10.30.2011

Tentang Prinsip-prinsip dan Perubahan

Indah sekali rasanya ketika secara tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis. Seperti ekstase saat mabuk atau keranjingan putau mungkin. Dulu, pernah ada kawan ‘mengajak berdebat’ soal rumitnya mengambil keputusan mencintai perempuan selain istrinya. Ah…itu rasionalisasi laki-laki hidung belang, pikirku. Jauh sebelumnya, seorang kawan yang pernah mengalami hal serupa lebih dalam mengungkapkan hal yang sama.

Kali ini, ada seorang kawan yang mengajak berdiskusi soal pertimbangannya untuk menikah dengan seorang janda. Wau…rumit sekali kedengarannya. Ada banyak daftar kelompok yang harus diajaknya bernegosiasi, mulai keluarga inti, keluarga besar, teman-teman, dan sebagainya. Dia mempertimbangkan “apa kata dunia” jika dirinya yang seorang perjaka ting ting menikah dengan janda, apalagi si janda punya 2 anak. Jika tak punya anak mungkin tetangga-tetangga bisa ditipu. Belum lagi image yang mungkin akan disandangnya. Mungkin saja orang mengira dia menikahi janda karena materi, karena terlanjur menghamili si janda, dan sebagainya. Huuuh…seperti benang dalam aspal saja, seolah-olah tidak bisa diudar. Jalan buntu.

Betapa aku yang polos, hanya mengatakan, “Bukankah setiap orang berhak dicintai dan dinikahi? Apa pun statusnya.” Sesederhana itu saja. Sayangnya dia ngotot tak paham ungkapanku. Maka terpaksalah kujelaskan agak panjang. Kurang lebih kukatakan demikian, “Murni yang kamu pertimbangkan adalah pendapat orang lain, image di mata orang lain, dan ketakutanmu menghadapi kenyataan. Kita semua tidak tahu bagaimana sejarahnya sehingga menjadi tidak pantas perjaka/gadis menikah dengan janda/duda. Ah…dulu Nabi kita menikah dengan janda yang usianya 15 tahun di atasnya. Apa masalahnya? Masalahnya mungkin perubahan budaya. Ya, mungkin saja. Tetapi sejauh ini menurutku pandangan masyarakat kita tidak fair, tidak sehat, dan hampir dapat dikatakan “merengggut” hak mereka yang berstatus duda/janda untuk dinikahi siapa pun. Kamu saja yang berstatus perjaka punya beban seperti itu, bagaimana beban yang mereka hadapi? Ah…janganlah begitu.”

“Tapi aku takut tidak bisa mengimbangi dia. Secara dia kan sudah pernah menikah, cara pikir kita nanti berbeda,” sangkalnya menuju masalah lain.

Maka aku terpaksa nggacor lagi, “Apakah jika kamu menikah dengan yang belum menikah berarti pikirannya akan sama? Ini persoalan lain, kawan. Itu individual, bukan karena status. Kenapa kamu tidak berpikir begini, “karena dia sudah punya pengalaman maka dia akan dapat lebih sabar menghadapi kamu yang belum punya pengalaman.” Bukankah itu akan menguntungkan kamu, bro?”

Kawanku satu ini memang butuh orang yang meyakinkannya. Dia masih terus bertanya. Tapi itu dapat dipahami memang. Dia berada pada masyarakat yang kurang toleran terhadap pernikahan beda status. Itu bisa dipahami. Sekarang ini aku sedang membaca buku-buku psikologi lintas budaya, jadi aku sedikit tahu betapa toleransi budaya terhadap sikap tertentu sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku individu. Jika dia hidup di Amerika, maka mungkin tak ada ragu padanya. Dia mengungkapkan, “Mungkin aku akan dihantui bayang-bayang kata orang seumur hidupku karena pernikahan ini. Kalau begitu aku tidak bahagia seumur hidupku dong,” ungkapnya.

Kemudian aku terbelalak kaget. Kenapa harus demikian, tuan. Kukatakanlah, “Kira-kira, apa capaian yang akan membuat kamu bahagia? Apakah kalau menikah dengan seorang gadis, kemudian bekerja di tempat elit, dan punya banyak uang, bisa menyekolahkan anak sampai tinggi, kamu akan puas dengan hidupmu? Ah…itu sangat dangkal, tuan. Setidaknya menurutku, meskipun itu subjektif. Buatlah sesuatu yang berbeda dari pada umumnya, sahabat. Ketika kamu berani menikah beda status atas nama mengakui hak mereka untuk dinikahi siapa pun, itulah capaian terhebatmu dalam hidup. Itu artinya, kamu melakukan perubahan melalui dirimu, sikapmu, dan perilakumu. Jika kamu mengakui perubahan budaya, kamu juga harus mengakui perubahan hal-hal begini. Dulu jika si cewek lebih tua kayaknya gak pantas, tapi setelah banyak yang melakukannya itu menjadi biasa saja,” ungkapku.

Lalu aku lanjutkan nggacor-ku yang kali ini diiringi dengan ‘rasa sebel.’ “Bunda Theresa melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh banyak orang. Tapi itulah yang membuat dia dielu-elukan dunia. Dia menjadi pahlawan. Mahatma Gandhi melakukan perlawanan dengan filosofi, keramahan batin, tidak dengan senjata di tengah-tengah lawan yang siap menembakkan peluru panas padanya. Dia juga pahlawan. Gus Dur, dia bergaul dengan kelompok lintas agama. Bagi sebagian orang, lebih-lebih dari golongan kiai, itu mungkin dianggap kafir. Tapi itu kan kemudian yang dikagumi dunia dari Gus Dur. Dia juga pahlawan. Karena mereka semua berani membuat perubahan. Bertindak dengan konsep. Jika kamu mencari tahu apa capaianmu, keberanianmu itulah capaian terhebatmu. Sekarang dampaknya tidak bisa dirasakan mungkin. Tapi nanti?”

Si kawanku itu kemudian menunduk saja. Mungkin merasa terolok-olok atau mungkin merasa senang karena ada yang meyakinkan. Entahlah, bagaimana pun emosinya biar dia yang urus sendiri. Melihat dia terdiam begitu, aku lanjutkan saja ocehanku. “Kamu takut anaknya tidak bisa menerima kamu?” Dia menjawab, “Itu juga iya. Repot kan?”, tanyanya. Aku jawab, “Kenapa itu tidak kamu anggap tantangan aja. Kamu bisa melatih dirimu agar bisa diterima anaknya. Bukankah itu akan sangat berharga untuk pendidikan pribadimu? Itu sangat berharga, teman. Kamu sekarang hanya perlu meyakinkan orang-orang di sekitarmu. Dan memang itulah jalannya.”

Diskusi berakhir di situ. Selanjutnya kukatakan, “Traktir makan sekarang!” 

Any R.
Pasar Minggu, 31 Oktober 2011. 12.46.