10.10.2008

Keindahan dalam Perbedaan

He…he…he. Saya ingin tertawa di awal. Tertawa tentang perbedaan yang selama ini dekat, tetapi tidak betul-betul saya nikmati. Ini adalah tentang perbedaan karakter di keluarga saya. Baru saat mudik lebaran tahun ini saya merasakan bahwa ada perbedaan karakter yang begitu mencolok antara 4 orang yang ada di rumah (ibu, ayah, adik, dan saya), dan baru kali ini saya merasakan keindahan dalam perbedaan tersebut. Kemudian, saya jadi ingin merekam keindahan itu dalam diary online ini.

Di dalam tulisan ini saya akan bercerita karakter orang-orang yang ada di rumah, termasuk saya. Ah…ini akan menarik. Mungkin ini akan menjadi kenangan yang bisa membanjiri keyboard saat saya membacanya lagi nanti, jika salah satu dari kami lebih dulu pergi (kuberdoa semoga keluarga saya panjang umur. Amiiiiin). Tetapi cerita ini hanyalah apa yang saya pahami tentang mereka secara umum dan terekam dengan sangat kasar. Kompleksitasnya sebagai manusia, mungkin saya tidak akan pernah tahu.

OK, cerita pertama saya mulai dari ayah. He he he. Ayah adalah tipe orang “pemalas”, tapi dia senang berpikir. Banyak waktunya dihabiskan untuk tidur, tidur-tiduran, duduk (mungkin sambil berpikir). Selebihnya ke sawah dan sesekali membantu ibu di toko. Saat malam, ayah senang begadang. Aktivitasnya adalah nonton TV, biasanya sambil buat makanan sendiri di dapur. Setelah itu biasanya duduk di ruang tamu yang terbuka dalam keadaan gelap. Ayah kuat duduk berjam-jam dalam suasana seperti itu. Mungkin di sana dia berpikir tentang apapun.

Selain karena dialektika hidup yang telah dilaluinya, mungkin karena hobi itu yang membuat wacana filsafatnya lumayan bisa diakui, minimal oleh saya (ha ha). Saya sering mendengarnya berdiskusi tentang banyak tema, umumnya tentang hidup. Gaya diskusinya sangat menggebu-gebu hingga kawan diskusinya tidak mampu membantah. Kadang juga saya lihat ayah hanya sedikit memberi kesempatan pada kawan diskusinya. Saya sendiri juga sering berdiskusi kecil dengannya, terutama sejak kuliah. Berdiskusi tentang cita-cita, tentang agama, tentang masyarakat, tentang organisasi, tentang Indonesia, dan juga tentang hidup. Nah, kalau diskusi dengan saya, kadang ayah mengaku tidak tahu (tidak ngotot). Mungkin karena perbedaan masa sekarang yang tidak dia ketahui lagi.

Cara berpikir ayah berbeda dengan orang-orang di kampung pada umumnya. Saya memuji bahwa dia lebih maju, luas, dan modern. Misalnya, orang kampung pada umumnya melarang anak perempuannya pergi jauh, baik untuk kuliah atau bekerja. Itu tidak terjadi pada ayah. Dia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada saya untuk memilih apa yang saya ingin, tidak ada larangan sedikit pun. Saya pikir itu karena cara berpikirnya maju, memandang jauh ke depan, bahwa pada masa nanti kuliah jauh akan menjadi biasa.

Waktu Orde Baru ayah pernah aktif di PPP. Aktivitas organisasinya cukup padat. Rekan separtainya cukup banyak. Di rumah lumayan sering ada pertemuan-pertemuan partai. Menurut pengakuannya, dia pernah mau dicalonkan untuk maju ke DPRD. Hanya sayang dia bukan orang yang tertib administrasi. Ijazah sekolahnya ditinggal di pondok pesantren, dan sampai sekarang dia tidak memegang satu pun. Setelah reformasi dimana banyak partai bermunculan, aktivitas partainya mulai surut. Kala itu PKB dengan gencar mampu menggeser dominasi PPP. Rekan-rekan separtai ayah banyak yang berpindah ke PKB. Ayah sendiri tetap stay tune di PPP karena alasan azas dan lain-lain yang saya tidak ketahui secara jelas. Kalau sekarang saya tidak tahu lagi dia di partai mana. Yang jelas, dia tidak banyak peduli pada pesta demokrasi.

Oh…ya, ada satu lagi aktivitas politik yang pernah saya ketahui, yaitu pemenangan kepala desa sepuluh tahun lalu. Ayah pernah sangat aktif memenangkan seorang kepala desa. Setelah lolos, dia dipercaya memegang LKMD. Tetapi, baru sekitar setahun dia mundur. Alasannya karena pemerintahan desa corrupt. Idealismenya bertentangan dengan pemerintahan desa, dan setelah itu dia tidak lagi bersentuhan dengan urusan desa.

Dengar-dengar dari kakek nenek, masa kecil ayah dihabiskan di pondok pesantren. Sejak kelas 5 SD dia hijrah ke Ponpes Lirboyo, Kediri hingga beberapa tahun. Tetapi meski demikian, saya tidak melihat tanda-tanda Muslim taat di dirinya. Sholatnya saja bolong-bolong. He he. Ke masjid seminggu sekali. Kakek, nenek, ibu jadi sering mengeluh karena hal itu. Saya sendiri biasanya hanya diam, karena kurang lebih begitu juga, meski pernah mondok juga. Wa ha ha. Selebihnya, ayah senang berpetualang. Dari cerita-ceritanya sendiri, saya menangkap dia sering melakukan perjalanan ke beberapa kota. Pernah minggat juga dari rumah, entah karena apa. Minggat dengan ninggal hutang. Wa ha ha. Dady, I love you.

Di satu sisi, ayah termasuk orang sensitif. Emosinya mudah tersentuh. Itu yang beberapa saat lalu sering menyulut pertengkarannya dengan ibu. Tetapi sekarang lumayan mereda setelah dia membaca sebuah buku. Penghargaannya kepada sifat ibu yang bertolak belakang lebih terlihat. Kesadarannya untuk membantu ibu lebih tampak, meski itu masih naik-turun.

OK…sampai itu saja cerita tentang ayah. Sekarang tentang ibu.

He…he...ibu adalah orang yang sangat energetik. Dia mengerjakan hampir semua pekerjaan di rumah dan hampir boleh disebut menopang perekonomian keluarga. Dia membuka toko pada jam 6 pagi sampai jam 9 atau 10 malam. Prinsipnya adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (sepertinya begitu). Ibu memasak sambil melayani pembeli yang jumlahnya tergolong banyak di toko. Sehingga masakan baru siap jam 10-an. Tidak ada tradisi sarapan pagi di keluarga saya. Kalau ada yang sarapan ya pakai nasi kemarin, itupun jika ada lauknya. Ayah sendiri tidak terbiasa sarapan karena bangunnya jam 9-an. Setelah bekerja seharian, rata-rata jam 9 malam ibu langsung tidur dengan lelap. Setiap hari dia habiskan waktu untuk rutinitas seperti itu.

Capek, tentu saja sering dia alami. Ditambah lagi dengan kebiasaan bangun siang ayah. Itu yang membuatnya sering bercerita dengan marah kepada saya. Jika saya di rumah, dia bercerita banyak tentang kebiasaan buruk ayah yang jarang membantu, kerjanya tidur, kalau malam begadang, dan besoknya nggak bisa bangun pagi.

Ibu tipe orang ceria. Wajahnya selalu sumringah. Kalau sedang ngobrol dengan orang lain selalu disertai tawa lebar. Saking cerianya volume suaranya sering tidak terkontrol. Kalau saya di dekatnya kadang telinga sampai brebeken. Saya sering mengingatkannya kalau sudah begitu. Tetapi tetap saja, senggang sedikit dia bicara dengan nada seperti berteriak lagi.

Pendidikan agama ibu boleh dibilang sedikit, tetapi dia taat beribadah. Sholatnya rajin, pengajian, dan ngaji Al-Qur’an juga begitu. Sering beramal pula. Lebaran kemarin dia menghabiskan uang di atas 500 ribu untuk anak-anak kecil dan keponakan-keponakan yang jumlahnya se-desa. He he. Entah bagaimana cara nalar ibu mengenai uang. Kalau membeli kebutuhan sendiri dia sangat perhitungan. Untuk beli baju 300-an saja mikir berulang kali, tetapi kalau memberi anak-anak kecil tidak terlalu dipikirkan. Ya…mungkin karena dia terbiasa berpikir kecil, sehingga harga bilangan bulat sangat sulit diambilnya. Berbeda sekali dengan ayah yang cenderung tidak pakai banyak perhitungan untuk urusan membeli kebutuhan sendiri.

Saya melihat perjalanan hidup ibu tidak terlalu berliku. Cara berpikirnya mainstreaming saja. Idealnya tentang hidup sulit untuk subversif. Misalnya, dia menginginkan saya berjodoh dengan orang jauh, tidak dengan orang satu kota. Kehidupan saya nanti mapan, punya mobil, punya pekerjaan tetap, dan lain-lain seperti pada umumnya. Dia sering mengatakan itu pada saya. Berbeda dengan ayah yang hampir tidak pernah ikut ngurus soal itu.

Dari sini bisa dibayangkan bagaimana lebarnya perbedaan antara ayah dan ibu? Huh…dalam sebuah rumah tangga.

Sekarang tentang adik. Adik mungkin yang paling berbeda dengan ayah, ibu, dan saya. Dia tidak menuruni gen ayah atau ibu. Tetapi meski dia saudara angkat, mungkin rasanya tidak ada bedanya dengan saudara kandung (saya tidak bisa membedakan karena tidak punya saudara kandung. He he). Adik tipe orang yang lebih suka sendiri. Dia lebih senang nonton TV. Kalau sudah nonton TV, dipanggil saja tidak dengar. Karena itu dia sering kena bentak ibu. Kalau digodain cewek dia selalu bergaya cool, tidak peduli, dan tidak menunjukkan rasa tertarik sedikit pun.

Adik tergolong anak cerdas, minimal di SDnya. Nilai NEM SDnya nomor dua. Hobinya adalah menggambar kartun. Saya melihatnya rajin menggambar sejak kira-kira kelas 3 SD. Kertas gambarnya adalah bungkus rokok. Entah memang tidak punya kertas gambar atau bagaimana, saya tidak tahu. Kalau gambarnya dilihat orang lain, adik selalu menolak. Dia selalu menyembunyikan hasil gambarnya.

Sekarang dia banyak mendapat pujian orang kampung karena rajin sholat berjamaah di masjid dan tadarusan tiap malam. Kadang saya menggodanya kalau ada orang lain sedang memujinya. Di satu sisi saya juga merasa sedikit khawatir karena kalau sudah mendapat citra tertentu, orang akan sulit keluar darinya, tidak bisa bertindak bebas karena citra tersebut. Huh…tapi biarlah, itu adalah proses hidupnya. Bagi ayah pula itu tidak masalah, biar dia berjalan sendiri sesuai apa yang disukai.

Nah, sekarang giliran saya. Ehhhhhm. Makhluk ini adalah yang paling rumit di antara yang lain mungkin. Tapi sebenarnya juga tidak. Secara umum, karakter saya mirip ayah. Karena itu kadang saya menyebut diri saya plek (persis) ayah. Pemalas, suka santai-santai, senang tidur, sensitif, tetapi kritis dan cenderung suka berpikir lah (he he). Perjalanan hidup yang telah saya lalui cukup berliku. Pada waktu kecil saya adalah anak yang taat beribadah, rajin sholat, ngaji tidak pernah telat, cerdas, tapi obsesif. Di samping itu dorongan ibu khususnya membuat saya sering ikut nyanyi dari panggung ke panggung, baik di dalam maupun di luar desa. Waktu itu saya rasakan ibu sangat bangga melihat saya suka menyanyi. Kalau ayah sih biasa-biasa saja. Saya sering menyanyi hingga SMP.

Masa-masa SMP saya tidak lagi jadi anak alim. Sering main-main, keluyuran sama teman-teman, dan juga pacaran. He he. Fase itu berubah lagi sejak SMA. SMA saya memutuskan pakai jilbab, kemudian mondok di Ponpes dekat sekolah sampai lulus. Di pondok saya berubah jadi anak alim lagi, juga cukup disegani oleh teman-teman se-pondok.

Prestasi sekolah tergolong baik. NEM SD tertinggi, SMP selalu dapat ranking lah, meski tidak satu, dan SMA selalu masuk kelas unggulan meski saya rasa itu adalah anugerah Tuhan saja. Mungkin karena doa anak pondokan atau bagaimana, pastinya saya tidak tahu. Setelah SMA saya “terjerumus” masuk UIN Malang karena gagal SPMB. Tetapi jurusan psikologi yang saya ambil tidak sepenuhnya merupakan keterjerumusan. Di tingkat UIN, prestasi diakui lah, didukung dengan beberapa prestasi dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah. Pada masa kuliah saya aktif di beberapa organisasi; PMII, jurnalistik, radio kampus, BEM, dan ikatan anak se-kota. Setahun sebelum lulus saya bekerja di sebuah LSM di Malang. Setelah lulus ambil kursus Bahasa Inggris di Kediri untuk persiapan S2.

Sambil menunggu S2, saya butuh aktivitas sampingan, maka saya pilih sebuah komunitas di Malang pula. Saat mau masuk S2, semua syarat administrasi beres, tempat tinggal di Jakarta juga sudah ada, saya terlibat pada diskusi tentang sekolah dengan seorang teman. Pemahaman saya tentang sekolah, karier, dan hidup kemudian berubah hampir total. Entah apa alasan tepatnya, kemudian saya memutuskan tidak ambil kuliah itu atau dipending dulu. Di masa ini saya boleh disebut sedang berada pada posisi tidak jelas, meski selalu ada yang dikerjakan untuk mencukupi biaya hidup.

Dalam hal asmara, ehhhhm, ini lebih berliku lagi. Tapi sebaiknya saya tuliskan di lembar lain saja. Yang jelas tingkah saya dalam asmara membuat saya mendapat beberapa sebutan. He he.

Di dalam keluarga saya boleh disebut sebagai penengah antara ayah dan ibu yang karakternya sangat berbeda. Yang terakhir, saya cukup melakukan fungsi itu. Seperti biasanya ibu mengeluhkan kebiasaan ayah dengan harapan saya bisa membantu mengubahnya. Yang saya bicarakan waktu itu adalah prinsip menghargai, nilai-nilai pluralitas, komunikasi, kesepakatan, dan lain-lain yang sejenis di dalam rumah tangga. He he. Ibu diam saja waktu itu. Ah…indah rasanya. Keindahan dalam perbedaan. Meski berbeda selalu ada sayang, cinta, kasih di dalamnya. Ada tawa jika salah satu mendapat bahagia, ada tangisan jika di antara kita tersirat sedih, dan ada rasa tak rela jika salah satu pergi. Selalu ada getaran yang menyertai hubungan itu. Dan selalu ada doa untuk kelanggengan hubungan itu. Keindahan dalam perbedaan.

OK. It’s all. Sebenanrnya ada mak yek (nenek) dan pak yek (kakek) yang juga menarik untuk diceritakan.


(AR, Mlg, 10 Okt.’08. 14.08)


Judulnya "Tanpa Judul" Saja

Bahwa aku bangga tidak menjadi antek komersialisasi, itu adalah kebenaran
Tetapi bahwa ada rasa sesal di dada kini, itu kebenaran pula
Dua tahun, empat tahun, enam tahun ke depan, entah apa yang akan kudapatkan
Mungkin aku akan jumpalitan sambil terus memaknai hidup dengan makna yang kubuat-buat

Bahwa aku bangga dicintainya, itu kebenaran
Tetapi bahwa akhirnya aku mengaku menyesal, itu kebenaran kedua
Aku tersiksa dalam kerangkeng rasa yang sulit kupatahkan
Langkah sangat sulit kuayunkan keluar darinya

Bahwa aku sering berbangga diciptakan dalam adaku ini, itu kebenaran
Tetapi bahwa aku menyesal dengan adaku kini, itu kebenaran berikutnya
Aku begitu rapuh larut dalam busa-busa mulut siapa saja
Betapa bentengku sangat mudah hancur dalam satu dua kata
Aku tak mampu menjadi karang yang teguh diterpa badai
Aku tak mampu menjadi perahu besar yang setidaknya mampu mencoba melawan arus samudera

Bahwa aku tak mampu untuk tak menyesal, itu adalah kebenaran
Tetapi bahwa aku tak tahu apakah harus mencoba menghentikannya, itu kebenaran pula

(AR, Bwi, 04 Okt. 08. 23.34)