6.24.2008

Konstruksi Bahasa dalam Ideologi

Any Rufaidah

Pagi ini ide muncul begitu saja. Kali ini mengenai keterkaitan bahasa dengan ideologi. Ide ini bermula dari sebuah pertanyaan tentang bagaimana struktur bahasa yang benar antara buruh perempuan atau perempuan buruh. Setelah melihat-lihat tulisan-tulisan di internet, ternyata ada dua versi dalam penulisan kedua kata tersebut. Ada yang menggunakan buruh perempuan, dan ada juga yang menggunakan versi kedua.

Analisis kecil-kecilan dan ala kadarnya serta gabungan dari berbagai informasi yang selama ini hanya hilir mudik (tidak benar-benar dipahami) mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa aktivis perempuan pada umumnya menggunakan kata perempuan buruh. Sedangkan masyarakat pada umumnya lebih menggunakan buruh perempuan. Yang kedua ini lebih bersifat umum. Sudah digunakan pada masa-masa sebelumnya.
Mengapa ada perbedaan penggunaan? Di sana ada perbedaan karena dalam pandangan aktivis perempuan, kata buruh perempuan berkonotasi negatif. Maknanya ”buruhnya perempuan”. Frase itu akan berbahaya ketika subjeknya adalah laki-laki. Buruh laki-laki berarti ”buruhnya laki-laki”. Nah, itu konotasinya sangat negatif bagi perempuan. Yang dimaksud buruhnya laki-laki bisa jadi berarti perempuan.
Kesimpulannya, bahasa sangat berkaitan erat dengan penyebaran sebuah faham. Ia menjadi penunjang yang sangat ampuh dalam penyebaran faham. Tidak hanya pada contoh di atas, pada faham-faham lain kiranya juga terjadi demikian.
(NB: Ide ini sebenarnya sudah pernah dibaca di beberapa buku, tetapi karena kadangkala tidak bisa melihat realitasnya langsung, maka tidak paham. He...he..he).
Semoga ide ini bisa memberi kemanfaatan dalam upaya mencari korelasi antara teks dan konteks. Sehingga apa yang kita baca bisa menjadi analisis atas realitas yang ada. Salam .... (Malang, 25 Juni 2008. 07.06)



6.23.2008

Kualitas Gizi Indonesia

Oleh Any Rufaidah

Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami status gizi buruk. Yang lebih memprihatinkan, penderita gizi buruk ini adalah anak-anak usia dini yang sedang berada pada masa perkembangan. Keadaan ini setidaknya telah berlangsung selama kurang lebih 2 dasawarsa. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 lebih dari empat juta anak-anak di bawah usia dua tahun menderita gizi buruk.

Di tahun 1998, lembaga yang sama mencatat sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Angka yang lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF). Mereka mencatat sekitar 40% balita Indonesia menderita gizi buruk (Sinar Harapan on-line, 25/1/02). Keadaan ini ternyata tidak kunjung teratasi.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia kembali dilanda masalah gizi buruk. Tahun 2005, tercatat sedikitnya 22.027 atau sekitar 12,6% balita di Kabupaten Cianjur menderita kurang gizi sekitar 2.411 atau 1,4% di antaranya sudah digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 14/6/05) Tahun 2006, di Solo ditemukan 1.640 balita dikategorikan kekurangan gizi, dan 290 di antaranya digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 29/8/06)
Kondisi ini tentu tidak dapat di-sepele-k¬an, karena status gizi berkonsekuensi langsung pada kecerdasan generasi yang akan meneruskan perjuangan bangsa. Terlebih, kondisi ini terjadi pada usia pembentukan otak. Menurut ahli gizi, 80% proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun (Sinar Harapan on-line, 25/1/02). Jika gizi makanan yang dikonsumsi anak pada usia ini tidak memenuhi standar, kecerdasan anak lah yang akan menjadi taruhannya. Hal ini sudah dibuktikan oleh penelitian Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes, pada tahun 2001, sekitar 130-140 juta rakyat Indonesia mengalami penurunan kecerdasan akibat kekurangan zat yodium. Angka ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke 174 dari 190 negara (gizi.net, 27/11/01)

6.20.2008

Datanglah Padaku

Any Rufaidah

Bila suatu saat kau tak punya tempat bersandar,
maka datanglah padaku

Bila suatu waktu kau tak memiliki tempat untuk berteduh,
maka datanglah padaku

Bila suatu ketika tak ada lagi yang bisa menenangkan saat kau menangis,
datanglah padaku

Bila suatu masa tak ada lagi yang bisa membuatmu tertawa,
datanglah padaku

Kecuali pada Tuhan, datanglah padaku


Malang, 20 Juni 2008



6.19.2008

Borderless World

Oleh Any Rufaidah

TAK dipungkiri saat ini kita hidup dalam dunia yang dalam bahasa Yasraf A. Piliang adalah dunia tanpa batas (borderless world). Seperti dalam pengertian umum, tanpa batas berarti serba berkemudahan. Apa yang ada jauh di luar sana dapat diakses dengan mudah. Tinggal sekali klik, maka muncul lah informasi yang dikehendaki. Tak perlu disebutkan contoh-contohnya, rasanya sudah dipahami. Di satu sisi, borderless world memberikan banyak sekali keuntungan. Itu sudah tidak diragukan. Namun, sisi negatifnya juga tidak kalah banyak.

Ya…begitulah. Setiap sesuatu mengandung resiko. Saya jadi teringat ungkapan teman setahun lalu. Waktu itu dia akan melakukan perjalanan. Seperti umumnya pertemanan, saya mengingatkan dia agar hati-hati. Lebih-lebih waktu itu banyak sekali kecelakaan yang terjadi. KM Senopati baru saja tenggelam, kereta api di Jawa Tengah putus dan mengorbankan banyak orang, dan baru saja pesawat Batavia Air mendarat di pemukiman penduduk

Saya menyebutkan kecelakaan-kecelakaan itu dalam SMS. Kemudian dengan singkat teman saya itu membalas, “Di rumah pun ditabrak pesawat”. Hahaha. Kenapa saya lupa bahwa Batavia Air mendarat di pemukiman penduduk? Artinya, di rumah pun tidak bisa bebas lepas dari resiko.

Beberapa waktu lalu, ada teman yang menceritakan seorang pengendara sepeda motor tewas karena menghindari lubang jalan. Dia menghindari lubang kemudian dihantam bus. Itulah yang kata seorang teman merupakan bagian dari impossible is nothing.

Kembali ke borderless world. Dalam hemat saya, dunia maya, dunia virtual, atau apapun namanya mengandung dampak yang besar. Pertama, menjauhkan manusia dari realitas sosial sesungguhnya. Ada banyak orang yang kecanduan dengan dunia ini. Hampir seluruh waktu mereka habiskan dalam dunia tersebut. Sensitivitas sosial jadi hilang.

Kedua, membudayanya plagiatisme. Dalam dunia virtual yang menyediakan fasilitas publikasi memungkinkan semua orang mempublikasikan ide, karya, dan informasi apapun yang dimiliki. Ini merupakan sebuah perkembangan yang sangat baik bagi transformasi ide. Tetapi sifat dunia virtual yang tanpa batas menyebabkan budaya negatif. Singkatnya, di sana muncul budaya plagiatisme. Dan itu sudah banyak terjadi.

Akhirnya, saya hanya bisa berkata, “Kita memang tidak bisa bertahan untuk tidak menyentuh borderless world, tetapi kita tetap bisa mempertahankan idealisme”. Entah hanya 60% atau 70%. Hahaha. Itulah “takdir” manusia. Selalu berkonflik. (Malang, 19 Juni 2008. 12.27).



Jika Kau Tahu

Any Rufaidah

Jika kau tahu kencangnya debar jantung
saat suara menuturkan namamu
kau tak kan membiarkan hatinya hancur begitu saja

Jika kau tahu derasnya aliran darah saat suaramu terdengar
maka kau tak kan sampai hati melihat pecahan-pecahan hatinya
Jika kau tahu harapan cinta saat kau tampak di matanya
maka kau tak kan pernah rela membiarkannya terluka

Malang, 21 Maret 2008



6.18.2008

Sentralisasi Pelayanan Publik

Oleh Any Rufaidah

DALAM sebuah diskusi pelayanan publik yang diselenggaran Averroes Community dengan RRI Malang, saya sempat menanyakan kecenderungan sentralisasi pelayanan publik, dalam hal ini di Kabupaten Malang. Pertanyaan tersebut muncul dari fakta perbedaan pelayanan publik yang sangat besar antara desa-desa terpencil dengan kota. Perbedaan tersebut biasanya terjadi pada bidang pendidikan dan kesehatan.

Di desa-desa terpencil, fasilitas pendidikan dan kesehatan masih sangat memprihatinkan. Ada sekolah yang tidak memiliki sarana sanitasi yang memadai. Begitu pula pada kesehatan. Ada yang tidak memiliki tandon air. Keberadaan posko-posko layanan kesehatan sangat minim. Akibatnya, masyarakat tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan maksimal. Ibu hamil tidak dapat sewaktu-waktu memeriksakan kandungan karena jarak puskesmas yang teralu jauh. Belum lagi masalah jalan dan ketersedian kamar mandi umum.

Sementara di kota-kota, fasilitas sudah sedemikian lengkapnya. Dalam pandangan saya, ini adalah problem sentralisasi pelayanan publik. Menanggapi hal tersebut, DR. Andi Fiefta Wijaya, dosen Administrasi Publik Universitas Brawijaya mengungkapkan bahwa realitas tersebut memang terjadi. Tetapi untuk menyebut sentralisasi, sebaiknya kita membedakan apa yang disentralisasi. Jika yang disentralisasi adalah pelayanan penunjang seperti penataan administrasi, informasi, komunikasi, itu adalah hal yang wajar, dan memang sudah seharusnya. Tetapi untuk pelayanan yang sifatnya langsung ke masyarakat seperti penyediaan Polindes, pemenuhan tenaga kesehatan, pelayanan tidak boleh disentralisasi.

Apa yang diungkapkan DR. Andi adalah pelayanan ideal, sudah semestinya dilakukan oleh pemerintah sebagai pihak yang diberi amanat. Namun seperti biasanya, kenyataan berbeda. Desa yang akan diberi Polindes harus memiliki penduduk sekian puluh KK. Belum lagi syarat-syarat dan prosedur lainnya. Memperihatinkan sekali, untuk mendapat hak yang telah dijamin dan dilindungi, yaitu pendidikan dan kesehatan, masyarakat di desa-desa terpencil harus melalui berbagai problem yang cukup rumit. (Malang, 18 Juni 2008. 11.15)


6.17.2008

Kaburnya Pengertian Gratis dalam Politik

Oleh Any Rufaidah

PENDIDIKAN gratis hampir selalu menjadi topik menarik dalam kampanye politik calon kepala daerah di berbagai wilayah. Topik ini terbukti menjadi jurus ampuh bagi pemenangan Pilkada. Di Banyuwangi misalnya, Ratna Ani Lestari, bupati yang diusung oleh partai non-parlemen berhasil menang karena mengambil isu pendidikan dan kesehatan gratis dalam kampanyenya. Terlepas dari apapun faktor lainnya, terbukti suara di masyarakat mengatakan kemenangan tersebut adalah hasil dari isu kampanye yang ia ambil. Di daerah-daerah lain juga banyak contoh yang sama.


Pengusungan isu pelayanan gratis dalam politik memang sah-sah saja. Tetapi yang menjadi soal selanjutnya adalah kaburnya definisi gratis.

Beberapa waktu lalu, dalam diskusi dwi mingguan yang diadakan Averroes Community bekerja sama dengan RRI Malang menemukan bahwa definisi gratis dalam politik sangat kabur. Ada perbedaan pengertian gratis pada saat masa kampanye dengan masa pemerintahan. Dalam pendidikan misalnya, pada masa pemerintahan kepala daerah baru, yang dimaksud gratis ternyata tidak seluruh biaya seperti yang diartikan pada masa Pilkada. Yang gratis bisa jadi hanya SPP bagi siswa tidak mampu atau biaya administrasi tertentu.

Dalam hemat saya, hal ini adalah problem bagi perpolitikan di Indonesia. Para politisi seringkali menggunakan pengertian-pengertian yang sifatnya sangat interpretatif (standart ganda). Pada masa kampanye, pengertian gratis berarti bebas dari semua biaya, tetapi setelah jadi kepala daerah definisi tersebut diubah sesuai kehendak pemerintahannya. Konsekuensinya masyarakat lah yang dirugikan. (Malang, 18 Juni 2008).


Hidup Tanpa Kelamin?

Oleh Any Rufaidah

DUA bulan lalu, saat menghadiri seminar peringatan hari Kartini, sempat terbersit sebuah ide. Ide itu berawal dari keraguan atas pernyataan salah seorang narasumber seminar. Narasumber yang dimaksud adalah Merlyn Sofjan, ketua Ikatan Waria Malang (Iwama), ratu waria plus duta HIV/AIDS internasional. Merlyn, ia sosok yang sangat mengagumkan. Cantik dan ramah. Hari itu adalah kali ketiga saya mendapat cipika-cipiki darinya. Entahlah, saya mesti biasa-biasa saja seperti halnya mendapat cipika-cipiki dari teman atau ragu karena kelaminnya?

Pernyataan Merlyn yang saya maksud kurang lebih adalah, “Prinsip saya, kita hidup bukan dilihat dari jenis kelamin, tapi dari kapasitas kita.”
Pernyataan itu muncul sebagai respon dari salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam seminar tersebut. Karena pertanyaan sendiri, jadi saya memperhatikan dengan seksama. Tampaknya Merlyn sedikit salah menangkap pertanyaan, sehingga jawabannya ditanggapi dengan sedikit “sensitif” menurut saya. Tetapi justru di situlah ide muncul dalam pikiran.

Kembali ke pernyataan Merlyn di atas, “Prinsip saya, kita hidup bukan dilihat dari jenis kelamin, tapi dari kapabilitas kita.” Pertanyaan yang muncul, “Benarkah?” “Masyarakat (sosial) tidak melihat individu dari jenis kelaminnya?”

Dalam pandangan saya, prinsip tersebut tidak demikian adanya karena realitas sosial hampir tidak bisa melepaskan penilaian terhadap siapa pun tanpa melihat jenis kelamin. Banyak sekali contoh yang bisa ditampilkan di sini. Misalnya dalam profesi. Pramugari, pilot, pengaspal jalan, pelinting rokok, sekretaris, pekerja bengkel, pemasang tower, dan lain sebagainya selalu mencantumkan jenis kelamin sebagai salah satu aspek yang dinilai.
Mengapa Pramugari harus perempuan? Mengapa pengaspal jalan laki-laki?, dan lain sebagainya.

Tidak terkecuali bagi Merlyn sendiri. Meskipun disebut “tanpa kelamin”, apakah berarti benar-benar tanpa kelamin? Ketakterlepasan manusia dari jenis kelamin itulah yang menurut saya kemudian memunculkan sebutan kelamin ketiga. Artinya waria tetap dilekati dengan kelamin, yaitu kelamin yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Dalam profesi-profesi pun, sangat dimungkinkan ia ditunjuk untuk menyandang misi tertentu karena statusnya yang bisa menjadi ikon. Atau tepatnya karena kewariannya, bukan semata-mata karena kapasitas.

Jadi, dalam pandangan saya, dalam realitas sosial kita tidak pernah benar-benar bisa hidup tanpa kelamin. Dengan kata lain, hanya dalam penilain Tuhan kita bisa lepas dari kelamin.

Semoga ide ini bisa memperkaya ruang dialektika kita. Terima kasih kepada Mbak Merlyn atas inspirasi. (Malang, 17 Juni 2008. 15.00)





6.07.2008

Dipan di Jalan Beraspal


Cerpen: Any Rufaidah

“Aku berangkat, Bu”, suara tua pak Narto terdengar lirih.
“Kapan pulang, Pak?”
“Sampai barangnya laku”
“Dua hari?”
“Aku tidak tahu”
“Seminggu?”
“Aku juga tidak tahu. Pokoknya sampai barangnya laku”
“Dua minggu?”
“Mungkin saja”
“Hati-hati, Pak?”, dengan suara berat, bu Minah, perempuan yang setia mendampingi pak Narto selama 40 tahun itu berpesan.

Sambil menyerahkan sebungkus nasi, sebotol air, dan singkong rebus yang dikemasnya dalam kresek hitam, bu Minah melepas kepergian suaminya dengan wajah pilu. Bagaimana perempuan itu tidak berat membiarkan suaminya pergi, usia suaminya sudah senja, hampir tidak ada satu pun rambut yang tidak berwarna putih. Kumis dan alisnya juga hampir berwarna sama. Seharusnya dia istirahat, menikmati masa tuanya di rumah, bukan pergi tanpa tahu tujuan, tanpa tahu waktu. Apalagi tidak membawa cukup bekal. Hanya uang 10 ribu dan makanan untuk sehari. Tapi mau bagaimana lagi, pak Narto tidak mungkin membiarkan istrinya kelaparan. Dia tidak peduli seberapa berat perjalanan yang akan ditempuh.
Pak Narto berangkat, menuntun sepeda tua yang mengangkut dipan yang akan dijualnya. Sebenarnya berat menjual dipan kuno itu. Itu barang bawaan orang tua bu Minah waktu menikah dulu. Tapi apa mau dikata? Dia harus rela, kecuali jika mau kelaparan. Hanya dipan yang jumlahnya dua. Kursi, bupet, lemari, hanya ada satu. Dulu lemari memang ada dua, tapi sudah dijual ke tetangga. Kini giliran dipan yang harus dijual berkeliling karena tidak ada tetangga yang membelinya.
Jalan beraspal masih terlihat lengang, lalu lalang sepeda motor dan mobil masih bisa dihitung. Pak Narto memang sengaja berangkat jam 5 pagi agar tidak panas. Sebelum mulai mengayuh sepeda tua di jalan beraspal itu, pak Narto berhenti sejenak, menyaksikan panjangnya jalan. Panjang sekali jalan itu. Tidak berujung. Dia tidak tahu berapa kilo jarak yang mampu ditempuh. Tapi dia harus melampauinya sampai dipan yang dibawanya terjual. Sejauh apapun. Kemudian dia mengayuh sepedanya, pelan. Bukannya tidak punya tenaga, tapi dipan yang dibawanya memang berat. Dia kesulitan mengatur keseimbangan tubuhnya yang renta dengan berat dipan. Bayangkan saja, bahannya kayu jati. Kalau tidak ada papan yang menyangga, sepeda tua yang mengangkutnya mungkin sudah patah.
Pak Narto menyusuri jalan sambil menikmati hembusan angin yang masih terasa sejuk. Dia jadi teringat masa lalunya, mengayuh sepeda di pagi hari, merasakan sejuknya udara pagi. 30 tahun lalu, setiap pagi dia bersepeda, mengantarkan anaknya ke sekolah. Di jalan, dia sering balapan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu lain yang juga mengantarkan anaknya ke sekolah. Anak-anak menikmati balapan orang tuanya. Bahkan mereka jadi supporter dengan berteriak-teriak lantang. Tidak peduli banyak orang menganggapnya aneh. Mereka menikmatinya. Tapi sayang, Nahdi, anak laki-laki yang sangat disayangi pak Narto itu meninggal karena kecelakaan. Pak Narto menyesal atas kejadian itu. Dia merasa bersalah karena terlambat menjemput. Nahdi akhirnya jalan kaki. Tepat di tikungan, sepeda motor yang melaju kencang menabraknya. Sejak itu, berakhirlah semua. Pak Narto tidak pernah lagi bersepeda di pagi hari, merasakan sejuknya udara, balapan dengan orang tua lain, atau mendengar teriakan anak-anak yang jadi supporter setia. Kenangan itu tidak bisa diulang karena bu Minah tidak bisa mengandung lagi. Mau mengadopsi anak pun pikir-pikir. Yang biasa mengadopsi anak itu kan orang kaya? Kalau tidak, sama saja menyengsarakan anak orang. Karena itu pak Narto dan bu Minah tidak berani mengadopsi anak.
“Dipan Bu, Pak”, suara pak Narto mulai diperdengarkan kepada orang-orang yang baru saja memulai aktivitas pagi hari.
“Dipan kayu jati, Bu, Pak”, terus dia tawarkan dipan itu.
***
Matahari mulai menguning, sedikit demi sedikit kesejukan udara pagi menghilang. Jumlah kendaraan pun semakin padat. Tapi belum ada seorang pun yang memanggil pak Narto untuk sekedar melihat dipannya. Satu per satu mereka menjawab, “Mboten, Pak”. Pak Narto berharap ada orang yang memanggilnya, membeli dipan yang dibawanya itu. Jadi tidak usah jauh-jauh dia menyusuri jalan beraspal. Pulang membawa uang, memberikannya pada bu Minah, lalu bu Minah membeli beras untuk persiapan satu bulan. Masalah bumbu dan sayur gampang. Di pekarangan rumahnya sudah tersedia beraneka bumbu dan sayur. Cabai, tomat, laos, kunyit, jahe, bayam, jagung, kacang panjang, semua ada. Bu Minah tinggal memasak sayur-sayur itu bergiliran, seperti jadwal biasanya. Hari senin masak sayur bayam, selasa, jagung, rabu, kacang panjang, dan seterusnya. Lauknya tahu-tempe atau ikan teri, ditambah sambal jeruk purut, sudah nikmat. Kalau sudah bosan dan kebetulan ada dana lebih, baru bu Minah masak ikan laut atau daging. Tapi itu jarang sekali, setahun mungkin hanya tiga atau empat kali. Kalau tidak begitu, bulan depan mau makan apa? Pak Narto hanya seorang tukang cangkul ladang. Penghasilannya tidak seberapa. Apalagi sekarang, sudah jarang orang yang menyuruhnya menggarap ladang. Tenaganya sudah berkurang. Jadi, orang-orang enggan menyuruhnya. Ladang yang dulu dikerjakan hanya 2 hari, sekarang bisa sampai 4 hari. Karena tidak ada penghasilan, terpaksa dia dan istrinya menjual barang-barang di rumahnya, termasuk dipan itu.
Pak Narto terus mengayuh sepeda tuanya dan memperdengarkan suaranya yang juga tua. Satu kilo, dua kilo, tiga kilo, terus begitu. Sementara, matahari semakin tinggi, sinarnya semakin terik, membuat butiran-butiran debu mengkilat menyilaukan mata. Pak Narto mulai merasakan panas, tenggorokannya mulai terasa kering. Dia mencari pohon rindang untuk tempat istirahat. Ya...pohon asam itu. Dia berhenti di bawah pohon asam, menyandarkan sepeda tuanya, lalu meneguk minuman di botol yang dibekali istrinya. Rasanya sangat segar, lebih segar daripada saat minum di ladang. Padahal airnya sama, yang memasak juga orang yang sama, bu Minah. Mungkin karena panas di jalan raya melampaui panas di ladang. Lebih-lebih udara kotor, debu yang beterbangan, menambah keringnya tenggorokan.
Pak Narto menyandarkan dirinya pula di pohon asam, menikmati semilir angin yang dikipaskan daun asam. Semilir angin itu terasa begitu nikmat hingga membuat pak Narto terasa ngantuk. Menyadari kantuknya, pak Narto segera bangkit, mengemas minuman ke kresek hitam semula, memasang topi koboi ala pedesaannya, lalu mengayuh sepedanya kembali. Meneriakkan suara tuanya pada orang-orang untuk mendapatkan beberapa lembar uang.
“Dipan, Bu”.
“Dipan, Pak. Bahannya jati asli”. Tak bosan-bosan laki-laki berbaju coklat tua itu menawarkan barang dagangannya. Tapi keadaan masih sama. Belum ada orang yang memanggilnya. Padahal sudah cukup jauh jarak yang ditempuh. Pak Narto sudah tidak tahu daerah yang dilalui sekarang. Apakah itu masih Pasuruan, tempat tinggalnya, atau sudah kota lain. Maklum, dia tidak bisa baca. Apalagi sejak Nahdi meninggal, Pak Narto sudah jarang jalan-jalan. Waktu Nahdi masih hidup, masih ada yang mengajak jalan-jalan, ke kota atau ke tempat-tempat rekreasi yang harga tiketnya murah.
“Dipan..Dipan. Jati Asli” kali ini pak Narto melantangkan suaranya. Sudah bosan dia mengayuh sepeda dengan tenaganya yang semakin berkurang. Sudah berbusa-busa mulutnya menawarkan dagangannya. Mungkin suara lantang akan membuat orang-orang di dalam rumah mau keluar untuk memanggilnya.
“Dipan..Dipan. Jati Asli”
“Dipan..Dipan. Jati Asli”, lama-lama suara itu terdengar bergetar, serak, menggigil.
“Aaah…tenggorokanku terasa kering lagi”, gumam pak Narto dalam hati. Kali ini dia mencari masjid karena azan dzuhur sudah berlalu setengah jam lalu. Tak jauh, pak Narto menemukan langgar kecil. Dia turun, menuntun sepeda tuanya ke area langgar. Kemudian lmengambil botol minuman dan meneguknya, lalu duduk di beranda langgar, melemaskan kakinya yang berkulit keriput. Di tengah istirahatnya, Pak Narto menyadari, bajunya basah terlumuri keringat.
“Waduuuh…bagaimana ini? Tidak bawa baju ganti lagi. Sholat pakai apa?”, Pak Narto memikirkan cara untuk sebaik mungkin menghadap Khaliq. Ya…dia sudah tahu caranya. Dilepasnya baju di badannya, lalu dia cantelkan ke pagar langgar yang terbuat dari bambu. Sambil menunggu terik matahari mengeringkan baju dan menghilangkan bau keringat yang menempel, pak Narto melanjutkan istirahatnya di beranda langgar. Memutar-mutar leher, menekuk-nekuk lengan, dan memijat-mijat kakinya. Sekilas pak Narto teringat istrinya. Bu Minah sangat pengertian. Dia tahu kapan pak Narto pegal-pegal. Tapi pak Narto terkadang nakal. Dia sering memanfaatkan kebaikan istrinya. Setiap hari minta dipijat, meski tidak pegal-pegal. Pak Narto melirik kondisi baju yang masih tercantel di pagar bambu langgar. Sepertinya sudah kering, dia harus segera mengambilnya dan menggunakan untuk menunaikan ibadah sholat. Pak Narto mulai melantunkkan kalimat-kalimat toyyibah, membungkukkan badan, menempelkan kening pada sajadah suci, lalu memanjatkan doa dengan khusuk, Ya Rabbi, Hamba mohon, dipan hamba segera laku. Amiiin. Pak Narto mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Penuh harap hingga matanya berbinar-binar karena kumpulan air yang menggenang. Andai tidak harus melanjutkan ihtiar, mungkin sajadah tempatnya menempelkan kening sudah terbasahi dengan hujan air mata. Dia bangkit, menuntun sepeda tua yang mengangkut dipan, mengayuhnya kembali, menawarkan dipan kembali. Sepanjang jalan pak Narto melakukannya dengan menahan sengatan matahari, menahan sakitnya urat-urat di seluruh badan, dan menahan keringnya tenggorokan. Dia lalui terus jalan berlubang, bergelombang, menanjak, menurun, dan lain sebagainya. Hanya sesekali dia berhenti, mengobati keringnya tenggorokan dan menyapu keringat yang bercucuran.
***
“Ini sudah sore, dipannya belum laku juga. Bagaimana ini? Aku harus tidur di mana?”, sambil terus mengayuh sepeda tua dan menawarkan dipan yang dibawanya, pak Narto berpikir. Dia tidak punya saudara atau kawan. Jangankan saudara atau kawan, daerah yang dilalui saja tidak tahu. Sementara sinar mentari semakin redup. Lampu-lampu kendaraan mulai dinyalakan.
“Apa aku pulang saja? Ah…tidak. Aku tidak mungkin pulang kalau belum menukarkan dipan ini dengan uang. Minah akan kecewa kalau aku tidak bawa uang”, pikiran itu menuntunnya tetap berjalan sampai menemukan kumandang sholawat santri dari sebuah musholla kecil lagi. Suara itu membawanya menemukan jawaban di mana harus melalui malam.
“Ya…di musholla saja. Besok, pagi-pagi baru kulanjutkan perjalanan.
Pak Narto mempercepat ayuhan kakinya. Dia ingin ikut sholat berjamaah, kemudian berdzikir bersama jamaah itu. Apalagi, seharian hanya bersuara sendiri, tidak bercengkerama dengan siapa pun. Dengan gerak cepat, pak Narto menyandarkan sepeda tuanya, mengambil air wudlu, lalu masuk dalam shaf jamaah. Indah rasanya melakukan sesuatu bersama-sama. Mengucapkan kalimat “Aaamiin” bersama, rukuk bersama, sujud bersama, berdzikir bersama, dan saling menjabat tangan bersama. Indah rasanya. Beberapa orang bapak menyapa pak Narto, mengajaknya bercengkerama tentang apa pun yang terlintas sampai tidak terasa azan isya’ berkumandang. Setelah itu pak Narto melalui malam di musholla sendiri. Tiba-tiba perutnya berbunyi, memanggil jatah yang harus diberikan. Pak Narto lupa makan seharian. Dia tidak tahu, bagaimana perutnya bisa menahan lapar seharian? Untung saja, lauk yang dimasak istrinya tidak berkuah, jadi tidak basi. Pak Narto langsung malahap nasi berlauk telur ceplok, tempe, dan sambal goreng yang dibungkus dengan daun pisang itu. Lalu dia duduk, menunggu usus-usus dan lambung mencerna makanan. Setengah jam dia duduk di beranda musholla itu sambil mengamati kendaraan-kendaraan yang melintas. Setelah dirasa cukup, pak Narto merebahkan badan di lantai musholla yang beralaskan karpet hijau. Dia lepas semua kelelahan yang terkumpul sehari ini. Melupakan semua hingga fajar menyapa.
***
Pagi berjalan dengan sendirinya, memaksa pak Narto melanjutkan perjalanan yang tak diketahui tujuan dan waktunya. Seperti semula, dia mengayuh sepeda tua, memperdengarkan suaranya.
“Dipan…dipan…”
Setengah hari pak Narto melalui perjalanan. Tiba-tiba dia terhenti, melihat daerah seperti hutan di depannya. Dia mendekati rimbun pohon-pohon yang terbelah oleh jalan beraspal itu.
“Bagaimana ini? Aku harus melewati hutan”.
Lagi-lagi pikiran harus membawa uang saat pulang menuntun pak Narto meneruskan perjalanan. Dia lalui saja hutan yang jarang dilalui kendaraan itu. Hanya sekali dia berhenti, mengisi perut dengan singkong rebus yang memang disisakan untuk makan hari itu. Bagi pak Narto, singkong sama saja dengan nasi. Dia dan istrinya sering makan singkong rebus untuk menghemat beras. Apalagi kalau persediaan beras tinggal sedikit, biasanya siang makan nasi, malam makan singkong rebus. Begitulah biasanya.
Dua jam pak Narto menembus hutan. Dia melihat kota baru di depannya. Entah apa namanya, dia tidak berpikir kota apa itu. Yang dia pikir hanya bagaimana agar dipannya laku.
“Dipan…dipan…”, pak Narto memulai teriakannya di kota yang baru diemui.
“Dipan…dipan…”, begitu seterusnya. Tapi keadaan tetap sama. Dipannya belum laku juga. Sementara tubuhnya mulai lemas, napasnya terdengar tersengal-sengal. Pandangannya berkunang-kunang. Sialnya lagi, air di botol sudah habis, singkong rebus tidak tersisa. Tapi pak Narto belum menyerah juga. Dia memaksa tubuhnya agar tetap bekerja di tengah sinar matahari yang masih terik. Tetap begitu, seterusnya begitu.
Sial! Meskipun semangat tetap kuat, badan tetap tidak bisa dipaksa. Tangan dan kaki pak Narto gemetaran. Kemudinya mulai tidak terkendali. Lalu dia terjatuh bersama sepeda tua dan dipannya. Tapi pak Narto masih memaksa diri. Dia bangkit, menuntun sepeda, dan menepi di sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya jatuh. Dengan muka memerah dan suara gemetar, dia minta minum pada seorang ibu pemilik rumah itu.
“Nak, minta minum”, kalimatnya singkat karena tak kuat lagi membuat kalimat untuk berbasa-basi. Perempuan setengah baya itu dengan cepat mengambilkan minum. Kemudian mengambilkan sepiring nasi. Tentu saja, pak Narto menyantapnya dengan lahap. Itu bukan keadaan yang baik untuk menyembunyikan rasa lapar.
“Bapak dari mana?”, tanya bu Isma, perempuan pemilik rumah itu.
“Dari Pasuruan, Nak”.
“Pasuruan?”, tanya bu Isma heran.
“Iya, Nak”.
“Dari Pasuruan Bapak bersepeda membawa dipan itu?”, tambah bu Isma dengan lebih heran.
“Iya, Nak”.
“Dipannya mau dibawa ke mana, Pak?”.
“Dijual, Nak”.
“Berapa harga?”.
“150. Kalau Nak…?”
“Isma”.
“Iya. Kalau Nak Isma mau 125 saja, karena Nak Isma sudah memberi saya makan”.
Bu Isma bergegas masuk ke dalam kamar.
“Ini, Pak. 150”.
“Nak Isma membelinya?”
“Iya, Pak”
“Alhamdulillah. Tapi, 125 saja, Nak”.
“Nasinya itu saya kasih, Pak. Tidak beli. Sudah, itu sudah murah. Bahannya kayu jati, suami saya suka barang-barang kuno.
Pak Narto bergegas berdiri menurunkan dipannya. Dengan bantuan bu Isma, dia mengangkat dipan itu di tempat yang diminta bu Isma.
“Terima kasih, Nak. Saya pamit dulu”.
“Ini sudah sore, Pak. Bapak nginap saja di sini. Besok pagi-pagi baru pulang”.
“Tidak, Nak. Istri saya sudah menunggu. Mungkin sekarang dia tidak makan karena tidak ada uang. Saya harus cepat-cepat memberikan uang ini padanya. Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalasnya”.
Bu Isma tersentuh mendengar ucapan laki-laki tua itu. Tak tersadari matanya terasa berat karena menyimpan kumpulan air. Dia tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya mengayuh sepeda dari Pasuruan sampai Banyuwangi. Dia memandangi pak Narto yang mengayuh sepeda dengan semangat dan membalas lambaian tangannya yang disertai tawa sumringah itu.
S e l e s a i
Malang, 14 Agustus 2007





6.01.2008

Complexity Theory on Social Science

Any Rufaidah

Teori Kompleksitas: Ideologi dan politik sistem self-organizing
Masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem kompleks yang autopoiesis, sebuah sistem ekologis yang memproduksi-sendiri (self-producing) secara terus-menerus, adalah cara pandang yang ditawarkan oleh Maturana dan Valera, dalam bukunya Autopoiesis and Cognition (1980). Inilah yang mendasari pemikiran akan sosiologi kompleksitas yang dicoba susun oleh Kevin Kelly, dalam bukunya Out of Control (1995), menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam beberapa disiplin ilmu yang memandang segala sesuatu sebagai sistem kompleks dan sistem yang mengorganisasi-sendiri (self-organizing); sebuah konsep yang dipinjam dari ilmu alam (fisika dan biologi) dengan adaptasi tertentu dalam penerapannya dalam ilmu sosial.

Analisis yang digunakan adalah analisis trans-disiplin yang mengkaji sistem sosial sebagai sistem kompleks sehingga dapat diperhatikan berbagai parameter-parameter teknisnya untuk kemudian dengan bantuan matematika dan komputer dapat dianalisis secara komputasional dalam bentuk masyarakat buatan (artificial society). Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sistem adaptif kompleks di mana tiap-tiap agen penyusunnya harus melakukan adapatasi sedemikian rupa untuk dapat tetap bertahan hidup dalam ranah evolusi sosial yang berlangsung terus-menerus.
Pada tataran ini, kita tidak lagi berbicara soal kapitalisme dan berbagai pola kultural yang semenjak Mazhab Frankfurt terus-menerus ditinjau secara kritis. Di sini ditawarkan bagaimana memandang kapitalisme secara lunak, dan tidak lagi berbicara mengenai seluk-beluk kapitalisme dan berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Kapitalisme dan demokrasi dianggap sebagai sistem yang sudah final dan sekarang yang penting adalah bagaimana kita adaptif terhadap sistem tersebut. Dalam pemikiran ini, segala dinamika yang terjadi di dalam masyarakat terjadi tanpa kendali siapapun dengan proses yang mengorganisasi sendiri (self-organized), sebuah hal yang mengingatkan kita pada invisible-hand-nya Adam Smith, bapak kapitalisme dunia.
Pandangan ini tentu saja naif: menantikan sebuah teori sistem sosial yang menikahkan antara sains alam dengan sains sosial namun dengan menggunakan adaptasi total metodologi yang digunakan dalam sains alam ke dalam sains sosial dengan melupakan evolusi epistemologis dari ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana diutarakan oleh Douglas Kellner dan Steve Best dalam ulasannya terhadap karya Kevin Kelly yang,
…justru gagal dalam teoretisasi relasi kompleks antara restrukturisasi global kapitalisme dan bangkitnya teknologi baru… secara ironis, pakar teori kompleksitas seringkali terlalu jauh berada di satu sisi dan terlalu menyederhanakan permasalahan…

Inilah paradoks yang terjadi pada para teoretisi kompleksitas, sebuah reduksionisme dan simplifikasi yang terlalu jauh padahal asumsi awal dalam melakukan penelitiannya adalah bahwa sistem yang sedang ditelaah adalah sistem dengan kompleksitas tinggi.
Sumber : http://www.geocities.com/kajianbudaya/artikel1.htm

Menerjemahkan Teori Kompleksitas dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik
Ilmu-ilmu kompleksitas berkembang seiring pesatnya teknologi komputasi yang memungkinkan pemodelan sistem-sistem yang rumit dalam realm seorang analis dan pengamat. Teknologi komputasi yang mendorong simulasi komputasional telah memberikan tools yang penting bagi pengayaan ilmu sosial yang memungkinkan eksperimen dilakukan secara komputasional (Sawyer, 2003) sehingga banyak kebijakan tidak lagi dilahirkan secara coba-coba atau trial and error. Berbagai ide akan solusi untuk kebijakan publik dapat disimulasikan dahulu secara komputasional sebelum menjadi kebijakan publik sehingga kebijakan yang diambil pada akhirnya merupakan kebijakan paling optimum bagi kemashlahatan.
Ilmu-ilmu kompleksitas bersandar pada prinsip-prinsip dasar dari sains yang salah satunya adalah refutabilitas, atau ia dapat dipersalahkan jika memang salah dalam terminologi peningkatan manfaat bagi publik. Melalui berbagai tools yang diakuisisi oleh ilmu-ilmu kompleksitas, hal ini dapat dilakukan dan ilmu sosial yang selama ini berkembang menjadi semakin kaya dan kokoh fondasi keilmiahannya.
Sumber : http://qact.wordpress.com/2008/05/19/menumbuhkan-sains-dari-oleh-dan-untuk-kebangkitan-nasional-kita/

Summary :
1.Teori kompleksitas merupakan perubahan paradigma dari self-producing ke self-organizing
2. Menurut teori kompleksitas (paradigma baru), jika masyarakat dibiarkan berjalan sendiri, mereka akan kelabakan jika suatu saat menghadapi peristiwa tak terduga (misalnya : bencana).
3. Teori kompleksitas dibangun agar manusia mampu mengenali signal-signal kompleksitas sosial sebagai acuan untuk beradaptasi di dalamnya.
4. Untuk kerja birokrasi, teori ini dianggap sesuai karena ia mensyaratkan kesiagaan, ketepatan, dan kecepatan dari kerja birokrasi.

Kritik terhadap kompleksitas teori :
1. Teori kompleksitas pada beberapa disiplin ilmu sosial justru seringkali simplistik. Solusi-solusi yang ditawarkan malah menciptakan manusia robot (ini khusunya pada psikologi)
2. Teori kompleksitas cenderung hanya merupakan peralihan fungsi dan kerja mesin ke dalam sistem sosial manusia.

Catatan : kritik-kritik akan muncul hanya jika teori kompleksitas diterapkan pada ilmu sosial kemanusiaan, seperti psikologi yang banyak bersinggungan dengan filsafat, posmodernisme, atau posstrukturalisme.
Tetapi untuk ilmu pemerintahan, kebijakan publik (pelayanan publik), teori ini justru sangat dianjurkan, dan ia berfungsi untuk kritik terhadap pemerintah dan kinerja birokrasi.

Bacaan Penunjang
Gleick, J. (1987). Chaos: Making A New Science. Viking.
Keen, S. (2002). Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences. Pluto Press.Kuhn, T. (1962). The Stucture of Scientific Revolutions. Chicago UP.
Santa Fe Institute (SFI).2008. The Santa Fe Institute Summer Insternship Mentoship Program. URL: http://www.santafe.edu/education/
Sawyer, R. K. (2003). “Artificial Societies: Multiagent Systems and Micro-Macro Link in Sociological Theory”. Sociological Methods & Research 31 (3). Sage.
Situngkir, H. (2004). “On Massive Conflict: A Macro-micro link”. Journal of Social Complexity 1 (4).
Situngkir, H. (2004). “How Far can We Go Through Social System?”. Journal of Social Complexity 2 (1).
Situngkir, H. (2006). “The Dynamics of Corruption: Artificial Society Approach”. Advances in Intelligent Systems Research: JCIS-2006 Proceedings. Atlantis Press.
Surya, Y. & Situngkir, H. ( 2008 ). Solusi untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisik/Kompleksitas. Kandel.
Waldrop, M. M. (1992). Complexity: the Emerging Science at the Edge of Order and Chaos. Simon & Shuster.







Pelayanan Kesehatan Indonesia

Any Rufaidah

Men Sana In Corpore Sano. Peribahasa tersebut benar adanya, karena kemampuan berkreativitas dan berinovasi banyak tergantung pada kesehatan ragawi. Dalam konteks kenegaraan, logika ini diakui kebenarannya. Oleh sebab itu, di dalam kampanye-kampanye kesehatan disebutkan kata-kata bijak seperti “Bangsa yang Cerdas adalah Bangsa yang Sehat”.

Kondisi sehat diperlukan oleh semua bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia mengharapkan bangsa yang sehat agar kekayaan yang ada dapat dikelola dengan baik, dimanfaatkan sebaik mungkin, dan dinikmati oleh anak cucu bangsa. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ”Sudahkah Indonesia menjadi bangsa yang sehat?”
Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditilik dari kondisi riil yang ada di lapangan. Yang pertama bisa dilihat dari kesehatan balita dan anak-anak. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 lebih dari empat juta anak-anak di bawah usia dua tahun menderita gizi buruk. Di tahun 1998, lembaga yang sama mencatat sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Angka yang lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF). Mereka mencatat sekitar 40% balita Indonesia menderita gizi buruk (Sinar Harapan on-line, 25/1/02).
Keadaan ini ternyata tidak kunjung teratasi. Tahun 2005, tercatat sedikitnya 22.027 atau sekitar 12,6% balita di Kabupaten Cianjur menderita kurang gizi, sekitar 2.411 atau 1,4% di antaranya sudah digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 14/6/05). Tahun 2006, di Solo ditemukan 1.640 balita dikategorikan kekurangan gizi, dan 290 di antaranya digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 29/8/06).
Status gizi berkonsekuensi langsung pada kecerdasan. Lebih-lebih, kondisi ini terjadi pada usia pembentukan otak. Menurut ahli gizi, 80% proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun (Sinar Harapan on-line, 25/1/02). Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes. Pada tahun 2001, sekitar 130-140 juta rakyat Indonesia mengalami penurunan kecerdasan akibat kekurangan zat yodium. Angka ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke 174 dari 190 negara (gizi.net, 27/11/01).
Kedua, bisa dilihat dari angka kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada faktanya masih sangat memprihatinkan, yaitu tertinggi di Asean. Data terakhir dari BPS adalah sebesar 262 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2005. Sedangkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2000 me¬nye¬butkan angka kematian ibu di Ma¬lay¬sia jauh di bawah Indonesia, yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thai¬land 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada¬hal, tahun 2000 itu angka kematian ibu ma¬¬sih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang be¬lum lama merdeka, yang memiliki angka ke¬matian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup.
Ketiga, dari kondisi kesehatan secara umum. Hal ini bisa dilihat dari jumlah penyakit-penyakit yang umumnya menyerang masyarakat, misalnya diare, demam berdarah, flu burung, serangan jantung, hipertensi, kanker hingga HIV/AIDS. Jumlah penderita penyakit-penyakit tersebut sampai saat ini masih menjadi persoalan pelik. Perkembangannya sangat cepat dan mudah berepidemi.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kondisi kesehatan bangsa Indonesia masih sangat terpuruk. Minimnya pengetahuan masyarakat, ekonomi, budaya, adalah beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Dan satu yang paling mendasar adalah minimnya pelayanan kesehatan, terutama di desa-desa terpencil. Banyak desa-desa terpencil yang sampai saat ini belum memiliki akses kesehatan yang memadai. Data empiris setidaknya memberi gambaran bagaimana masyarakat desa dapat mengakses kesehatan yang memadai. Untuk berobat, mereka harus menempuh jarak yang tidak pendek. Akibatnya, mereka banyak yang tidak tertolong.
Demikian pula dengan perolehan protein, yodium, vaksin, dan pengetahuan kesehatan. Masyarakat terpencil tidak memiliki akses untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Jika demikian, bagaimana masyarakat akan sehat.