dan ada kalanya membuat yang santai. Biar semuanya seimbang tanpa perlu dipaksa seimbang.

Any Rufaidah
Depok, 9 Februari 2010.



2.02.2010

Antara Jogja – Jakarta



Jogjakarta (dengan J) dalam pandanganku adalah kota remang-remang. Lihat saja lampu di jalan-jalan, semua remang, tak ada yang berwarna putih terang. Entah apa makna remang: mungkin tenang sebagai gambaran Jawa, mungkin kota belajar yang tidak gaduh, mungkin pula mesum. Jogjakarta pada 25 – 30 Januari 2010 bagaimanapun menyisakan hal-hal indah: teman-teman baru yang mempesona (yang diam, yang ceria, yang ‘berantakan’, yang aktivis), pengetahuan-pengetahuan baru yang mencerahkan.
Kontrakan daerah Sapen, belakang Hotel Shafir, pinggir rel, apa yang bisa dilakukan pada tempat kecil itu? Apakah kita bisa membicarakan sebuah perubahan pada diri, pada kelompok, masyarakat, ataupun negara? Sangat bisa sesungguhnya, untuk membuat diri mati dikenang: karena apa lagi tujuan manusia dihidupkan? Seperti Gus Dur misalnya, yang melampaui pandangan kebanyakan, menembus batas pengertian keimanan kebanyakan orang. Kontrakan daerah Sapen, belakang Hotel Shafir, pinggir rel, tampaknya belum ada suasana itu. Tetapi jangan lihat itu, karena di sana ada kekayaan: pribadi-pribadi yang potensial, yang ingin tahu tentang sesuatu, buku-buku, fasilitas informasi, pengetahuan, pengalaman, dan pemikiran

Menikmati sesuatu dalam batasnya. Sebuah buku tentang pribadi Rasulullah berada pada sebuah tumpukan. Judul buku itu menjadi menarik karena ia terasosiasi dengan pencarianku beberapa waktu terakhir ini. Hanya satu sifat Rasul yang paling teringat: bahwa ia semakin sabar jika tekanan semakin besar. Ia semakin tersenyum jika diperlakukan semakin kasar. Wajar jika perang terbesar adalah perang melawan kekerasan pada diri.

Kereta Progo dari Stasiun Lempuyangan membawaku meninggalkan Jogjakarta. Di antara tiga mahasiswa dan seorang lelaki berambut gimbal, kereta Progo membawaku pada jalur-jalur baru, keindahan-keindahan baru. Langit masih bersinar, rumput masih menampakkan hijaunya. Semakin banyak sesuatu yang baru, semakin terasa aku tak pernah ke mana-mana. Semakin kecil rasanya.

Perbincangan terbina antara aku dan para lelaki di sekitarku. Perbincangan tentang negara yang mengenaskan, yang mengerikan. Lelaki muda tepat di sampingku mulai perbincangan dengan menyoal komersialisasi pendidikan. Ia bertanya mengapa prosentase masuk kelas pada mahasiswa adalah 75 persen? Tidak 50 persen saja. Jawabannya cukup panjang, dimulai dengan peristiwa Malari tahun 1974. Pemuda berkulit putih dengan rambut gondrong itu menyoal pula soal kekayaan minyak dan tambang emas di Papua yang mestinya bisa menggratiskan pendidikan jika semua hasilnya dikelola oleh negara. Heeeehhh…..kita saling melengkapi data kebobrokan negara, kemudian mengatakan, “Sangat mengerikan”. Berbayang-bayang pada masa depan, tentang biaya sekolah anak-anak, kemudian saling setuju hal itu menakutkan. Generasi hari ini sudah dilanda ketakutan atas komersialisasi pendidikan, bagaimana besok?

Pemuda tepat di depanku tampaknya tertarik pada pembicaraan itu. Ia kemudian menimpali. Pengetahuannya luas, tentang perekonomian, tentang sejarah, pun tentang hukum. Ia mengatakan sedikit rahasia kekayaan Singapura yang diperoleh dari bumi Indonesia. Lengkaplah kekacauan di negara ini. Semakin banyak dan menumpuk dari hari ke hari. Jadi teringat pada perbincangan di Malang beberapa waktu lalu: kebijakan-kebijakan negara kita putus sama sekali dengan aspirasi masyarakat. Tidak ada yang menggambarkan kebutuhan rakyat. Indonesia berhasil mengadopsi teori-teori demokrasi, tetapi gagal mengadopsi spiritnya. Demokrasi Indonesia seperti tak berurat akar, yang kelimpungan, yang mudah goyah, yang elit.

Any Rufaidah
Depok, 1 Februari 2010

1.11.2010

Hegemoni: Antonio Gramsci


Sekilas tentang Gramsci
Antonio Gramsci lahir di Ales, Propinsi Cagliari, Pulau Sardinia, Italia pada 22 Januari 1891. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Francesco Gramsci dan Giuseppina Marcias. Gramsci kecil pernah mengalami masalah dengan tulang belakang karena jatuh dari gendongan pengasuh. (Rosengarten dalam www.marxists.org). Gramsci kecil juga menderita karena masalah keuangan keluarga. Francesco dipecat (1897) dari pekerjaan sebagai kolonel karena diduga melakukan “kecurangan administratif”. Pada 1898-1904 Francesco dipenjara terkait masalah sikap oposisi politiknya (Patria dan Arif, 1999 dalam Arif dalam www.averroes.or.id). Tak lama setelah Francesco dipenjara, Giuseppina membawa Gramsci bersaudara pindah ke Ghilarza. Di sana Gramsci menyelesaikan pendidikan dasarnya.

Pada usia 11 tahun hingga dua tahun berikutnya Gramsci bekerja di kantor pajak Ghilarza untuk membantu kesulitan finansial keluarganya. Meskipun demikian Gramsci tetap menyempatkan diri belajar privat. Di sekolah ia unggul dalam akademik. Nilai semua mata pelajaran yang ia ikuti masuk dalam kategori sempurna.

Sekolah menengah pertama ditempuh di Santu Lussurgiu, sekitar sepuluh mil dari Ghilarza. Setelah itu melanjutkan ke Dettori Lyceum di Cagliari. Di Cagliari Gramsci tinggal bersama sang kakak, Gennaro. Selama sekolah, Gramsci mulai bersinggungan dengan organisasi pekerja dan politik radikal dan sosialis. Gramsci masuk pada Fakultas Sastra Universitas Turin, Italia, setelah memenangkan beasiswa. Di universitas ini karakter intelektualnya terbentuk (Rosengarten dalam www.marxists.org)

Universitas Turin sekaligus menjadi tempat bertemunya Gramsci dengan Angelo Tasca dan beberapa orang yang bisa diajak share mengenai Italian Socialist Party (PSI). Pada 1913 Gramsci bergabung dengan PSI. Pada 1914 menjadi staf editor tetap bagi Mingguan Partai Sosialis, Il Grido del Popolo(Jerit Tangis Rakyat). Selanjutnya pada 1916 tercatat sebagai kolumnis terbitan Partai Sosialis lainnya, Avanti (Patria dan Arif, 1999 dalam Arif dalam www.averroes.or.id).

Oktober 1917 meletus Revolusi Bolshevik oleh para buruh. Gerakan ini membakar semangat revolusi Gramsci. Sesudah itu, pada 1919, Gramsci bersama Angelo Tasca, Umberto Terracini, dan Togliatti mendirikan L'Ordine Nuovo: Rassegna Settimanale di Cultura Socialista (The New Order: A Weekly Review of Socialist Culture). Mingguan ini banyak menyorot politik dunia, antara lain di Eropa dan Amerika.

Gramsci menjadi anggota komite pusat Italian Communist Party/Partito Comunista d’Italia (PCI) pada 1921. Tetapi ia tidak bermain terang-terangan di partai ini hingga beberapa tahun. Lebih banyak waktunya digunakan untuk memikirkan strategi menghadapi gerakan Mussolini yang akan menggulingkan demokrasi dan sosialisme Italia.

Kurun waktu 1922-1923 Gramsci menjadi delegasi Italia dalam komunis internasional di Moskow. Setelah masa kepemimpinan itu, pada 1926 pemerintahan Mussolini memenjarakannya di penjara tersohor Roma, Regina Coeli. Gramsci divonis lima tahun penjara kemudian ditambah menjadi 20 tahun. 4 Juni 1928 Gramsci dan pemimpin PCI lainnya dipindahkan ke penjara Turi. Selama menjadi tahanan politik, atas bantuan Pierro Straffa, Gramsci menulis yang sekarang dikenal Prison Notebooks.

Gramsci meninggal di Roma pada 27 April 1937 setelah kondisi kesehatan pada tahun-tahun sebelumnya sangat buruk. Setelah Perang Dunia II, notebook yang berjumlah lebih dari 30 buah dipublikasikan dan mendapat pembaca sangat luas termasuk di negara dunia ketiga. Di antara pemikiran Gramsci, yang paling terkenal adalah “Hegemony” (Rosengarten dalam www.marxists.org).

Hegemoni
Tafsir atas hegemoni Gramsci mengatakan hegemoni berarti “kepemimpinan moral dan filosofis”, kepemimpinan yang dicapai lewat persetujuan yang aktif kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat (Bocock, 2007:1). Sedangkan Steve Jones memahami hegemoni Gramsci sebagai cultural and political leadership (Jones, 2006:3). Ditinjau dari istilahnya, kepemimpinan meluas pada arti proses/operasi, pembentukan/pengarahan. Sementara jika ditinjau dari ruangnya, hegemoni bekerja pada wilayah yang menyeluruh: moral, filosofi, budaya, dan politik. Dari ruang tersebut bisa dipahami bahwa hegemoni bekerja melalui instrumen-instrumen yang sangat masif, yaitu negara, modal, agama, pendidikan, media massa, dan lain sebagainya.

Teori hegemoni Gramsci berangkat dari refleksi terhadap marxisme yang ekonomisme, yang memandang perekonomian –perekonomian adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Perekonomian terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun berdasarkan kepemilikan atas sarana produksi (lihat Bocock, 2007:34-35) –sebagai pusat terjadinya masalah sosial. Ketika masalah dalam perekonomian selesai, maka selesai pula masalah sosial. Gramsci melihat pandangan itu keliru. Menurutnya, apa yang terjadi pada kehidupan sosial tidak hanya karena pengaruh perekonomian, tetapi juga karena negara dan lembaga-lembaga masyarakat. Dengan kata lain, Gramsci ingin menekankan aspek lain yang tak kalah penting dari pemikiran Marx: politik. Gramsci melihat hegemoni tidak hanya terjadi pada kelas-kelas tertentu yang dibedakan berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil yang jauh lebih kompleks.

Gramsci terinspirasi pula oleh apa yang dilakukan Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dalam usaha mendapatkan dukungan rakyatnya. Misalnya pada saat menghadapi Tsarisme. Lenin sadar dirinya harus mendapat dukungan sebagian besar rakyatnya agar dapat menggulingkan Tsarisme. Lenin kemudian memikirkan strategi untuk mencapai kesadaran para pekerja untuk beraliansi dengan kelompok-kelompok lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual. Kesadaran kelompok-kelompok ini bagi Lenin merupakan modal utama untuk menggulingkan Tsarisme. Lenin menyebarkan pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan (Bocock, 2007:22-23). Apa yang dilakukan Lenin itulah yang disebut Gramsci sebagai contoh hegemoni. Hegemoni beroperasi pada ranah suprastruktur. Oleh karena itu, seperti telah disampaikan di muka, hegemoni dicapai melalui persetujuan-persetujuan masyarakat, bukan dengan cara pemaksaan-pemaksaan fisik.

Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan tentang nilai hegemoni, mengingat hegemoni dicapai melalui persetujuan kelompok-kelompok utama dalam masyarakat. Persetujuan tidak mengandung makna negatif, tetapi justru sebaliknya. Suatu tindakan, aturan, atau kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan berarti baik. Dengan kata lain, hegemoni tidak berkonotasi negatif, karena ia dicapai melalui persetujuan. Jika muncul pernyataan demikian sebaiknya dipinggirkan terlebih dahulu. Ulasan Bocock soal strategi Lenin yang disampaikan di atas bisa ditinjau kembali. Dari ulasan tersebut bisa dipahami bahwa sesungguhnya persetujuan para pekerja terhadap Lenin adalah persetujuan semu. Artinya, persetujuan tidak dicapai secara murni oleh para pekerja sendiri. Ada kekuatan lain yang membentuk/mengarahkan sehingga tercapai persetujuan. Pada titik ini, hubungan dialogis yang menjadi poin krusial dari persetujuan perlu diragukan.

Dalam ulasan yang disampaikan oleh Bocock di atas, Lenin sadar betul dirinya mesti memberi pendidikan politik kepada para pekerja sebagai usaha memperoleh dukungan untuk menggulingkan Tsarisme. Ada tujuan dan ada kesadaran untuk membentuk/mengarahkan sehingga publik menyetujui. Lenin mengikat para pekerja dan kelompok-kelompok lainnya dalam satu ideologi dengan tujuan menghancurkan Tsarisme. Di sinilah hegemoni menunjukkan nilainya.

Any Rufaidah, 12 Januari 2010

Daftar Bacaan
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.

Jones, Steve. 2006. Antonio Gramsci. New York: Routledge.

Rosengarten, Frank. An Introduction to Gramsci's Life and Thought. www.marxists.org with the kind permission of Frank Rosengarten.

Arif, Saiful. Lebih Jauh dengan Gramsci. www.averroes.or.id.